FEATURE
Kolongan: Negeri Para Kapster Legendaris
Published
6 years agoon
By
philipsmarx14 Januari 2019
Oleh: Rikson Karundeng
Tempat pangkas rambut di Kolongan benar-benar menjadi zona ‘netral’. Ruang tanpa baku tembak antara Permesta dan APRI.
RUANGAN SEKIRA 5 x 7 meter itu terlihat ramai. Warga yang ingin rambutnya tampak indah antri menunggu dilayani. Mereka bergegas karena hari mulai malam. Sedikit lagi momen spesial, pergantian tahun, 2018 menuju 2019.
Jauh dari kesan barbershop mentereng. Tak ada penyejuk ruangan. Apalagi kursi sit back or move back. Tak ada pula waterboard di situ.
Tak tampak barber’s pole, lampu bergaris putih, merah, dan biru, sebagai penanda. Hanya selembar papan bertulis ‘Barber Shop Tomohon’ yang menggantung di atas pintu masuk. Sangat sederhana.
Label barbershop itu seolah isyarat bahwa para kapster di dalam tak hanya sekedar tukang pangkas rambut biasa. Mereka tak hanya mahir menata rambut, tapi sekaligus dapat pula menjadi konsultan bagi para pelanggan untuk mendapatkan model rambut paling cocok. Sementara, kata Tomohon, sebuah identitas. Mau menegaskan jika Kelurahan Kolongan, tempat ia berdiri, berada di tanah tou Mu’ung, orang Tomohon.
Pada hari-hari biasa, tempat cukur rambut di samping jembatan Kolongan ini memang selalu dipadati pelanggan. Apalagi di jelang hari-hari raya, Natal dan Tahun Baru. Sejak matahari mulai menyingsing hingga waktu tengah malam lewat, warga masih mengantri di tempat ini.
“So lapang taon kita bagunting di sini. Kalu orang nda putus-putus datang, satu jam itu tiga sampe empat kepala. Kalau sambung trus sepuluh jam, berarti ada tiga puluh sampe empat puluh kepala. Tapi yang biasa-biasa itu sepuluh kapala satu hari,” ujar Jhony Pongoh (46), salah satu kapster di tempat pangkas rambut pria legendaris di Kota Tomohon ini.
“Kalu hari bagini, jelang natal deng taon baru ato jelang hari paskah deng perayaan 17 Agustus, pelanggan padat. Dulu memang kalu hari biasa, pernah torang ja dapa dua puluh kapala per hari. Skarang, delapan sampe sepuluh. Ini masih lumayan. Kalu anak tiga, bolehlah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” sambung Pongoh yang telah melakoni profesi ini selama 30 tahun.
Kisah yang sama diungkapkan Donny Paat. Kapster yang sudah 8 tahun menjadi mitra Jhony Pongoh itu menuturkan, biasanya kondisi cuaca sangat mempengaruhi pendapatan mereka.
“Torang bakarja satu minggu tujuh hari. Deng hari Minggu maso. Kalu ujang keras kong baangin, cuma ja dapa tujuh sampe delapan kapala. Kalu yang biasa-biasa itu boleh sepuluh sampe lima belas kapala satu hari,” kata Pamsi, sapaan karab Paat.
Diakui, pendapatan paling kecil yang mereka terima pun tetap bisa mendongkrak kebutuhan hidup keluarga.
“Kita blajar bagunting deri remaja. Mulai deri bawah pohong, orang pangge-pangge. Delapan tahun lalu, Om Josh Pioh, pemilik tempat ini mengajak saya bekerja bersamanya. Pendapatan lumayan. Rata-rata tiap hari sepuluh kepala. Kalu mujur, saya bisa dapat sampai enam puluh kepala satu hari,” kata tukang gunting yang mulai belajar menggunakan clipper sejak bekerja di tempat ini.
Paat sangat menikmati pekerjaan yang ia tekuni sekarang ini. Apalagi, banyak hal menyenangkan yang bisa dirasakan di tempat itu.
“Depe sadap, nda ada kurang. Suka apa, pasti ada. Kerja stel sandiri. Kong torang di sini basudara samua tu bakerja. Kita, Jhony, Om Josh, deng Om Josh pe anak dua,” kunci Pamsi.
Profesi Sejak Era Kolonial
Beberapa waktu lalu, warga kelurahan Kolongan Tomohon berduka. Arnoldus Marthin Pijoh, tua-tua kampung, dipanggil pulang Sang Khalik di usia 77 tahun. Saat acara pemakaman, cucunya membacakan daftar riwayat hidup sosok yang dikenal bersahaja itu. Dengan bangga disebutkan, opa-nya dahulu berprofesi sebagai tukang pangkas rambut.
Di rumah duka itu, beberapa warga berkisah, orang Kolongan menjalani profesi sebagai tukang pangkas rambut bukan karena tren barbershop. Menjadi tukang pangkas rambut sudah mereka lakoni sejak zaman gunting ‘per’ atau hand hair clipper, hingga kejayaan clipper. Dari era ‘bacirita di bawah pohong’, sampai masanya men’s grooming kini, orang Kolongan sudah lincah bermain gunting.
Siapa orang Tomohon yang tak pernah datang menata rambutnya di Kolongan? Laki-laki maupun perempuan. Rata-rata “ladies and gentlemen” di kota bunga ini tidak bisa berdusta jika kepala mereka pernah disentuh tangan-tangan jago dari Kolongan. “Ladies and gentlemen” awalnya adalah sebuah satir kepada mereka yang sangat memperhatikan penampilan, termasuk perawatan rambut. Di zaman urban sekarang, sebutan itu sudah dianggap biasa. Rambut terlihat stunning itu lagu wajib. Untuk memenuhi ritual ini, orang Tomohon pasti langsung mengingat Kolongan.
“Bukang sadikit tu orang jadi vasung deng lebe percaya diri setelah bagunting di Kolongan. Deri dulu sampe skarang. Makanya tu tampa-tampa bagunting di Kolongan sangat dikenal,” aku Jeffry Mamuaja, waga Kelurahan Kakaskasen, Tomohon Utara.
Opa Marthin, terkenal sebagai salah satu stylist legendaris di Kota Tomohon. Banyak warga sudah merasakan sentuhan tangannya sejak awal 1960-an.
“Om Marthin itu bagunting usai pergolakan Permesta. Sama-sama dengan ayah saya. Mereka gunting rambut di posisi toko Indah Mebel sekarang. Di pusat kota Tomohon. Jadi mereka bekerja di tempat ayah saya,” tutur Josh Pioh, lelaki berusia 66 tahun itu yang juga dikenal sebagai tukang pangkas rambut senior di Tomohon.
Ia mengisahkan, jauh sebelum era kemerdekaan, di Kolongan telah dibuka tempat pangkas rambut.
“Di Kolongan dulu ada tukang gunting yang dikenal dengan Ahmad tua. Dia dari Jawa. Tapi jauh sebelum itu sudah ada tukang gunting asli Kolongan. Dari masa kapper (istilah Belanda untuk tukang pangkas rambut pria. Untuk perempuan disebut kappertje). Mereka dari keluarga Pioh, Pondaag dan Ponto. Sejak zaman Belanda sudah ada tukang gunting laki-laki deng perempun deri keluarga ini,” beber Pioh, sang pemilik ‘Barber Shop Tomohon’.
“Dahulu profesi ini dijalani secara bersama keluarga-keluarga tertentu. Awalnya memang masih basudara kong baku pangge biking tampa bagunting. Belum ada tampa yang pake merek rupa skarang,” jelasnya.
Keterampilan memangkas rambut diwariskan dari generasi ke generasi. Tiga keluarga tersebut jadi penjaga warisan keterampilan ini.
“Kita belajar deri kita pe Papa, Lukas Pioh. Sejak zaman Belanda dia so bagunting. Jadi saya generasi ketiga. Sebab ayah dari ayah saya, Opa Pioh itu juga tukang bagunting,” terang Om Gode’, sapaan akrab Pioh.
