Connect with us

FEATURE

Laut Elok dan Hantu Karimata

Published

on

26 Januari 2019


Oleh: Daniel Kaligis


Legenda perompak-perompak bengis dari berbagai arah bersua di Karimata, adalah cerita lazim dari Selat Malaka, Laut Cina Selatan, hingga utara Laut Jawa.

POIN MENAKJUBKAN, sekaligus mendebarkan, itulah perairan di sekitar Selat Karimata, masuk di dalamnya Selat Sunda, Laut Jawa, Selat Gaspar, berikutnya Laut Cina Selatan, dan Selat Malaka. November 2018 saya ke Belitung, mengorek sejumlah data tentang Selat Gaspar, sebab tertarik pada laut dan pantainya yang elok.

John, saya kenal di Lalang. Ia tukang bangunan, dan mengerjakan apa saja yang dirasa perlu dibenahi di rumah Ayung. Dia kerabat Ayung. Subuh dia sudah terjaga, membasuh badan, menyeduh air, merebus telur ayam kampung untuk sarapan. Sepanjang hari bekerja, bila sore ia duduk ngopi menghadap televisi. Dari John, saya dengar bahwa orang-orang di Kampung Baru adalah nelayan Bugis yang sudah sekian lama menempati lokasi itu.

“Pendahulu kami bercerita tentang nelayan-nelayan dari Bugis dan Cina datang ke Belitung, mereka sudah menetap di Kampung Baru, ada yang datang dan tinggal di Tanjung Binga,  dan di kampung-kampung pesisir di tanah ini,” kata John.

John juga bertutur tentang hantu laut, bercerita soal kecelakaan yang sering menimpa nelayan di samudera.

Lalang adalah desa di kota kecil Manggar, Belitung Timur. Di Manggar ada pelabuhan penyeberangan yang sepi kapal. Dari tepi dermaga saya memandangi Kampung Baru di Seberang, laut berbatas ufuk dengan awan-awan dramatis. Saya ke pelabuhan  dan berbicara dengan Ayung di sana, bertanya pada pemancing ikan, memetik gambar. Hari itu, Kamis, 22 November 2018. Besoknya saya ke Tanjung Binga.

SENJA di Tanjung Binga. Foto: DAX

Perjalanan lumayan jauh, Jumat 23 November 2018, dari Manggar membelah Belitung, Tanjung Pandan, lalu ke Tanjung Tinggi. Sore mampir Bukit Berahu Resort di Tanjung Binga. Saya menyusur pantai ke perkampungan nelayan. Orang-orang menjemur hasil laut, anak-anak bermain di pesisir, berkejaran di setapak sepanjang pemukiman. Saya ngobrol dengan Uleng, dia nelayan dari Bone, Sulawesi Selatan. Saya bertanya pada Uleng, bagaimana dia datang ke Belitung. Raut dan keningnya mengerut, lalu berujar, “Kami orang Bugis mengarung laut dengan perahu layar, dengan Pinisi dan Lambo, mencari ikan, mencari hidup di mana saja.”

Sejarah mencatat, sejak abad tujuh belas, orang Bugis-Makassar telah mewarisi hukum niaga pelayaran. Hukum ini disebut Ade’allopiloping Bicaranna Pabbalue. ditulis Amanna Gappa pada lontar. Sambil berlayar orang Bugis – Makassar mengembangkan perdagangan ke berbagai tempat di Nusantara.

Hutan pantai membentang hingga Tanjung Kelayang. Saya membidik view, menuruni setapak, menandai pasir dengan jejak-jejak. Tanjung Binga berada pada posisi 22 kilometer di Utara Tanjung Pandan, sekitar 8 kilometer di sisi barat Tanjung Tinggi. Masih penasaran pada hantu laut, dan saya belum beroleh jawaban.

Telisik peta bumi, ambil garis ke utara menembus laut Cina Selatan. Di atas Selat Gaspar ada Kepulauan Riau, Ho Chi Minh, Vinh, Hanoi, Ningxia, Mongolia, Rusia, terus ke samudera Arctic. Selat Gaspar diapit dua pulau besar di kiri kanannya, Bangka dan Belitung. Sebaran terumbu karang, pulau-pulau nan apik, Ketawai dan Pulau Semujur, Kepulauan Pongok, Kepulaun Lepar Pongok, Kepulauan Selat Nasik, dan laut biru misterius.

Sesungguhnya Selat Gaspar ada dalam gugus Selat Karimata. Area ini membentang 150 kilometer dari selatan Sumatera, tepatnya Belitung, ke tepi barat Kalimantan. Legenda perompak-perompak bengis dari berbagai arah bersua di sana, adalah cerita lazim dari Selat Malaka, Laut Cina Selatan, hingga utara Laut Jawa.

Balik dari Tanjung Binga, ke arah Manggar lagi, tiba di Lalang sekitar 21.00 WIB. Membuka notebook memeriksa resume hingga pagi hampir. Masih penasaran dengan Manggar, Gaspar, Kelayang, Karimata, dan sejumlah nama. Cerita tutur turun-temurun oleh nelayan dan masyarakat sekitar menyebut wilayah laut itu memang angker. Apakah laut punya hantu yang siap menerkam siapa saja yang disasarnya?

Kecelakaan Angkutan Laut dan Penyeberangan

Data media, medio 22 Februari 2007, KM Levina I jurusan Tanjung Priok – Pangkal Balam – Bangka, terbakar di Selat Sunda. Pada 22 November 2009 angkutan laut Dumai Express 10 diterjang badai perairan Tanjung Balai Karimun. Berikutnya, Kapal Feri Kayong Utara, terbalik saat memasuki perairan Tanjung Api-Api, 20 Februari 2018.

Sejumlah kejadian di laut, menjadi ‘bola liar’ sebab informasi simpang siur. Asumsi dapat saja membuat berbagai opini melebar jadi keyakinan. Tiap kejadian harus diuji, harus diteropong dari berbagai sudut.

Hantu laut-kah yang menerkam kapal, memorak-porandakan samudera dengan gelombang, lalu menghisap kehidupan yang mengapung, melayang dalam asinnya?

Pada 2011, saat berkesempatan ke Malaysia, di Genting Strawberry Leisure Farm, saya ngobrol dengan Naga. Dia adalah sopir angkutan sewa yang saya gunakan dari Kuala Lumpur ke Genting. Lelaki legam itu senatiasa berbinar rautnya ketika menawarkan jasa angkutan.

Naga banyak berkisah pengalamannya semasa muda ketika ia menjadi awak kapal yang mengangkut barang-barang dari satu pelabuhan ke pelabuhan berikut, melewati Gaspar dan Selat Karimata.

“Nakoda, Officer, dan Watchkeeping biasanya tau bila ada gangguan di laut misalnya ada serangan dari perompak, semua disiagakan dan tidak perlu panik. Serangan perompak tidak pernah terduga, tidak kami tunggu, tapi bila mereka datang kami semua siap berkelahi,” ujar Naga tentang kerjanya hampir dua puluh tahun di laut.

Naga menambahkan bahwa sebenarnya kecelakaan di laut itu biasanya lebih banyak terjadi karena kesalahan dari kapal itu sendiri. “Jika bukan karena badai, kecelakaan kapal laut karena overdraft, penuh muatan, atau ada kecerobohan orang membuang puntung rokok sembarang yang mengakibatkan kapal terbakar.”

Usia Naga masih belasan ketika ikut mamak-nya bekerja di kapal barang. Kapal di mana Naga bekerja, singgah di pelabuhan-pelabuhan kecil di Sumatera dan Kalimantan bagian barat. O iya, mamak adalah sebutan bagi paman. Menurut Naga, orangtua-nya berasal dari Simalungun, Sumatera Utara, dia sendiri lahir di Padang. Bagi saya, Naga adalah English Speaking Driver yang ramah selama perjalanan. Naga, dikenal sesama sopir angkutan sewa. Dia tak menyebut nama kecilnya, “Panggil saja Naga! Semua kawan di sini mengenal saya seperti itu. Itu nama dari leluhur saya Sinaga.”

Saya menelusur data Naga, dan beroleh info online Juandaha R.P. Dasuha  dalam Perekat Identitas Sosial Budaya Simalungun, 2006, menerangkan bahwa Sinaga berasal dari keturunan raja Tanoh Djawa dari India. Beberapa keluarga besar Partongah Raja Tanoh Djawa menghubungkannya dengan daerah Naga Land di India Timur, daerah yang berbatasan dengan Myanmar. Keturunan raja Tanoh Djawa dari India itu punya banyak persamaan dengan adat kebiasaan, postur wajah dan anatomi tubuh serta bahasa dengan orang-orang Simalungun dan Batak lainnya.

