ESTORIE
Kyai Mojo, dari Perang Jawa ke Tondano
Published
5 years agoon
By
philipsmarx05 Mei 2019
Oleh: Denni Pinontoan
Kyai Mojo adalah seorang ulama yang berperan penting dalam Perang Jawa, di Tondano ia dan pengikutnya mendirikan komunitas yang khas
TONDANO, Agustus 1859. Sebuah pagi yang cerah. Matahari yang semakin meninggi membuat udara makin terasa panas. Tondano tampak sibuk.
Tanggal 19 Agustus, Residen Manado, Albert Jacques Frederic Jansen berkunjung ke Tondano. Banyak orang hadir di kota itu. Segera kota kecil tepi danau itu menjadi ramai sekali.
Hari itu, Residen Jansen dan para pembesar lainnya menghadiri ‘upacara payung’, sebuah prosesi penyerahan payung-payung kepada para mayor, hukum besar serta hukum kedua beragam warna sesuai pangkat mereka.
Beberapa hari setelah upacara besar itu usai, zendeling Nicolaus Graafland masih tinggal di Tondano. Pagi itu, ia menyaksikan kesibukan orang-orang Tondano.
“Tengoklah betapa banyaknya kaum wanita serta anak darah yang dari tempat yang jauh dan dekat telah berdatangan, untuk dapat memasarkan barang-barang dagangan mereka di pasar,” tulis Graafland dalam bukunya De Minahassa: Haar Verleden En Haar Tegenwoordige Toestand, terbit tahun 1869.
Graafland berencana melanjutkan perjalanannya menuju Distrik Tonsea. Tapi sejenak dia mampir di sebuah kampung unik di ujung Tondano.
“Di ujung negeri (Tondano) kami tiba pada suatu jembatan yang segera membawa kami ke daerah Kampung-Jawa,” tulis Graafland.
Kini ia sedang memasuki sebuah kampung yang penduduknya beragama muslim, leluhur mereka berasal dari Jawa.
Sebuah perang besar terjadi di Tanah Jawa pada 1825-1830. Kyai Mojo adalah ulama yang terlibat perang itu bersama Pangeran Dipo Negoro. Setelah ditangkap, ia bersama para pengikutnya dibuang ke Tondano. Di Tondano mereka membentuk sebuah komunitas muslim di sana. Para pengikutnya yang semuanya laki-laki kawin dengan perempuan-perempuan Minahasa. Keturunan mereka inilah yang hidup di kampung itu.
“Mereka memiliki kampung mereka sendiri yang terletak terpisah, memiliki sebuah mesjid untuk dapat menyembah Tuhan dengan mengawini wanita dari daerah ini, apabila istri mereka tidak mengikuti datang ke tempat ini,” jelas Graafland.
Warga kampung Jawa melanjutkan hidupnya di tanah yang subur, dengan sawah-sawah yang luas. Selain menanam padi di sawah, kata Graafland, mereka juga menanam kacang tanah dan kentang. Mereka juga beternak ayam, bebek dan membuat dendeng. Hasil pertanian dan peternakan itu kemudian dijual di pasar Tondano, Kema dan Manado.
Setelah hampir tiga puluh tahun sejak pertama kali Kyai Mojo dan para pengikutnya datang ke tempat itu, sebuah kampung yang unik telah terbentuk. Pemukiman yang bernuasa Jawa-Minahasa.
“Sekarang (1859, red.) anda mendapatkan di sana penampilan dari luar yang bersifat Minahasa yang mempunyai tata hiasan rumah yang bersifat Jawa di dalamnya,” kata Graafland.
Pada tahun 1855, menurut catatan Pieter Bleeker, seorang dokter dan ahli ikan yang datang berkunjung dan melakukan perjalanan ke pegunungan Minahasa, dalam bukunya Reis Door De Minahassa En Den Molukschen Archipeli (terbit tahun 1856), jumlah warga kampung Jawa Tondano sebanyak 300 jiwa.
Kyai Mojo dan Kampung Jawa Tondano
Kyai Mojo adalah seorang ulama yang berperan penting mengobarkan Perang Jawa dalam semangat keislaman. Selama Perang Jawa ia telah bertindak semacam panglima perang bersama Pangeran Dipo Negoro.
Beberapa sumber menyebutkan, nama lahir Kyai Mojo adalah Muslim Mochammad Khalifah. Jelang berakhirnya Perang Jawa pada tahun 1828, disebutkan usia Kyai Mojo waktu itu adalah 36 tahun. Jadi diperkirakan ia lahir pada tahun 1792. Ayah Kyai Mojo adalah Iman Abdul Ngarip, ibunya R.A Mursilah. Ayah Kyai Mojo adalah seorang ulama di desa Baderan dan Mojo.
Kyai Mojo muda adalah seorang memiliki pengetahuan luas tentang Al Qura’an dan sejarah. Kyai Mojo mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang ulama Islam.
“Dia memiliki koleksi naskah Arab yang cukup besar,” tulis F.V.A. Ridder de Stuers dalam Gedenkschrift van den Orloog op Java van 1825 tot 1830 (Amsterdam: Johannes Muller, 1847). Buku ini adalah memoar perang Jawa. Kolonel F.V.A. Ridder de Stuers adalah menantu dan mantan ajudan Letnan Jenderal H.M. de Kock pada Perang Jawa.
Kyai Mojo, meski disebut bertubuh kecil, tapi ia adalah seorang yang militan dalam keislaman. Ketika berperang melawan pasukan Belanda yang terdiri dari orang-orang Eropa dan beberapa pasukan tambahan dari sejumlah daerah, seperti Ambon dan Minahasa, Kyai Mojo memahami itu sebagai panggilan imannya.
