CULTURAL
Kopi dan Loji Remboken
Published
6 years agoon
By
philipsmarx11 Februari 2019
Oleh: Ivan R. B. Kaunang
Penulis, Sejarawan
Berhembus angin selatan mendera air telaga, menghempas dinding tebing membentuk goa, menabuh suara rembok…
REMBOKEN, begitu nama negeri ini dikenal. Sebuah pemukiman tua di Minahasa yang didirikan pada sekitar tahun 1500 – 1600. Berada di pesisir danau Tondano yang masyhur.
Tempat paling ramai dikunjungi adalah “Sumaru Endo”. Sebuah resort di desa Leleko – Remboken. Dahulu, banyak iven akbar sering dihelat di tempat ini.
Nama Remboken sendiri berasal dari kata Rinembok atau Marembok. Bentukan alam, debur gelombang danau yang menampar tebing-tebing sekitar pesisir danau membentuk goa-goa kecil dan apabila angin selatan bertiup, air danau yang masuk ke dalam goa mengeluarkan bunyi suara seperti Rinembok atau Merembok. Dalam bahasa Rembokan artinya “seperti suara babi yang sedang mendengkur atau marah”. Dari kata itulah kemudian menjadi Remboken. Goa-goa kecil bentukan alam tersebut sekarang ini masih tersisa dan berada di tengah lokasi wisata “Sumaru Endo” sebagai saksi sejarah yang membisu.
Pendeta-Penginjil Nicolaus Graafland, demikian nama yang tidak asing dalam sejarah Minahasa, dikenal sebagai salah seorang yang pernah melakukan perjalanan mengelilingi Sulawesi Utara pada pertengahan abad sembilan belas.
Setiap tempat yang dikunjunginya selalu dicatat dan dibuat deskripsi singkat dan menarik untuk dicatat. Menurut journal Graafland, Remboken merupakan salah satu tempat dari sejumlah tempat yang dikunjunginya. Remboken adalah suatu negeri yang indah pemandangan alamnya, penuh batu-batuan, sumber air panas, dan selain sawah, banyak terdapat perkebunan kopi.
Selain itu Graafland sendiri mengakui bahwa asal-usul penamaan Remboken agak aneh di telinganya. Di lain pihak, pujiannya terhadap negeri ini yang hampir seluruhnya sudah Kristen.
Nama-nama Desa di Remboken
Remboken sekarang ini merupakan salah satu nama kecamatan di Kabupaten Minahasa yang terdiri dari sebelas desa, yaitu Kaima, Kasuratan, Leleko, Parepei, Paslaten, Pulutan, Sendangan, Sinuian, Talikuran, Tampusu, dan Timu. Dari sebelas desa ini, Parepei adalah desa tertua yang didirikan sebelum tahun 1400. Dengan begitu, desa Parepei lebih dulu berdiri dari Remboken sendiri.
Mengenai latar belakang pemberian nama-nama desa barulah dalam pengertian singkat, baik dari segi bahasanya maupun sedikit catatan sejarah. Tentunya ini ada hubungannya dengan kunjungan saya yang sesingkat-singkatnya ke Remboken.
Di mulai dari Desa Kaima. Nama Kaima diambil dari nama sejenis pohon kaema.
Desa Kasuratan dulu adalah satu daerah yang selalu mendapat kiriman surat-surat dari pemerintah kolonial karena di Kasuratan ini banyak terdapat onderneming (usaha-usaha perkebunan, seperti kopi). Kasuratan juga dikenal dengan jenis tetumbuhan yang disebut ‘surat’, sejenis tumbuhan merambat beracun, di Indonesia dikenal sebagai tuba = jenis Derris elliptica Bth., dari anggota suku Fabaceae – Leguminosae.
Nah, katanya juga, orang-orang dari kampung di bawah lereng Tampusu dan Lengkoan datang ke perkebunan Kasuratan mengambil ‘surat’ untuk keperluan meracun ikan di sungai-sungai dan anak sungai-anak sungai yang bertebaran di seputaran Remboken.
Desa Leleko memberi pengertian ajakan atau perintah ‘mari mandi’ atau ‘mandi kau’. Lele’ kou, itu dialeknya ‘mandi kau’! Ada orang-orang menuruni pegunungan dan menyebut ‘Le lake, Le lake.., sambil menunjuk ke arah danau. Di Leleko memang banyak mata air dan tempat permandian air panas dan air dingin. Area ini dulunya digenangi air danau, rawah-rawah di sana-sini ditumbui rumbia. Nanti ketika danau dikeruk, air surut, kemudian orang-orang mulai mendiami Leleko.
Desa Parepei sangat berhubungan dengan bunyi air di pesisir danau. Dinamakan demikian karena bunyi suara air yang keluar “prep… prep”. Ada juga sumber yang mengatakan lain, Parepei berasal dari kata sanga-pare yang artinya satu genggam butiran padi yang isinya sangat banyak, setangkup mayang padi, setangkap genggam padi dalam telapak tangan.
Selanjutnya desa Paslaten. Hampir di seluruh pelosok Minahasa ada desa Paslaten. Nama Paslaten artinya di antara dua desa. Pa’ selaten, bermakna diselipkan di antara dua benda. Ada juga tetua kampung yang bilang bahwa ada Opo atau leluhur bernama Paslaten.
Desa Pulutan, nama kampung ini berasal dari kata pinulutan, artinya tempat berkumpul. Dahulu pernah terjadi konflik kecil di antara orang Kawangkoan-Tompakewa dengan orang Remboken. Pulutan adalah tempat berkumpulnya orang-orang Remboken dalam menghadapi ekspansi Tompakewa. Ada juga yang menyebutnya lain. Pulutan dari kata pulut yang artinya tanah. Terkenal sebagai desa pengrajin gerabah dari tanah liat yang menurut penelitian tahun 1990-an, kualitas tanahnya lebih baik dari tanah liat yang ada di Jawa. Hasil-hasil gerabah Desa Pulutan sudah terkenal ke mancanegara.
Desa Sendangan dari kata sumandengan, artinya “mari ke arah timur’. Lokasi sendangan berada pada posisi di sebelah timur dilihat dari Parepei.
Desa Sinuian asal kata sinu’i. Istilah sinuai ada hubungannya dengan sejumlah pengayau atau pengambil kepala manusia di era Minahasa tempo dulu, yang pada saat itu sering datang ke pesisir Remboken. Akhirnya kepala mereka dipotong penduduk setempat. “Endo’an ne kokong”. Begitu penduduk membacakan mantra dan memotong kepala-kepala para perompak itu.
Desa Talikuran berasal dari kata minatalikur. Artinya tempat memisahkan diri atau dari desa itu mereka memisahkan diri untuk mendirikan pemukiman baru.
Desa Tampusu berasal dari dua kata yakni tam, artinya seperti, menyerupai, serupa, dan pusu artinya jantung. Jadi Tampusu artinya ‘seperti jantung’. Dalam cerita masyarakat, dahulu ketika terjadi peristiwa banjir besar, puncak Tampusu tidak tergenang air. Bagian itu tampak seperti jantung bila dilihat dari Tomohon.
Desa Timu atau Timur adalah suatu nama yang sedikit romantis kedengarannya. Masyarakat berkisah, bila angin selatan bertiup maka pohon-pohon yang berada di pesisir danau mengarah atau roboh ke timur.
Di Remboken, Penanaman Kopi Pertama di Minahasa
Dalam sejarah Minahasa, tanaman kopi pertama kali ditanam di wilayah Remboken pada tahun 1796. Bibit kopi tersebut didatangkan dari Jawa oleh seorang yang bernama Bastian Enoch.
Dapat dipastikan penanaman awal dilakukan di bawah kaki Gunung Lengkoan atau yang sekarang masuk wilayah Desa Kasuratan. Hal ini dimungkinkan karena asal-usul nama Kasuratan ada hubungannya dengan banyaknya surat-surat yang masuk ke Kasuratan kepada pemilik-pemilik onderneming dahulu kala. Tanaman kopi mulai meluas peranannya di bagian tengah Minahasa sekitar tahun 1809, yang pada masa itu penduduk mulai menanam kopi secara sukarela. Pada tahun 1817, di wilayah tersebut dijumpai sekitar 80 ribu pohon kopi.
Sesudah peralihan kekuasaan di Minahasa dari pemerintah Inggris ke pemerintah kolonial Belanda, penanaman kopi mulai dilakukan di seantero Minahasa tanpa mempedulikan keadaan tanah yang cocok, iklim dan ketinggian.
Wessels (1891) mencatat, ekspor kopi tahun 1818, 1819, 1821, 1822, dan 1829 berturut-turut dalam ukuran pikul, 200, 200, 300, 250 dan 600 pikul. Taulu sendiri mencatat hasil kopi tahun 1818, 1829, 1821, dan 1822 berturut-turut 200, 250, 200 dan 600 pikul. Harga sepikul ditetapkan f.10,- yang beratnya sekitar 61,75kg.
Monopoli kopi oleh pemerintah kolonial mulai dilaksanakan pada tahun 1822 dan sangat terasa pada tahun 1824 ketika cultuurestelsel (penanaman kopi wajib – paksa) mulai diterapkan. Seluruh hasil panen kopi harus dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah ditetapkan.
Cultuurestelsel baru berakhir dan dihapus tahun 1899. Sampai pada masa ini, pemerintah kolonial tetap berusaha mendorong penanaman tanaman selain kopi untuk diekspor, seperti cokelat, pala, hasi tenunan, termasuk membujuk penduduk menanam padi sawah.
Secara ekologi, kopi baik ditanam di daerah dataran tinggi seperti sekitar danau Tondano yang keadaan alamnya sangat menunjang. Pada masa itu, daerah Tondano keadaan alamnya memang iklim dan tanahnya menunjang bagi pertanian, utamanya tanaman kopi dan palawija. Tondano merupakan bagian dari Minahasa yang paling padat secara tradisional baik untuk penanaman kopi maupun untuk membangun sarana dan prasarana penunjang seperti membangun gedung penampungan kopi atau loji.
Kopi Remboken dari segi ekonomi hasilnya tidak terlalu rendah. Banyak pejabat Belanda mengakui bahwa “kopi Manado” jauh lebih baik kualitasnya daripada kopi Padang atau kopi Jawa, sampai paruh kedua abad Sembilan belas. Dari segi kualitas atau sejumlah produksi, kopi Minahasa masih jauh dibanding Padang yang rata-rata menghasilkan 191.000 pikul per tahun dan Jawa yang mencapai dua juta pikul per tahun.
Loji Remboken
Tidak hanya di Tondano yang mempunyai loji yang umurnya sudah ratusan tahun, loji Tondano diperkirakan berumur 200 tahun lebih. Loji Remboken dapat dikatakan umurnya sezaman dengan loji Tondano. Loji Remboken merupakan salah satu bangunan antik yang terbuat dari kayu sebagai salah satu saksi sejarah zaman keemasan Remboken masa lampau.
Dapat dikatakan loji ada hubungannya dengan melonjaknya produksi padi maupun kopi di Remboken. Loji digunakan sebagai tempat penyimpanan atau gudang, ukurannya cukup besar dari rumah tinggal biasanya. Di Remboken sendiri, loji tersebut juga rumah godong atau gudang.
Beberapa waktu lalu, loji Remboken masih berdiri tegak, tampak terpelihara karena dimanfaatkan sebagai SD GMIM 1 Remboken. Luas gedung kurang lebih 25×30 m, balok-balok kayu yang panjang tanpa sambungan dan besar diameter 30×40 cm. Loji ini berdiri di atas tiang penyangga beton setinggi kurang lebih 75 cm, dilengkapi sejumlah jendela yang cukup besar yang dapat dimasuki seekor kuda. Bentuk luarnya secara fisik tidak banyak mengalami perubahan, hanya atapnya saja sudah diganti dengan seng.
Tepat bersebelahan dengan rumah loji ini, sebuah rumah adat Minahasa yang ukuran luasnya hampir sama dengan loji. Umur rumah adat ini diperkirakan sezaman, hanya memang telah ada perbaikan di sana-sini karena dijadikan rumah tinggal. Sayang, beberapa tahun lalu loji ini telah dibongkar.
Remboken Negeri Kawatuaan
Jika anda baru pertama kali ke Remboken, kesan anda yang pertama selain pemandangan alamnya yang indah, adalah banyaknya bebatuan yang berserakan memenuhi seantero desa-desa di Remboken. Itulah sebabnya Remboken disebut negeri kawatuaan atau banyak batu.
Menurut yang empunya cerita, seperti ditulis Graafland, batu-batu tersebut bisa berada di Remboken karena ada kejadian alam yang luar biasa. Masyarakat mengisahkan, dahulu ada seorang pandai besi yang bernama Soputan. Ia sangat membutuhkan batu bara dalam jumlah banyak dan ia harus mengumpulkannya dari berbagai tempat, termasuk di luar Remboken sampai jauh ke gunung Mahawu. Tapi sayang seorang pandai besi di gunung Mahawu yang bernama Rumengan merasa terganggu dengan kehadiran Soputan dan perang pun tidak terelakkan.
Salah seorang utusan Soputan yang telah banyak mengumpulkan batu bara ketika berada di ketinggian Remboken tiba-tiba dikagetkan dengan kehadiran utusan Rumengan dari Mahawu. Utusan Rumengan langsung melemparkan pohon kayu besar ke arahnya. Dan seketika itu juga ia melompat dan menjatuhkan semua batu bara yang telah dikumpulkannya lalu melarikan diri. Batu bara itu kemudian menjadi batu biasa sampai sekarang. Itulah kisahnya sehingga Remboken disebut negeri Kawatuaan.
Remboken sebagai Titik Pusat Bumi
Menurut masyarakat, zaman dahulu jika terjadi gempa bumi di Minahasa, di Remboken tidak terasa guncangannya. Menurut yang empunya cerita seperti yang ditulis Graafland, ini ada hubungannya dengan Opo atau leluhur Makalawang yang tinggal di bawah bumi.
Opo Makalawang sangat gemar daging babi sehingga dengan satu sayatan membuat bekas luka pada babi. Luka pada kulit babi yang mulai sembuh tersebut terasa gatal dan enak digosok-gosokkan pada sebuah tiang besar di perut bumi. Gesekan itu menimbulkan goncangan sampai ke permukaan bumi dan terjadilah gempa.
Konon, jika terjadi gempa dahsyat sekalipun, di Remboken tidak akan begitu terasa. Sebab, Remboken tepat berada di titik pusat bumi. Wallahualam. (*)
Editor: Daniel Kaligis