CULTURAL
Londolah Tiwalat dan Makna Sumpah Leluhur Tonsawang Dengan Kiong
Published
2 years agoon
12 Desember 2022
“Di batas kuala ini diadakan sumpah antara leluhur Tonsawang, dumarahes (manusia) dengan kiong. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa jika air besar (banjir bandang) datang, maka batu-batu hitam di kuala tidak akan melewati batas. Kalau pun ada, maka batu yang tadinya batu hitam bersifat keras, akan berubah menjadi batu lembek yang kemudian dengan sendirinya akan hancur menjadi pasir kuala.”
Penulis: Hendra Mokorowu
SEBUAH londolah (sungai) mengalir dari hutan, melalui daerah perkebunan, sampai melewati wilayah perkampungan Tombatu, Minahasa Tenggara. Sungai itu menyusuri banyak wanua (kampung), kemudian bermuara ke Pantai Belang.
Sungainya satu, tapi namanya beragam. Sebab masing-masing penduduk wanua–wanua yang dilalui sungai ini punya nama berbeda.
Di daerah hilir londolah ini, ada dua sungai yang bertemu dan menjadi satu. Kuala (sungai) dari Perkebunan Penganen Tombatu yang diberi nama Londolah Tiwalat Ke’dong (Anak Sungai Tiwalat) dan kuala dari hutan lindung Tombatu yang dikenal dengan Londolah Tiwalat Bako (Sungai Tiwalat Besar).
Pertemuan kedua sungai ini dinamakan po’galumana atau tempat pertemuan dua anak sungai. Istilah po’galumana berasal dari kata dasar galung, yang dalam bahasa Tonsawang berarti ‘bertemu’ atau ‘bersatu’.
Kata tiwalat sendiri bermakna ‘tempat perjanjian’. Jadi, Londolah Tiwalat artinya ‘sungai tempat perjanjian’. Pusat situs Londolah Tiwalat berada di sekitar Perkebunan Lambiha, kira-kira 2 kilometer dari wanua Tombatu. Tempat ini menjadi pokok dari asal-usul kenapa leluhur Tonswang menamai sungai ini dengan ‘Tiwalat’.
Di kawasan situs Londolah Tiwalat terdapat air terjun kecil yang diapit dinding kiri dan kanan sungai. Penampakannya terlihat menyerupai kelewonang (seperti pintu) yang lebarnya sekira 120 centimeter.
Dalam ingatan orang-orang Tonsawang, asal mula dari penamaan Tiwalat karena di lokasi tersebut pernah diadakan sumpah antara manusia dan roh-roh dari hutan yang disebut kiong. Kisah-kisah tentang manusia dengan kiong, memang banyak tersimpan dalam ingatan orang Minahasa hingga hari ini. Seperti yang direkam J. Louwerier pada tulisannya ‘De legenden van Kali, een negerij in de Minahassa’ dan dimuat dalam Mededelingen vanwege het Nederlandsch Zendeling Genootschap 27 tahun 1883.
Batas Pemisah Kiong dan Manusia
Di Londolah Tiwalat, inti dari sumpah para leluhur Tonsawang dengan kiong, bahwa tempat itu adalah batas jangkauan roh-roh hutan. Agar supaya mereka tidak masuk sampai ke wilayah pertanian dan pemukiman manusia.
Kisah perjanjian antara manusia dengan roh-roh dari hutan itu tak terjadi begitu saja. Ada sebuah peristiwa masa lampau yang telah mendahului cerita itu.
Frans Lengkong, tokoh adat Tonsawang menguraikan, dahulu sebelum diadakannya perjanjian ini, pada musim hujan, dunuh (air bandang) datang dari hutan dan menyerbu wilayah pemukiman penduduk. Akibatnya, dunuh memporak-porandakan persawahan yang sudah ditanam padi. Banjir bandang itu datang membawa material padat seperti batu-batu besar, dan potongan-potongan kayu besar yang sudah mati.
Terpaan arus air bandang dan hantaman batu, serta tumbukkan kayu besar itu kemudian menghancurkan litir (pematang) kuala dan pematang sawah, sehingga padi yang ditanam hancur berserakan. Akibatnya, manusia pada masa itu menderita kerugian yang tidak sedikit.
Pengalaman pahit itulah yang mendasari tindakan leluhur Tonsawang pada masa itu untuk melaksanakan dumahes (ritus) perjanjian. Maksud dari upacara dan sumpah ini dilakukan adalah untuk kepentingan bersama, kebaikan dan masa depan mereka sampai pada anak cucu nanti.
Cerita tentang Londolah Tiwalat ini diwarisi turun-temurun masyarakat Tombatu sejak lampau, hingga hari ini.
“Di batas kuala ini diadakan sumpah antara leluhur Tonsawang, dumarahes (manusia) dengan kiong. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa jika air besar (banjir bandang) datang, maka batu-batu hitam di kuala tidak akan melewati batas. Kalau pun ada, maka batu yang tadinya batu hitam bersifat keras, akan berubah menjadi batu lembek yang kemudian dengan sendirinya akan hancur menjadi pasir kuala,“ kata Frans Lengkong.
Itu sebabnya aliran kuala, mulai dari batas Londolah Tiwalat sampai ke wilayah pemukiman warga, tidak ada lagi batu-batu besar dan keras.
“Jadi memang betul-betul ini peran penting leluhur kita. Mereka sangat berjasa untuk kita orang Tonsawang, terlebih penduduk petani di Tombatu. Bukan main besarnya rasa sayang mereka terhadap kita, anak keturunan mereka. Akhirnya kita kemudian bisa menanam padi sampai panen, dan tidak takut banjir besar akan menghantam kebun sawah kita. Ini memang aneh, tapi dialami secara nyata oleh kita orang Tombatu sejak dahulu hingga hari ini,” ungkap Lengkong.
Berkah Bagi Tonsawang
Tetua Tonsawang lainnya, Jony F. J. A. Kindangen, menegaskan jika situs yang hari ini dikenal masyarakat dengan nama Londolah Tiwalat, adalah tempat perjanjian antara leluhur mereka dengan kiong. Menurutnya, itu bisa terjadi karena pengetahuan dan kepekaan leluhur mereka dahulu.
“Memang benar, bi’boho aho sipat niaho kehehoi kiong bo dumarahes (di situ adalah batas antara roh-roh hutan dan manusia) yang dibuat oleh leluhur Tonsawang. Ja’di sa pilahen, niana bukti bahwa manga matu’a manga morowot (jadi bisa dilihat dari sini bukti bahwa orang tua-orang tua dahulu adalah orang-orang yang kuat), memiliki pengetahuan karena itu mereka mampu melakukan hal itu,” tutur Kindangen.
Dijelaskan, maksud diadakannya perjanjian dan penetapan batas itu agar daerah Tombatu terhindar dari bencana dan tetap menikmati berkah dari hasil pertanian yang ditanam di dekat wilayah perkampungan.
“Tempat batas itu adalah ‘Hine nia’i ndo’ong ahi’i pasemberenoai i nahe ndere’ (agar supaya kampung Tombatu tidak tercemar dengan lumpur),” tegasnya.
Mantan Hukum Tua (Kepala Desa) Tombatu Satu pada tahun 1980-1986 ini juga menjelaskan, pengetahuan dan langkah yang diambil para leluhur Tonsawang dahulu merupakan berkah bagi mereka yang mendiami Tombatu hingga hari ini.
“Wa’aho mainjo kauntungan hita i suku Tonsawang sa manguma a pangumaan to’ba kemel talud bo bia’i talewe’, kaihiwianem i nanah Toundanouw Tonsawang ahadai talewe’ (Itu keuntungan yang dapat dipetik oleh kita suku Tonsawang, bertani atau bercocok tanam di tanah yang subur dan itu sudah dinikmati oleh turunan Toundanouw Tonsawang sampai saat ini),” ungkap Kindangen.
Para tetua Tonsawang mengingatkan, situs Tiwalat dapat dikaitkan dengan falsafah Tonsawang, ‘tou masawang’ (orang yang suka menolong atau saling membantu). Artinya, dari peristiwa perjanjian antara manusia dan kiong itu, para leluhur telah membantu turunannya dalam dunia pertanian, sehingga masyarakat Tombatu boleh bertani dengan tentram hingga kini. Di masa itu, walaupun tidak semodern dunia sekarang, tapi para leluhur sudah punya pemikiran luar biasa yang luhur buat masa depan anak keturunannya nanti.
Para leluhur sejak lampau sadar dengan kehidupan lain di luar wilayah manusia, termasuk hutan. Karena itu, mereka dengan sadar menjaga hubungan yang baik dengan hutan dan seluruh makhluk yang mendiaminya. Mereka tidak sembarang mengobrak-abrik hutan dan sungai, karena sadar akan ada bencana yang datang jika mereka melampaui wilayah hidup manusia. Hubungan antara manusia dan makhluk hidup yang lain sakral, diikat dalam sebuah ‘upacara suci’.
Para leluhur Tonsawang menjaga aliran sungai, karena tahu bahwa air adalah salah satu unsur yang penting bagi kelangsungan makhluk hidup. Mereka berjuang menjaga keseimbangan alam, tidak ada pencemaran air sungai dan danau, tidak ada pembalakan hutan, dan tidak ada penghancuran tanah.
Air sungai memberikan kehidupan bagi tanah yang dilalui alirannya, termasuk manusia yang hidup di atasnya. Salah satu manfaat dari Londolah Tiwalat yang dirasakan masyarakat Tombatu hingga sekarang adalah pengairan alami ke tanaman padi pada kurang lebih 200 hektar persawahan, yang hasil panennya sudah lebih dari cukup digunakan sebagai makanan pokok untuk menyambung kehidupan masyarakat Tombatu. (*)
You may like
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan
-
Aroma Pelanggaran HAM Menyeruak Bersama Bau Busuk di Tanjung Merah
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Gelisah Jurnalis di Sekolah Menulis Mapatik
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa