Connect with us

ECONEWS

Krisis Air se-Dunia: Gereja Terpanggil Merefleksikan Air dalam Minggu-minggu Sengsara

Published

on

23 Maret 2019


Oleh Denni Pinontoan


Masyarakat dunia sedang mengalami krisis air, gereja dan orang-orang Kristen sedunia dipanggil untuk menghayati minggu-minggu sengsara Yesus Kristus dalam refleksi tentang air

 

BAPURAO TAJNE adalah seorang buruh harian di Negara Bagian Maharashtra, India. Dia menggali sumur sendiri. Menggalinya selama 40 hari berturut-turut. Tajne dan istrinya tidak punya akses ke sumber air bersih di tempat dia tinggal. Sebabnya, ia dan istrinya berasal dari kaum Dalit, kasta terendah di India.  Akses terhadap air bersih menjadi bias identitas kasta karena kelangkaan air di tempat tinggal Tanje.

“Saya pulang ke rumah pada bulan Maret dan hampir menangis. Saya memutuskan untuk tidak pernah meminta air dari siapa pun … Saya hanya ingin menyediakan air untuk seluruh wilayah saya sehingga kami orang Dalit tidak harus meminta air dari kasta lain,” kata Tajne.

Demikian sebuah kisah yang disampaikan Bishop Dr Geevarghese Mor Coorilos, pada refleksi  dalam kegiatan Ziarah Keadilan dan Perdamaian DGD dan kampanye “Tujuh Minggu untuk Air”  di  Chiang Mai, Thailand pada 11 Maret lalu. Bishop Dr Geevarghese Mor Coorilos adalah moderator pada Komisi Misi dan Penginjilan DGD yang berasal dari Gereja Ortodoks Suriah Jacobite di India.

Bishop Coorilos mengutip kisah itu dari artikel The Indian Caste System and Water: Man Digs Well For Wife termuat pada situs drop4drop.org (19 Maret 2019).

Menurut Bishop Coorilos, orang Dalit, terutama kaum wanitanya mengalami diskriminasi dan penolakan setiap hari di India. Sumur publik adalah tempat-tempat di mana para Dalit tidak diberi akses untuk memperoleh air bersih.  Kasus ini umum terjadi di banyak tempat di India.

“Akses ke air terutama air minum terus menjadi masalah keadilan sosial-sosial untuk Dalit,” kata Bishop Coorilos.

Secara harafiah ‘Dalit’ berarti “rusak” atau “tertindas”. Kaum Dalit merujuk pada orang-orang yang pernah disebut “tak tersentuh”, karena mereka berada di luar sistem Hindu Varna. Dalit adalah kasta terendah masyarakat India. Mereka mengalami diskriminasi dalam sebagian besar aspek kehidupan, yaitu: pendidikan, fasilitas medis, pekerjaan dan sebagainya.

Sekitar 167 juta populasi India berasal dari kaum Dalit di India. Itu sama dengan 16% dari total populasi. Komunitas Dalit dibagi menjadi beberapa sub-kasta. Mereka bekerja sebagai penyapu jalan, tukang sepatu, pekerja pertanian (3/4 dari masyarakat) dan ‘pemulung’ (sekitar 1 juta orang). ‘Pemulung’ dianggap yang terendah dan bertanggung jawab untuk menggali kuburan desa, membuang hewan mati, dan membersihkan kotoran manusia.

Ketika Tajne mulai menggali sumur, masyarakat sekitarnya mengejek dia. Tapi ia tak peduli. Ia terus menggali  tanah yang berbatu di mana tiga sumur dan sumur bor sudah mengering.

Tajne belum pernah menggali sumur sebelumnya, tetapi mencurahkan enam jam sehari untuk tugas itu, selama empat puluh hari tanpa bantuan. Dia menggali selama empat jam sebelum pergi bekerja di tempat dia bekerja.

Dia menggali selama dua jam setelah hari kerja. Tajne melakukan pekerjaan itu 14 jam sehari tanpa istirahat selama 40 hari.

“Sulit untuk menjelaskan apa yang saya rasakan pada masa itu. Saya hanya ingin menyediakan air untuk seluruh wilayah saya sehingga kami orang Dalit tidak harus meminta air dari kasta lain,” kata Tajne.

Tapi upayanya tidak sia-sia. Berkat kerja keras Tajne, masyarakat di tempat keluarga tinggal kini dapat  menikmati air. Mereka tidak perlu lagi mengemis air.

***

Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD) melalui Ecumenical Water Network (EWN) mengundang gereja dan orang-orang Kristen se-dunia menghayati minggu-minggu sengsara Yesus Kristus tahun 2019 ini untuk merefleksikan tentang air. Menurut tradisi Kristen, minggu-minggu sengsara adalah untuk mempersiapkan perayaan kematian dan kebangkitan Kristus.

Sejak tahun 2006, DGD melalui EWN, merefleksikan air secara teologis berangkat dari kenyataan, bahwa  akses ke pasokan air tawar telah menjadi masalah mendesak di seluruh planet ini.

“Kelangsungan hidup 1,2 miliar orang saat ini dalam bahaya karena kurangnya air dan sanitasi yang memadai. Akses yang tidak merata ke air menyebabkan konflik di antara orang-orang, komunitas, kawasan dan negara,” demikian Statement on Water For Life DGD tahun 2006.

Pernyataan ini dirumuskan pada sidang majelis DGD di Porto Alegre, Brasil 14 sampai 23 Februari 2006. “Air” adalah salah satu isu masalah lingkungan yang dibahas pada sidang ini. Pembahasan ‘air’ diarahkan untuk pengakuan atas martabat dasar yang diperlukan bagi kehidupan manusia. ‘Air’ adalah metafora simbolis yang digunakan untuk mengekspresikan iman Kristini.

Sidang DGD ini berpendapat bahwa, krisis air disebabkan peningkatan penggunaan air untuk pertanian, industri yang tidak berkelanjutan, pengundulan hutan dan degradasi lahan. Semua itu telah mengubah siklus air, konsumsi berlebihan, limbah, polusi dan pertumbuhan populasi.

“Setiap salah satu dari faktor-faktor ini adalah hasil dari perilaku manusia yang mempengaruhi bumi,” demikian pendapat DGD.

Disebutkan juga, keanekaragaman hayati sedang terancam oleh penipisan dan polusi sumber daya air tawar atau melalui dampak bendungan dan penambangan skala besar.

“Integritas dan keseimbangan ekosistem sangat penting untuk akses ke air. Hutan membangun bagian yang sangat diperlukan dalam ekosistem air dan harus dilindungi. Krisis ini diperburuk oleh perubahan iklim dan semakin diperparah oleh kepentingan ekonomi yang kuat.”

DGD juga berpendapat, air kini telah menjadi barang komersial, yang distribusinya ditentukan oleh pasar.

Pada minggu-minggu sengsara Yesus Kristus gereja dan orang-orang Kristen menghayati imannya dalam puasa untuk pertobatan dan menguduskan diri kepada Tuhan. Dalam penghayatan ini, menurut DGD-EWN, sesuai tradisi Kristen, air dimaknai memiliki makna spiritual yang kuat sebagai anugerah Allah. Pemahaman teologis ini menjadi dasar untuk menghayati kelangkaan sumber daya air yang dialami oleh miliaran orang di banyak tempat bumi ini.  Kampanye “Tujuh Hari untuk Air” telah dilaksanakan oleh DGD-EWN sejak tahun 2008.

Ziarah Keadilan dan Perdamaian DGD tahun 2019 ini fokus di wilayah Asia. Dengan demikian, menurut DGD “Tujuh Minggu untuk Air” (“Seven Weeks for Water”) tahun ini akan membawa gereja dan umat Kristen pada ziarah keadilan air di Asia.

Selama Prapaskah 2019, berbagai kegiatan di sekitar “Tujuh Minggu untuk Air” akan berlangsung di Asia. Kampanye ini telah diluncurkan di kantor CCA (Christian Conference of Asia) Chiang Mai, Thailand pada 6 Maret 2019, tepat di perayaan ‘Rabu Abu’.

***

Setiap tanggal 22 Maret  masyarakat dunia memperingati sebagai Hari Air Sedunia (World Water Day). Peringatan ini bertujuan mengingat dan menghayati betapa pentingnya keberadaan air bersih bagi seluruh penduduk bumi.

Astri Sofyanti dalam Trubus Life menulis, ide peringatan Hari Air Dunia atau World Water Day sendiri secara resmi diumumkan pada acara Sidang Umum Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) pada 22 Desember 1992 di kota Rio de Janeiro, Brasil. Hingga akhirnya Hari Air Dunia mulai diperiganti dejak tahun 1993.

“Bahwa sampai saat ini satu dari sembilan orang atau 2,1 miliar penduduk dunia masih kesulitan mendapatkan akses air bersih,” ungkap Astri.

Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memperingatkan bahwa dunia dalam bahaya krisis air global. Laporan bersama Bank Dunia dan PBB menyatakan saat ini 40 persen populasi dunia mengalami kelangkaan air. Demikian seperti dirilis CNN Indonesia.

Laporan yang disusun berdasarkan penelitian selama dua tahun tersebut mengatakan 700 juta orang akan menderita akibat kelangkaan air parah pada 2030. Bertajuk “An Agenda for Water Action”, dokumen tersebut merupakan kumpulan hasil panel tinggi soal air.

“Ekosistem basis kehidupan – keamanan pangan, keberlanjutan energi, kesehatan masyarakat, pekerjaan, kota – semua terancam karena bagaimana air sekarang dikelola,” kata Presiden Bank Dunia, Jim Yong Kim, seperti dikutip CNN Indonesia.

Beberapa ilmuwan dan penentu kebijakan berpendapat perang abad ke-21 mungkin akan terjadi akibat perebutan air. Gereja dan orang-orang Kristen, menurut DGD-EWN terpanggil untuk terlibat dalam upaya keadilan air bagi semua orang. (*)


Editor: Daniel Kaligis


Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun.
KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *