CULTURAL
Kolintang: Dari Musik Ritual Hingga Panggung Festival
Published
6 years agoon
By
philipsmarx17 Maret 2019
Oleh: Rikson Karundeng
Kolintang, alat musik khas Minahasa telah ada sejak zaman leluhur, tetap menjadi bagian dalam budaya masyarakat Minahasa hingga kini
KOLINTANG, alat musik khas dari Minahasa, Sulawesi Utara. Akrab di tanah kelahirannya dan terkenal di berbagai daerah di Indonesia, bahkan sampai ke mancanegara. Zaman terus berubah dengan tantangannya masing-masing namun musik Kolintang terbukti masih tetap eksis.
Tak bisa dipungkiri, musik yang telah berevolusi dalam jalan waktu ini sering mengalami pasang surut di tengah pergulatan zaman. Adrie Fredie Elean, salah seorang pencinta musik kolintang, punya kisah sendiri soal itu. Kepada saya, ia menuturkan tentang berbagai kisah terkait eksistensi musik kolintang dalam tantangan zaman.
Sejarah dan Perkembangan Musik Kolintang
Menurut Tuama Tondano yang terkenal dengan permainan kolintang melodinya yang unik ini, berbagai literatur yang ia baca menulis bahwa kata kolintang berasal dari bunyi: tong (nada rendah), ting (nada tinggi) dan tang (nada tengah). Dahulu dalam bahasa daerah Minahasa untuk mengajak orang bermain kolintang biasa mereka berucap, “Mari kita bertong ting tang” dengan ungkapan “Maimo kumolintang”. Dari kebiasaan itulah muncul nama “kolintang” untuk alat yang digunakan bermain. Namun, menurutnya bagi masyarakat Minahasa khususnya Tondano, asal-muasal kolintang punya cerita tersendiri.
“Ada kwa cirita, di sekitar danau Tondano dahulu kala pernah terjadi pertengkaran antara dua orang laki-laki. Dorang dua bakalae akang tu satu parampuang. Tu satu tuama yang de pe nama Lintang, kalah bersaing. Akhirnya tu satu bawa tu parampuang ka satu tampa di pinggiran danau Tondano. Mar Lintang nda putus asa. Dia iko di mana dong da pigi akang. Dalam keputusasaan da ba cari, dia toki-toki tu bodi prao pe diding. Dia dengar ada nada. Abis itu dia susung brapa bilah kayu kong dia toki-toki. Sementara dia ba toki-toki, tu cewe’ dapa dengar. Dia cari tau di mana tu sumber bunyi, ternyata kote’ tu Lintang yang ja ba toki. Waktu dia lia, dia bilang ‘oh, ko reen Lintang’. Maksudnya, ‘ngana reen Lintang’. Deri situ kolintang bermula,” kisah Elean yang menurutnya telah ia dengar turun-temurun dari para orang tua.
Tuama kelahiran Tondano 12 September 1955 ini meceritakan kalau dia pernah membaca sebuah buku tentang musik kolintang. Di situ diceritakan, awalnya kolintang hanya terdiri dari beberapa potong kayu yang diletakkan berjejer di atas kedua kaki pemainnya dengan posisi duduk di tanah, dengan kedua kaki terbujur lurus ke depan. Dengan berjalannya waktu, kedua kaki pemain diganti dengan dua batang pisang, atau kadang-kadang diganti dengan tali. Sedangkan penggunaan peti sesonator dimulai sejak Pangeran Diponegoro berada di Minahasa sekitar tahun 1830. Pada saat itu, konon peralatan gamelan dan gambang ikut dibawa oleh rombongannya.
“Orang tua ja cirita, kolintang ini sebenarnya dulu ja pake di acara-acara ritual agama tua orang Minahasa. Jadi, ini musik sebenarnya kuat de pe hubungan deng kepercayaan tua rakyat Minahasa. Kita masih da riki kamari taon anam puluan masih ada itu. So itu, waktu agama Kristen maso ka Minahasa, tu musik ini amper ilang. Deri, mulai tu zendeling-zendeling ja larang tu ritual-ritual, tu kolintang lei mulai ta brenti. Kita pe tamang yang da teliti soal kolintang ini, dia bilang sekitar sratus taon tu kolintang rupa da ilang,” ungkap suami dari Jeane Warouw ini.
Lebih lanjut Elean mengisahkan, sesudah Perang Dunia II barulah kolintang muncul kembali. Pelopornya adalah Nelwan Katuuk. Ia adalah seorang yang menyusun nada Kolintang menurut susunan nada musik universal. Pada mulanya hanya terdiri dari satu melodi dengan susunan nada diatonis, dengan jarak nada 2 oktaf, dan sebagai pengiring dipakai alat-alat “string” seperti gitar, ukulele dan stringbas.
Tahun 1954 kolintang sudah dibuat 2 ½ oktaf (masih diatonis). Pada tahun 1960 sudah mencapai 3 ½ oktaf dengan nada 1 kruis, naturel, dan 1 mol. Dasar nada masih terbatas pada tiga kunci (Naturel, 1 mol, dan 1 kruis) dengan jarak nada 4 ½ oktaf dari F sampai dengan C.
Pengembangan musik kolintang tetap berlangsung baik kualitas alat, perluasan jarak nada, bentuk peti resonator (untuk memperbaiki suara), maupun penampilan.
“Dulu kwa tu kolintang cuma depe melodi tu ja pake kong sama-sama deng orkes. Jadi dimainkan deng alat-alat musik laeng. Taon tujuh puluh kita so ja main grup kolintang yang torang ja bilang kolintang melulu sama deng skarang. De pe perkembangan kolintang memang ja iko tu perkembangan musik universal,” jelasnya.
“Skarang kolintang torang ja biking so sampe enam oktaf dengan chromatisch penuh. Tu Om Nelwan Katuuk pe jasa, dia tu da kembangkan ensambel musik kolintang deng menetapkan nada-nada chromatic deng diatonik. Menurut cirita, dia yang kreasikan kolintang tradisional berupa orkes yang menggabungkan alat musik kolintang yang diciptakan deng musik laeng sama deng gitar, ukulele ato juk, string bass tradisional. Makanya dia da dapa penghargaan deri Presiden Soekarno taong 1963 kong akui kalu dia pencipta musik kolintang,” terang pria yang memiliki bakat musik alami dan dapat memainkan berbagai alat musik ini.
Kolintang Lengkap dan Rahasia Memilih Kayu
Perangkat musik kolintang terdiri dari beberapa bagian. Satu set alat musik kolintang pun terdiri dari beberapa alat dan setiap alat memiliki namanya masing-masing.
“Torang kwa biasa kalu ja bilang main lengkap berarti sembilan alat tu mo pake mar enam alat lei sebenarnya so boleh sama deng tu biasa torang ja lia. Tu alat-alat itu lei torang so ja se nama sama deng istilah-istilah musik pada umumnya. Kalu loway itu tu torang ja bilang bas, cella itu tu cello, karua ja bilang tenor satu, karua rua itu tenor dua, uner itu alto satu, uner rua tu alto dua. Ada katelu yang biasa torang ja bilang ukulele ato alto tiga. Ina esa itu tu melody satu, ina rua tu melody dua kong ina taweng torang ja bilang melody tiga,” papar Elean, sembari menambahkan kalau posisi alat jika bermain itu sangat penting.
“Kalu mo ator alat, melody itu musti di muka kong ta tengah. Kalu bas di blakang mar seblah kiri kong tu cello di blakang mar seblah kanan. Tu alat-alat laeng tergantug de pe basar panggung” jelasnya.
Elean menegaskan, bahan dasar kayu untuk kolintang itu tidak sembarangan. Makanya, membuat kolintang bukan hanya membutuhkan keterampilan dan kemampuan musikalitas yang tinggi namun juga pengetahuan yang baik untuk memilih kayu yang tepat. Rahasia memilih kayu untuk kolintang adalah kayu yang jika dipukul dapat mengeluarkan bunyi yang cukup panjang dan dapat mencapai nada-nada tinggi maupun rendah. Tidak semua jenis kayu ternyata bisa demikian.
”Tu kayu kolintang asli maksudnya paling bagus tu torang ja bilang kayu wunud. Tu bagus lei cempaka biasa mar bukang tu cempaka wasian. Boleh lei kayu telor ato mawenang mar kwa nda sebagus wunud deng cempaka. De pe rahasia pilih kayu, cari jenis kayu yang ringan mar cukup padat deng de pe serat kayu tersusun sedemikian rupa membentuk garis-garis sejajar. Soalnya kalu serat melingkar ato ba buku, de pe getaran kurang, jadi de pe suara pende. Satu rahasia lei, kalu ambe kayu, tu bagian ujung voor nada-nada rendah lantaran tu bagian ujung kayu itu renggang de pe serat. Kalu bagian bawah, itu tu ja ambe voor nada-nada tinggi karna padat,” tambahnya.
Kenangan dan Mimpi Seorang Pencinta Musik Kolintang
Adrie Elean adalah salah satu tou (orang/manusia) Minahasa yang telah mengenal dan ikut bermain kolintang sejak kanak-kanak. Bahkan sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP), ia telah memiliki kemampuan untuk membuat seperangkat alat musik kolintang. Di usia remaja ini, dia sangat dikenal karena kemampuannya bermain melody yang luar biasa. Bagi para seniornya, ia merupakan pemain melody yang memiliki karakter tersendiri. Tidak mengherankan jika sejak usia remaja ia telah malang-melintang dalam berbagai iven musik kolintang.
“Deri tahun tujuh puluh kita kwa so bermain di banya grup kolintang bahkan jadi pelatih di berbagai grup, baik di Tondano maupun di tampa-tampa laeng di Minahasa. Cuma sebelum taong tuju tiga kwa masih orkes kolintang. Nanti taong selanjutnya tu kolintang melulu so top di iven-iven. Kita pe grup pertama Esa Rendem di Kuramber Tondano. Torang sering juara. Waktu itu satu Minahasa kenal pa torang. Dari taong tuju ampa sampe akhir taong tuju puluh, nda ada yang ja dapa se kalah pa torang. Samua piala bergilir, bae tingat Minahasa sampe Sulut, mati pa torang,” kenang Elean yang sejak dulu ternyata selalu dipercayakan grupnya untuk memegang melody.
Ia menuturkan, tahun 1976 pernah ada iven tingkat nasional yang diselenggarakan Taman Budaya di Tikala Manado. Grup-grup kolintang se-Indonesia yang berjumlah 40-an, ikut ambil bagian. Grup Mawenang dari Jakarta ternyata menjadi juara saat itu, sementara ia dan grupnya hanya menempati posisi kedua. Selesai iven tersebut, ia dan ketiga temannya diajak untuk masuk dapur rekaman di Jakarta.
“Kita, Fani Lesar, Roy Surentu deng Roby Waney, dorang ajak ka Jakarta mar cuma kita tu nda pigi. Soalnya waktu itu kita masih ta ika kontrak deng banya instansi sama deng BRI, Pengadilan, Kejaksaan, LP (Lembaga Pemasyarakatan), deng banya grup laeng. Tu Rudy, abis deri Jakarta dorang langsung pangge ka Surabaya. So dia tu jadi pelatih grup-grup di sana kemudian. Roy Surentu masih eksis jadi pelatih di skolah-skolah skarang. Kalu tu Fani Lesar, kita baru baku dapa waktu Institut Seni Budaya Sulawesi Utara deng Pa’ Benny Mamoto beking Guinness World Records taong dua ribu spuluh. Dia waktu itu jadi ketua tim juri di lomba. Taong tujuh lima kita lei Om Evert Langkay tu tokoh KRIS pernah pangge mo rekaman di Jakarta mar karna masih baya kontrak, nda ta pigi lei, ” kenangnya.
Elean mengatakan, ada beberapa hal yang sangat berkesan dalam memorinya saat bermain musik kolintang. Di antaranya ketika ia diundang untuk jadi pemain melody saat artis terkenal Rima Melati menyanyi di Hotel Ricardo Winangun. Selain itu, ia pernah ditunjuk menjadi pelatih sekaligus pemain melody anak-anak Panti Asuhan Nazareth pada tahun 1976. Saat itu mereka tampil di hadapan Presiden Marcos dari Filipina yang berkunjung ke Manado. Marcos ternyata sangat terpukau saat ia dan salah seorang anak panti asuhan memainkan berbagai instrumen dengan melody kolintang sambil menutup mata.
Gempuran budaya pop ternyata cukup menggeser musik kolintang. Menurut Elean, tahun 1980-an, anak-anak muda lebih gemar ke disko dan iven-iven musik kolintang berkurang. Belakangan kolintang bahkan sudah tergantikan organ tunggal (digital).
“Dulu, tiap acara ato pesta ada kolintang. Anak-anak suka ba kumpul di tampa latihan. Jadi, kalu nda main kolintang berarti nda gaul. Mar deri taong lapang puluh samua berobah drastis. Taong tujuh puluhan, kalu ja lomba ja sampe lapang puluh grup. Taong lapang puluhan, pembinaan so kurang, kong tu perhatian banya pihak lei so menurun,” ujar pria yang banyak melatih generasi muda hingga di kemudian hari menjadi pelatih sejumlah grup kolintang.
Adrie Elean barangkali bukan seorang yang terkenal atau pun populer di dunia kolintang namun bukan berarti dia tak memiliki jasa sedikit pun di dunia kolintang. Di balik pribadi yang pemalu dan kehidupannya yang sederhana itu, ternyata tersimpan sebuah mimpi yang besar bagi musik kolintang.
“Kolintang itu identitas tou Minahasa, jadi dia musti trus ada. Tu urgen saat ini barangkali tu soal pembinaan. Iven itu penting mar pembinaan berkelanjutan tantu harus diutamakan. Di tiap-tiap wanua (desa) musti ada tampa pembinaan, bukang cuma di skolah-skolah. Itu samua boleh mo jalan kalu pemerhati seni deng budaya, pamarentah deng samua tou Minahasa di mana saja, boleh saling baku tongka mo perhatikan ini Kolintang”. (*)
Editor: Denni Pinontoan
You may like
-
Tanjung Merah Jadi Saksi Papendangan Pinaesa’an Ne Kawasaran Tonsea
-
Tradisi Pertunjukan Lawak Minahasa: Mengorek Ingatan Poke’ke’ dan Ongkor
-
Patik Ni Owak: Ritus Suci, Eksistensi dan Identitas Minahasa
-
Jejak Liberika Tomohon: Sejarah dan Kelahiran Baru di Elmonts
-
Luka Jejak Peradaban Tou Tazataza
-
Luah Use’ban, Heroisme Baraney hingga Kisah Imbit dan Bilong