Connect with us

CULTURAL

Kolintang: Musik Ritual yang Tidak Disukai Para Zendeling

Published

on

29 Oktober 2019


Oleh: Denni Pinontoan


 

Musik ritual yang ditolak oleh para zendeling, aslinya logam atau kayu?  

 

SONDER, JUNI  1831. Ini pertama kali bagi Johan Frederik Riedel dan John Gottlieb Schwarz, dua zendeling asal Jerman yang diutus oleh Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG)  melakukan perjalanan di pegunungan Minahasa. Mereka tiba di pelabuhan Manado pada 12 Juni.

Di negeri Sonder itu, pada suatu malam mereka menyaksikan sebuah pesta panen, sebuah ritual negeri. Pesta digelar di tengah negeri di bawah siraman cahaya bulan yang terang.

“Malam itu saya mendapat kesempatan bagus untuk melihat kehidupan masyarakat. Sebuah festival panen dirayakan,” tulis Riedel seperti dikutip Reinhold Grundemann dalam Levensbeeld van Johann Frederik Riedel uit de Minahassa op Celébes (1874).

Beberapa gadis tampak menggunakan kain warna-warni dan dekorasi bunga bermacam-macam. Di telinga mereka terselip tangkai dan buah padi. Sebuah tarian digelar di pesta itu. Musik bersahut-sahutan.

“Para penari memegang kain di tangan mereka yang dilambaikan bolak-balik…Syair lagu dilantunkan dengan monoton,” tulis Riedel.

Syair lagu-lagu itu berisi doa-doa syukur kepada Sang Khalik yang telah memberi berkat panen melimpah. Sebuah alat musik mengiringi tarian dan syair-syair doa tersebut. Riedel menyebut nama alat musik itu, mengikuti sebutan dari orang-orang Minahasa masa itu,“Kolintang.”

“Kolintang terdiri dari empat simbal yang mengeluarkan suara, dipukul terus menerus dengan tongkat,” kata Riedel.

Nicolaus Graafland, juga salah salah satu zendeling utusan NZG yang bekerja di Minahasa, ketika melakukan perjalanan mengelilingi Minahasa tahun 1859 dan 1860 melihat di sebuah negeri musik kolintang menjadi bagian dari sebuah ritual atau pesta rakyat pada malam hari.

“Maka orang-orang bersorak-sorai dan kolintang berdentang, – saguer menambah kegembiraan,” tulis Graafland dalam bukunya De Minahasa (1869).

Kolintang rupanya adalah alat musik rakyat di masa itu. Setiap pesta rakyat, ritual negeri atau di mana ada banyak orang menyatakaan kegembiraan, musik kolintang selalu hadir menjadi bagian dari dansa-dansa dan keramaian.

Graafland menggambarkan suasana malam di Tomohon di tahun 1859.  “Pada waktu malam orang mendengar tumbukan padi atau milu, jagung, yang dilakukan di beberapa pekarangan rumah.”

Lalu lanjut Graafland, di satu tempat terdengar suara musik. “Agak lebih jauh terdengar juga bunyi gong dan kolintang, yang sering dimaikan juga oleh orang tua atau anak muda, tanpa ada alasan untuk mengadakan acara pesta.”

Pada bulan purnama atau di saat bulan bercahaya terang, kaum muda berkumpul di tanah lapang, di antaranya ada kelompok yang melakukan tarian makaria atau tarian persahabatan.

“Anak-anak muda berkumpul di lapangan mengelilingi tiang bendera masih bermain-main teriak-teriakan dan jerit-jeritan bersama-sama, dan masih akan meneruskannya hingga larut malam,” tulis Graafland.

Di Tondano khususnya, terdapat tarian maramba. Tarian makaria dan maramba, keduanya dilakukan sambil menyanyikan syair-syair. Di hampir seluruh Minahasa terdapat tarian perang kawasaran. Pengiringnya adalah musik instrumental kolintang.

Sebuah sketsa koleksi A.B. Meyer dan O. Richter dalam Celebes I: Sammlung der Herren Paul und Fritz Sarasin aus den Jahren 1893-1896 (Dresden: Stengel, 1903) menampilkan gambar orang bermain kawasaran yang diiringi musik kolintang gong.

Kata Graafland, alat musik kolintang yang dimainkan itu hanya terdiri dari empat nada. Menurut penilaiannya, ada kalanya, suara yang dikeluarkan sempurna. Namun, sangat jarang sekali ada variasi.

“Maka pernah saya beberapa kali mendengar suara yang menyenangkan dari kolintang, tetapi umumnya musik itu bersifat senada, menjengkelkan, dan mematikan semangat,” ungkap Graafland.

 

Kolintang Logam atau Kayu?

Catatan Yoost Kulit, penerjemah buku De Minahassa karya Graafland tersebut menyebut, kolintang yang disebut oleh Graafland di masa itu terbuat dari logam, bukan kayu. “Bukan kolintang seperti sekarang ini terbuat dari kayu tertentu, yang cukup bernada,” kata Kulit.

Apa yang disebut oleh Riedel maupun Graafland, tampaknya memang itu menunjuk pada kolintang logam. Adatrechtbundels – xxxi tahun 1929 juga memberi petunjuk yang sama, bahwa kolintang di masa itu terbuat dari logam.

Remy Sylado dalam Minasalogi dalam Fiksi: Perempuan Bernama Arjuna (2017) menyebutkan, kolintang yang serba kayu seperti yang dikenal sekarang adalah temuan Nelwan Katuuk. Sebuah sumber menyebutkan, itu di sekitar tahun 1939 di Tonsea.

“Kolintang Nelwan Katuuk ini tidak sama dengan kolintang asli Minahasa yang berbentuk sama dengan kolintang di Pulau Cebu, dan berskala pentatonik re-mi-sol-la-si,” tulis Sylado.

Dalam bukunya, Graafland memberi petunjuk sikap mereka sebagai zendelingnya terhadap alat musik kolintang yang terbuat dari logam sebagai bagian dari ritual atau foso. “Itu semuanyalah yang merupakan berbagai hiburan Minahasa pada masa lalu….Juga bukan karena ada usaha yang dilakukan, untuk membasmi sesuatunya: Kehadiran kita bukanlah sebagai orang perusak, Vandalden. Tetapi banyaklah yang telah hilang dengan datangnya dan menerobosnya agama Kristen, dengan kuasa roh Kristus, yang membersihkan, menyucikan dan memuliakan,” jelas Graafland.

Alat musik kolintang logam salah satu yang tidak disukai dalam keseluruhan penolakan para zendeling terhadap praktek foso. Penjelasan Graafland tersebut memberi petunjuk, bahwa di pertengahan abad 19 ada upaya dari para zendeling untuk menghilangkan tradisi foso, yang di dalamnya alat musik kolintang.

Maka, untuk beberapa waktu lamanya, kolintang gong mengalami kesulitan untuk hadir dalam pesta-pesta rakyat Minahasa. Tapi itu tidak berarti kolintang benar-benar dilupakan. Surat kabar Java-bode pada edisi 18 Februari 1888 memberitakan laporan wartawannya mengenai sebuah pesta pada salah satu negeri di Minahasa yang menampilkan kolintang.

Setelah Perang Dunia II, kolintang benar-benar muncul lagi. Seorang yang dihubungkan dengan bangkitnya kembali kolintang adalah Nelwan Katuuk. Kali ini ia terbuat dari kayu, seperti yang dikenal sekarang.

Namun, banyak orang di Minahasa meyakini, bahwa kolintang asli dari zaman leluhur benar-benar terbuat dari kayu. Pendapat ini mungkin juga benar. Tapi sekarang rasanya orang-orang kebanyakan tak lagi memusingkan, apakah logam atau kayu. Satu hal yang dipentingkan sekarang, musik kolintang dapat dikembangkan untuk semakin populer dan memiliki kelas internasional.(*)

 

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *