FEATURE
Kursus Jurnalisme Rasa Harvard
Published
6 years agoon
By
philipsmarx3 Februari 2019
Oleh: Andre Barahamin
Lulus pelatihan jurnalisme dan punya sertifikat Pantau, bagi saya adalah soal gengsi. Berasa macam baru lulus dari Harvard.
DEKADE 1960-AN, Levi C. Finch dan Robert Taylor merintis sebuah penelitian tentang jaringan global dan masalah interoperabilitas. Taylor kemudian jadi kepala kantor informasi DARPA, badan riset untuk militer AS. Ia lalu memulai proyek bernama The Advanced Research Project Agency Network (ARPANET). Taylor dibantu Larry Robert, ilmuwan dari Massachusetts Institute of Technology (MIT).
Dalam A History of The ARPANET: The First Decade disebutkan, tujuan awal proyek ini adalah untuk kepentingan militer. Di tahun 1969, ARPANET hanya menghubungkan empat situs saja; Stanford Research Institute (SRI), University of California, Los Angeles (UCLA), University of Utah, dan University of California, Santa Barbara (UCSB). Proyek ini lalu berkembang hingga ke Inggris dan Norwegia. Tahun 1982, dilakukan standarisasi Transmission Control Protocol/Internet Protocol (TCP/IP) sebagai protokol universal jaringan.
Di tahun ini pula, istilah internet pertama kali digunakan.
Internet mengubah banyak hal di dunia. Termasuk soal media. Bill Kovach dan Tom Rosentiel menulis dalam Blur: How to Know What’s True in the Age of Information Overload, bahwa internet secara revolusioner mengubah cara penyampaian informasi dan format pemberitaan. Masyarakat menghadapi “tsunami informasi”. Ada berbagai jenis berita yang bertebaran. Dari yang bermutu hingga informasi yang menyesatkan. Tantangan yang dihadapi media semakin hari semakin berat.
Internet juga mengubah polarisasi massa. Clay Shirky lewat Here Comes Everybody: The Power of Organizing Without Organizations, mencatat bagaimana internet mempermudah pengorganisasian orang-orang tanpa perlu sebuah lembaga resmi. Metode pengorganisiran massa dapat dilakukan dengan mudah dan bebas biaya. Yang dibutuhkan hanya ide brilian dan alat yang tepat.
Shirky mencontohkan bagaimana dengan internet seseorang penjual tidak memerlukan surat kabar untuk berhubungan dengan pelanggan. Mereka cukup membuat situs web sendiri atau mailing list. Atau bagaimana seseorang dapat membuat blog dan mempublikasikan apa yang ia pikirkan.
Dalam Blur, Kovach dan Rosentiel menjelaskan bagaimana kehadiran internet praktis menghilangkan peranan ruang redaksi sebagai penjaga gawang informasi. Wartawan kini tak memiliki peranan untuk menentukan apa yang perlu diberitakan dan apa yang tak perlu.
Sebaliknya, teknologi internet juga menciptakan banyak sampah informasi. Internet dapat digunakan untuk menyebarkan kebencian.
Namun Andreas Harsono menegaskan bahwa revolusi internet tak mengubah makna tentang keperluan informasi yang bermutu. Harsono, murid Kovach saat belajar di Harvard. Ia juga pernah jadi ketua Yayasan PANTAU, lembaga nirlaba yang bekerja untuk memantau media, wartawan dan kualitas jurnalisme di Indonesia. Sejak 2001, PANTAU rutin mengadakan pelatihan menulis bertajuk Kursus Jurnalisme Sastrawi. Kursus ini diadakan dua kali dalam setahun. Harsono mengampu kelas ini bersama Janet Steele, profesor sejarah media dari George Washington University yang juga menulis buku tentang TEMPO.
“Jurnalisme Sastrawi” hanya salah satu nama yang digunakan untuk menyebut satu genre dalam jurnalisme. Yang lain menyebut “narrative reporting”. Pulitser Prize menggunakan nama “explorative journalism”. Genre ini diperkenalkan Tom Wolfe, pada 1960-an. Wolfe, jurnalis-cum-novelis menggunakan nama “new journalism”.
Di tahun 1973, Wolfe bersama E. W. Johnson jadi editor sebuah antologi berjudul The New Journalism. Isinya adalah narasi-narasi terbaik di masa itu. Ada naskah dari Truman Capote, Jimmy Breslin, Joan Didion juga tulisan Wolfe.
Dalam kata pengantar antologi tersebut, Wolfe dan Johnson menegaskan perbedaannya dengan reportase yang biasa muncul di surat kabar masa itu. Narasi ini menggunakan sudut pandang orang ketiga, menulis adegan demi adegan, yang ditulis secara menyeluruh dan penuh detil. Wawancara juga dilakukan dengan puluhan narasumber. Ia mempraktikkan disiplin riset yang ketat dan bisa memakan waktu kerja berbulan-bulan. Tokoh utama narasi juga kebanyakan orang biasa.
Di Indonesia, Pantau jadi pelopor genre ini.
Awalnya Pantau hanya nama majalah bulanan yang diterbitkan oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI). Bahasannya soal media dan jurnalisme. Majalah Pantau menerbitkan laporan-laporan panjang. Naskah-naskah ini dianggap sebagai praktek dari genre “literary journalism” yang diajarkan Kovach dan Rosentiel. Andreas Harsono yang baru pulang dari Harvard jadi penyuntingnya. Edisi perdana mereka terbit tahun 2000, sebelum ditutup Februari 2003. Alasannya, masalah keuangan.
Selepas itu, Harsono bersama beberapa kontributor majalah tersebut kemudian mendirikan Yayasan Pantau. Yayasan ini mendedikasikan diri untuk memajukan mutu media dan jurnalisme berbahasa Melayu di Indonesia. Mereka juga menghidupkan kembali majalah Pantau. Tapi hanya mampu terbit tiga edisi, lalu tutup lagi karena permasalahan yang sama.
Setelah tidak terbit, naskah-naskah Majalah Pantau kemudian dikumpulkan dan disunting kembali. Andreas Harsono dan Budi Setiyono jadi editor. Mereka ingin bikin buku.
Tahun 2005, Yayasan Pantau menerbitkan Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Ada delapan cerita di dalamnya. Chik Rini, jurnalis asal Aceh menulis “Kegilaan di Simpang Kraft”. Coen Husain Pontoh, aktivis dan pendiri IndoProgress asal Bolangitang, Bolaang Mongondow menyumbang “Konflik Nan Tak Kunjung Padam” dan “Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan” dari Alfian Hamzah. Ada naskah Agus Sopian “Taufik bin Abdul Halim”, narasi Linda Christanty berjudul “Hikayat Kebo” dan juga liputan Eriyanto, “Koran, Bisnis dan Perang”. Andreas Harsono menulis “Cermin Jakarta, Cermin New York” dan reportase “Ngak Ngik Ngok” dari Budi Setiyono.
Dalam pengantar buku, Harsono menjelaskan proses pemilihan delapan naskah tersebut. Ia mesti enak dibaca bersama, maupun dibaca sendiri. Topiknya juga beragam. Dari Aceh, hingga soal Ambon. Bicara tentang Tempo hingga Koes Plus. Mulai soal media hingga terorisme.
Di tahun 2008, edisi revisi buku ini terbit. Andreas Harsono mengganti “Cermin Jakarta, Cermin New York” dengan naskah “Dari Thames ke Ciliwung”. Di pengantar edisi revisi, Harsono menjelaskan alasan mengapa ada naskah baru. Ia menekankan soal “sakralitas” fakta agar pembaca tak salah paham. Agar publik tidak mencampur fiksi ke dalam genre ini hanya karena ia menggunakan kata “sastrawi”.
Untuk mempopuler genre ini, sejak tahun 2001, Yayasan Pantau menggelar sebuah pelatihan. Diberi nama “Kursus Jurnalisme Sastrawi” dan diampu oleh Andreas Harsono dan Janet Steele. Dalam setahun, kursus ini dihelat dua kali. Januari 2015, Yayasan Pantau kembali bikin kursus. Kelas ini adalah yang ke dua puluh tiga.
19 NOVEMBER 2014. Saya sedang berada di Hue, Vietnam, saat menerima pesan dari Denni Pinontoan. Ia memberi kabar lanjutan soal sebuah kursus tentang bagaimana menulis laporan panjang namun memikat. Kursus ini akan diadakan di Jakarta selama dua minggu. Bersama Kalfein Wuisan, saya direkomendasikan untuk ikut. Wuisan, penulis dan sutradara teater yang sedang belajar di Yogyakarta. Beberapa hari kemudian, Pinontoan kembali mengirim pesan. Beritanya, Wuisan tidak jadi ikut kursus.
Denni Pinontoan adalah dosen di Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT). Ia alumnus kursus Pantau, angkatan XIX. Kami sama-sama aktif di Mawale Cultural Center, satu dari beberapa unit proyek Mawale Movement, sebuah gerakan kebudayaan di Sulawesi Utara.
Mawale Movement dimulai tahun 2005. Sebelumnya lebih dikenal sebagai Gerakan Sastra Melayu Manado.
Kata “Mawale” diambil dari bahasa Tontemboan, satu dari sembilan sub-etnis Minahasa. Secara harafiah, berarti “pulang ke rumah”. Lalu dipadankan dengan bahasa Inggris sebagai penanda internasionalisme dan globalitas semangat. Saat merintis Mawale Movement, kami adalah anak-anak muda yang belum genap usia berkepala tiga. Berasal dari tiga universitas di tiga kota di Sulawesi Utara. Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) di Manado, Universitas Negeri Manado (Unima) di Tondano dan UKI Tomohon. Ada yang sedang kuliah sastra, teologi, seni, politik, hukum bahkan arsitektur. Campur baur.
Mayoritas pegiat yang merintis Mawale Movement berlatar belakang etnis Minahasa. Hanya saya dan Fajran Lamuhu yang bukan Minahasa. Saya, anak kampung dari pulau kecil yang berada di perbatasan antara Indonesia dan Filipina. Kami menyebut diri sebagai orang Nanusa, meski banyak orang salah kaprah dengan menyebut kami sebagai orang Talaud atau Sangir. Sementara Lamuhu adalah orang Suwawa, Gorontalo. Suwawa adalah sebuah kerajaan yang di kemudian hari takluk oleh Kerajaan Hulondalo.
Mawale sempat punya penerbitan buku bernama 9 SOCIETY. Kantornya di Tomohon, kota kecil di Minahasa, berjarak 1 jam perjalanan dengan bus dari Manado. Penerbitan ini berhenti beroperasi awal tahun 2009.
Didirikan September 2007 dan berhasil mencetak lebih dari seratus buku puisi dan antologi cerita pendek. Sebagian besar buku-buku tersebut ditulis dalam bahasa Melayu Manado, jenis Melayu yang digunakan oleh masyarakat di Sulawesi Utara. Setiap buku hanya dicetak terbatas, antara seratus hingga tiga ratus eksemplar. Target buku-buku 9 SOCIETY adalah komunitas-komunitas muda di Sulawesi Utara. Itu mengapa produksi dan distribusinya terbatas, meski ada satu dua eksemplar yang dikirim ke luar daerah atau dibawa kawan ke luar negeri.
9 SOCIETY juga mencetak Jurnal Sastra Manado. Hanya terbit tiga edisi.
Penerbitan ini tutup karena buruknya manajemen dan harga cetak buku yang semakin mahal. Beberapa bulan setelah tutup, seorang perwakilan dari Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) Belanda datang dan meminta buku produksi 9 SOCIETY untuk dijadikan koleksi. Lebih dari enam puluh judul buku diserahkan untuk dibawa.
Saat 9 SOCIETY masih beroperasi, peluncuran dan promosi buku banyak dilakukan lewat radio Suara Minahasa. Sebabnya, ada banyak aktivis Mawale yang bekerja di situ. Pinontoan saat itu jadi Pemimpin Redaksi radio. Rikson Karundeng dan Greenhill Weol jadi editor sekaligus penyiar. Saya bekerja sebagai reporter. Tahun 2008, kami semua keluar dari radio tersebut karena perbedaan visi dengan Yayasan AZR Wenas, pemilik radio tersebut.
Sementara nama Mawale Cultural Center mulai digunakan sejak April 2007. Greenhill Weol yang membuat logonya. Semula nama ini adalah taktik untuk mengakali persoalan legal formal dan urusan birokrasi. Maklum, Mawale hanya sebuah gerakan yang tidak berbadan hukum. Sebuah inisiatif yang cair. Tidak ada ikatan seperti pola organisasi konvensional. Satu-satunya benang yang mengikat antar individu di Mawale adalah komitmen.
Agustus 2007, Weol didaulat jadi Direktur dalam sebuah diskusi sederhana di Steleng Mawale. Steleng adalah cara orang-orang Mawale menyebut tempat utama untuk berkumpul. Sejenis kantor atau sekretariat. Steleng selalu meminjam rumah salah satu aktivis Mawale. Rumah Fredy Wowor, Grace Nelwan dan Rikson Karundeng pernah jadi Steleng. Kini, rumah Pinontoan yang “dibaptis” jadi Steleng.
Steleng diambil dari bahasa Melayu Manado yang menyerapnya dari bahasa Belanda. Ini penyebutan sebuah tempat di masa perang yang digunakan untuk bertahan sekaligus menyerang. Biasanya, terletak di punggung bukit dan berukuran kecil.
Setiap bulan, Mawale selalu punya pertemuan rutin. Biasanya setiap tanggal sembilan bulan berjalan. Ada diskusi, ada makan-makan, ada kopi dan tentu saja ada Tjap Tikus, arak lokal khas Minahasa. Ketua Yayasan Pantau, Imam Shofwan bilang, Mawale itu; makan enak, minum enak, merokok enak dan ngobrol enak.
Mawale dan Yayasan Pantau memang punya kedekatan. Dimulai tahun 2006, saat Andreas Harsono datang ke Manado. Ia mengadakan workshop Jurnalisme Sastrawi. Wowor dan Weol, ikut dan belajar di pelatihan tersebut.
Tahun 2009, ketika Pantau mengadakan survey di 16 provinsi tentang Persepsi Wartawan Indonesia Terhadap Islam, Pinontoan terlibat membantu. Tahun 2011, ia dapat beasiswa untuk ikut kursus Pantau di Jakarta.
Januari 2012, Pantau kerja sama dengan Mawale untuk bikin kursus narasi. Fahri Salam dan Andreas Harsono datang ke Tomohon untuk mengajar. Mereka dibantu Freddy Wowor, Rikson Karundeng dan Denni Pinontoan untuk mengampu kursus yang berlangsung selama seminggu.
Lalu kerja sama lagi saat meluncurkan laporan hasil survey Persepsi Wartawan Terhadap Islam, Februari 2013. Di saat bersamaan juga dilakukan peluncuran dan diskusi buku Blur, terjemahan Pantau yang diterbitkan Dewan Pers.
Ketika pelatihan ini digelar lagi awal Januari 2015 di Jakarta, Pantau menghubungi Pinontoan untuk bantu rekomendasikan seseorang mewakili Mawale. Pinontoan lalu meneruskan pesan tersebut kepada kami semua. Saya menghubungi Pinontoan dan menyatakan kesediaan untuk ikut. Pinontoan ragu. Saya sudah menetap di Vietnam dan bekerja di Thailand, sementara kursus akan berlangsung di Jakarta selama dua minggu. Lagipula, Pinontoan menilai saya tak terlalu butuh ikut kursus tersebut.
Tapi saya bersikeras dan beri garansi bisa cuti selama dua minggu untuk ikut kursus.
Seminggu sebelum kursus dimulai, Pinontoan mengabarkan bahwa satu orang kawan Mawale juga akan ikut. Happy Karundeng, saat itu bekerja sebagai jurnalis Media Sulut dan kebetulan bertugas di Jakarta. Namun ia tidak akan mewakili Mawale.
SELAMA KURSUS, saya bertemu dua kawan lama. Selain Happy Karundeng, ada juga Christopel Paino dari Gorontalo. Dulu Paino bekerja untuk Tempo dan Lentera Timur. Kini ia bekerja sebagai jurnalis di Mongabay, situs berita lingkungan. Paino pernah menulis reportase panjang tentang pertambangan nikel di Morowali, Sulawesi Tenggara.
Saya juga mendapat kenalan baru. Ada jurnalis Gatra, Arif Hernawan. Suryadi dan Ayesha Adma dari pers mahasiswa Bahana, Riau. Juga kenal dengan Hari Wibowo dan Kholid Rafsanjani dari Jember. Ada Darmince dan Mateus dari Papua. Kang Firman, seorang Ahmadi dari Cianjur, Teguh yang mewakili Our Voice, lembaga advokasi kelompok LGBT.
Kelas kami berjumlah dua puluh satu orang. Delapan perempuan.
Minggu pertama, Janet Steele jadi pengajar. Kami belajar soal struktur, engine dan meaning. Steele menegaskan bagaimana narasi yang baik adalah “memperlihatkan” sesuatu dan tidak “mengajari” pembaca. Steele juga berbagi soal sejarah jurnalisme di Amerika Serikat. Tentang bagaimana generasi awal seperti Tom Wolfe memulai dan dari mana saja mereka terinspirasi.
Cara berpakaian Steele juga unik. Ia pakai sarung dan sepatu olahraga.
Metta Dharmasaputra, penulis Saksi Kunci, pembicara tamu dalam kursus ini batal hadir karena sakit. Sebagai gantinya, kami menonton film dokumenter Tanah Mama. Sutradaranya, Asrida Elisabeth merupakan peserta kursus ini. Film ini pernah tayang di bioskop-bioskop 21.
Minggu kedua, Andreas Harsono yang ganti mengajar. Bicara dan diskusi soal 50 perkakas menulis dari Roy Peter Clark. Membedah Hiroshima Jhon Hersey dan tentu saja sepuluh elemen jurnalisme. Tujuh kriteria sumber anonim juga dibicarakan.
Suasana kelas selalu hangat. Ada tanya jawab. Antar peserta juga saling beri masukan. Sebelum kelas mulai, saat makan siang, atau setelah kelas usai, selalu ada diskusi kecil. Topik obrolan bisa apa saja. Mulai dari soal pekerjaan rumah hingga hal-hal lucu yang kami temui.
Beberapa dari kami sering merokok di atap kantor Pantau. Kantor ini terletak di ruko kecil di Jalan Kebayoran Lama. Jika anda datang dari arah Permata Hijau, ruko ini berjarak sekitar 100 meter dari pompa bensin ke arah pasar Kebayoran Lama.
Janet Steele bilang bahwa dulu ada menara kecil di atap. Ia sering jadikan itu sebagai patokan arah agar supir taksi mudah menemukan kantor Pantau. Menurut Imam Shofwan, mudah menemukan kantor Pantau. Cukup bilang ke sopir angkot untuk berhenti di depan Gang Buntu, Kebayoran Lama. Kantor mereka berada di ruko yang terletak di mulut gang berikut ke arah Permata Hijau. Ada bengkel motor kecil dan sebuah warung tegal di trotoar jalan depan ruko.
Di sela-sela kelas, kami sempat diundang bakar-bakar ikan di rumah kontrakan Imam Shofwan. Letaknya di Gang Buntu. Saya membuat dua jenis dabu-dabu untuk menemani makan siang. Hari Wibowo dan Kholid Rafsanjani bantu membakar jagung. Christopel Paino membakar ikan. Suasana rumah Shofwan jadi ramai dan renyah. Saya akhirnya bisa kenal dengan Della Syahni, istri Shofwan yang juga seorang jurnalis. Juga anak perempuan mereka bernama Kembang yang belum genap berumur setahun.
Andreas Harsono juga mengundang kami singgah ke apartemennya. Ia menawarkan siapapun yang tertarik berenang untuk datang dan menjajal fasilitas kolam renang di sana. Saya kagum dengan koleksi buku dan Diana, anak perempuan Harsono. Istri Harsono, Sapariah Saturi adalah editor dan jurnalis di Mongabay.
Selama dua minggu belajar di Pantau, saya tak pernah berhenti terkejut.
LEWAT PESAN FACEBOOK kepada Fahri Salam, alumnus Pantau, pendiri dan editor Pindai, kini jadi editor di Tirto, saya bilang soal mengapa sangat ingin ikut kursus ini.
Ada dua alasan utama. Pertama soal ilmu. Saya yakin bisa belajar banyak soal jurnalisme, teknik menulis, teknik editing dan juga soal keberpihakan seorang jurnalis. Ini juga kesempatan untuk jumpa dan belajar langsung dengan Andreas Harsono dan Janet Steele. Saya mengagumi kedua orang ini.
Tulisan-tulisan Harsono selalu jadi rujukan buat saya saat menulis reportase. Tulisannya soal Miangas, soal Sabang dan soal asal nama Indonesia, selalu jadi favorit saya. Liputannya tentang Iwan Fals juga saya suka. Di puncak daftar favorit, ada narasi Hoakiao dari Jember. Harsono pernah bilang kepada saya, bahwa Janet Steele menganggap tulisan tersebut merupakan yang terbaik dari semua yang pernah ia tulis. Saya juga suka buku Steele, Wars Within: The Story of TEMPO, an Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia. Saat ikut kursus, Pantau menghadiahi setiap peserta buku Email Dari Amerika, antologi surat-surat elektronik Steele kepada Harian Surya di Jawa Timur.
Kedua, adalah soal citarasa dan gengsi. Lulus pelatihan jurnalisme dan punya sertifikat Pantau, bagi anak kampung macam saya dapat diandaikan seperti menjadi alumnus universitas bergengsi. Tapi bukan level Universitas Indonesia atau Universitas Gadjah Mada. Tapi Harvard University.(*)
Editor: Gratia Karundeng