Published
6 years agoon
By
philipsmarx29 Desember 2018
Oleh: Denni Pinontoan
Kue Natal pintu masuk Pdt. Riedel ke orang Tondano
“DI DEPAN KAMI terbentang danau biru Tondano. Dikelilingi oleh pegunungan hijau di setiap pemadangan,” ujar Johann Friedrich Riedel ketika pertama kali melihat danau Tondano. Kisah ini ditulis oleh Reinhold Grundemann dalam Johann Friedrich Riedel: ein Lebensbild aus der Minahassa auf Celebes (Gütersloh: C. Bertelsmann) terbit tahun 1873.
Zendeling Johann Gotlieb Schwarz dan Johann Friedrich Riedel bersama istrinya tiba di Manado pada tanggal 12 Juni 1831. Pdt. Riedel melakukan perjalanan yang sangat panjang. Dari Jerman, ke Belanda, Batavia, lalu ke Ambon dan terus ke Manado. Di Ambon Pdt. Riedel tinggal selama lima bulan. Di sana ia bertemu dengan Maria Williams (meninggal 15 Agustus 1841). Ia seorang perempuan asal Haruku, Ambon. Ayahnya bernama Richard Williams dari Inggris yang pada tahun 1810-1817 menjabat sebagai Residen Haruku, Ambon. Pada bulan Mei di tahun itu ia menikahinya dan menjadi teman dalam melakukan pekerjaan sebagai zendeling.
Suatu pagi, pada hari Minggu, 25 Oktober 1831. Ini hari Minggu pertama Pdt. Riedel dan istrinya Maria menetap di Tondano. Untuk sementara mereka tinggal rumah milik pemerintah. Inilah hari-hari berat bagi suami-istri ini. Hari Minggu yang mestinya kesempatan bagi mereka untuk memperkenalkan diri, justru orang-orang Tondano sibuk dengan urusan pekerjaannya masing-masing. Pagi-pagi sudah terdengar suara orang-orang menumbuk padi. Yang lainnya bersiap pergi ke ladang.
Pdt. Riedel sangat gusar dengan suasana itu. Tiba-tiba ia buru-buru menuruni tangga dan menjumpai seorang ia pria Tondano bernama Tumewa yang sebelumnya telah menjadi Kristen.
“Bagaimana Tumewa!” kata Pdt. Riedel. “Apakah kamu diperbolehkan pergi bekerja hari ini?”
“Ya, tuan,” jawab Tumewa. “Saya tidak menemukan pertanda buruk!”
“Bagaimana Anda ingin menjadi orang Kristen, namun masih percaya takhayul, bahwa Anda takut pada tikus atau burung yang menjerit-jerit. Tapi apakah kamu tidak tahu hari apa hari ini?” Tanya Pdt. Riedel dengan tegas.
“Aku yakin bahwa ini bukan hari yang buruk,” balas Tumewa.
“Tidak! Ini adalah hari yang sangat baik, Tumewa, hari Tuhan kita Yesus Kristus, yang menyelamatkan Anda dari segala kejahatan, dan ingin menyelamatkan Anda. Anda tidak tahu bahwa Ia hadir. Hari Minggu adalah?”
“Oh,” katanya perlahan. “Aku pikir hari Minggu itu kemarin,” balas Tumewa lagi.
“Tidak, hari ini hari Minggu dan pulang sekarang, dan pergi ke gereja,” ujar Pdt. Riedel.
“Tapi aku harus pergi ke ladang untuk bekerja, orang-orang dari tempat saya semuanya sudah ada di sana,” bantah Tumewa.
“Tumewa, Anda ingin menjadi orang Kristen dan bekerja pada hari Minggu, itu tidak mungkin! Jadi pulanglah, dan segera datang ke gereja,” tegas Pdt. Riedel.
Tumewa akhirnya menyerah. Ia menuruti perintah Pdt. Riedel. Ia pun pulang ke rumah. Di tengah perjalanan pulang, ia mengatakan kepada orang-orang yang ia jumpai, “Pendeta itu adalah tuan yang tegas.” Demikian dialog yang dikutip oleh Grundemann.
Namun, di dalam gedung gereja kayu yang kecil itu Pdt. Riedel masih merasakan kekecewaan. “Ketika di atas mimbar, tampak tidak hampir sepersepuluh bagian dari tempat-tempat yang ditempati,” tulis H. Dijkstra dalam Johann Friedrich Riedel, buku yang terbit di Rotterdam,oleh penerbit J.M. Bredee tahun 1896.
Gedung gereja di mana Riedel sebagai pendetanya, terbuat dari kayu. Ukuran bangunannya kecil. Pada Minggu pertama itu Riedel berkhotbah dari mimbar gereja itu.
“Dengan demikian Riedel berbicara sangat kecewa dengan khotbah pertamanya di gereja yang hampir kosong,” tulis Dijkstra.
***
Hari berganti hari. Pdt. Riedel dan istrinya berpikir keras mencari cara agar orang-orang Tondano tertarik pergi ke gereja setiap hari Minggu. Terlebih mereka harus memiliki minat untuk belajar alkitab.
Pada suatu ketika di bulan Desember. Minggu-minggu Advent sudah datang. Udara Tondano sangat dingin di bulan itu. Pdt. Riedel sering terlihat berjalan sendirian. Menatap dengan mata gelisah. Sambil memegang pipanya, sesekali ia terlihat menyemburkan asap dari mulutnya. Dia sepertinya sedang gelisah.
“Dalam keheningan dia berdoa bagi jiwa-jiwa dan keselamatan mereka,” tulis Grundemann.
“Saya telah menemukannya,” gumam Pdt. Riedel. Segera setelah itu, wajah Pdt. Riedel menjadi ceria.
Di rumah, dia menemui istrinya. Memintanya untuk membuat kue. Kue Natal khas Jerman. Dia teringat kue Natal enak dari Thurigen, salah satu wilayah dari negara asalnya Jerman. Mengapa kue Natal? Diam-diam Pdt. Riedel berencana nanti hidangan itu akan digunakan untuk membujuk orang-orang Tondano agar pergi ke rumahnya dan mendengar pengajaran Kristen.
“Tapi, di Tondano tidak punya tepung,” kata sang istri.
“O, itu bukan masalah,” kata Pdt. Riedel kepada istrinya. “Kita bisa juga membuat kue dari beras.”
Grudemann menulis, beberapa hari sebelum perayaan Natal, orang-orang semakin rajin pergi ke sekolah. Di sana ia menyampaikan cerita untuk anak-anak. Menjelaskan arti perayaan Natal. Dia juga mengajari mereka sebuah lagu. Juga diumumkan, bahwa nanti akan ada perayaan Natal.
Perayaan Natal tiba. Dilaksanakan pada malam hari di rumah pemerintah. Semua orang diundang datang. Sehari sebelumnya istri Riedel sibuk membuat kue beras. Bagi orang-orang Tondano, kue beras ini sungguh sangat enak.
“Dia dengan riang melihat kue yang disusun menumpuk di piringnya. Apakah mungkin membawa banyak orang masuk ke dalam Kerajaan Allah dengan cara ini?” Tanya istri Riedel di dalam hati, tulis Grudemann.
Sementara Pdt. Riedel tampak sibuk naik turun ruangan. Ia sedang berpikir bagaimana nanti menjamu orang-orang Tondano sebagai tamunya.
Menjelang sore, anak-anak sekolah berkumpul. Mereka membentuk lingkaran, Pdt. Riedel mengambil posisi di tengah. Orang-orang dewasa juga ikut berkumpul. Lagu dinyanyikan. Pengajaran disampaikan dalam bahasa Melayu. Sesekali dia bertanya kepada mereka. Jawaban cukup memuaskan. Orang tua anak-anak sekolah yang mengamatinya tampak kagum.
Pdt. Riedel kemudian menyampaikan khotbah singkat. Dia menyampaikan tentang kasih Allah kepada semua orang. Allah, kata Pdt. Riedel, ingin agar setiap orang memperoleh keselamatan. Dengan begitu dia meminta agar mereka rajin beribadah di rumah gereja.
Hari Natal pun datang. Tempat pelaksanaan perayaan Natal tampak penuh. Sore harinya bahkan semakin banyak orang yang datang. Setiap orang yang datang dijamu dengan kue beras bersama kopi hitam panas.
“Riedel sangat puas dengan apa yang dilihatnya. Ia menceritakan tanah leluhurnya yang jauh. Cara dia menyampaikan sungguh sangat menghibur sehingga banyak tamu, dengan mulut terbuka, lupa kue berasnya,” catat Grundemann. (*)
Editor: Rikson Karundeng