Belanda kesulitan menghadapi pasukan yang dipimpin oleh Kyai Mojo dan Pangeran Dipo Negoro. Ribuan tentara dikerahkan. Dana yang dihabiskan cukup besar. Tapi pada akhirnya, Belanda menemukan strategi yang jitu untuk menaklukan Pangeran Dipo Negoro dan Kyai Mojo.
Di tambah lagi, justru di saat perang sedang berlangsung, Pangeran Dipo Negoro dan Kyai Mojo berseteru yang kemudian membuat mereka tak lagi sejalan dalam perjuangan. Pada awal 1828, menurut J. Hageman, J.C.Z, dalam bukunya Geschiedenis van den oorlog op Java, van 1825 tot 1830 (Batavia, Lange & Co., 1856), Dipo Negoro telah menunjuk seorang Kyai yang baru menggantikan Kyai Mojo. Itu dilakukan oleh Dipo Negoro justru pada bulan puasa, bulan Ramadhan.
Lalu, menurut catatan Hageman, pada 31 Oktober 1828 dilangsungkan perundingan antara Kyai Mojo dengan Kolonel Le Bron de Vexela di salah satu tempat di wilayah Pajang. Jumlah pasukan Kyai Mojo, tulis Hegaman waktu itu sebanyak 3000.
“Setelah beberapa menit hening, Kjai Mojo mulai berbicara tentang hal-hal imannya,” tulis Hageman menggambarkan suasana perundingan itu.
Pertemuan ini belum mendapat kata sepakat. Lalu digelar lagi perundingan kedua pada 5 November. Dari pihak Belanda hadir Komisaris Nahuys, residen Van Nes, dua pejabat pemerintah, para ulama dan Wiro Negoro. Lalu pihak Kyai Mojo bersama ulama lainnya.
“Pertemuan berlangsung di pendoppo atau bangunan terbuka di lapangan,” tulis Hageman.
Seorang dari pihak Belanda mengatakan kepada Kyai Mojo bahwa mereka harus menghentikan perang. Namun, Kyai Mojo menolak membuat perjanjian. Dengan kata lain, Kyai Mojo menolak menyerah. Perundingan pun gagal.
Pada malam 11 November, Kyai Mojo dan sekira 500 laki-laki bersamanya melakukan perjalanan dari Magelang menuju ke timur. Pasukan yang dipimpin Kolonel Le Bron de Vexela mengincar mereka dari belakang. Di suatu tempat di Bantjer dekat Kamelokko, pasukan Kolonel Le Bron de Vexela mendapati kelompok Kyai Mojo sedang tertidur karena kelelahan.
Ini rupanya jadi kesempatan bagi pasukan Kolonel Le Bron de Vexela untuk menangkap mereka tanpa perlawanan. Tercatat, penangkapan itu terjadi pada 12 November. Pasukan Kolonel Le Bron de Vexela mengikat sang kyai. Semua orang yang ditangkap lalu di bawah ke Semarang oleh batalion infantri.
“Kjai Mojo, menunggang kuda, mengenakan samaar dari kain hijau gelap, khas warna Islam, dengan sorban besar di kepala,” tulis Hageman.
Menyusul setelah Kyai Mojo sekira 80 ulama lainnya. Meski begitu, para pendukung Kyai Mojo masih tersebar di beberapa tempat, antara lain di dataran tinggi Bageleen, Gowong, Ledok dan Pekalongan. Mereka dipimpin oleh Mas Loera dan Imam Moeska.
Dari Semarang, pada 5 April 1829 Kyai Mojo dan pengikutnya dikirim ke Batavia menggunakan kapal laut. Setelah melalui proses hukum di Batavia akhirnya diputuskan Kyai Mojo dan sekira 60-an pengikutnya dibuang ke Manado. Ulama lainnya, seperti Imam Moesba dibuang ke Amboina. Masing-masing mereka mendapat biaya hidup oleh pemerintah Belanda sebesar 1.500 gulden sebulan.
Perang Jawa benar-benar berakhir pada Maret 1830, yaitu ketika pangeran Dipo Negoro ditangkap pada sebuah perundingan di Magelang. Ia lalu di dikirim ke Batavia. Pangeran Dipo Negoro lalu divonis hukuman. Ia dibuang ke Makassar hingga meninggal pada 1855 di usia 74 tahun. Sementara Kyai Mojo tinggal dan menetap di Tondano.
Pada tahun 1831, NZG menempatkan seorang zendeling di Tondano, Johann Friderich Riedel bersama istrinya, Maria Williams. Menurut catatan Graafland, Kyai Mojo sering berkunjung ke rumahnya zendeling Riedel. Mereka beberapa kali melakukan percakapan.
“Ia menerima darinya sebuah buku Injil,” tulis Graafland.
Sayang Graafland tak menceritakan secara jelas pertemuan antara mereka, apa yang dibicarakan dan bagaimana kesan masing-masing pihak. Mungkin, Graanfland tak terlalu tertarik dengan relasi, apapun bentuknya, dua tokoh agama ini, yang satu fanatik Islam dan yang satunya lagi fanatik Kristen.
Kyai Mojo masih hidup sekira 19 tahun sejak kedatangannya pertama tahun 1830. Ia meninggal dan dimakamkan di sana pada 21 (di makamnya di Tondano disebut tanggal 20) Desember 1849.(*)
Editor: Daniel Kaligis