ESTORIE
Koya, Dotu Regho Puti’an dan Jejak Roong Wangko
Published
6 years agoon
By
philipsmarx
28 Februari 2019
Oleh: Rikson Karundeng
“Dahulu kita sangat patuh pada petunjuk-petunjuk orang tua. Tanda-tanda apa saja yang muncul, misalnya bunyi binatang.”
KOYA, SEBUAH WANUA (desa) yang terletak di sebelah Barat Kota Tondano, Minahasa. Dikelilingi hamparan sawah yang luas, terbentang dari wilayah Timur hingga Selatan. Di daerah Barat sampai Utara, lahan sawah itu saling bergandengan dengan daerah perkebunan dan hutan. Dari wanua ini, terlihat Danau Tondano yang sedikit malu menampakkan wajahnya. Gunung Tampusu, Masarang dan Kelabat bahkan Gunung Soputan, juga bisa terjangkau mata dari tempat ini.
Nama Koya terukir dalam tutur masyarakat Minahasa yang mengisahkan gelora Perang Tondano di tahun 1600-1800. Salah satu pemukiman penduduk yang dibumihanguskan oleh Belanda pada masa itu. Ketika pasukan Belanda mendekati Minawanua, daerah pemukiman tua orang Tondano. Pada 6 Oktober 1808, mereka mendirikan tenda-tenda di sekitaran Tataaran sampai Koya. Koya pernah menjadi salah satu “benteng pertahanan” sekaligus tempat berdiri pasukan Belanda untuk menembaki Benteng Moraya Tondano dengan meriam 6 pond, pada tanggal 23 Oktober 1808.
Di tahun 1809, pemimpin Tondano mendatangkan perahu kora-kora dari Kakas ke Tondano. Kora-kora itulah yang digunakan pasukan Jacob Korompis, untuk menyerang tenda-tenda pasukan Belanda di Koya pada tanggal 14 April 1809. Serangan itu dilakukan pada malam hari. Pasukan Jacob Korompis kemudian berhasil menduduki daerah Koya dan merebut amunisi serta senjata milik pasukan Belanda.
Pitu Ngariwu dan Pos Pengintaian Era Perang Antar Walak
Di bagian Utara Wanua Koya, terdapat daerah yang dikenal masyarakat dengan Saroinsong. Kata yang berarti wadah pengantar air atau bambu yang mewadahi air mengalir dari satu tempat ke tempat yang lain. Orang Minahasa kini biasa menyebutnya pancuran.
Saroinsong adalah tempat yang diyakini menjadi kampung tua leluhur tou (orang) Minahasa yang bermukim di Koya. Salah satu penanda yang masih berdiri di tempat itu adalah dua buah waruga (makam leluhur Minahasa yang terbuat dari batu).
“Waruga di Saroinsong ada dua yang masi dapa lia. Dulu rumah-rumah penduduk blum sampe di Saroinsong itu. Masih di pertigaan maso ka sana. Nanti sekarang, perkembangan rumah so sampe di sana,” ungkap salah satu tua-tua masyarakat Koya, Kalfin Ulrich Sethaan.
Waruga-waruga itu bagian yang tak bisa dipisahkan dengan keberadaan para leluhur pendiri Wanua Koya. Hal itu ditegaskan salah seorang tokoh masyarakat Koya, Hendrik Lefrand Oroh.
“Ada waruga di rumah keluarga Sendoh, di depan pastori GMIM ke arah Uluna. Orang Koya tahu itu waruga leluhur-leluhur dulu yang mendirikan kampung,” tandasnya.
Dijelaskan penutur sejarah Koya ini, memang perkampungan Koya dulu ada di daerah yang mereka sebut Saroinsong. Daerah yang ditandai dengan mata air yang hingga kini tetap dinikmati penduduk. Saroinsong merupakan daerah yang dilimpahi air, biasa dilalui penduduk untuk mencapai daerah Uluna (yang tertua). Sumber mata air lain yang ada di Koya.
Wilayah sepanjang Saroinsong hingga Uluna ini biasa disebut leluhur Koya dengan “Pitu Ngariwu”.
“Di Saroinsong sampe Uluna, itu orang tua pe julukan Pitu Ngariwu (Tujuh Ribu). Itu menurut penjelasan orang tua, kan dulu di Minahasa sering ada perang antara Walak (Sebuah persekutuan hukum atau persekutuan kekerabatan. Sebuah wilayah yang terdiri dari beberapa wanua).
Sebelum penjajah masuk, orang Tondano dulu tempat tinggalnya di Minawanua. Bukti-bukti sejarah masih ada di situ. Pos pengintaian masa perang antar Walak ada di Koya. Dulu jalur antara Minawanua dengan Koya itu air, daerah danau. Jadi mereka biasa baperahu ke arah pesisir di Koya. Makanya, sungai kecil di ujung Koya namanya Wolean atau Bawole yang artinya baperahu. Itu jalan air yang bisa dimasuki perahu dahulu. Sumber airnya di Saroisong dan Uluna,” jelas Oroh.
Walak Tondano ketika itu sering berperang dengan Walak-Walak Tombulu. Drama saling serang itu berlangsung lama. “Orang Tombulu maso ke sini, biasa diusir orang Tondano. Suatu ketika, ada orang-orang Tombulu yang masuk kemudian orang-orang Tondano seperti biasa berjaga di Koya. Mereka kemudian menyebarkan isu, ‘ngoni brani datang di Tondano, ada pitu ngariwu orang yang bajaga di Saroinsong. Mereka berjaga dari Uluna sampe Wolean’,” tuturnya .
Menurut Oroh, mungkin orang Tondano yang berjaga ketika itu hanya beberapa orang tapi “Pitu Ngariwu” kemudian jadi strategi untuk menghadapi pasukan dari daerah Tomohon. “Ya, mungkin itu psywar. Itu strategi yang dilakukan orang-orang Tondano agar orang-orang Tomohon enggan maju menyerang,” katanya.
Beragam Versi Makna Koya
Kata Koya yang melekat pada Kelurahan Koya Kecamatan Tondano Selatan, Kabupaten Minahasa, memiliki banyak versi yang membuat maknanya pun berbeda sesuai dengan versi masing-masing. Hal itulah yang membuat hingga kini tak ada kata sepakat, satu pengertian soal kata Koya.
Menurut Hendrik Lefrand Oroh, dahulu sudah pernah ada pertemuan-pertemuan untuk membahas pengertian kata Koya namun pertemuan itu tak membuahkan kesepakatan. “Kalau Koya kampung sekarang sebenarnya kurang tahun 1800-an da badiri. Dulu ini cuma tampa babajaga orang Tondano saat menghadapi serangan orang Tombulu. Dari babajaga sampai akhirnya ada yang mulai menetap dan berkembang. Sudah pernah diadakan pertemuan untuk menentukan nama asli Koya karena banya versi menurut orang-orang tua. Namun tidak ada kesepakatan,” kisah Oroh.
Ada versi yang menyebutkan bahwa kata Koya berasal dari Koyan, sejenis bambu. Tapi ada yang menyebutkan istilah itu terkait dengan masa perang antar Walak Tondano dan Tombulu.
“Ada yang bilang, di Koya banya Koyan, bulu. Tapi bukti sejarah sekarang nda ada bulu di Koya. Versi lain, lebih mirip di cerita sejarah. Karena Koya sudah jadi pos utama tempat berjaga, yang biasa datang di pos ini dorang kemudian bilang, kase nama jo kwa tu pos ini. Tapi ada yang menjawab, ‘ko ya’ (terserah saja). ‘Ni ko ya’ (kamu saja). Akhirnya dari situ muncul kata Koya,” papar Oroh sembari menerangkan jika penjelasan soal kata Koya itu sempat ia tulis dalam sejarah Jemaat GMIM Koya.
Versi lain tentang Koya, juga masih terkait dengan peristiwa perang antar Walak dan pos penjagaan orang-orang Tolour di Koya.
“Ada satu versi lagi yang kita pernah dengar, menyebutkan bahwa Koya berasal dari kata ‘Pinakoyakan’. Itu terjadi ketika perang antar Walak itu,” kata Arfin Tompodung, pegiat budaya Minahasa yang aktif dalam Komunitas Tou Muda Toudano ‘PAWOWASAN.
Versi itu dibenarkan Oroh. “Pinakoyakan artinya tampa baku cabik. Di tempat ini pernah terjadi pertempuran habis-habisan,” jelas Oroh.
Batas Tondano dan Tombulu, Medan Perang Hingga Daerah Barter
Kisah perjumpaan damai hingga pertempuran antara orang-orang dari Tondano dengan orang-orang Tombulu masih meninggalkan jejak. Salah satunya daerah Tataaran Dua.
“Tataaran Dua disebut Tombulu Oki. Dorang pe bahasa stengah bahasa Tombulu. Karena yang tatinggal waktu datang kamari tagate deng orang-orang Tondano. Sama jo deng Kampung Jawa Tondano, peninggalan sejarah hasil perjumpaan antara orang-orang Jawa dengan Tondano. Kalau Taataran Dua, itu bukti sejarah hasil perjumpaan orang-orang Tombulu dengan Tondano,” terang Hendrik Lefrand Oroh.
“Sekarang kalau bicara di sana (Tataaran Dua), bahasa Tombulu so baku campur dengan Tondano. Itu semakin terpelihara hingga kini karena sampai sekarang orang Tataaran Dua tetap bapasar di Tomohon,” sambungnya.
Hubungan antara orang-orang Tombulu dengan orang-orang Tondano menjadi semakin dekat ketika tercipta perdamaian. Daerah Tataaran Dua kini kemudian menjadi lokasi barter antara kedua belah pihak.
“Tampa barter antara orang Tomohon dengan orang Tondano itu di daerah SD Negeri Tataaran skarang, di muka gereja GMIM Betlehem. Orang Tomohon datang bawa hasil pertanian, orang Tondano bawa hasil perikanan dari danau. Mereka melakukan barter,” kata Oroh.
Dahulu saat membangun SD Negeri tersebut, para pekerja yang melakukan penggalian menemukan banyak peninggalan tua. “Waktu bagale mo biking pondasi, dapa banya peninggalan-peninggalan sejarah di situ. Baik waruga, maupun berbagai kure’ dan benda-benda peninggalan masa lalu lainnya. Akhirnya kemudian ditutup kembali namun sekolah tetap dibangun. Banyak yang sudah tidak tahu banyak soal waruga di situ. Itu bukti di situ memang pernah menjadi daerah tampa barter sampe jadi kampung. Orang-orang di situ merupakan hasil perkawinan antara orang Tombulu dengan orang Tondano,” jelasnya.
Tataaran sendiri berasal dari kata taar, yang berarti janji atau sumpah. “Sebenarnya, Tomohon berusaha datang sampai Koya. Orang Tondano kemudian user. Di situlah terjadi pertempuran habis-habisan. Orang-orang Tomohon kemudian mundur. Ada versi yang menyebutkan Tataaran itu kemudian jadi batas. Tapi ada yang menyebutkan di situlah tempat terjadi taar, janji atau sumpah antara orang-orang Tombulu dan Tondano untuk tidak melewati batas wilayah masing-masing,” terang Oroh.
“Jadi para leluhur pernah berkomitmen di sana bahwa inilah daerah batas antara wilayah orang-orang Tombulu dan Tondano. Kalau menurut peneliti sejarah Jotje Sendoh, itu memang ada tanda yang orang-orang tua da kase tinggal di atas batu, di daerah atas Uluna. Itu batas antara Tomohon dengan Tondano. Tapi orang-orang tua anggap itu salah sehingga orang tua kase sorong,” ujarnya.
Oroh menegaskan, wilayah Tataaran memang sejak dahulu telah menjadi wilayah konflik antara orang-orang Tondano dan Tombulu.
“Wilayah Tataaran sejak dulu sudah menjadi medan pertempuran dan terus dikonflikkan. Orang Tondano sendiri tetap tegas mempertahankan wilayah itu karena merasa bahwa itu daerah mereka. Sampai sekarang pun memang orang-orang Tondano, Tataaran yang bakobong sampe di belakang Uluna, di blakang Tataaran,” tegasnya.
Dotu Regho Puti’an
Masyarakat Koya kini banyak yang tak lagi mengetahui siapa sebenarnya leluhur-leluhur mereka yang pertama kali mendiami Koya sekarang. Namun julukan-julukan bagi para Dotu itu masih ada dalam ingatan tou Koya. Salah satu figur yang diyakini merupakan tokoh penting dalam pendirian Wanua Koya adalah Dotu (leluhur) Regho Puti’an.
“John Sendoh adalah peneliti sejarah yang banyak memberikan informasi bagi saya. Dia juga orang yang bayak menceritakan info tentang Koya kepada saya. Salah satu cerita yang saya dengar kembali dari John, dahulu para leluhur di Koya tidak disebut namanya tapi julukan-julukan. Ada yang bilang, Dotu yang mulai menempati Koya pertama itu Regho Puti’an. Itu rambutnya putih di tengah dari depan sampai belakang. Makanya ia diberi gelar demikian. Tapi gelar itu juga terkait dengan pengetahuan yang dimiliki oleh Dotu tersebut,” jelas Hendrik Lefrand Oroh.
Dotu Regho Puti’an adalah seorang waraney, ksatria yang memimpin orang-orang Tondano ketika berhadapan dengan orang-orang Tombulu. “Dia pemimpin ketika masa perang antar Walak di Koya. Tampa ba pos orang-orang Tondano yang bajaga di perang itu dahulu ada di gereja Pantekosta ke arah Uluna sekarang. Di puncak itu posnya. Itu memang daerah yang paling tinggi di Koya ketika itu. Dotu Regho Puti’an menjadi pemimpin para waraney yang menjaga pos ketika itu,” jelasnya.
Menurut Oroh, banyak informasi yang hilang terkait keberadaan para Dotu pendiri Wanua Koya. Diakuinya, keengganan untuk mendokumentasikan kisah-kisah itu menjadi salah satu penyebab.
“Harus diakui, kemauan orang-orang tua dulu untuk menulis, kurang. Gara-gara itu, karena data-data kurang maka di suatu masa saya berupaya untuk menulisnya,” aku Oroh dengan nada keluh.
Panibe Uluna dan Roong Wangko
Tidak jauh dari Saroinsong Koya, terdapat sebuah tempat yang sangat dikenal warga Minahasa, terutama orang Tondano. Tempat itu bernama Uluna. Sumber air penting bagi masyarakat Tondano. Di satu masa, tempat tersebut pernah menjadi lokasi favorit bagi warga Tondano untuk melepas penat sambil menikmati dinginnya air Uluna. Di bawah pohon-pohon rindang terdapat sebuah kolam buatan alam. Tepat di titik mata air itu berada. Airnya sangat jernih. Walau kini sudah dihiasi beragam sampah plastik produksi pengunjung tempat ini.
Hanya beberapa meter dari mata air itu, berdiri sebuah situs yang oleh masyarakat Toudano dikenal dengan panibe. Pakar sejarah dan budaya Minahasa, Fendy Parengkuan menjelaskan, panibe atau panimbe adalah batu pendirian kampung yang didirikan leluhur Minahasa. Setelah itu, Watu Panibe menjadi pusat berkumpul masayarakat untuk membicarakan berbagai persoalan bersama. Tapi terutama tempat itu menjadi lokasi pelaksanaan ritual atau upacara di kampung.
“Panibe atau panimbe adalah batu berdiri kampung yang didirikan leluhur Minahasa. Jika ada ritual atau upacara di kampung, itu biasanya beking di panimbe,” jelas Parengkuan.
Panibe Uluna Koya dahulu merupakan tempat sakral, menjadi pusat keramaian tapi kini ia berdiri sunyi sendiri. Hampir tak ada orang yang meliriknya sedikitpun. Oma Rosye Sumarandak (77 tahun), salah satu tua-tua Wanua Koya yang masih mengenal situs itu. “Itu kwa tampa tua-tua dulu. Yang kami tahu, itu batu bertumbuh,” ujarnya.
Menurut Hendrik Lefrand Oroh, panibe Uluna kemungkinan besar merupakan penanda berdirinya pemukiman awal di wilayah itu.
“Namun di dalam kampung Koya sekaranga ada juga batu panibe. Kita tidak bisa memperkirakan mana panibe yang lebih tua. Bisa saja Panibe Uluna adalah penanda berdirinya kampung di era Roong Wangko (daerah peradaban tua di pesisir danau Tondano). Namun Panibe di Koya yang sekarang adalah penanda berdirinya Wanua Koya kini,” kata Oroh.
Melihat kondisi geografis Wanua Koya, Oroh meyakini jika daerah Uluna memang daerah pemukiman tua.
“Memang Koya kan agak tinggi. Koya sekarang merupakan pesisir wilayah danau Tondano purba. Daerah yang menurut tua-tua pernah ada pemukiman tua. Jadi kemungkinan besar daerah Koya sampai Uluna bagian dari kampung tua itu,” ujarnya.
Pegiat Budaya Minahasa, Arfin Tompodung, menegaskan pendapat itu. Panibe Uluna kemungkinan besar bukti penting yang selama ini dicari dari Roong Wangko. Salah satu pemukiman awal Tourikeran atau Tousendangan, yang biasa disebut tou Malesung yang lain dengan Toulour.
“Ada data-data tua yang menuliskan jika ada pemukiman awal orang-orang Tolour pascaperistiwa pembagian di Watu Pinawetengan. Pemukiman itu disebutkan adalah Roong Wangko. Menurut penuturan orang-orang tua di Tondano, Roong Wangko ada di sekitar kaki Gunung Masarang,” terang Tompodung.
Hasil penelusuran ia bersama Komunitas Tou Muda Tolour Pawowasan, daerah kaki Masarang dari Koya hingga Sumalangka terdapat banyak sekali situs budaya. Penanda penting yang bisa membantu untuk menelusuri jejak Roong Wangko.
“Dari Koya sampai Sumalangka banyak sekali situs-situs. Dari hasil pemetaan kita, membandingkan dengan informasi yang diperoleh dari sejumlah narasumber, kemungkinan besar Roong Wangko ada di wilayah ini. Mata air besar ada di Uluna Koya, jadi sementara kami berpendapat jika lokasi itu kemungkinan besar adalah Roong Wangko dahulu. Kerena orang tua kita dahulu selalu memilih pemukiman yang dekat dengan sumber air. Panibe Uluna berarti pusat kegiatan keagamaan masyarakat ketika itu,” papar alumnus Pascasarjana Teologi Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT ) ini.
Batu Pasolongan
Sejumlah masyarakat Tondano menyebutkan jika wilayah Uluna Koya memang merupakan daerah pemukiman tua. Batu Pasolongan adalah salah satu tempat yang sering dikaitkan masyarakat dengan daerah pemukiman tua itu. Hendrik Lefrand Oroh mengungkapkan batu Pasolongan memang sangat mencengangkan orang-orang yang pernah mengunjunginya.
“Batu Pasolongan itu ada di kobong Sosor, di atas Uluna, ke arah Masarang. Semancam goa mar dari batu. Mau bilang bentukan alam, bisa saja tapi bisa juga sengaja dibuat oleh manusia,” terang Oroh.
Mereka yang pernah memasuki tempat itu sering menceritakan tentang bunyi suara-suara tertentu. “Mereka yang sudah pernah masuk selalu menceritakan jika pintu masuknya kecil, di antara batu-batu. Tidak bisa masuk dalam keadaan badiri. Musti basolong. Setelah lewat batu dapan, ada ruangan. Dapat lubang lagi kemudian ada ruangan lain. Jika masuk sampai ke bawah, orang tua-tua sering dapa dengar orang bapanggayung perahu. Dapa dengar so rupa di atas tu danau Tondano,” ungkap Oroh.
Batu Pasolongan bisa saja pernah menjadi tempat tinggal orang-orang Toudano dahulu. “Suatu masa, batu Pasolongan menjadi tampa pasiar deng tampa cari paniki orang-orang Koya dan orang-orang seputaran Tondano,” kisahnya.
Panibe Koya
Di Wanua Koya, selain Panibe Uluna, terdapat juga situs yang disebut warga sebagai Panibe. Terletak di sebelah Selatan Wanua. Tak jauh dari kompleks pemakaman umum Kelurahan Koya.
“Pe tau kamari tu batu itu so bagitu. Cuma so tatambung. Tu batu depe model sama deng anjing da dudu. Dia dudu, kaki dua balakang talipa tapi kaki depan dua tetap berdiri tegak. Dia menghadap ka arah matahari terbit. Tingginya kurang lebih 1 meter. Dulu muncul di permukaan sekitar 80 cm tapi karena tatimbun trus, dapa lia kacili rupa ini,” kata Kalfin Ulrich Sethaan, sembari menunjukkan sebuah batu yang masih berdiri tegak di halaman belakang rumahnya.
Sejak kecil, anak-anak di Koya sering diperingatkan orang tua untuk tidak bermain di tempat itu. “Sejak kecil, torang orang tua sering peringatkan, ‘ca maayang di situ, awean Panibe’. Jangan bermain di situ kata karena ada Panibe. Kalau menurut kita pe papa, itu batu Teterusan,” kenang Sethaan.
Menurut penuturan orang tua di Koya, dahulu jika ada orang Tondano hendak melakukan aktivitas di luar wilayah Tondano, mereka akan menyinggahi tempat itu untuk melakukan upacara dan mendengar bunyi burung.
“Dulu kalau ada orang Tondano ingin keluar, ke daerah Wenang (Manado) misalnya, dorang mo badengar Manguni dulu di ujung Koya. Sebelum lewat kuala di ujung Koya, dekat Bolevard Tondano sekarang, di situ ada batu panibe juga. Pas di tengah kampung Koya sekarang, di pa keluarga Tampi, ada batu panibe lagi. Tampa dorang badengar akang burung kadua kali. Seingat kita, model batu dua itu sama,” tuturnya.
Tua-tua Koya ini menjelaskan, batu panibe di tengah Wanua Koya itu suatu waktu diangkat warga dan diletakkan di depan jalan. “Skarang kita so nintau tu batu kalu di mana. Tu yang pa torang ini tampa badengar akang burung paling terakhir. Jika tanda manguni, burung bijak itu baik, para orang tua akan melanjutkan perjalanan. Bale dari perjalanan, mereka juga akan singgah di sini dulu untuk kembali menggelar sebuah upacara sebagai wujud syukur kemudian terus ke rumahnya,” kata Opa Sethaan.
“Jadi kalau so ada tanda bagus, mereka langsung bergegas berjalan menuju tempat tujuan. Orang ja bilang, matou (bertumbuh) kwa batu ini. Mungkin bukang batu yang bertumbuh tapi diyakini ketika ada orang datang sini, ada yang bertumbuh, menghidupkan orang-orang itu,” sambung Oma Rosye Sumarandak.
Sampai tahun 1960-an, masyarakat Koya masih menyaksikan ada orang yang melakukan upacara di situs ini. “Terakhir ritual rutin, tinggal dilakukan perorangan oleh orang tertentu. Misalnya ada yang datang berobat. Terakhir torang ja lia tahun 1960-an. Dulu ada Om Nani Polimpung, dia Tonaas . Meninggal tahun 1960-an. Dia mantan Hukum Tua Koya di masa Jepang yang juga Tonaas di kampung. Dia biasa melakukan ritual, memimpin ritual di kampung ketika itu,” tutur Hendrik Lefrand Oroh.
Opa Sethaan menceritakan, Tonaas Polimpung sangat dihormati masyarakat. Apalagi dia biasa membantu mengobati orang yang sakit. “Kalau datang memberi obat bagi masyarakat, biasa dia so ‘taisi’ (trans) akang dulu. Dia kemudian datang ke tempat-tempat yang dianggap sakral di kampung, kemudian menuju rumah orang yang sakit, mengelilingi rumah itu. Kami sering menyaksikan hal seperti itu,” jelasnya.
Kisah yang sama dituturkan Oma Rosye Sumarandak. Masih kuat dalam ingatannya jika Tonaas Polimpung sering membawa tawaang ketika menjalankan ritual. “Lain kali dia upacara di mata air Saroinsong atau Uluna. Berdoa memohon berkat bagi kampung atau mengobati orang. Dia biasa ‘ba ator’ di situ, kemudian bapangge. Bahasa tua di sini, masempe. Dia memberi hormat kepada Yang di Atas, termasuk pa leluhur. Kalu dia ba kase ubah orang, dia biasa bawa tawaang kemudian memukul-mukulkan tawang itu,” jelasnya.
Di masa itu, Tonaas Polimpung biasa berjalan mengelilingi Wanua Koya sambil menggenggam tawaang saat melakukan ritual. “Orang-orang ketika itu biasa saja menyaksikan itu. Dahulu kita sangat patuh pada petunjuk-petunjuk orang tua. Tanda-tanda apa saja yang muncul, misalnya bunyi binatang, tetap kita akan berhati-hati. Kalau baru mo keluar rumah, torang babrenti sadiki kalu ada yang babersin di muka. Orang Tolour bilang mewaan. Brenti sadiki untuk tenang dan konsetransi agar waspada dalam perjalanan nanti. Tapi sekarang, orang tidak peduli lagi. Mereka pikir, ya hanya bersin masakkan mau dipercaya,” ungkapnya.
“Mereka memang tidak lagi memahami maksud baik para leluhur mengajarkan tanda-tanda itu. Sekarang dorang so nda ja pake tu tanda-tanda alam. Kalu mo kaluar kong tu babersin dari belakang, langsung bajalan. Orang tua bilang bajalan cepat jo dengan semangat mo melakukan apa tu maksud mo kaluar karena tu sukses dengan berkat so batunggu pa torang,” kata Oma Sumarandak sembari melempar senyum tipis.(*)
Editor: Andre Barahamin