“Kalau saya dari tahun 1968 so bagunting. Dulu torang pe tampa di Toko Indah Mebel skarang. Selalu deri dulu ada tukang bagunting di keluarga pa torang. Sekarang, kita pe anak dua deng kemanakan-kemanakan. Kita pe cucu lei so suka mulai blajar,” katanya dengan bangga.
Tentara Permesta dan TNI, Bagunting Rame-Rame
Perang di era pergolakan Permesta tahun 1957-1961, tak menghentikan aktivitas pangkas rambut di Kolongan. Tempat usaha tetap dibuka. Walau bunyi pelor berdesing di sana-sini.
“Dulu zaman Permesta, tampa bagunting tetap buka. Pa torang di pusat kota, yang di Indo Mebel skarang, buka trus. Kalu babunyi petas-petas kage-kage, langsung basambunyi. Torang so biking lubang tampa basambunyi di situ. Mar lengkali pas baku tembak tu tantara pusat deng tantara Permesta, torang bauni,” kata Josh Pioh.
Hal menarik yang mereka saksikan di era masa perang itu, para pelanggannya adalah tentara Permesta maupun tentara Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI).
“Jadi ada tantara Permesta, ada tantara pusat. Kalu Permesta, dorang gunting Permesta. Model sama deng pimpinan Permesta Ventje Sumual pe rambu. Sekarang ja bilang gunting papang ato gunting speed. Kalu pusat dorang bilang gunting tentara. Memang gunting pende sandar kapala,” papar Pioh.
Tempat pangkas rambut di Kolongan benar-benar menjadi zona ‘netral’. Ruang tanpa baku tembak antara tantara Permesta dengan tantara APRI. Di ruang itu mereka harus duduk santai untuk menunggu giliran dipangkas rambutnya.
“Kadang ada tentara Permesta bagunting, tantara pusat baantri. Ato sebaliknya. Jadi dorang baantri bagunting. Cuman nda baku tau kalu tentara sto dorang. Ato baku tau mar tampa bagunting katu’ jadi pura-pura nintau,” kata Pioh sambil melepas tawa.
Berbagi Keterampilan Kepada Banyak Orang
Keterampilan memangkas rambut seperti telah mengalir dalam keluarga Pioh di Kelurahan Kolongan, Tomohon. Namun, pengetahuan itu tak disimpan menjadi milik pusaka keluarga. Semangat untuk berbagi dengan siapa saja selalu bergelora dalam dada. Nasihat leluhur jadi motivasi.
“Torang banya kase belajar orang supaya jadi tukang bagunting. Kita misalnya, dari tahun 1980-an so kerja sama dengan dinas tenaga kerja Minahasa deng Manado. Biking pelatihan. Depe tujuan, mo tingkatkan tu tukang gunting di Tomohon. Baik kuantitas maupun kualitas,” kata Josh Pioh.
Banyak kapster di Kota Tomohon kini yang mengawali karir dengan mengecap warisan pengetahuan dan keterampilan dari Om Gode’. Apalagi mereka yang kini membuka usaha pangkas rambut di seputaran Kolongan.
“Rata-rata tukang gunting di Kolongan sekarang itu saya yang ajarkan mereka bagunting. Sekarang ada yang sudah membuka usaha di Manado, bahkan hingga ke luar daerah Sulut. Jadi saya sejak dulu memang mau mendorong agar anak-anak muda kita di Tomohon bisa menguasai keterampilan ini. Paling tidak membantu membuka lapangan kerja bagi saudara-saudara yang lain,” tuturnya.
Sedikitpun tak ada rasa khawatir dalam benak tatkala melatih anak-anak muda menguasai gunting. Pioh yakin, berkat selalu ada untuk orang-orang yang mau berusaha.
“Ketika mulai melatih orang, tak perlu khawair usaha kita nanti tersaingi. Orang kan banyak, baik laki-laki maupun perempuan. Jadi tidak perlu khawatir karena orang yang membutuhkan servis rambut pasti selalu ada,” tandasnya.
Pioh meyakini, semakin banyak orang yang menguasai keterampilan memangkas rambut akan semakin baik.
“Saya latih siapa saja yang minta. Apalagi anak sendiri dan keponakan. Ada bakat, kita mantapkan keterampilan ini ke mereka. Kan lebih banyak orang Tomohon bisa menggunting rambut lebih baik. Jangan orang luar yang justru ambil peluang itu. Kita harus berpikir positif dengan menularkan dan meningkatkan keterampilan ini kepada banyak orang. Masakkan orang Tomohon pe rambu kong orang luar yang gunting. Saya sejak awal bekerja sama dengan pemerintah karena motivasi itu. Agar bisa lebih maksimal melatih orang dan membuka lapangan kerja baru. Kalau samua harus jadi pegawai, sapa lagi yang akan jadi tukang,” ucapnya.
Ditegaskan Pioh, ada kegembiraan dalam dirinya ketika berbagi pengetahuan dan keterampilan dengan sesama.
“Saya senang melihat orang tampak rapih, cantik dan ganteng usai digunting oleh saya. Tapi kegembiraan saya adalah bisa berbagi keterampilan. Mengajarkan orang agar menguasai juga keterampilan yang ada pada saya,” aku Pioh.
Hati tukang pangkas rambut senior ini sangat senang tatkala melihat orang lain maju karena keterampilan yang dimilikinya.
“Saya sangat senang melihat orang maju. Saya sangat senang lihat orang berkembang dari keterampilan ini. Dulu, torang bagunting hanya untuk makan. Tapi hari ini, ada anak-anak yang saya latih sudah bisa menghidupi keluarga, menabung, membeli motor bahkan mobil dari hasil usaha menggunting rambut ini,” ucapnya dengan bangga.
Menurutnya, alasan itulah yang mendorong Pioh untuk ‘memburu’ anak-anak muda pengangguran. Melatih dan mendorong mereka agar bisa mandiri.
“Dari pada cuma tinggal-tinggal di stasion, baku bawa deng tu begal-begal, bapajak. Kalau ada keterampilan kan baik. Saya dulu melirik mereka. Yang di terminal saya ajak, kasih keterampilan. Dulu lawer, eh skarang sudah bisa membeli mobil dari usaha menggunting rambut. Hati saya sungguh senang melihatnya,” tuturnya.
Buah keberhasilan anak-anak yang dilatih Pioh, diakui ikut dinikmatinya kini.
“Jujur, saya ikut menikmati dampak dari hasil kerja mereka. Kalau lihat saya, mereka selalu katakan, tidak akan lupa dengan kebaikan saya. Paling tidak, langsung diajak makan. Hehehe…Sama-sama senang,” kata Pioh dengan senyum.
Ia mengungkapkan, nilai pengetahuan warisan leluhur sesungguhnya motivasi terbesarnya untuk berbagi apa yang ada padanya kepada orang lain.
“Ketika memulai usaha ini, motivasi saya nilai warisan leluhur, si tou timou tumou tou. Kita hidup untuk menghidupkan orang lain. Jadi usaha ini jangan nikmati sendiri. Harus dengan orang lain agar sama-sama bisa rasa, bisa menikmati bersama,” kunci Pioh.
Bertahan di Tengah Perubahan
Dunia pangkas rambut terus mengalami perubahan seiring perkembangan zaman. Baik peralatan yang digunakan maupaun tingkat kesejahteraan. Di Tomohon, para kapster merasakan betul perbedaan itu.
“Dulu masih manual. Pake gunting fer. Malah menggunakan gunting cabang. Sekarang sudah ada clipper, gunting cukur elektrik. Mar koman, dulu kualitas gunting cabang lebih bagus. Ada yang dari Inggris, Jerman, dan Amerika. Sekarang kualitasnya tidak sebaik itu. Dulu kita pakai razor, pisau cukur lipat yang berkualitas. Sekarang kebanyakan kita tinggal menggunakan silet,” kenang Josh Pioh.
Di Tomohon, perubahan besar terjadi di era 1990-an. Para kapster mulai menggunakan clipper.
“Tahun 1980-an clipper sudah ada. Saya beli dari Amerika. Didapat melalui saudara. Tapi clipper mulai dijual di Tomohon nanti tahun 1990-an,” kata Pioh.
Kehadiran clipper benar-benar memberi kemudahan bagi para kapster.
“Perbedaannya, kalau gunting manual dan gunting mesin itu satu berbanding empat. Jadi satu kepala kalau mengunakan gunting cabang, kalau waktu yang sama pake clipper bisa empat kepala. Jauh perbedaanya. Ya, kalau mati lampu, di tempat saya sudah disiapkan genset,” terangnya.
“Dulu gunting sepuluh kepala so blas tu tangan. Skarang, satu hari bisa empat puluh kepala dari pagi sampai malam. Tergantung kemampuan. Di ‘Barber Shop Tomohon’ kalau sudah capek, anak-anak pulang. Kalau saya, masih mampu lima puluh kepala per hari. Jadi dengan peralatan canggih kita bekerja semakin ringan,” jelas Pioh.
Di tempat usaha Om Gode’, jam kerja rata-rata 7 sampai 8 jam.
“Buka biasa jam tujuh ato jam delapan. Kalau waktu tutup kita tidak tentu. Waktu lalu, malam natal kita tutup jam satu malam. Pengalaman ini biasa juga kita alami di malam tahun baru,” kata Pioh.
Kemudahan dalam beraktivitas jelas ikut mendongkrak pendapatan para kapster.
“Alat lebih canggih, pendapaan pasti berbeda. Dulu tahun 1960-an, satu kepala ukuran satu liter beras. Sekarang, satu kepala 25 ribu. Kalu beras 9 ribu per liter berarti so ukuran 3 liter satu kapala. Itu sampe tahun 1980-an. Karna kita masih da rasa 50 sen satu kepala. Era gunting fer tahun 1980-an sampai 1,000 rupiah satu kepala,” kenang Pioh.
Selain tarif semakin tinggi, kuantitas kerja ikut meningkat.
“Dulu satu hari kita melayani sepuluh kepala. Sekarang kan saya lebih banyak mengamati anak-anak bekerja. Kalau mereka masuk terus sepanjang minggu, rata-rata bisa sampai lima belas kepala sehari. Sekarang ada empat orang yang bagunting sama-sama di ‘Barber Shop Tomohon’. Lima dengan saya. Berarti rata-rata 40 sampai 60 kepala setiap hari,” kata Pioh sembari menjelaskan jika kini dia lebih banyak mengatur dari pada turun langsung melayani para pelanggan.
“Saya mulai buka usaha sendiri tahun 1991. Kalau di tempat sekarang baru 5 tahun. Sistem yang kita berlakukan, kalau dapat hasil, saya dibagi tujuh ribu rupiah per kepala. Anak-anak delapan belas ribu rupiah per kepala. Mereka bisa menempati tempat ini dan memakai fasilitas yang ada. Untuk air, lampu kita tiap minggu satu orang kumpul sepuluh ribu rupiah,” jelasnya.
‘Barber Shop Tomohon’ masih bisa tetap eksis di tengah perubahan. Kemampuan memainkan gunting para pekerja di tempat ini jadi salah satu rahasia. Kualitas kerja jadi jaminan bagi pelanggan. Sentuhan tangan Om Gode’ dan kawan-kawan membuat pelanggan tetap setia. Hal itu diakui, Marthen Mumpel. Salah satu tamu tetap di ‘Barber Shop Tomohon’ selama puluhan tahun.
“Dulu, dari waktu saya masih berdinas di penerangan sampai sudah pensiun di dinas perhubungan, selalu mampir di tempat Om Gode’. Sampe skarang tetap bagunting di sini. Dulu, masih di jalan muka dorang. Deri tahun 80-an kita so bagunting di sini,” ungkapnya.
Mumpel mengaku, para pelanggan yang pernah singgah di tempat itu rata-rata langsung merasa cocok. Selanjutnya memberikan kepercayaan untuk menata rambut mereka ke tempat tersebut.
“Kalau saya, jika Om Gode’ tidak ada, pasti kita bagunting pa depe anak. So tacocok. Kalu nda cocok pasti cuma satu kali kita datang. Bagitu lei tu orang laeng,” jelasnya.
Kepuasan adalah yang utama. Pelayanan terbaik dan taiko mau membuat mereka betah. Keterampilan para kapster di tempat itu adalah jaminan utama kepuasan para pelanggan. Itulah mengapa mereka mau mempercayakan penampilan mahkota mereka kepada tangan-tangan terampil di tempat itu hingga puluhan tahun.
Berharap Perhatian
Josh Pioh bersama ‘Barber Shop Tomohon’ kini berkembang. Ada kemajuan-kemajuan yang dapat dicapai. Sentuhan pemerintah ikut dirasakan dalam proses itu.
“Saya mengembangkan usaha dari bantuan pemerintah. Maksudnya, karena usaha ini saya bisa mengakses bantuan dari bank dua kali. Masing-masing lima puluh juta rupiah. Dulu bangunan ‘Barber Shop Tomohon’ dari papan. Sekarang lantainya sudah bisa ditegel. Kita yang bekerja dan pelanggan bisa lebih nyaman. Pemerintah saya pikir mau membantu kita kalau kita mau bekerja sama,” terangnya.
Pioh berharap, masyarakat lain yang ingin mengembangkan usaha, bisa mengecap kesempatan yang pernah ia peroleh.
“Saya berharap peluang-peluang ini bisa diambil masyarakat yang lain. Saya juga berharap, pemerintah tetap selalu berinisiatif menjangkau masyarakat yang punya niat untuk mengembangkan usaha mereka. Termasuk para tukang pangkas rambut,” tuturnya.
Kerja-kerja pemberdayaan masyarakat perlu dilakukan bersama. Masyarakat maupun pemerintah. Termasuk oleh lembaga-lembaga agama. Menurut Josh Pioh, peran pemerintah dan gereja dalam usaha menempa generasi muda untuk mengecap berbagai keterampilan, termasuk memangkas rambut sangat penting.
“Saya pernah mengusulkan ke Sinode GMIM (Gereja Masehi Injili di Minahasa) melalui pengelolah Puskom di Tomohon agar membuka usaha tempat pangkas rambut di sana. Saya bilang ke pengelolah Puskom agar ada satu tempat yang bisa dijadikan tempat pelatihan sekaligus usaha,” ujar Pioh.
“Karena dulu, di GMIM ada tempat pelatihan. Orang-orang dari Papua dan berbagai tempat lain, dilatih keterampilan di sini agar bisa membuka usaha mereka sendiri di tempat asal mereka. Bengkel, tampal ban, tukang jahit baju, pangkas rambut, dulu ada. Sekarang sudah tidak ada lagi program seperti itu. Sayang, padahal itu bagus. Itu akan jadi ruang menempa mereka agar punya keterampilan,” kenangnya.
Menurut Pioh, program GMIM itu merupakan bentuk pelayanan konkrit kepada umat. Sekaligus wujud nyata nilai keminahasan yang ditunjukkan gereja di Minahasa ini.
“Itu bagian dari pemberdayaan warga gereja. Kalau bagi saya orang Minahasa, percuma nasihat hidup orang tua, si tou timou tumou tou, orang hidup untuk menghidupkan orang lain kalau kita tidak mempraktekkan itu,” tandasnya.
“GMIM sebagai gereja di Minahasa harusnya menjiwai nilai itu. Itu kan juga sesuai dengan perintah firman Tuhan. Itu juga sejalan dengan program pemerintah untuk pemberdayaan dan menciptakan lapangan kerja. Jadi bisa jadi salah satu tindakan nyata gereja juga dalam menunjang pemerintah,” paparnya. (*)
Editor: Denni Pinontoan
You may like
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan
-
Aroma Pelanggaran HAM Menyeruak Bersama Bau Busuk di Tanjung Merah
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Gelisah Jurnalis di Sekolah Menulis Mapatik
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa