Connect with us

ESTORIE

Kritik Maria J. C. Maramis terhadap Perubahan di Minahasa Awal Abad ke-20

Published

on

21 Juli 2020


Oleh Denni H.R. Pinontoan


 Dekade kedua abad ke-20, Minahasa sedang dalam perubahan besar. Budaya Eropa sedang mengganti banyak adat kebiasaan atau budaya Minahasa. Maria Josephine Catherine Maramis, seorang perempuan pelopor emansipasi menanggapinya secara kritis 

 

KOLONIALISME Belanda baru membilang sekitar satu abad hingga waktu itu. Tanam paksa kopi sudah dimulai tahun 1822. Birokratisasi terhadap sistem pemerintahan adat yang dilakukan pemerintah kolonial berlangsung secara massif. Struktur politik dan ekonomi kolonial telah terbentuk kokoh hingga di tingkat wanua atau roong (kampung). Kristen Protestan sudah diterima secara massal mulai tahun 1831.

Minahasa tahun 1920-an sedang dalam perubahan pesat. Lucien Adam, seorang Belanda ahli hukum adat, pada sebuah tulisannya yang terbit tahun 1925 berjudul Zeden en Gewoonten en het Daarmade Samenhangend Adatrech van Het Minahassische Volk menyebut, perubahan-perubahan itu terlalu cepat, atau sebagai suatu loncatan.

Budaya Eropa mulai mengganti banyak kebiasaan orang-orang Minahasa. Salah satunya, menurut Adam itu tampak pada pesta-pesta.

“Orang-orang Minahasa tidak lagi mengenal pesta-pesta rakyat yang sebenarnya. Dengan masuknya mereka ke agama Kristen, tentunya pesta-pesta tersebut telah hilang atau diganti pesta-pesta lain yang sejenis,” tulis Adam.

Demikianlah pula dalam hal berpenampilan. Orang-orang Kristen Minahasa, kata Adam, pada waktu Natal dan Tahun Baru pergi ke gereja dengan pakaian yang bagus. Hari-hari Besar (Hari Raya) ini juga diisi dengan makan-makan dan minum-minum, lalu dansa-dansi.

“Acara yang terpenting pada pesta-pesta Minahasa ialah dansa-dansi, di mana orang-orang berdansa menurut irama Eropa yang biasa, seperti wals, kruispolka, lanciers quadrille dan sebagainya,” tulis Adam dalam tulisannya itu.

Demikian Adam menggambarkan kehidupan di kalangan orang-orang Minahasa pada dekade kedua abad ke-20 yang telah menunjukkan ‘kebarat-baratan’.

Perubahan lain adalah tentang berbahasa. J.F. Rawung menulis di surat kabar Soeara-Minahassa edisi Maret 1924 No. 5 (diulas dalam Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers tahun  1922, No 34/koleksi delpher.nl) menyoal tentang penggunaaan bahasa Belanda di kalangan orang-orang Minahasa. Di dalam artikel itu Rawung mempertanyakan tentang manfaat orang-orang Minahasa belajar bahasa Belanda dengan membayar sejumlah uang. Bukan belajar bahasa Belanda yang menjadi soal, tulis Rawung melainkan penggunaannya.

Rawung rupanya hendak berbicara tentang pengaruhnya bagi budaya dan adat istiadat Minahasa. Penggunaan bahasa Belanda telah berdampak pada dilupakannya peradaban sendiri.

Jauh-jauh hari, seorang naturalis asal Inggris, Alfred Russel Wallace telah menyaksikan perubahan yang sedang terjadi di Minahasa. Tahun 1859 dia datang ke Manado dan masuk hingga ke pegunungan Minahasa.

“Missionaris, bagaimanapun, memiliki banyak hal yang dapat dibanggakan di negeri ini. Mereka telah membantu Pemerintah dalam mengubah masyarakat biadad menjadi sebuah komunitas yang  beradab dalam jangka waktu yang singkat,” tulis Wallace dalam buku laporan perjalanannya berjudul The Malay Archipelago terbit tahun 1869 (edisi bahasa Indonesia diterbitkan Indoliterasi, 2015). Tentu, penilaian Wallace ini berangkat dari sudut pandangnya sebagai seorang Eropa memandang Timur, atau lebih khusus Minahasa waktu itu.

Wallace menggambarkan perubahan di pertengahan abad ke-19 itu dengan kata-kata begini: “Empat puluh tahun yang lalu negeri ini adalah padang gurun, orang-orang liar telanjang, menghiasi rumah kasar mereka dengan kepala manusia. Sekarang tempat itu menjadi sebuah taman yang bernama ‘Minahasa’”.

 

Kritik Maria

Tapi perubahan ke arah modern yang bernuansa Eropa itu mesti diterima secara hati-hati. Maria Josephine Catherine Maramis (atau sering dieja Maria Walanda Maramis) kritis menanggapi perubahan-perubahan yang sedang terjadi dalam masyarakatnya waktu itu. Dalam tulisannya di surat kabar “Tjahaja Minahasa” edisi 31 Mei 1922 berjudul “Mode Lama dan Baru” (diulas dalam Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers/koleksi delpher.nl) Maria menulis, perubahan model rumah, toko dan jalan-jalan juga berkaitan dengan perubahan dalam kebiasaan dan gaya hidup.

Maria adalah pendiri organisasi Pertjintaan Iboe Kepada Anak Temoeroennja (PIKAT). Organisasi perempuan ini berdiri pada tanggal 8 Juli 1917. Maria lahir di Kema pada tanggal 1 Desember 1872.

Dalam tulisannya itu Maria menggambarkan perubahan-perubahan tersebut. Bahwa sebelumnya, dalam pesta-pesta di masyarakat Minahasa, acara dansa-dansi dibuka oleh orang yang lebih tua, lalu gadis-gadis ditemani oleh orang tuanya atau saudara terdekat. Tapi sekarang, tahun 1920-an itu, semuanya sudah berbeda.

Ke pesta para pria berbaju putih, acara dansa tidak lagi dibuka oleh orang tua. Lalu muncul pemahaman di kalangan luas orang-orang muda, bahwa para perempuan bebas untuk berpakaian. Anak-anak gadis yang ke pesta tidak lagi suka ditemani orang tua.

Maria sebenarnya tidak sedang berpikir kolot ketika mengkritik cara-cara baru itu. Dia menegaskan, bahwa dia mendukung para perempuan untuk berdiri di atas kaki sendiri atau mandiri. Tetapi dia mengingatkan agar selalu berhati-hati.

Maria memberi perhatian  antara lain terhadap cara berpakaian dan pola konsumsi di kalangan perempuan-perempuan muda zaman itu. Rupanya di masa itu sedang muncul gejala konsumerisme di kalangan orang-orang Minahasa dengan kehadiran toko-toko terutama di Kota Manado. Kegemaran berbelanja barang-barang mewah, termasuk pakaian sedang menggejala di banyak kalangan.

Masa itu orang-orang Minahasa memang sedang mengalami kejayaan ekonomi. Harga kopra yang tinggi di pasaran internasional membuat orang-orang Minahasa dapat menikmati tingkat kesejahteraan ekonomis yang cukup baik. Mobil sudah hadir di Menado dan beberapa tempat di Minahasa. Barang-barang import rupanya semakin mudah diperoleh.

Tapi dalam tulisannya itu Maria mengingatkan bahwa bisa jadi para orang tua tidak punya uang lebih untuk membelikan baju-baju bagus bagi anak-anak perempuannya. Dia mengingatkan kepada para tua orang agar tidak boleh dibutakan oleh perubahan-perubahan itu, terutama keinginan dari anak-anak gadis mereka untuk membeli pakaian yang indah dan mewah.

Sementara kepada orang-orang muda Maria menyampaikan harapan dan motivasinya untuk bekerja dengan baik agar orang-orang asing dapat menghargai dan menghormati mereka.

Kepada kalangan yang luas, terutama bagi orang-orang bukan Minahasa, Maria mengatakan, bahwa tulisannya itu tidak sedang bermaksud menolak hal-hal baru di Minahasa. Bagi Maria hal-hal baru itu baik, tapi mesti layak dan tertata.

Tahun 1924, Maria menulis lagi kritik semacam itu. Kritiknya itu disampaikan dalam tulisannya yang terbit sebulan sebelum dia meninggal (Maria meninggal 22 April 1924 pada usia 51 tahun) berjudul “Cahaya” di surat kabar Soera Minahasa edisi 1 Maret 1924, No. 5 (diulas dalam Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers tahun 1924, No. 14/koleksi delpher.nl). Maria menulis, bahwa cahaya dari agama, pendidikan dan pemerintahan memang telah memberi banyak untuk kehidupan orang-orang Minahasa. Tapi karena orang-orang tua berkeinginan untuk mendapat banyak lagi, maka kadang-kadang mereka menghabiskan terlalu banyak uang untuk pendidikan anak-anak di sekolah, juga untuk belanja pakaian mereka. Banyak pula yang kemudian mengirim anak-anak mereka ke tempat-tempat lain untuk mendapatkan pekerjaan yang dianggap sesuai dengan apa yang telah dipelajari.

Maria melalui tulisannya itu, sejalan dengan pemikiran pada tulisannya pada tahun 1922, adalah untuk mengingatkan orang-orang tua, anak-anak dan kalangan lebih luas di Minahasa waktu itu untuk berhati-hati terhadap perubahan. Maria terbuka dengan pengetahuan modern, tapi rupanya ia tetap berupaya berpijak pada budaya Minahasa.

Bagi Maria pendidikan adalah penting untuk anak-anak dan orang-orang muda Minahasa, terutama bagi para gadis atau perempuan pada umumnya untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan. Bersama suami, Joseph Frederick Calusung Walanda, Maria gigih berjuang agar anak-anaknya dapat mengenyam pendidikan di sekolah yang bermutu. Anak-anaknya akhirnya dapat berhasil masuk ke Europeesche Lagere School (ELS), sekolah tingkat rendah Belanda tapi dengan pengorbanan ayah mereka yang harus diberhentikan dari pekerjaan sebagai guru.(*)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *