FEATURE
Kisah Tiga Pelanggaran dan Bermulanya Narasi Kekalahan
Published
6 years agoon
By
philipsmarx31 Maret 2019
Oleh: Mahfud Ikhwan
Cerita seorang pendukung Timnas Indonesia yang akhirnya terbiasa dengan kekalahan dan kegagalan tim andalannya.
TIGA TAHUN LALU. Beberapa waktu sebelum final AFF 2016.
Bahu saya dicengkram oleh Pak Amrozi, orang yang paling dihindari dan paling ditakuti di seantero pondok. Tanpa bicara sepatah pun, ia menyeret saya keluar dari ruang tengah rumah Bu Anshor, tempat kami menonton, menyeberang perempatan, melewati jalanan beraspal pukul tujuh malam yang sedang ramai orang lalu-lalang. Di gerbang pondok, Pak Yai Muchlis (Allahuyarham) telah menunggu dengan muka merah padam. Sajadah di tangannya yang tergulung menjadi lebih kecil teracung tinggi, seakan sebatang cambuk api.
Selama tiga tahun nyantri, tak pernah saya melihat beliau marah melebihi malam itu. Dan kemarahan itu ditujukan kepada saya. Meski demikian, yang mengganggu di kepala saya justru adalah pertanyaan: berapa skor akhir Indonesia-Vietnam?
***
Saya dan Timnas Indonesia dihubungkan oleh serangkaian narasi kekalahan—frasa yang saya pakai untuk judul sebuah tulisan yang menggambarkan kekalahan Indonesia dari Malaysia di Sea Games 2011. Lebih banyak buruk dan sedihnya dibanding bahagianya. Karena itu, sebagian besar berusaha saya lupakan, dan pada akhirnya memang terlupakan. Meski demikian, ada beberapa penggal kenangan yang tak mungkin bisa tanggal, yang akan melekat terus-menerus di kepala, yang jika saya mati boleh jadi akan lebih saya ingat dibanding rangkaian talqin Pak Modin.
Sepakbola dikenalkan kepada saya lewat suara buruk siaran pandangan mata di radio dan sebuah poster di dinding rumah. Niyat Mitra (demikian saya menghafal nama Niac Mitra) dan Persibaya (seharusnya Persebaya) adalah hal-hal berkait sepakbola yang pertama saya dengar, sementara Maradona dan Buruchaga dan tentu saja Argentina adalah nama-nama yang mungkin untuk pertama kalinya saya eja.
Dengan timnas Indonesia secara khusus, saya tak tahu mulainya kapan. Nama-nama yang lekat asosiasinya dengan timnas di kepala sejak sangat awal adalah kiper Hermasyah, Marzuki Nyak Mat (yang dulu kami sebut sebagai Marzuki Nikmat), dan tentu saja Ricky Yacob—terutama karena komentator TVRI, entah siapa saya lupa namanya, selalu meneriakkan “Ayo Ricky!” setiap ia melakukan syuting ke gawang lawan. Tapi, jauh sebelum itu, rasa-rasanya saya juga familiar dengan nama Kadir, Yacob Sihasale, Nasir Salasa, hingga Djoko Malis, walaupun deretan nama-nama ini tentu saja bercampur asosiasinya dengan sepakbola Surabaya, pusat peradaban yang terdekat dengan kami.
Langkanya televisi di desa kami tampaknya membuat saya—tidak seperti teman-teman sebaya yang ada di kota atau yang agak kekota-kotaan—mengasosiasikan diri dengan timnas Indonesia agak telat. Lagi pula, di saat itu, nasionalisme di olahraga yang belakangan paling kelihatan di sepakbola tampaknya terbagi agak rata dengan bulu tangkis dan tinju, dengan nama Ellyas Pical ada di puncak piramida. Meski begitu, ada setidaknya dua pertandingan lama timnas yang sayup-sayup tersimpan di ingatan.
Pertandingan pertama adalah pertandingan persahabatan melawan PSV Eindhoven. Karena nama PSV, saya bisa dengan gampang menandai pertandingan ini sebagai tur pramusim PSV usai mereka menjadi juara Piala Champion 1988. Saya tak ingat skor akhirnya, tapi pertandingan ini mudah diingat karena nama Gullit (yang waktu itu terdengar dan disebut dalam percakapan sehari-hari sebagai Rut Kulit), yang ikut ke Jakarta, dan tampaknya jadi penanda kepindahannya yang kolosal ke AC Milan di musim berikutnya.
Yang sedikit aneh adalah pertandingan kedua. Meneliti beberapa detil yang masih saya ingat, pertandingan ini tampaknya lebih dulu dibanding pertandingan pertama. Tapi, secara keseluruhan, ingatan atas pertandingan ini banyak yang jelas-jelas sumir dan salahnya dibanding benarnya. Bayangkan, saya selalu mengingat pertandingan itu sebagai pertandingan timnas Indonesia vs Romania. Aneh? Bukan cuma aneh, pertandingan Indonesia vs Romania tampaknya memang tak pernah ada—tak ada sekelumitkan catatan atasnya. Tapi saya ingat betul pertandingan itu, beberapa detil, dan terutama skornya. Dalam pertandingan yang diwarnai kerusuhan antarpemain dan penonton, dan diakhiri pemogokan oleh tim lawan, Indonesia dinyatakan menang telak 5-0.
Apakah ingatan saya telah menukar Romania dengan Oman (mengingat bahwa para pemain lawan saat itu banyak yang bercambang lebat seperti orang Arab), saya tidak yakin juga. Yang benar-benar membekas, sehingga saya bersikukuh bahwa saya benar-benar menonton pertandingan ini dan bukan mengimpikannya, adalah dua nama Lubis di tim Indonesia, yaitu Hamdani dan Zulkarnain. Keduanya, atau setidaknya salah satunya, bertubuh gempal dan berambut gondrong, raut mukanya terlihat tak enak untuk seorang kanak-kanak, dan terutama larinya yang seperti setan.
Selain dua ingatan yang tak begitu jelas itu, saya tak banyak mengingat pertandingan timnas tanpa membaurnya dengan final sepakbola Pon atau pertandingan-pertandingan penting liga Indonesia, terutama setelah penyatuan perserikatan dan galatama. Melewatkan satu-satunya gelar juara timnas Indonesia di masa saya tumbuh, yaitu medali emas Sea Games 1991, (mungkin karena saat itu mentor dan pembimbing pengetahuan sepakbola saya, Bapak, sedang tidak di rumah), ingatan sepakbola di masa-masa awal remaja saya hanya dipenuhi oleh pengguntingan yang serampangan gambar-gambar pemain sepakbola lokal, hampir siapa pun, dari koran-koran bekas yang bisa didapat.
Beralih kesukaan dari Persebaya ke Mitra Surabaya (klub jelmaan bekas Niac Mitra), dinding almari buku saya dipenuhi oleh gambar guntingan Marzuki Badriawan dan Hadi Surento, dua pemain hebat yang malangnya tak banyak mengecap kap di timnas Indonesia, selain Da Costa dan Gomez de Olivera. Maka, jika ada pengalaman pahit berkait sepakbola Indonesia di tahun-tahun itu tentu adalah gagalnya Mitra menembus 8 besar Liga Indonesia ’94-’95, kandasnya Barito Putra (tim semua penonton netral) di semifinal, dan kalahnya Petrokimia Putra (tim terbaik di kompetisi) oleh Persib Bandung (tim favoritnya PSSI) di final.
Timnas mulai mengharu biru ketika kehebatan PSSI Primavera dari Italia mulai digemborkan. Melihat cara Kurniawan, Kurnia Sandi, Bima Sakti, dan Aples Tecuari bermain dalam pertandingan-pertandingan ujicoba dan pada Praolimpiade 1996, terutama saat mereka begitu percaya diri melawan Korea Selatan (meskipun akhirnya kalah), denyar dan harapan yang saat itu mungkin sama dengan saat kita untuk pertamakalinya melihat Evan Dimas dkk dari timnas U-19 bermain. Maka, diantarai oleh penampilan mengejutkan timnas Indonesia di Piala Asia 1996, dengan puncaknya pada gol salto Widodo C. Putra, tak mengherankan jika harapan itu benar-benar ada di ubun-ubun semua pendukung timnas, termasuk saya, saat Sea Games 1997.
Nahasnya, dari situlah rupanya, narasi kekalahan antara saya dan timnas Indonesia dimulai.
***
Kurniawan Dwi Yulianto sudah menjadi pembicaraan di koran-koran dan tabloid-tabloid sejak ia dikabarkan direkrut oleh Sampdoria. Bahwa kemudian ia berlabuh di FC Luzern, tim Swiss yang tak begitu dikenal publik Indonesia, dan kemudian tak sukses, sama sekali tak mengurangi antusiasme saya untuk menontonnya bermain bersama timnas Indonesia. Tak bergabung dengan timnya Danurwindo di Piala Asia 1996, Sea Games 1997 pasti akan jadi panggung besarnya.
Masalahnya, saya ada di sebuah pesantren yang tak mengizinkan dinikmatinya tontonan dan hiburan elektronik. Saya memang masih bisa nonton di tv milik Bu Ansor, warung tempat kami makan. Tapi, seperti yang saya alami dengan pertandingan-pertandingan Seria A di tiap akhir pekan, kami (anak-anak pondok) biasanya harus rela untuk tak menonton sampai selesai, karena terpotong jam malam. Saya sudah mencermati jadwal pertandingan timnas Indonesia di Sea Games, dan saya tahu cepat atau lambat akan ada masalah.
Dan masalah itu rupanya datang lebih cepat.
Pertandingan kedua Indonesia di fase grup melawan Vietnam, setelah sebelumnya menang lawan Laos 5-2, dilangsungkan di jam tanggung: ia memakan waktu Magrib sekaligus Isya. Sudah begitu, tepat di waktu yang sama, pesantren sedang mengadakan pemilihan pengurus organisasi siswa yang mewajibkan seluruh santri untuk turut serta. Kalau di hari biasa kami bisa setidaknya menonton separo akhir pertandingan, karena jadwal mengaji akan kelar usai shalat Isya berjamaah, acara begituan jelas tak akan selesai setidaknya sebelum jam sembilan. Sementara, saya ingin menonton pertandingan lawan Vietnam secara utuh, tak mau hanya mendapat ujungnya saja, apalagi cuma ceritanya. Saya sejak awal enggan untuk terlibat memberikan legitimasi anak-anak pencari muka Pak Yai itu memimpin kami, tapi yang benar-benar saya pikirkan adalah bagaimana cara saya agar tak melewatkan Indonesia melawan Vietnam.
Biasanya, kalau saya sangat ingin menonton sepakbola yang tak memungkinkan ditonton karena berbenturan dengan peraturan pondok, opsi pertamanya adalah berkunjung ke rumah teman. (Rumah Darmanto, teman yang kampungnya sekecamatan dengan SMA kami, biasanya jadi sasaran.) Atau, opsi kedua, yang lebih ekstrem lagi: sekalian pulang kampung. Tapi dua opsi itu sama-sama tak bisa diambil: sudah ditegaskan bahwa izin meninggalkan pondok tak akan dikeluarkan untuk hari itu, kecuali untuk hal yang sangat urgen.
Maka, berhari-hari sebelum pertandingan, saya sudah melakukan hasutan kecil-kecilan dengan beberapa teman yang biasa menonton sepakbola dengan saya agar memilih sepakbola dibanding acara seremoni tak berguna itu. Tapi, hingga jelang waktu pertandingan, saya tak menemukan teman untuk berkomplot. Mungkin karena mereka takut dengan risiko yang bisa ditanggung, tapi boleh jadi juga karena timnas Indonesia di kepala saya berbeda dengan timnas di kepala mereka. Akhirnya, saya memutuskan melakukannya sendiri.
Hari itu, usai makan sore, saya meneguhkan diri untuk tak kembali ke pondok. Saya minta ijin kepada Bu Anshor, pemilik warung, untuk menunaikan shalat Magrib di rumahnya sembari mengutarakan maksud untuk ikut nonton sepakbola. Pak Anshor memperingatkan soal kemarahan pengurus pondok, tapi saya menegaskan bahwa saya yang akan menanggung risikonya.
Tak memperoleh teman berkomplot, saya rupanya dapat “pengikut”. Ada setidaknya empat atau lima orang lain (saya lupa persisnya) yang jelas sangat ingin menonton tapi takut memutuskan. Mereka adalah bocah-bocah usia SMP dan dua orang santri baru usia SMA yang kebetulan mengenal saya karena desa kami bertetangga. Ada seorang anak pondok tahun terakhir di antara mereka tampaknya membuat keberanian mereka timbul. Jadinya, kami berlima (atau berenam) nekat menonton.
Tak menunggu lama, risiko itu sudah mengendus-enduskan hidungnya. Pengurus pondok bukannya tak tahu jadwal pertandingan Indonesia-Vietnam, jadi mereka memang telah pasang mata dan telinga. Usai jamaah shalat Magrib, mereka tentu segera tahu berapa orang dan siapa saja yang tak muncul di barisan. Maka, jelang babak pertama berakhir, Samuri, lurah pondok kami, sudah muncul di pintu rumah Bu Anshor. Ia tak berselisih jauh umurnya dengan saya, Samuri ditakuti karena sangat keras menegakkan peraturan—untuk beberapa kasus bahkan terlalu keras. Tapi ia baik dengan saya. Kecuali malam itu, saya tak punya catatan buruk di bukunya. Oleh karenanya, ia membujuk dengan baik-baik agar kami, terutama saya, balik ke pondok.
“Tanggung, Ri,” itu jawab saya. Samuri tak memaksa. Ia balik kucing, dan saya memilih bertahan untuk menunggu pertandingan selesai. Tekanan dari Bu Anshor agar kami kembali ke pondok kembali menguat, tapi kami bergeming. Seingat saya, hanya seorang bocah SMP yang akhirnya muntir. Sampai kemudian, berselisih sekitar 15-20 menitan, Pak Amrozi datang.
Lalu terjadilah adegan yang saya ceritakan di bagian awal tulisan.
***
Dari gerbang hingga kantor pondok, saya digebuki oleh Pak Yai Muchlis dengan sajadahnya—hal yang seingat saya tidak pernah saya lihat sebelumnya dan tak dilakukannya lagi sesudahnya. Sembari menyeru kalimat-kalimat tayibat untuk mengendalikan amarahnya sekaligus mengekspresikan penyesalannya, beliau menghardik saya sebagai santri senior yang tak tahu diri. “Tuwo-tuwo kloyongan!” Kalimat itu akan saya ingat sampai kapan pun.
Begitu didudukkan di meja kantor pondok, kami langsung disidang.
“Bagaimana ini? Pilih langsung dikeluarkan atau dipanggilkan orangtua?” Pertanyaan Pak Amrozi itu jelas untuk menggertak, tapi tentu saja itu tetap mengejutkan saya. Dua bocah SMP dan dua anak angkatan baru mengkeret, mata mereka memelas, memandang ke arah saya.
“Kamu yang paling tua, Fud. Bicaralah,” mohon Nasrul, salah satu anak baru. Saya tahu, dalam hirarki pelanggaran pondok, hanya minum-minuman keras dan mencuri, atau kemaksiatan berat lainnya, dan bukannya menonton sepakbola, yang bisa membuat kami terusir dari pondok. Lagi pula, seingat saya, saya tak punya simpanan kesalahan. Meski demikian, opsi pemanggilan orangtua saja sudah cukup untuk membuat saya ketar-ketir. Bukan apa-apa, itu tahun 1997, ekonomi memburuk, ongkos angkutan gila-gilaan naiknya. Pasti emak saya akan repot jika harus dipanggil ke pondok.
“Saya tak pernah melakukan pelanggaran sebelumnya, Pak. Dan anak-anak ini,” saya menunjuk rekan-rekan pesakitan saya, “juga bukan anak-anak nakal. Kenapa kami diancam hukuman yang begitu berat?” tanya saya, memberanikan diri menawar.
“Sebab kalian telah melakukan tiga pelanggaran!” Pak Amrozi menegaskan.
Saya bingung. Bocah-bocah itu mungkin sudah tak melihat ada peluang lolos.
“Pertama, kalian keluar pondok tanpa izin. Kedua, kalian bolos dari shalat berjamaah dan kegiatan wajib pondok. Ketiga, ini yang paling berat, kalian menonton tontonan dan atau hiburan. Dan jadi lebih berat lagi karena kalian melakukan ketiganya secara sekaligus.”
Saya nyaris tertawa mendengarnya, tapi tentu saja itu tak mungkin. Sebab muka Pak Amrozi serius, dan muka anak-anak selain saya tertekuk nyaris menempel meja. Tapi karena sudah kadung dianggap yang paling tua oleh Pak Yai, dan dituakan oleh bocah-bocah itu, juga keinginan untuk menolong diri sendiri, saya terus menawar hukuman itu.
Pak Amrozi melunakkan ancaman dengan mendenda kami masing-masing satu sak semen—yang lazimnya didendakan untuk kesalahan tingkat ketiga. Tapi itu jelas tak lebih baik. Harga satu sak semen lebih mahal dibanding ongkos transportasi yang dibutuhkan emak saya jika harus datang pondok. Bisa terancam SPP sekolah saya. Maka saya terus menawar, lebih tepatnya menghiba, agar kami hanya dijatuhi denda untuk kesalahan tingkat kedua.
Entah karena diplomasi saya canggih, atau karena wajah bocah-bocah itu begitu mengibakan, tawaran penurunan denda itu akhirnya dikabulkan. Kami masing-masing didenda uang Rp. 5.000. Ya sudah, saya harus merelakan uang makan seminggu saya. Sialnya, salah satu bocah itu, kalau tak salah Nasrul, yang kini kabarnya sudah menjelma jadi petani melon yang sukses, sedang kehabisan uang. Maka, saya pun harus menalanginya. Saya tak ingat apa ia mengembalikannya atau tidak, tapi yang saya tahu saya baru saja kehilangan uang saku setengah bulan.
Jelas, itu kesalahan terbesar (yang ketahuan) yang pernah saya lakukan saat di pesantren. Tapi, selain kemarahan Pak Yai Muchlis, saya tak pernah menyesali peristiwa itu. Indonesia ternyata tertahan 2-2 oleh Vietnam, sebelum dua hari kemudian menggilas Malaysia dengan empat gol, dan Kurniawan, pemain yang paling ingin dilihat oleh orang Indonesia, mencetak gol di setiap pertandingan penyisihan. Sampai tulisan ini dikerjakan, insiden tiga pelanggaran itu biasanya selalu saya kenang dengan senyum, dan menjadi salah satu episode indah dari tiga tahun saya yang datar di pesantren.
Mungkin karena itu, saya selalu silap mengingat bahwa insiden “indah” itu punya kaitan dengan peristiwa buruk yang ingin saya lupakan tapi selalu gagal; peristiwa buruk yang jadi rangkain awal pengalaman-pengalaman buruk yang terus berulang dan berulang selama bertahun-tahun kemudian. Saya selalu berpikir bahwa dua pengalaman berkebalikan ini terjadi di tahun yang berbeda, padahal nyatanya kejadiannya hanya berselisih hari saja.
***
Saya memutuskan pulang kampung beberapa hari setelah insiden itu. Tentu saja alasan utamanya adalah agar saya bisa menonton dengan bebas pertandingan final cabang sepakbola Sea Games 1997, selain karena uang saku saya habis lebih cepat akibat kena denda. Menonton di televisi milik bude saya, hanya berdua dengan seorang sepupu, kami menikmati pertandingan dengan bebas merdeka—tak ada Samuri, tak ada Pak Amrozi. Tapi siapa sangka, ujungnya justru adalah pengalaman buruk yang memenjara—apakah ini berkait dengan motif batu-bata di kostum (keluaran Unisport?) yang dipakai timnas saat itu, saya tidak tahu. Indonesia kalah melalui adu penalti, setelah sebelumnya berhasil menyamakan kedudukan di babak kedua lewat gol yang sangat khas Kurniawan. Ronny Wabia dan Uston Nawawi gagal menunaikan tugas penaltinya, dan Thailand pun juara.
Saya menyalahkan kaos biru yang kebetulan saya pakai ketika menonton, membantingnya ke lantai, menginjak-injaknya, dan hanya mencangkingnya ketika pulang ke rumah. Berjalan dengan bertelanjang dada saat hari jelang jam 11 malam tentu saja dingin, tapi itu tak ada apa-apanya dibanding panas di dada dan mata saya.(*)
Editor: Andre Barahamin