FEATURE
Lapangan Perjuangan Sungai Lebur
Published
6 years agoon
By
philipsmarx27 Maret 2019
Oleh: Darmanto Simaepa
Lapangan sepakbola menjadi saksi sekaligus monumen perjuangan petani merebut kembali tanah yang dirampas.
NAMANYA GAGAH: Lapangan Perjuangan.
Tidak seperti aura yang bisa dibayangkan dari kata itu, penampilannya tak begitu mengesankan. Ia lebih pas digambarkan sebagai bekas ladang kecil yang ditinggal merantau oleh pemilik yang kecewa. Seperti kebanyakan lapangan desa di pinggir kebun sawit dan karet sepanjang pantai timur Sumatra, Lapangan Perjuangan adalah satu-satunya tempat cahaya matahari bisa leluasa menembus tanah.
Dari jauh, lapangan itu adalah sebuah jeda kecil dari panorama yang membosankan, tempat mata bisa mengalihkan diri dari tangkai-tangkai palem dan pohon-pohon bergetah. Meskipun bisa memberi suaka sementara, lapangan itu tak memberi kesan sejuk dan menentramkan. Rumput-rumput kering tumbuh saling tindih di atas tanah podzolik kuning kemerahan yang bergelombang. Garis-garisnya sudah kabur, tertimbun ilalang, semak dan bakung liar yang berebut hara. Cekungan kecil di sudut utara mirip rawa kecil, tempat semak liar berduri menyimpan air hujan Januari dan menancapkan akar-akarnya.
Dari dekat, permukaannya seperti wajah bulan di saat purnama. Di musim kering, panas matahari dan angin lengas menciptakan gurun tiruan, tempat telur-telur kadal kecil ditetaskan. Di musim hujan, rintik gerimis akan menciptakan kolam-kolam kecil dan kebun keladi liar musiman, mengundang katak untuk benyanyi sepanjang malam. Dari sudut pandang geometri, lapangan ini dibuat tanpa memperhatikan presisi. Bentuknya tak persegi, menyerupai ketupat setengah matang yang diangkat dari perapian sebelum waktunya.
Lapangan itu berwarna sepia, lengang dan sendirian.
Meskipun tak jauh dari pemukiman, ia berada di pinggiran. Jauh dari jalan utama tempat penduduk desa bersosialiasi. Jika deru suara kereta dan mobil menjauh, suara yang terdengar dari situ hanyalah lenguhan lembu di kejauhan. Satu-satunya wibawa yang ditunjukkannya adalah pipa besi putih tanpa jaring di tiap sisinya. Gawang-gawang itu berdiri gagah. Kontras dengan warna kusam di sekelilingnya. Jamur dan karat belum mampu memudarkan campuran kapur putih dan cat yang melapisnya.
Anak-anak jarang main ke sana. Mereka lebih memilih untuk menyusuri jalanan dengan kereta atau asik dengan permainan atau video di telepon pintar. Desa ini tak punya cukup pemuda untuk membentuk dua kesebelasan. Hampir semua warga usia produktif pergi mengadu nasib ke luar desa. Selain orang-orang tua yang tak lagi menaruh minat, yang tersisa di kampung adalah adalah pria-pria mendekati paruh baya yang yang terkuras tenaga mendaras karet atau memetik tandan sawit.
Pertandingan bola terakhir adalah final turnamen antar kampung, yang pertama kali sekaligus terakhir pernah digelar di lapangan itu, empat atau lima tahun lalu. Satu-satunya pengunjung setia lapangan itu adalah kambing-kambing setengah liar, dan sesekali lembu yang berhasil menerobos pagar.
Sejarah dan Napas Sungai Lebur
Sepakbola bukanlah napas dan sejarah Sungai Lebur. Selama lima hari empat malam tinggal di desa itu, aku tak menemukan kehidupan sepakbola. Bila di lain tempat seragam murahan Real Madrid atau Manchester United menjadi kebanggaan dan dipakai sampai warnanya memudar atau titik-titik jamur mengalahkan corak aslinya, anak-anak di sini lebih memilih bertelanjang dada atau lebih suka dengan seragam olahraga sekolah. Di teras-teras tak pula nampak bekas sepatu-sepatu dengan pul yang berserakan.
Terletak sekitar dua jam dari jalan raya Aceh-Medan, penampilan Sungai Lebur sangat khas desa perkebunan. Rumah-rumah di kiri-kanan jalan mengikuti arah jalan yang mengangkut hasil panenan. Di belakang areal pemukiman itu, tak ada apapun kecuali karet dan sawit. Masjid, balai desa dan kedai-kedai sederhana adalah tempat berkumpul dan bersosialisasi. Di tengah hamparan perkebunan, bisa dipastikan lapangan desa yang luas dan memadai adalah kemubaziran.
Di akhir pekan, saya berjalan sekitar 400 meter untuk mengamati siaran televisi.
Rumah-rumah berada dekat jalan sehingga kita bisa melihat layar kaca dari jendela atau pintu yang terbuka. Ibu-ibu dan anak-anak menghadap televisi. Beberapa orang tua duduk santai di teras. Jam sebelas malam, saya beberapa kali berhenti di depan 30-an rumah yang hampir semuanya menyalakan TV. Malam itu, SCTV menyiarkan laga Manchester United di Piala FA sementara RCTI menayangkan laga Barcelona. Hampir semua televisi memilih Nassar yang sedang memberi komentar ceriwis kepada salah satu kontestan menyanyi dangdut yang suaranya jauh lebih baik dari suaranya sendiri.
Sungai Lebur tidak punya memori bahwa mereka pernah punya tim bola yang disegani di daerah sekitar atau pemain hebat yang dibicarakan selama beberapa generasi. Bagi orang tua dan mereka yang tidak bisa meninggalkan kebun, kehidupan berpusat di sekitar menggores pohon karet dan mengunduh tandan sawit. Di malam hari, setelah beribadah di mushala, ruang keluarga adalah pusat sosialisasi. Bagi mereka yang berhasil, kehidupan berada di luar desa – di rimba raya Riau, pedalaman Kalimantan atau pabrik-pabrik kaleng di Malaysia.
Sejarah Sungai Lebur adalah sejarah perkebunan dan ketakberdayaan yang dibawanya.
Hampir 89% dari 5019 penduduknya adalah Pujakesuma, putra Jawa kelahiran Sumatra. Bisa dispekulasikan, mereka adalah keturunan buruh-buruh Jawa yang dulunya diperkerjakan-paksa oleh perusahan-perusahan perkebunan multinasional di sepanjang pantai Sumatra Timur, yang di era kolonial dikenal dengan Sumatra Plantation Belt. Meskipun mereka berbahasa Jawa, berdoa dengan bahasa Jawa, menikah dengan cara Jawa, barangkali hanya satu-dua orang yang pernah benar-benar menghirup udara Pulau Jawa.
Kisah asal-muasal desa ini pergi dengan diam bersama generasi awal yang mendiami area itu sekitar seabad yang lalu. Orang-orang tua yang masih hidup, entah karena keengganan, kesengajaan atau memang ketidakpedulian, kesulitan memberikan riwayat terperinci asal muasal desanya. Ingatan tertua tentang Sungai Lebur paling jauh bisa di lacak sampai sedikit di masa pendudukan Jepang atau sedikit sebelumnya.
“Sebelum Jepang datang, perusahaan yang dipunyai Tuan Besar Chris Wehh, menyerobot tanah kami,” kenang Pak Dua, Ketua Serikat Tani Sungai Lebur.
Dari asal usul nama dan penyebutannya, besar kemungkinan Tuan Wehh adalah pemegang konsesi tanah-tanah perkebunan kolonial Belanda yang didirikan di atas tanah-tanah yang sudah didiami dan diklaim oleh pendahulu orang-orang Sungai Libur. Selama Tuan Wehh menguasai lahan, mereka tidak diperbolehkan masuk ke dalam areal perkebunan.
Lalu Jepang datang. Atas bantuan Jepang, tanah-tanah milik Tuan Wehh diambil oleh rakyat.
“Meskipun begitu, orang tua kami bercerita mereka menderita karena dipaksa bekerja oleh Nippon,” kata Hurli, salah seorang pengurus serikat tani.
Jepang memaksa penduduk Sungai Lebur untuk menanam tanaman perang – jewawut, umbi-umbian, jarak – dan mengirimkannya ke lumbung di kota kecamatan. Masa Jepang adalah masa di mana mereka harus makan ganyong dan tanpa uang. Semua hasil bahan makanan dan tenaga diambil untuk kepentingan Jepang.
Setelah Jepang lari, warga leluasa mengerjakan lahan. Periode kemerdekaan sampai Demokrasi Terpimpin di kenang sebagai periode paling tenang. Orang-orang muda yang penuh tenaga bisa memperluas lahan-lahan mereka ke arah hulu sungai yang masih rimba. Meskipun kehidupan sangat sulit, orang Sungai Lebur mengenang era di mana mereka tidak hidup memburuh. Jarang orang pergi ke luar desa untuk mencari pekerjaan. Sungai-sungai masih penuh ikan. Hutan memberi hewan buruan. Sementara balok-balok kayu dari rimba sekitar memberi sumber penghasilan tambahan.
Di tahun 1960an, beberapa orang punya ide membuat irigasi. Namun, mereka tidak punya keuntungan geografi dan demografi. Tangan telanjang dan perkakas sederhana bukan tandingan bagi tanah-tanah keras berbatu. Meskipun irigiasi teratur tak bisa diharapkan dan tanah-tanah liat merah membuat padi berbuah tapi tidak berisi, orang-orang masih membuka dan mengelola sawah. Lahan-lahan kurang subur di sekelilingnya ditanami apa saja yang bisa dijual.
Derita besar masuk Sungai Lebur di tahun 1970. Direktorat Agraria Wilayah I Sumatra Utara mengeluarkan surat pernyataan bahwa sebagaian besar wilayah desa Sungai Lebur berdiri di atas lahan Perkebunan milik Negara.
Entah bagaimana asalnya, PT Perkebunan Nusantara III menyebut warga menduduki lahan negara. Setelah melalui proses litigasi, 309 tanah persil milik warga Sungai Lebur seluas kurang lebih 500 hektar yang masuk areal perkebunan dikeluarkan dan diberikan sertifikat hak milik kepada warga. Untuk menebusnya, tiap pemilik tanah harus membayar Rp. 22.260 kepada pemerintah untuk tiap 1 hektar tanah yang telah bersertifikat.
Bagi sebagian warga yang lain yang tanahnya tidak diakui oleh pemerintah, mereka harus keluar dari areal yang diklaim PTPN. Tak lama setelah perampasan tanah tuntas, kehidupan warga merosot.
Laporan Dewan Perwakilan Daerah Langkat tertanggal 8 September 1975 menyebut bahwa warga yang dipindahkan kehilangan mata pencaharian utamanya. Rumah-rumah yang dibongkar tidak mendapat ganti rugi sehingga banyak warga yang tidak punya tempat tinggal yang layak di tempat yang baru. Sementara itu, tanah-tanah penampungan tidak cukup, jauh dari ladang-ladang, dan terancam banjir dan erosi.
Situasi kian memburuk ketika Kasbun, Kepala Desa Sungai Lebur periode 1975-1979, meminta surat-surat tanah warga dengan alasan untuk diperbaharui. Takut oleh ancaman dituduh sebagai PKI, warga terpaksa menyerahkannya. Sejak tahun 1976, tak ada satupun warga yang melihat surat tanahnya kembali.
Di tahun 1978, PTPN bergerak lebih jauh lagi. Areal persawahan yang tersisa mereka rampas paksa dengan bantuan tentara. Pak Sadar, satu-satunya warga yang berani melawan secara terbuka ditangkap, disiksa dan dikirim ke penjara di Tanjung Pura selama empat tahun. Tanpa surat-surat tanah dan terus menerus berada di bawah ancaman bedil dan kekerasan, ladang-ladang warga dengan gampang berganti kepemilikan menjadi milik perusahaan.
Di masa-masa puncak rezim Orde Baru, warga memilih tiarap. Konfrontasi terbuka nyaris mustahil dilakukan. Satu-satunya jalan keluar dari kesulitan politik dan hidup, terutama bagi kaum pria, adalah pergi meninggalkan desa. Mereka merantau, bekerja seadanya dan mengirim uang untuk keluarga di desa. Yang tidak merantau terpaksa menjadi buruh petik. Jika berpendidikan, menjadi kerani di kantor perusahaan perkebunan. Bagi perempuan, kehidupan berpusat di desa, mengasuh anak dan merawat tanaman yang tersisa.
Kemiskinan adalah keniscayaan yang tidak bisa ditampik Sungai Lebur. Daya politik dilumpuhkan. Yang tersisa, adalah manusia-manusia kalah yang diperas keringatnya agar mesin ekonomi perkebunan terus berjalan. Kehidupan jauh dari gejolak, meskipun di balik permukaan, api penderitaan dan perlawanan tak pernah benar-benar padam.
Serangan Balik
Tumbangnya Soeharto membuka ruang perlawanan. Keberanian yang lama dipendam dalam lumpur kemiskinan bangkit bersama kesadaran baru. Suara-suara perlawanan di seluruh penjuru negeri menggemakan kembali kepercayaan diri warga Sungai Lebur. Perlawanan diam-diam malih rupa menjadi protes terbuka. Merebut kembali tanah yang dirampas, sebuah gagasan tabu selama dua dekade, menjadi topik pembicaraan utama, dan barangkali satu-satunya di desa Sungai Lebur pasca-1998.
Pergeseran kekuasaan menciptakan revolusi kecil. Rakyat bergerak menduduki lahan-lahan perkebunan, menciptakan sengketa lahan kronis dalam skala yang luas. Gubernur, Bupati, dan Kapolda di pantai timur Sumatra Utara menyerukan maklumat bagi warga untuk tidak menyerobot lahan. Namun maklumat ini adalah gema dalam cawan. Lebih dari satu dekade, gelombang pasang perjuangan tanah warga yang hidup dalam bayang-bayang sawit tak kunjung berhenti dan memberi masalah serius bagi administratur pertanahan.
Di Sungai Lebur, perjuangan atas tanah naik ke tingkat yang lebih canggih. Dua ratus tiga petani membentuk serikat petani dan bergabung dengan gerakan petani yang lebih luas di skala nasional dan internasional. Mereka menyiapkan serangan balik yang mematikan. Lewat organisasi yang solid, peta-peta yang jelas, pengacara yang berpihak, jaringan di tingkat nasional dan internasional dan juga mantra-mantra tua Jawa untuk menangkal serangan balik dari segala penjuru yang dikirim oleh perusahaan, mereka masuk kotak penalti perkebunan.
Sepanjang tahun 2009-2011, mereka beradu fisik dan mental secara langsung dengan polisi, preman, dan centeng bayaran perusahaan di lahan-lahan yang disengketakan. Lahan perkebunan yang disengketakan menyerupai kotak penalti yang tak lagi bisa dipertahankan. Pertahanan mereka ambrol di tahun 2011 dan warga menyiapkan serangan akhir yang mematikan
Lewat kombinasi perjuangan lapangan yang gigih, pendudukan lahan tak kenal letih, dan kampanye legal yang konsisten, mereka berhasil merebut lahan. Dua ratus tiga orang petani Sungai Lebur yang berserikat berhasil merebut tak kurang dari 203 hektar tanah sengketa. Dari total tanah yang berhasil diperjuangkan, 25 hektar di berikan kepada tim 25, tim inti serikat petani yang ikut mendirikan dan terlibat langsung dalam perjuangan mengambil lahan dari awal 2000an. Dua ratus tujuh puluh anggota lain masing-masing mendapat 16,5 rante (7.200 persegi). Pembagiannya: 1,5 rante (600 persegi) untuk perumahan dan 15 rante untuk perladangan.
Enam hektar sisa tanah perjuangan yang dibagi-bagi dijadikan tanah kolektif. Setengahnya diwakafkan ke desa dan setengahnya milik koperasi petani. Tiga hektar milik koperasi di tanami ubi. Uang penjualan panen digunakan sebagai kas dan dana operasional. Tiap anggota wajib memberi sumbangan sukarela berupa tenaga untuk membersihkan ladang, menanam, dan memanen. Tiga hektar lain dicadangkan bagi kebutuhan publik di masa depan seperti sekolah, masjid, atau balai akan dibangun.
Dari tiga hektar itu, 16 rante (6.400 persegi) dari wakaf itu untuk lapangan sepakbola.
Menanam Tiang Gawang
Dari hitungan ekonomi, barangkali tidak terlalu masuk akal menanami 15 rante tanah yang diperjuangkan dengan keringat, darah dan airmata hanya dengan empat tiang. Sekurang-kurangnya, tanah seluas itu bisa ditanami 400 bibit karet bagus, yang dalam waktu waktu tak lebih dari lima tahun, bisa memberi kehidupan yang layak buat satu keluarga atau koperasi petani.
Terlebih lagi, tidak ada tanda-tanda bahwa Lapangan Perjuangan itu memberi manfaat bagi kesehatan maupun identitas kolektuf warga Sungai Libur. Lapangan itu jelas gagal mengalihkan remaja-remaja tanggung dari setang sepeda motor atau gawai-gawai pintar mereka. Tidak juga akan membangkitkan demam bola bagi orang-orang tua yang, ketika sore tiba, tak lagi punya tenaga.
Dari cerita yang mereka tuturkan, nyaris tidak ada perbedaan berarti, dalam aspek sepakbolanya, kehidupan Sungai Lebur setelah mereka punya stadion. Setiap perbincangan soal sepakbola berkhir di kalimat ketiga. Orang-orang yang saya temui tidak tertarik membicarakan PSMS atau Chelsea. Sama tidak tertariknya membicarakan siapa yang juara turnamen yang mereka selenggarakan sendiri. Dari sekitar sepuluh rumah yang punya anak muda yang teramati, saya tidak menemukan satupun poster sepakbola atau tanda-tanda bahwa sepakbola menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka.
“Jadi, mengapa perlu lapangan sepakbola,” tanya saya.
“Coba lebih penting mana, menanam gawang atau karet,” Pak Dua balik bertanya alih-alih menjawabnya.
“Paling tidak gawang-gawang itu mengingatkan masa-masa perjuangan,” sambil tersenyum, Kang Gemek, pria gondrong usia 50-an seakan memberi jawaban mewakili Pak Dua. “Di belakang gawang sebelah sana, tempat saya dan kawan-kawan berjuang melawan perkebunan sawit,” jelas Kang Gemek sambil menunjuk ke arah utara.
Kang Gemek, bersama serikat petani mempertahankan klaim-klaim tanah. Melihat PTPN juga tidak punya data-data tentang lahan yang memadai, serikat tani merebut kembali tanah-tanah itu. Salah satunya dengan cara menanami areal sekitar lapangan dengan tanaman-tanaman non-perkebunan. Dengan lahan-lahan tanpa tanaman perkebunan, pihak perusahaan kesulitan mempertahankan kepastian klaim Hak Guna Usaha (HGU).
Bagi yang lain, lapangan ini memberi kenangan yang mampu menitikkan air mata.
“Di tepi lapangan itu,” tunjuk pak Anta, “saya hampir membacok seorang polisi muda,” kenangnya.
Saat itu malam pertempuran. Tentara dikerahkan perusahaan untuk menjaga lahan sengketa. Polisi hilir mudik dengan gestur mengintimidasi warga. Preman-preman ditebarkan untuk mencegah warga bersatu dalam barisan. Hari itu, suasana mengeras dan mengancam. Kabar menyebut, pihak perkebunan akan menghabisi tanaman warga. Tiap anggota serikat dihimbau untuk memperhatikan keselamatan keluarga, namun juga dipersiapkan untuk menyerang balik ketika ada setetes darah tertumpah.
Sehabis sholat Isya, Pak Anta menghunus aritnya. Agar tidak mencolok, arit disembunyikan di balik sarung yang ia selempangkan di pundak. Tahu bahwa arit tidak ada di tempatnya, istrinya mulai meratap-ratap.
Di lapangan itu, teman-teman anggota serikat tani sudah berkumpul dan shalawatan. Di ujungnya, polisi dan tentara siap siaga dengan pistol, senapan dan pentungan. Saat lewat tikungan terakhir meninggalkan pemukiman dan masuk lapangan, dua orang polisi menghampirinya. Udara dingin dan langit gelap-pekat. Darah Pak Anta berdesir. Polisi berbaris rapi dan mengangkat senjatanya. Tiba-tiba saja tangannya panas. Untungnya, bentrokan berdarah bisa dihindari.
“Mungkin mereka takut juga,” seloroh Pak Anta.
Lapangan itu juga menjadi situs yang diingat oleh petani-petani perempuan. Di dekat lingkaran tengah yang telah hilang, perempuan-perempuan petani ikut turut berdiri menghalangi orang-orang suruhan Perkebunan untuk menggusur pagar-pagar lahan yang telah mereka siapkan.
“Kalau ingat kejadian itu, saya masih merinding. Kita waktu itu tidak yakin bisa pulang ke rumah dengan selamat,” kata Ibu Sus, salah satu perempuan pejuang dari serikat petani Sungai Lebur.
Bagi puluhan anggota serikat petani, Lapangan Perjuangan memiliki memori tersendiri yang dikenang. Meskipun terkesan remeh, memelihara dan membangkitkan kenangan adalah salah satu cara menjaga semangat perjuangan. Lapangan itu adalah sebuah situs tempat kenangan atas perjuangan lahan tidak hanya disimpan, tetapi juga secara aktif terus diproduksi dan dibagi. Perjuangan atas sumberdaya adalah perjuangan atas makna. Dengan menciptakan ingatan di atas Lapangan Perjuangan, serikat petani di Sungai Lebur berjuang memberi makna bagi lapangan sepakbola.
Enam tahun setelah warga berhasil merebut tanah perkebunan, kepastian kepemilikan dan pengakuan formal dari negara masih jauh dari genggaman.
Secara de facto, tanah-tanah itu sudah kembali di tangan petani. Mereka sudah leluasa menanam karet, ubi, sereh dan beragam tanaman palawija lainnya. Satu dua gubuk-gubuk sementara juga sudah berdiri. Namun, secara de jure, tanah itu masih dalam status sengketa. Perkebunan kapan saja bisa menyerang balik. Dengan instrumen legal dan ekstra-legal, mereka bisa membakar gubuk-gubuk, mencabuti tanaman-tanaman penduduk, dan memaksa warga masuk ke rumah sakit atau penjara.
“Tiang gawang itu tidak sendirian. Lapangan itu ikut berjuang,” Pak Dua memberi penekanan.
Tiang gawang itu menandai bahwa tanah itu adalah areal non-Perkebunan. Tanpa Lapangan Perjuangan, areal itu tidak berbeda dengan kawasan-kawasan bera yang diklaim masuk Perkebunan. Lapangan Perjuangan itu, jelas-jelas, bukanlah sekadar tempat merayakan perjuangan. Bukan tempat di mana sepakbola dipertandingkan untuk memperingati perjuangan. Lapangan Perjuangan itu sendiri adalah medium dan makhluk perjuangan. Dua tahun setelah lahan perjuangan berhasil, turnamen sepakbola antar desa dihelat di lapangan itu sekaligus sebagai perayaan Hari Tani Sedunia.
“Ramai sekali dan barangkali turnamen yang pertama di daerah sekitar sini yang bisa diingat generasi saya,” begitu Pak Dua memberi penekanan.
Ketika saya bertanya berapa tim yang ikut dan siapa saja yang juara, ia tidak ingat lagi. Pengurus serikat petani yang lain juga tak mengingatnya. Namun, ingatan tentang sepakbola bukanlah yang paling penting buat serikat tani Sungai Lebur.
Taktik menciptakan lapangan terasa lebih maju dari teks-teks antropologi tahun 1990an tentang perlawanan penduduk pedalaman di Indonesia atas penghancuran kehidupan. Saat itu, di banyak tempat di mana ekstraksi kayu dan ekspansi perkebunan berjalan seiring peramasan sumber daya lokal, penduduk desa cepat-cepat menanami lahan-lahan yang dicadangkan untuk skema-skema konsesi (HPH, HTI, dan Perkebunan) dengan tanaman tahunan – pohon, semak dan komoditi seperti kopi, kakao.
Tanaman-tanaman tahunan itu menjadi alat yang efektif untuk menciptakan klaim-klaim kepemilikan. Jika perusahaan dari luar atau pejabat pemerintah datang, warga bisa menyatakan bahwa itu bukanlah tanah kosong. Tanaman-tanaman tahunan itu adalah bukti bahwa tanah itu sudah dibudidayakan selama beberapa generasi. Jikapun mereka kalah dan skema konsesi bersikeras menggusur, mereka punya daya tawar untuk meminta ganti rugi atau kompensasi yang tinggi.
Sungai Lebur bergerak lebih jauh.
Mereka tidak lagi menanam karet atau pohon di atas tanah yang mereka klaim. Melainkan dua pipa besi berkaki dan bercat putih. Lalu membuat garis tepi persegi di antara dua pipa besi itu. Pipa besi berkaki itu memang benda mati. Ia tidak bisa hidup. Namun kekuatannya jauh lebih hidup dari tanaman tahunan.
Secara simbolik, tiang gawang dan Lapangan Perjuangan mewakili suatu bentuk kehidupan.
Kehidupan ini tidak bersifat ekonomi dan tenurial, seperti yang dimiliki oleh tanaman kopi dan cengkeh. Tiang gawang itu tidak tumbuh dan tidak menutupi seluruh tanah, justru ia meminta tanah itu untuk diberakan. Kendati begitu, kehidupan tiang gawang adalah kehidupan yang melampaui kehidupan bercocok tanam. Jika pohon kopi atau karet kopi menggambarkan dunia budidaya, maka gawang di lapangan sepakbola di tanam secara bersama-sama menunjukkan kehidupan warga sebagai kolektif.
Kehidupan yang diwakili oleh lapangan adalah kehidupan kolektif dan bersifat publik. Lapangan adalah bagian dari kehidupan warga desa sebagai warga negara. Dengan memberi lapangan, serikat petani ikut berkontribusi terhadap warga di luar serikat petani atau warga sepakbola dari luar desa. Siapapun bisa main di sana. Dengan memberi lapangan, serikat petani juga memberi pengabsahan atas cita-cita dan hasil perjuangan yang selama ini mereka lakukan.
“Kan payah mereka kalau menggusur lapangan,” Kang Gemek melanjutkan.
Dan itu yang membuat mereka memilih turnamen sepakbola desa sebagai cara untuk menguatkan legitimasi perjuangan atas lahan. Perusahan, institusi pemerintah dan warga dari desa-desa tetangga tahu dan berpartisipasi. Absennya keberatan dari pihak perkebunan dan lembaga pemerintah atas penyelenggaraan turnamen desa itu untuk memberi dorongan moral dan politik bagi warga Sungai Lebur bahwa, hak-hak mereka atas tanah perjuangan telah diakui. Meskipun negara dan perusahaan belum mengakui tanah-tanah perjuangan mereka, penggunaan lapangan sebagai turnamen resmi desa memberi pengakuan publik bahwa tanah itu bukan milik perusahaan.
Menanam tiang gawang dan menciptakan Lapangan Perjuangan adalah imajinasi dan tindakan politik yang sangat menawan dari epos perjuangan serikat petani Sungai Lebur. Mereka mengangkat derajat lapangan, dari sekadar tempat iven kemenangan dirayakan, tapi menjadi bagian dari perjuangan merebut kembali tanah yang belum selesai.
Memanglah, lapangan itu belum memenangkan hati remaja-remaja tanggung desa dan tidak lagi membangkitkan jiwa olahraga generasi tua.
Sebulan setelah aku meninggalkan desa itu, aku mencari tahu apakah lapangan itu pernah digunakan. Jawaban yang aku terima masih sama seperti yang aku tanyakan pertama kali. Aku membayangkan lapangan itu tetap murung dan kesepian. Hanya kambing yang lapar dan kadal yang sedang birahi saja yang bersenang-senang di sana.
Namun, lapangan itu telah memberi makna baru bagi perjuangan warga Sungai Lebur untuk penghidupannya. Lapangan Perjuangan bukanlah tempat orang desa bersosialisasi setelah tugas-tugas wajib kehidupan. Lapangan itu bukan tempat bersenang-senang bagi anak anak yang mabuk seoakbola. Lapangan itu juga tidak diniatkan untuk membangun identitas desa.
Lebih dari itu semua: Lapangan Perjuangan adalah tempat makna berjuang mendapatkan lahan dan mengatasi sejarah kemiskinan, makna melawan kesewenang-wenangan, dan bayangan masa depan disematkan. Di balik penampilannya yang mengeringkan air mata, lapangan itu adalah bagian integral dari perjuangan tanah dan makna kehidupan sebagai warga negara, yang masih berlangsung hingga kalimat terakhir ini dituliskan.(*)
Editor: Andre Barahamin