FEATURE
Kisah Sang Jurnalis
Published
6 years agoon
By
philipsmarx10 Februari 2019
Oleh: Denni Pinontoan
Prabangsa adalah sebuah kisah tentang seorang jurnalis
SANGLAH, DENPASAR, 11 Februari 2009. Hari masih pagi. Prihatini tak mendengar suara suaminya pamit. Hanya suara deruman sepeda motor GL Pro yang terdengar. Anak Agung Gde Bagus Narendra Prabangsa, suaminya buru-buru pergi. Prabangsa mengarah ke kantor koran tempat dia bekerja. Jarak antara rumahnya di Sanglah dan kantor Radar Bali di Jl. Cokroaminoto gang Katalia No. 26, Ubung, memang cukup dekat.
Di kantor, Prabangsa memulai pagi dengan kesibukannya sebagai redaktur yang menangani berita-berita daerah. Memberi penugasan pada reporter dan menindaklanjuti perkembangan berita yang dimuat hari itu untuk edisi besok pagi.
Abdul Manan dan Sunudyantoro dalam buku Jejak Darah Setelah Berita hasil riset Bambang Wiyono, Rofiqi Hasan, Dewi Umaryati, Miftakul Huda yang diterbitkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menulis, Prabangsa sudah 14 tahun menjadi wartawan hingga Februari 2009 itu.
Sarjana Ilmu Sejarah lulusan Universitas Udayana, Denpasar ini lahir di Bangli 20 Nopember 1968. Ia memulai karir jurnalistiknya tahun 1995. Awalnya sebagai reporter Harian Nusa (kini berganti nama menjadi Harian Nusa Bali).
Prabangsa hanya bertahan empat tahun di Nusa. Pada 1999, dia bergabung dengan tabloid lokal di Bali, Manggala. Di sana, dia sering menulis masalah-masalah spiritual seputar Bali. Baru setahun di Manggala, Prabangsa pindah lagi ke Harian Radar Bali yang baru berdiri. Pada tahun-tahun pertamanya di Radar Bali, Prabangsa menjadi reporter yang meliput pemerintahan daerah dan DPRD.
Prabangsa, tulis Abdul Manan dan Sunudyantoro, dalam kesehariannya dikenal ramah dan punya banyak teman.
“Nama panggilannya banyak. Di kalangan koleganya sesama wartawan, dia biasa disapa dengan nama Gungde, Agung, atau Asa. Nama terakhir adalah inisialnya dalam setiap berita yang dia tulis,” catat Abdul Manan dan Sunudyantoro.
Di Radar Bali, Prabangsa bertanggungjawab mengelola halaman Dwipa 1 dan Dwipa 2 yang berisi berita-berita dari seluruh kabupaten di Bali. Tapi Prabangsa tak selalu diam di kantor. Ia juga sering turun meliput, terutama di daerah Bangli.
Pada 8 Januari 1995, Prabangsa menikah dengan Anak Agung Sagung Istri Mas Prihantini. Mereka memiliki dua anak. Si sulung perempuan bernama Anak Agung Istri Sri Hartati Dewandari (usianya di tahun 2009, 14 tahun). Anak keduanya laki-laki, bernama Anak agung Gde Candra Dwipa (kala itu berusia 12 tahun). Keluarga kecil ini tinggal di Jalan Nusa Kambangan, Sanglah, Denpasar.
Hari sudah siang. Dari kantor Prabangsa menelepon Rai Warsa, sang redaktur pelaksana. Hari itu, Rai mendapat jatah libur. Prabangsa minta ganti libur. Tapi Rai menolak. Prabangsa tak memaksa.
Tak beberapa lama kemudian Prabangsa menerima telepon dari Justin Herman, sang Pemimpin Umum. Herman tanya soal perkembangan Honda Deteksi Basketball league (DBl). Kegiatan yang diadakan Radar Bali ini adalah kompetisi bola basket antar SMA. Prabangsa menjadi Sekretaris Panitia.
Suatu hal penting perlu dibicarakan. Sehari sebelumnya, panitia lomba terpaksa mendiskualifkasi satu peserta dari SMA Negeri 2 Denpasar. Herman menelepon Prabangsa mau tanya bagaimana reaksi sekolah itu pasca keputusan panitia. Hanya sebentar mereka bercakap, lalu telepon diputuskan.
Sekira 14.00 WITA Prabangsa terima telepon dari Putu Suyatra, wartawan Radar Bali lain. Suyatra adalah Ketua Panitia kompetisi bola DBI itu. Tapi yang dibicarakan bukan soal DBI. Suyatra hanya menanyakan hal sepele, tentang baut-baut meja rapat Radar Bali yang hilang.
“Nyen mukak meja-meja di ruang rapat (siapa yang buka meja-meja di ruang rapat)?” Tanya Suyatra.
“Rage (aku),” jawab Prabangsa dengan nada suara tak bersemangat.
“Baut-bautne dije (baut-bautnya dimana)?” tanya Suyatra lagi.
“Tut..tut..tut…” mendadak sambungan telepon terputus, sebelum Prabangsa sempat menjawab.
Suyatra lalu coba menghubungi Prabangsa lagi. Tak diangkat. Beberapa kali ia lakukan, tapi tak juga diangkat. Padahal, nada panggil terdengar.
Setelah itu, Prabangsa beranjak dari kantor. Tak ada orang lain yang tahu ke mana dia. Beberapa hari terakhir ini Prabangsa memang tampak tak tenang. Seperti sedang mengkhawatirkan sesuatu.
Prabangsa pergi dengan sepeda motornya. Ia mengarah ke Bangali, kampung kelahirannya. Kedua orangtua dan sebagian kerabat keluarga besarnya tinggal di Taman Bali, Bangli, sekitar 60 kilometer dari Denpasar.
Prabangsa tiba di rumah orangtuanya pada pukul 15.00. Saat itu sedang digelar upacara adat Nelubulanin (upacara adat Bali untuk bayi berusia tiga bulan) anak salah satu kerabatnya.
Di tengah upacara, telepon genggam Prabangsa berdering. Dia berbicara cukup lama di telepon. Entah siapa yang berbicara dengan Prabangsa. Juga tak terdengar jelas apa yang dipercakapkan.
Setelah percakapan telepon itu berakhir, Prabangsa bergegas pergi. Dia hanya sempat menitipkan sepeda motor di rumah orangtuanya. Setelah itu pergi menghilang. Prabangsa hanya berkata singkat, dia ada janji menemui seseorang. Tak tahu siapa orang itu.
“Dengan tergesa, Prabangsa berjalan kaki meninggalkan rumah keluarga besarnya. Sosoknya raib di sebuah lorong di antara rumah-rumah warga Taman Bali,” tulis Abdul Manan dan Sunudyantoro merekam kesaksian kerabat Prabangsa di Bangli.
Sore itu, di kantor Radar Bali awak redaksi sibuk mempersiapkan naskah berita untuk edisi besok. Kesibukan khas kantor redaksi. Suara tuts keyboard berkejar-kejaran, berlomba menyelesaikan berita sebelum tenggat naskah mendekat. Telepon berdering-dering, suara redaktur memberi perintah ini itu pada reporternya. Semua tampak sibuk.
Sebagai redaktur, seperti biasa, mestinya Prabangsa ada di tengah kesibukan sore itu. Tapi, hingga mendekati malam, batang hidungnya tak tampak di situ.
Pada malamnya, sekira pukul 20.00, seorang redaktur mencoba menghubungi telepon genggam Prabangsa. Teleponnya hidup. Ada nada panggil. Tapi Prabangsa tak mengangkat telepon.
“Tenggat semakin dekat. Dua halaman Dwipa yang menjadi tanggungjawab Prabangsa harus segera diisi.”
Seorang redaktur yang bertugas hari itu mencoba menghubungi Rai Warsa, penanggungjawab halaman Radar Bali. Rai sebenarnya libur hari itu. Tapi tak ada pilihan, halaman harus diisi dan koran harus terbit. Rai pun bergegas ke kantor, menggantikan tugas Prabangsa. Sampai larut malam, dini hari, subuh, Prabangsa memang tak kembali lagi ke kantor.
Keesokan harinya, 12 Februari 2009, Prihantini istrinya menghubungi kantor radar Bali. Ia bilang, Prabangsa belum pulang sampai hari itu. Justin Herman dan rekan sekerja Prabangsa mulai khawatir, merasa ada yang tak beres.
“Tak seorangpun tahu kemana Prabangsa pergi. Biasanya pasti ada kawan yang mendapat titipan pesan, atau setidaknya sempat dipamiti ketika Prabangsa pergi meliput peristiwa atau menemui narasumber untuk wawancara. Kali ini berbeda: tak ada pesan apa-apa. Kecemasan perlahan merambat.”
Segera, hari itu juga mereka melapor ke polisi.
Dua hari lewat tanpa kabar. Pada 14 Februari, Radar Bali memuat sebuah pengumuman soal hilangnya Prabangsa.
“Tinggalkan rumah. Anak Agung Prabangsa telah meninggalkan rumah pada Rabu, 11 Februari 2009. Saat meninggalkan rumahnya di Jalan Nusa Kambangan, Denpasar, dia mengenakan kemeja putih dan celana jins serta mengendarai sepeda motor GL Pro. Sore hari sekitar jam 15.00, Prabangsa yang berambut cepak sempat mampir ke rumah ibunya di Taman Bali, Bangli. Di sana, dia menitipkan sepeda motor lengkap dengan kunci dan helm. Kata keluarganya, sore itu Prabangsa menerima telepon dari seseorang dan langsung pergi. Sejak itulah Prabangsa tidak datang lagi ke rumah hingga Jumat malam kemarin.
Bagi masyarakat yang menemukan, diharapkan mengontak keluarganya ke HP 08123817233 atau ke nomor (0361) 417153. Atas perhatian semua pihak, keluarga menyampaikan terima kasih.”
Mereka berharap ada pembaca yang memberi informasi mengenai raibnya rekan sekerja mereka.
Namun, selama 24 jam lebih sejak pengumuman itu disampaikan, tak ada satupun orang yang memberi informasi atau laporan keberadaan Prabangsa.
Selasa, 16 Februari 2009, lima hari sejak Prabangsa pergi dari rumah dengan sepeda motor GL Pro.
Kapal Perdana Nusantara sedang melintasi Teluk Bungsil. Kapal itu bergerak dari pelabuhan Lembar, Lombok Nusa Tenggara Barat menuju pelabuhan Padang Bai, Bali. Sang nahkoda kapal, Muhari (45 tahun) tiba-tiba melihat sesuatu sedang mengapung. “Ada mayat,” kata Muhari.
Muhari dan anak buah kapalnya tak langsung mengevakuasi mayat itu. Ia mencatat titik koordinat, lalu bergegas memacu kapalnya ke darat. Di Padang Bai, Muhari melaporkan temuannya itu kepada Syahbandar Pelabuhan, Made Sudiarta. Sebagai kepala pelabuhan, Made lalu menggerakkan armada polisi airud dan sejumlah kapal cepat (speedboat) di sana. Dia mengirim tiga kapal ke titik koordinat yang disebutkan Muhari. Satu kapal cepat berisi petugas pelabuhan, satu kapal aNS 024 milik administrasi Pelabuhan Padangbai dan satu kapal Polisi Satuan airud yang juga diisi awak Bali Amateur Emergency Service.
Di lokasi yang disebutkan Muhari, tim berpencar mencari jejak jenazah yang terapung itu. Tak sampai setengah jam, mayat ditemukan. Itu masih di kawasan perairan Teluk Bungsil. Orang-orang belum tahu identitas mayat yang ditemukan.
Sesampai di darat, mayat itu langsung dibawa ke rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Amlapura, Karangasem untuk divisum. Ini prosedur standar untuk insiden macam itu. Di saku kiri belakang celana panjang korban, ditemukan sebuah dompet hitam. Isinya: Kartu Tanda Penduduk, Surat Ijin mengemudi, Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) untuk sepeda motor GL Pro, juga Kartu Anjungan Tunai mandiri (ATM) dari Bank BNI. Semuanya atas nama Prabangsa. Mayat itu adalah Prabangsa.
Hari itu, dokter yang bertugas di bagian forensik adalah Gusti Putra Hari. Dia yang melakukan visum atas jenazah Prabangsa. Dengan teliti, Gusti memeriksa sekujur jenazah Prabangsa. Dia mencatat sejumlah kejanggalan. Jelas ada bekas penganiayaan fisik di sana sini. Kondisi jasad Prabangsa lebam dan membengkak. Dahinya remuk dan di lehernya ada luka lebam bekas jeratan tali. Siang itu juga, jasad Prabangsa dikirim ke RS Umum Pusat Sanglah di Denpasar untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Segera setelah itu berita penemuan mayat Prabangsa menyebar dengan cepat. Semua media massa di Bali mendapat kabar ini.
Ketika jenazah itu tiba di Denpasar, puluhan jurnalis sudah menanti di pintu gerbang rumah sakit. Prihantini, keluarga dan kolega Prabangsa di Radar Bali juga sudah tiba di ruang jenazah.
“Berita seorang jurnalis yang ditemukan tewas dengan luka bekas penganiayaan, menghenyakkan banyak orang di Bali.”
***
Detik.com edisi 25 Mei 2009 menurunkan berita tentang kronologi pembunuhan Prabangsa berdasarkan penyampaian Kapolda Bali waktu itu, Irjen Polisi Teuku Ashikin Husein kepada wartawan di Mapolda Bali, Jalan WR Supratman, Denpasar.
Kapolda mengatakan, eksekusi terhadap korban dilakukan di rumah aktor intelektual Nyoman Susrama di Banjar Petak, Bebalang, Bangli, sekitar pukul 16.30 hingga 22.30 Wita, 11 Februari 2009. Pelaku, Nyoman Susrama adalah adik bupati Bangli periode 2000-2010, I Nengah Arnawa.
Pada pukul 16.30 Wita sebelumnya, Prabangsa dijemput oleh pelaku Komang Gede, Nyoman Rencana dan Komang Gede Wardana di Taman Bangli menggunakan mobil Honda Civic hijau. Dalam kasus dugaan penyimpangan proyek di Dinas Pendidikan, Komang Gede menjabat sebagai akunting proyek pembangunan sekolah TK Internasional di Bangli.
Prabangsa lalu dibawa oleh para pelaku ke rumah Susrama di Bangli. Setelah Susrama tiba di rumahnya, Prabangsa digelandang ke belakang rumah dengan kedua tangan dilipat dan diikat di belakang.
Di belakang rumah ini, Susrama memerintahkan Nyoman Rencana dan Wardana memukul kepala bagian depan Prabangsa berkali-kali hingga terkapar. Prabangsa akhirnya tewas. Tubuh Prabangsa lalu dimasukkan ke salah satu kamar.
Untuk menghilangkan jejak pembunuhan tersebut, Susrama memerintahkan pelaku lainnya, Jampes dan Endy, untuk membersihkan darah yang tercecer di halaman belakang dengan cara menyiram dan menimbunnya dengan pasir.
Sekitar pukul 21.30 Wita, tubuh Prabangsa yang tak lagi bernyawa dibawa keluar rumah. Jenazah korban lalu diangkut dengan mobil Kijang Hijau oleh Gede Wardana dan Nyoman Rencana. Mayat korban kemudian dibuang di tengah laut Padangbai, Klungkung.
Tempo, eEdisi 1-7 Juni 2009 menurunkan laporan tentang kasus pembunuhan Prabangsa. Tempo menulis, dalam proses penyelidikan yang dilakukan petugas reserse Kepolisian Daerah Bali, mereka memeriksa tempat pembakaran sampah yang terletak di sudut belakang kediaman Susrama di Banjar Petak, Bebalang, Bangli, sekitar 45 kilometer dari Denpasar. Di situ petugas menemukan karpet mobil, celana jeans, balok kayu yang belum seluruhnya berubah jadi abu.
“Bercak hitam yang diduga bekas darah terlihat samar-samar pada benda-benda itu,” tulis Tempo.
Petugas lalu memeriksa secara seksama kediaman Susrama. Polisi menemukan barang bukti berupa bekas ceceran darah yang sudah mengering di rumah itu. Sebagian tertutup pasir.
Bukti-bukti itu makin meyakinkan pihak kepolisian, bahwa pelaku pembunuhan mengarah ke Susrama. Ia pun di dibawa ke Markas Polda Bali. Diperiksa sekitar empat jam, lalu menetapkan aktivis PDI Perjuangan ini sebagai tersangka pembunuh Prabangsa
”Dia aktor intelektualnya,” ujar Kepala Polda Bali waktu itu, Inspektur Jenderal T. Ashikin Husein.
Delapan orang lainnya juga ditetapkan sebagai tersangka kasus ini. Mereka Komang Gede, Nyoman Rencana, I Komang Gede Wardana (Mangde), Dewa Sumbawa, I Wayan Suecita, Gus Oblong, Endy, dan Jampes.
Polisi kemudian mengatakan, pembunuhan Prabangsa berkaitan dengan berita yang ditulisnya. Kesembilan tersangka, akan dijerat dengan pasal pembunuhan berencana. Mereka terancam hukuman seumur hidup.
Penanggung jawab harian Radar Bali, Made Rai kepada Tempo mengatakan, sejak awal ia sudah menduga wartawannya dibunuh karena soal berita. Radar, ujar Rai, pernah menurunkan sekitar sepuluh berita tentang penyimpangan proyek Dinas Pendidikan Bangli. Proyek itu, menurut Radar, dilakukan tanpa tender. Tiga di antara berita tersebut ditulis Prabangsa secara berturut-turut pada 3 Desember, 8 Desember, dan 9 Desember 2008. Susrama adalah pengawas proyek-proyek itu.
Jelang kematiannya, menurut Rai, Prabangsa kadang terlihat seperti ketakutan. Ia, misalnya, melarang jendela kantor dibuka karena merasa ada orang yang akan menembak dirinya. ”Waktu itu kami tidak memperhatikan,” ujar Rai. ”Kami menganggap hanya lelucon.”
Istri Prabangsa, Prihatini merasa lega ketika pembunuh suaminya ditangkap. ”Saya berharap mereka dihukum setimpal,” ujar Prihatini.
I Nyoman Susrama, pembunuh Prabangsa akhirnya divonis hukuman penjara seumur hidup. Cita-citanya menjadi anggota DPRD dari PDI Perjuangan pupus. Ia bahkan dipecat dari partai.
Sepuluh tahun dari kasus itu, tiba-tiba Susrama menerima remisi pengurangan hukuman, dari penjara seumur hidup menjadi 20 tahun penjara. Detik.com menyebutkan, remisi itu tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberian Remisi Berupa Perubahan dari Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara. Di dalam salinan Keppres disebutkan ada 115 nama narapidana se-Indonesia menerima remisi. Nama Susrama ada di urutan ke-94.
Tapi AJI dan banyak pihak menolak pemberian remisi itu. Akhirnya, tepat di Hari Pers Nasional, 9 Februari, 10 tahun dari kematian tragis Prabangsa, Presiden Jokowi menyatakan, remisi atas Susrama dicabut. Susrama tetap harus menjalani hukuman penjara seumur hidup sebagai ganjaran atas pembunuhan yang dia lakukan. (*)
Editor: Daniel Kaligis