Connect with us

FEATURE

Larangan Kampanye di Balay dan Diskriminasi Agama Tradisi

Published

on

20 Februari 2019


Oleh: Andre Barahamin


Upaya memperjuangkan lolosnya RUU Masyarakat Adat yang mesti dilakukan dari dalam parlemen adalah salah satu alasan mengapa AMAN sejak Pemilu 2009 melakukan konsolidasi politik.

 

“PASWASCAM BILANG bahwa Balay tidak bisa digunakan sebagai TPS,” kata Rubi Juhu. Rubi adalah salah satu dari sekian ratus pemegang hak suara dari komunitas adat Dayak Meratus di Alai Batang Tengah, Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Rubi juga terlibat aktif sebagai pengurus di tingkat komunitas untuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Komunitas adat Dayak Meratus mendiami daerah ekosistem pegunungan Meratus, kawasan pegunungan yang membelah Kalimantan Selatan menjadi dua. Daerah ini membentang sepanjang kurang lebih enam ratus kilometer persegi, dari arah tenggara dan membelok ke arah utara hingga perbatasan Kalimantan Timur.

Pegunungan Meratus secara administratif lalu dibagi ke dalam delapan kabupaten di provinsi Kalimantan Selatan: Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Selatan, Tabalong, Kotabaru, Tanah Laut, Banjar dan Tapin.

Pegunungan Meratus adalah kawasan hutan yang termasuk dalam kategori hutan pegunungan rendah. Kawasan ini memiliki keragaman hayati yang tinggi dengan variasi vegetasi yang unik. Kawasan hutan ini sebagian besar merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai, yang membuatnya memiliki peran strategis sebagai zona resapan air.

Hutan adalah satu bagian penting dalam lingkaran kehidupan komunitas Dayak Meratus.

Membicarakan hutan bagi orang-orang Dayak Meratus tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan tentang tanah. Dalam kosmologi orang-orang Dayak Meratus, tanah adalah asal mula manusia. Itu mengapa tanah mendapatkan penghormatan yang sangat tinggi dan merupakan harta kekayaan yang tidak bisa diperlakukan secara sembarangan.

Hartatik dalam Jejak Budaya Meratus dalam Perspektif Etnoreligi (2017) menjelaskan bahwa narasi kosmologi ini menciptakan tatacara tertentu untuk mencapai keseimbangan hidup dalam interaksi antara manusia Dayak Meratus dengan alamnya, yang disebut sebagai Aruh.

Memiliki tanah yang luas merupakan anugerah bagi masyarakat Meratus. Mereka mengandalkan sumberdaya alam setempat (resource based activity) dan mengambil secukupnya yang mereka butuhkan. Di dalam “Masyarakat Adat Dayak Kiyu Meratus, Kalimantan Selatan” -terbit sebagai salah satu bab dalam Hutan untuk Masa Depan: Pengelolaan Hutan Adat di Tengah Arus Perubahan Dunia, Andy Syahruji menjelaskan bagaimana setiap Umbun (unit keluarga) memiliki jatah tanah masing-masing enam payah (±3 hektar) tanah. Satu Umbun dapat memiliki tanah lebih dari enam payah jika dianggap perlu dan memiliki kemampuan untuk mengelola.

Sistem kepemilikan tanah masyarakat Dayak Meratus didasarkan pada kesepakatan dan kepercayaan dalam aturan adat. Kesepakatan ini dilakukan dan diikat secara oral dan tanpa menggunakan bukti tertulis.

Jadi, meskipun tanah tersebut secara turun-temurun dimiliki oleh masyarakat Dayak Meratus, namun tidak satu pun dari mereka yang memiliki surat kepemilikan tanah. Batas-batas tambit (kepemilikan) yang digunakan adalah penanaman tanaman keras seperti karet atau kayu manis, rumpun bambu atau kayu lurus, batang pinang dan sungai.

Penentuan batas ini merupakan kesepakatan antar pemilik-pemilik lahan yang berbatasan langsung sehingga tidak timbul masalah di kemudian hari.

Secara garis besar menurut Hartatik, sistem kepemilikan tanah digolongkan berdasarkan pewarisan, perkawinan, jual beli dan sistem sewa. Berdasarkan pewarisan pembagian tanah yang dilakukan oleh orang tua kepada anak-anaknya lebih melihat pada seberapa besar kemampuan masing-masing anak mampu mengelola lahan, tanpa membedakan jenis kelamin.

Melalui perkawinan, kepemilikan tanah dapat juga diberikan apabila salah satu anggota komunitas menikah dengan orang luar dan memilih untuk tetap tinggal di dalam wilayah Dayak Meratus. Maka kepadanya, diberikan izin untuk mengelola tanah di sekitar wilayah Balay.

Jual beli juga menjadi salah satu mekanisme yang dikenal oleh warga Dayak Meratus. Namun praktek jual beli dibatasi secara tegas sehingga transaksi pemindahkuasaan tanah hanya dapat dilakukan di antar anggota komunitas.

Sementara sewa menyewa lahan hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Kepala Padang. Tanah yang menjadi obyek sewa hanya boleh ditanami palawija atau tanaman jangka pendek lainnya. Syarat pembayaran sewa bukan dalam bentuk uang, namun dalam bentuk bagi hasil atas panen antara pemilik lahan dan penyewa. Pemilik lahan yang tidak mengolah lahan akan mendapatkan bayaran sewa dalam bentuk sepertiga hasil panen yang dihasilkan oleh penyewa.

Kepemilkan tanah bisa hilang apabila pemilik tanah meninggal dunia atau menelantarkan lahannya dan keluar Balay.

Beberapa bagian dalam hutan diperuntukkan sebagai Katuan (hutan) larangan yang tidak boleh digunakan untuk bahuma (bercocok tanam) karena dipercayai sebagai kediaman leluhur. Katuan larangan merupakan kawasan hutan yang sama sekali tidak boleh ditebang. Meskipun hasil hutan lain (selain kayu) masih bisa diambil oleh masyarakat. Biasanya Katuan larangan berada di daerah pegunungan di ketinggian 700 mdpl (meter di atas permukaan laut). Daerah ini biasanya merupakan wilayah penyangga ekologi, terutama resapan air.

Sementara bagian lain yang diolah kemudian ditanami beberapa tanaman keras seperti karet. Ini adalah areal yang disebut kebun gatah. Sedangkan ladang biasanya dibuka di daerah taniti (perbukitan) atau datar (lembah). Sementara kampung dibangun di daerah yang lebih rata dan berlokasi tidak jauh dari taniti.

Bagi masyarakat Dayak Meratus, setiap anggota komunitas harus mengetahui ada wilayah-wilayah yang tidak boleh dikelola untuk menghindari kutukan leluhur. Aturan-aturan tersebut dipertegas dan disebarluaskan dalam pertemuan-pertemuan bersama yang dilakukan di balai adat.

Inilah ruang kolektif yang disebut Balay, yaitu ruang adat yang dipergunakan untuk keperluan yang menyangkut kebutuhan bersama. Signifikasi Balay terutama terlihat saat dilangsungkannya ritual keagamaan.

Setiap Balay dipimpin oleh Tamanggung yang memiliki kewenangan sebagai pemimpin komunitas. Tamanggung memiliki kewajiban untuk memimpin sekaligus menjadi pencatat musyawarah yang dilaksanakan di dalam komunitas. Untuk mendampingi Tamanggung, terdapat sesepuh adat yang disebut dengan Tetuha, dengan kapasitas pengetahuannya memiliki kewenangan sebagai penilai atau juri dalam sengketa yang terjadi di lingkungan balai.

Terkait dengan penyelenggaraan upacara adat keagamaan seperti Aruh Adat, akan ditunjuk seseorang yang disebut sebagai Kepala Balian. Sementara untuk mengurusi soal-soal menyangkut pernikahan anggota komunitas, seorang bernama Pangulu (penghulu) akan ditunjuk. Ini adalah persona yang diberi mandat oleh warga untuk mengurusi segala persiapan hingga berlangsungnya pesta pernikahan yang dilangsungkan secara adat.

Ruang inilah yang kemudian oleh Panitia Pengawas Pemilu Tingkat Kecamatan (Panwascam) dilarang digunakan sebagai tempat untuk melakukan kegiatan terkait Pemilu. Terutama kampanye.

Menurut Ketua Panwascam Batang Alai Timur, Rustam Effendi, Balay dikategorikan sebagai tempat ibadah karena sejak dulu merupakan tempat yang dianggap suci dan digunakan sebagai tempat kegiatan keagamaan. Beberapa Balay juga digunakan menjadi sanggar seni dan budaya dan mendapatkan dukungan pendanaan dari Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Dukungan pembiayaan terkait kegiatan seni budaya tersebut membuat Balay dikategorikan sebagai fasilitas milik Pemerintah.

Pandangan ini dinilai sebagai sikap anomali dari institusi negara.

Abdi Akbar, Direktur Direktorat Perluasan Partisipasi Perluasan Politik Masyarakat Adat (P3MA) AMAN, mengatakan bahwa penilaian infrastruktur adat sebagai bagian integral keyakinan religius masyarakat adat tidak dibarengi dengan pengakuan terhadap agama-agama tradisi. Dengan sengaja mengabaikan fakta bahwa di luar enam agama yang diakui secara resmi oleh negara, masih banyak komunitas-komunitas masyarakat adat yang menjalankan kepercayaan leluhur dan tidak mendapatkan jaminan serta perlindungan atasnya.

“Kalau Balay dianggap sebagai tempat ibadah, apakah kita dapat menyebutkan bahwa negara sudah secara otomatis mengakui keberadaan agama-agama tradisi?” tanya Akbar.

Diskriminasi dan ketidakpastian sikap negara menyangkut agama-agama tradisi bukan hal baru di Indonesia. Salah satunya adalah kebijakan pengosongan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi mereka yang masih memeluk agama tradisi. Hal tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 (UU No.24/2013). Namun pada faktanya, UU tersebut membuka jalan terhadap diskriminasi berlapis bagi masyarakat adat yang memeluk keyakinan tradisi.

Aparatus negara pada prakteknya mempersulit anggota masyarakat adat penganut agama tradisional saat hendak melakukan perkawinan, mengurus akta kelahiran, mengakses pekerjaan dan akhirnya tidak dapat mengakses hak atas jaminan sosial.

Dalam buku Jalan Sunyi Pewaris Tradisi terbitan TIFA Foundation, menyebutkan perjalanan penuh diskriminasi para penghayat kepercayaan di Indonesia. Sejak masa Orde Lama, masyarakat adat terpaksa harus menjalani hidup di tengah benturan dalam percaturan politik antara kelompok agama yang menginginkan intervensi penuh negara atas urusan beragama tiap warga negaranya dan kelompok komunis yang menginginkan negara netral dan tidak mengurusi persoalan tersebut.

Kondisi masyarakat adat yang memeluk agama tradisi semakin dipersulit saat pemerintah Peraturan No. 1/PNPS TAHUN 1965 Tentang pencegahan penyalahgunaan, dan/atau penodaan agama. Peraturan ini secara langsung menyudutkan penghayat kepercayaan. Permasalahan tentang diskriminasi ini berlanjut pasca-tragedi 1965. Keteguhan sikap anggota-anggota komunitas masyarakat adat untuk terus melestarikan keyakinan religius mereka membuat mereka dituduh sebagai anti-agama dan dianggap sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

Peralihan rezim setelah Soeharto tumbang juga tak kunjung memberikan harapan positif. Dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) No. IV/ MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dengan tegas menyebutkan bahwa agama-agama tradisi sebagai Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan tidak dapat dikategorikan sebagai agama. Meskipun faktanya, TAP MPR tersebut lahir sebagai kompromi karena Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengancam akan melakukan walk-out dari MPR jika penghayat diakomodir dalam GBHN dan mendapatkan posisi setara dengan agama.

“Aliran kepercayaan dipercaya akan mengurangi jumlah pemeluk Islam. Masalah ini yang kemudian direspons oleh umat Islam di berbagai daerah seperti Bandung dan Yogyakarta, dengan turun ke jalan, menentang perbincangan mengenai aliran kepercayaan itu,” demikian tertulis dalam Jalan Sunyi Pewaris Tradisi.

Hal ini juga yang menimpa masyarakat adat Dayak Meratus. Banyak dari anggota komunitas mereka yang pada akhirnya tidak terdaftar sebagai pemilih karena tidak memiliki KTP. Akibat langsungnya adalah ancaman eksklusi dalam upaya mereka berpartisipasi di dalam pemilihan umum.

Hal tersebut mendapatkan sorotan tajam dari Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jendral (Sekjen) AMAN. Bagi Sombolinggi, hal tersebut makin mempertegas kebutuhan mendesak bagi masyarakat adat di Indonesia untuk diakui hak-haknya. Salah satunya adalah dengan sesegera mungkin mendorong pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat yang hingga kini masih menggantung.

“Ini mengapa perjuangan untuk meloloskan RUU Masyarakat Adat menjadi sangat penting. RUU ini tidak saja menjamin hak masyarakat adat atas wilayah adatnya, tapi juga hak-hak normatif lain seperti akses terhadap pendidikan, kesehatan dan keterlibatan di dalam iven-iven politik semisal pemilihan legislatif,” kata Sombolinggi.

Upaya memperjuangkan lolosnya RUU Masyarakat Adat yang mesti dilakukan dari dalam parlemen adalah salah satu alasan mengapa AMAN sejak pemilihan umum (Pemilu) 2009 melakukan konsolidasi politik. Cara yang ditempuh adalah dengan mengirim utusan-utusan terbaik dari komunitas-komunitas masyarakat adat untuk menjadi juru bicara mengenai aspirasi di tingkat akar rumput.

Hal ini kembali dilakukan di Pemilu 2019 dengan terlibatnya 157 orang calon di sembilan provinsi dari berbagai partai politik untuk bertarung memperebutkan berbagai kursi di berbagai level parlemen. Termasuk di dalamnya ada 20 orang yang maju sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan empat orang lain yang maju sebagai utusan Dewan Perwakilan Daerah.

 


Editor: Gratia Karundeng

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *