ECONEWS
Likupang Dalam Bayangan Tambang

20 Oktober 2025
“Alam yang dulu dihormati kini menjadi lahan industri dan di sanalah perubahan besar itu bermula. Perubahan yang bukan hanya merusak bentang alam, tetapi juga merenggangkan hubungan manusia dengan akar kehidupannya sendiri.”
Penulis: Omega Pantow
TAK BANYAK yang masih mengingat seperti apa Likupang sebelum suara mesin pabrik dan alat berat menggema. Sebelum debu tambang menutupi udara dan bukit-bukitnya berubah warna,
Likupang adalah surga kecil di ujung utara Sulawesi. Hutan tumbuh lebat di perbukitan, sungai-sungai mengalir jernih, dan pantai berpasir putih terbentang tenang. Di masa itu, kehidupan berjalan perlahan. Alam bukan sekadar latar, tetapi bagian dari napas sehari-hari. Laut memberi makan, hutan melindungi, tanah menumbuhkan apa saja yang ditanam. Para nelayan pulang dengan hasil tangkapan yang cukup, dan anak-anak menunggu di pesisir dengan wajah penuh harap.
Tak ada suara bom, tak ada pagar pembatas antara manusia dan alam. Semuanya berjalan selaras, sederhana, tapi penuh makna.
Namun keseimbangan itu perlahan hilang. Sungai yang dulu jernih kini berubah warna, hutan yang rimbun mulai gundul, dan laut tak lagi seberlimpah dulu. Bersamaan dengan itu, hubungan manusia dengan alam ikut merenggang. Banyak warga kehilangan kedekatan dengan tanah dan laut yang dulu mereka jaga sepenuh hati.
Kini, kisah tentang Likupang yang damai hanya tersisa dalam ingatan orang tua. Tentang air sungai yang bisa langsung diminum, dan ikan yang menari-nari di setiap tebar jala.

Pantai Likupang Kampung Ambong.
Ketika Tambang Datang
Perubahan besar dimulai ketika truk-truk besar mulai melintas di jalan desa, membawa alat berat menuju perbukitan. Nama perusahaan tambang perlahan terdengar di antara percakapan warga, PT. MSM dan TTN datang dengan janji pembangunan dan kesejahteraan. Namun, di balik janji itu alam Likupang mulai kehilangan bentuk aslinya.
Masuknya tambang di Likupang tidak hanya mengubah wajah alam, tetapi juga cara masyarakat memandangnya. Laut, hutan, dan tanah yang dulu dianggap sebagai bagian dari kehidupan kini perlahan dipandang sebagai sumber daya untuk digali dan dijual. Alam yang dulu dihormati kini menjadi lahan industri dan di sanalah perubahan besar itu bermula. Perubahan yang bukan hanya merusak bentang alam, tetapi juga merenggangkan hubungan manusia dengan akar kehidupannya sendiri.

Dua Raksasa Tambang Emas di Utara Sulawesi
Dua perusahaan tambang emas besar, PT Meares Soputan Mining (MSM) dan PT Tambang Tondano Nusajaya (TTN), beroperasi di bawah pengelolaan PT Archi Indonesia Tbk. Keduanya menjalankan kegiatan tambang di wilayah Kabupaten Minahasa Utara dan Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara.
PT MSM mengantongi izin Kontrak Karya (KK) sejak tahun 1986, dengan wilayah konsesi seluas 8.969 hektare yang mencakup kawasan Toka Tindung, Araren, dan Marawuwung. Eksplorasi pertama dimulai sejak tahun yang sama, di titik yang jaraknya sekira 35 kilometer dari kota Manado ke arah Timur Laut.
Sementara itu, PT TTN mengelola wilayah tambang lebih luas, mencapai 30.848 hektare. Operasi tambang terbuka dilakukan di empat lokasi: Alaskar, Kopra, Araren, dan Talawaan. Tambang Blambangan, yang sebelumnya telah selesai dieksploitasi, kini dimanfaatkan sebagai area pembuangan material buangan (waste).
Secara total, kedua perusahaan ini menguasai lahan konsesi pertambangan seluas 40.000 hektare. Pada Desember 2015, pemerintah melakukan peninjauan ulang terhadap kontrak karya PT MSM dan TTN. Hasilnya, izin operasi diperpanjang hingga tahun 2041, dengan kemungkinan perpanjangan tambahan maksimal 10 tahun per periode.

Kondis air Sungai Marawuwung kini.
Wajah Baru Likupang
Sejak perusahaan tambang mulai beroperasi di Likupang, arah kehidupan masyarakat perlahan berubah. Warga yang dulu menggantungkan hidup dari laut dan ladang, kini mulai beralih menjadi buruh tambang dan profesi lainnya. Bagi sebagian orang, kehadiran perusahaan membawa angin segar. Ada pekerjaan tetap, penghasilan bulanan, dan harapan akan kehidupan yang lebih baik. Namun di balik janji itu, muncul kenyataan lain yang tak mudah dihadapi.
Lesman Polakian, warga desa Likupang Ambong yang berprofesi sebagai nelayan sejak tahun 1998, ketika diwawancara menyampaikan keresahannya sebagai nelayan. Dulu, kalau mau melaut, para nelayan hanya perlu menempuh jarak 100-150 meter dari darat, itu sudah ada ikannya. Para nelayan melaut tidak sampai 24 jam.
Biasanya, kalau berangkat sekitar jam 8 malam, kira-kira pukul 2 subuh mereka sudah kembali ke rumah, pendapatan bersih ada di 100-150 ribu rupiah.
“Tapi sekarang, kami karang sudah rusak, tidak ada lagi ikan di sekitar sini. Kami mencari ikan saat ini harus ke Pulau Bangka. Hasilnya pun tidak cukup untuk ganti modal,” kata Polakian, 9 September 2025.
Banyak nelayan yang memilih memarkir perahu, menggantung jala mereka dan kemudian beralih profesi. Mulai menjadi buruh bangunan dan bekerja di kebun. Pekerjaan yang belum pernah mereka tekuni sebelumnya, tapi harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
“Kami yang tidak lulus SMA, tidak mempunyai keahlian dan pengalaman kerja di tambang, sudah pasti tidak akan diterima untuk bekerja di sana. Apalagi sudah tua seperti saya,” ujarnya.
Profesi yang dijalani kini benar-benar asing dan terasa cukup berat. Tapi, mereka tak punya pilihan lain. Melaut sudah tidak ada hasilnya. Masyarakat pesisir yang dahulu adalah nelayan, kini sudah lebih banyak membeli ikan dari pada menjual ikan.
“Jadi jalan satu-satunya kami harus mencari pekerjaan lain. Saya bulan Juli lalu diajak saudara untuk ikut panen cengkih, hasilnya saya pulang membawa uang bonus penyakit asam urat. Ini karena saya orang yang biasanya kerja dengan duduk dan melipat kaki, tiba-tiba kerja seharian berdiri di tangga dengan tumpuan kekuatan ada pada kaki,” tutur Polakian.
Terungkap, sebelumnya pihak perusahaan melalui Community Relation sudah pernah menghubungi warga desa Likupang Kampung Ambong untuk mendengar keluhan dan apa yang diinginkan warga. Sudah ada pembicaraan dengan pihak Perusahaan, salah satu yang disampaikan akan ada pemberdayaan untuk masyarakat oleh Perusahaan. Tapi hingga saat ini belum ada realisasi dari pihak perusahaan. Janji masih tetap janji.
Hal yang sama disampaikan Ainam, warga Likupang Satu. Menurutnya, dampak dari pengolahan tambang di pit Marawuwung mencemari Sungai Marawuwung yang mengalir ke arah Likupang. Semenjak pit itu beroprasi, di saat hujan, air sungai sering naik dan membanjiri lahan garapan milik warga di bantaran aliran Sungai Marawuwung.
Menurut Ainam, ada petani yang lahan garapannya di area Sungai Marawuwung merasa dirugikan akibat beberapa tanaman seperti pala, kelapa, pohon buah-buahan yang sudah 3-4 tahun ditanam, patah dan dibawa arus saat terjadi banjir. Tidak hanya itu, saat ini para petani terpaksa menggunakan air Sungai Marawuwung untuk mencuci, mandi dan memasak dengan kondisi air kabur atau berwarna cokelat ketika mereka menginap di kebun.
“Kami khawatir ketika di bulan Desember hingga Maret, di mana curah hujan yang tinggi dan dapat mengakibatkan banjir seperti yang terjadi di bulan Maret 2025 yang lalu. Banjir bandang melanda wilayah Likupang Satu yang sebelumnya tidak pernah terjadi banjir meskipun di musim hujan,’’ ungkap Ainam.
Masyarakat sering melakukan aksi menutup jalan agar kendaraan Perusahaan, baik logistik atau pun bus karyawan tidak bisa menuju Perusahaan. Bentuk aksi yang dilakukan ini untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan atas kerugian yang ditimbulkan dari dampak pengolahan tambang yang dilakukan perusahaan.

Kondisi aliran Sungain Marawuwung di Wilayah Kokoleh Satu,
Romi Wangka, warga Likupang menuturkan, dampak dari eksploitasi tambang sangat berpengaruh bagi generasi mendatang. Likupang sebenarnya merupakan daerah khusus pariwisata, ada kawasan khusus (KEK) Pariwisata yang ditetapkan pemerintah, tetapi apa yang ditimbulkan akibat tambang sangat berdampak bagi sektor ini.
Dampak pertambangan sudah merusak berbagai sektor di Likupang. Sungai-sungai yang dahulu menjadi tempat beraktivitas sehari-hari, ruang vital bagi manusia, hewan dan tumbuhan, sumber kehidupan, kini dalam kondisi yang memprihatinkan akibat aktivitas perusahaan tambang.
“Sungai Araren yang ada di desa Pinenek, salah satu sungai yang paling terdampak sebelum Marawuwung. Ada juga Sungai Pangisan yang airnya berubah menjadi panas akibat pembuangan hasil pengelolaan pit TTN di area Sungai Pangisan,” jelas Wangka.
Berbagai aturan hukum yang menjadi ‘pelindung’ kehidupan masyarakat dan masa depan lingkungan, ditabrak perusahaan yang mengekploitasi wilayah Minahasa Utara. Hutan lindung sekalipun, tetap dibongkar dan dieksploitasi.
“DAS (Daerah Aliran Sungai) Marawuwung tidak terdeteksi di data ATR/BPN, karena di kategorikan bukan sungai. Lokasi area pit Marawuwung, beroperasi di HPT (Hutan Produksi Terbatas) dan harus mengantongi izin PPKH (Pinjam Pakai Kawasan Hutan). Kemudian hutan lindung tidak boleh ada open pit, namun tempat penampungan tailing (limbah) itu berada di kawasan hutan lindung,” kata Wangka dengan wajah prihatin.