Lupakan Naga. Di Genting saya ke Casino de Genting, dan merasa heran di tempat yang dilarang membawa kamera itu, saya justru berada di dalam dengan kamera tergantung di depan perut mancung. Kemudian menonton simulator terjun bebas, menelusur tiap sudut First World Plaza, memesan kopi, nongkrong membuka notebook, membaca artikel, mengutip dan menandai pesan, menulis resume, mengedit data. Catatan-catatan dari Willem Pieter Groeneveldt menarik bagi saya, sebab tulisannya salah satu memuat tentang Selat Gaspar. Di buku Nusantara dalam Catatan Tionghoa, Groeneveldt, menyebut bahwa titik Selat Gaspar sudah lama dikenal pelaut China. Sejarahwan Belanda itu mengutip berita China, Xingcha Shenglan, terbitan tahun 1436, yang menyebut masa Dinasti Yuan 1271 – 1368, Jendral Kekaisaran Gao Xing dan Shi Bi, membawa prajurit berangkat menyerang Pulau Jawa. Pelayaran itu membawa serta kapal dalam jumlah besar. Namun, ketika melintas Gaspar, armada Dinasti Yuan itu dihantam badai, armada mereka banyak yang tenggelam, porak-poranda dimangsa gelombang badai samudera mengamuk. Mereka lalu mampir di Belitung dan membuat seratus kapal pengganti.

‘Nusantara dalam catatan Tionghoa’, pertama diterbitkan pada 1876. Buku Groeneveldt itu merupakan kritik atas karya-karya sejarahwan Barat sebelumnya, yang kata Groeneveldt ‘tidak melakukan riset memadai’.

Jurnalis Rina Anggraeni, dalam pemberitaan terkait kecelakaan kapal laut, di sindonews, Selasa, 3 Juli 2018, memuat interupsi pengamat transportasi Azas Tigor Nainggolan, yang menyebut bahwa kecelakan kapal kerap terjadi di Indonesia disebabkan kelalaian pengawasan aparatur pemerintah yang tidak mengecek dan memperhatikan komponen keselamatan transportasi laut.

Kecelakaan Pesawat

Pernah terbang di atas Laut Jawa, Selat Karimata dan Gaspar medio 2009 manakala tuju Pangkal Pinang. berikutnya 2011 – 2015 sering bolak-balik dari Indonesia, ke Singapore, Johor Bahru, Kuala Lumpur, Bangkok, Pattaya dan berapa kota di tenggara Asia. Suatu waktu menikmat senja dan malam di Parit Padang, 12 Februari 2009, memandangi derai gelombang tak garang dari samudera, mengira-ngira lokasi Selat Gaspar di Timur Laut, Timur, hingga Tenggara pantai itu. Area itu berada pada koordinat 2°24′42″S 107°4′10″E.

Masih cerita di seputar Selat Karimata, Selat Gaspar, Selat Malaka, Laut Cina Selatan Laut Jawa. Anda pasti ingat, bila lupa, nanti ingat lagi saat membaca tulisan ini. Malaysia Airlines MH370mengalami insiden 8 Maret 2014. Walau Pemerintah Malaysia secara resmi menghentikan penyelidikan mereka tahun silam setelah mereka mengakui dalam sebuah laporan bahwa mereka tidak tahu apa yang terjadi pada pesawat MH370 itu. Tapi ada klaim dari Rusli Khusmin, nelayan Pangkalan Susu, Langkat, menyebut pesawat itu jatuh di Selat Malaka. Lokasi tersebut berada di sebelah barat Kuala Lumpur, cukup dekat posisi MH370 itu dengan lokasi hilang kontak terakhir di Phuket, Thailand.

BANDARA H.A.S. Hanandjoeddin. Foto: DAX

Selat Karimata punya kisah. AirAsia QZ8501, lepas landas 05.35 WIB dari Bandara Juanda – Surabaya menuju Bandara Changi, Singapura, dijadwalkan tiba di Singapura 07.36 WIB. Namun, pada 06.20 WIB diberitakan pesawat jatuh di perairan Selat Karimata.

Berita cepat tayang dengan sigap memberi kabar, menabur dugaan dan jadi asumsi di masyarakat. Harap-harap cemas, ada banyak orang kemudian jadi takut, mungkin saja karena belum pernah naik pesawat, atau karena memang phobia ketinggian. Padahal para ahli transportasi bilang bahwa pesawat adalah moda transportasi paling aman. Angka kecelakaan pesawat semakin hari semakin menurun dari tahun ke tahun.

Siapa pernah dapat memprediksi kecelakaan? Menangkal penyebab dan resiko, mungkin saja. Menurut data dari media The National, tahun 2017 menjadi saat paling aman bagi dunia penerbangan. Tidak ada penerbangan menelan korban di tahun itu. Berkebalikan dengan 2018. Dalam tiga bulan pertama pada 2018 sudah ada 200 korban jiwa terkait penerbangan dalam empat kali kecelakaan di seluruh dunia. Menyusul insiden Lion Air JT610 yang jatuh di perairan Karawang. Pesawat bertipe B737-8 Max itu lepas landas 06.10 WIB dari Bandara Soekarno-Hatta dengan destinasi Bandara Depati Amir, Pangkal Pinang.

Pertengahan 2013, saat hendak ke Singapore, saya mengumpulkan berapa artikel terkait Selat Gaspar. Lalu membuat resume dari tiap artikel, dan mengetik ulang di notebook. Perjalanan 2013 itu saya mulai dari Makassar. Lebih Sembilan puluh menit dari waktu lepas landas hanya sekali dua pesawat joget melintas awan. Namun, saat melintas cakrawala Gaspar, nyali seperti rontok. Saya melihat ke luar jendela, distress phase, mendengar deru mesin, gaduh, bisik-bisik pembaca doa. Pesawat sudah dibungkus kumulonimbus. Deras titik-titik air menyambar, melawan laju pesawat, turbulence mengguncang-guncang, dan waktu suram itu terasa sangat lama, tak seperti biasanya, walau kemudian stabil.

Sudah berapa kali dalam penerbangan menghadapi situasi pesawat diguncang-guncang. Tidak pernah kapok, kadang gusar, kadang cuek.

Di atas langit Changi, reda tornado di kepala. Awan-awan menjauh. Laut, gunung, dataran hijau, pemukiman, saya nikmati dari jendela. Kabin lengang, beberapa menit lebih awal dari prediksi durasi terbang, kini siap touchdown. Twilight hampir, saat menuruni pesawat. Penghujung senja mendung, bola jingga memerah, menjauh, seakan menikam samudera. Di seberang nun di segala penjuru yang dapat direkam mata, kabut berganti saturasi dan hue-nya. Orang berderet-deret di pintu kedatangan. Setelah mengurus beberapa prosedur, saya keluar dari bandara, menyusur Airport Boulevard, lewati Tanah Merah, East Coast Lagoon, Bugis Street, Scotts Rd. Tiba di Lucky Plaza kurang dari 10.00 p.m.

Badai dan awan kumulonimbus pernah jadi momok di langit Selat Karimata. Demikian pemberitaan membuat cemas sekian waktu. Apalagi pascainsiden AirAsia QZ8501. Sebelumnya media sudah memuat analisis Kepala Bidang Meteorologi Penerbangan BMKG – yang menjabat saat itu – menyebutkan prihal kendali AirAsia QZ8501 kacau manakala menerobos kumulonimbus. Berita itu kemudian dihapus.

Teman yang sering bepergian dengan angkutan udara pernah memberi tips, “Terbang malam akan lebih aman dan terhindar dari cuaca buruk dan kumulonimbus.” Ada benarnya, sebab setiap kali saya terbang malam, cuaca jauh lebih tenang dibanding terbang siang. Cuma, bila terbang malam ada banyak pemandangan menarik sepanjang perjalanan tak dapat kita rekam, sebab di luar jendela situasinya gelap gulita. Memang, saya baca di beberapa literatur menyebut yang mana suhu  dan  tekanan  udara  merupakan  unsur  vital  bagi  operasi  penerbangan, terutama  pada  saat lepas landas dan ketika hendak mendarat. Ah, entahlah. Mungkin karena pengaruh panas cahaya matahari dan kelembaban udara. Hawa panas akan memindahkan angin dan awan ke tempat yang kosong.

Kembali ke soal AirAsia QZ8501. Setelah penelitian dan penyelidikan panjang, selama 11 bulan 27 hari,  Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) bekerja sama dengan biro penyelidik kecelakaan pesawat Perancis – BEA, kemudian KNKT merilis laporan akhir kecelakaan Airbus A320 PK-AXC nomor penerbangan QZ8501.

Laporan KNKT dimuat disejumlah media, saya mengutip tulisan Reska K. Nistanto yang dimuat Kompas dalam berapa bait di bawah ini. KNKT menemukan data dari Flight Data Recorder (FDR) bahwa selama penerbangan QZ8501, lampu Master Caution menyala akibat peranti Rudder Travel Limiter tidak berfungsi, dan menampilkan pesan teks di monitor pesawat, bahwa peranti untuk membatasi pergerakan rudder atau sayap tegak pesawat di belakang, malfungsi. Master Caution dan pesan tersebut muncul sebanyak 4 kali berturut-turut. Pada peringatan pertama hingga ketiga, pilot melakukan troubleshooting masalah sesuai dengan prosedur yang ditampilkan komputer pesawat atau Electronic Centralized Aircraft Monitoring. Namun saat peringatan ke empat muncul, data yang dicatat FDR menunjukkan bahwa kru pesawat mengambil tindakan lain untuk mengatasi masalah pesan muncul berulang-ulang tadi.

Berdasar data FDR, kru pesawat melakukan hal berbeda, parameternya mirip dengan apa yang terjadi tiga hari sebelumnya, 25 Desember 2014, manakala kedua circuit breaker komputer pesawat Flight Augmentation Computer (FAC) dilepas dan dipasang lagi saat di darat. Tindakan ini dilakukan untuk mereset komputer. FDR pun mencatat peringatan kelima dan enam yang muncul, yaitu peringatan yang menunjukkan bahwa komputer FAC 1 dan FAC 2 tidak berfungsi.

Investigasi menyeluruh terhadap insiden AirAsia QZ8501 dibantu tim Australia (ATSB), Perancis (BEA), Singapura (AAIB), dan Malaysia (MOT). KNKT lalu menyimpulkan lima faktor yang jadi penyebab jatuhnya AirAsia QZ8501. Faktor pertama adalah komponen cacat yang terdapat dalam modul elektronik RTL pesawat, menyebabkan pesan peringatan muncul berkali-kali di layar kokpit. Faktor kedua adalah perawatan pesawat dan analisa di maskapai Indonesia tentang AirAsia belum optimal, sehingga masalah RTL tersebut tidak terselesaikan secara sempurna. Gangguan muncul berkali-kali tidak bisa diselesaikan dengan baik. Gangguan keempat muncul dilakukan dengan metode trouble shooting berbeda. Faktor kelima dikontribusi awak pesawat tidak bisa melakukan prosedur keluar dari kondisi upset recovery, hal ini menurut KNKT disebabkan tidak adanya training upset recovery yang diberi perusahaan.

Evaluasi

Investigasi menemukan buku Operation Training Manual di Indonesia terkait AirAsia memasukkan training upset recovery di Chapter 8. Training tersebut terdiri atas materi di ground dan di simulator. Materi di kelas meliputi latar belakang, definisi, penyebab kondisi upset, sistem aerodinamik dan sistem pesawat saat kondisi upset, dan sebagainya. Namun training upset recovery belum diimplementasikan dalam training A320 karena tidak dipersyaratkan dalam Flight Crew Training Manual, dan tidak diwajibkan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.

Ada misteri yang dapat dijawab setelah membeda banyak data, uji coba berkali-kali. Saya menganggap insiden adalah hantu yang dapat diminimalisir, hantu akan membesar dan semakin menakutkan bila manusia tidak mengevaluasinya, dan tidak mengurangi kecerobohannya sendiri.

Tilik saya ada di Karimata, selat luas yang menghubungkan Laut Cina Selatan dengan Laut Jawa. Berikutnya Selat Gaspar, lokasi legendaris yang ditulis para pendatang yang sempat singgah di sana. Karimata dan Gaspar punya banyak keunikan terumbu karang yang tersebar di banyak lokasi, batu-batu yang mencuat di pantai-pantai nan sunyi.

Gaspar dan Belitung punya banyak cerita menarik bagi saya. Ceruk-ceruk bumi karena pertambangan vis a vis dengan wilayah itu. Pernah datang, dan selalu rindu kembali di sana, menikmat debur gelombangnya, menyepi di pesisir di mana mahluk-mahluk pantai berkeriap bebas merdeka.  (*)

 


Editor: Denni Pinontoan

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *