Connect with us

CULTURAL

Luah Use’ban, Heroisme Baraney hingga Kisah Imbit dan Bilong

Published

on

5 Desember 2022


“Kisah tentang perjuangan para baraney dan nama Luah Use’ban, itu mau mengingatkan kepada kita untuk selalu menjaga alam dan tanah kita dengan baik. Jaga setiap berkat yang telah diberikan Sang Khalik kepada kita melalui alam Tonsawang. Jangan sampai rusak dan diambil orang untuk dieksploitasi, dan kemudian memberi dampak negatif bagi kita di tanah Minahasa.”


Penulis: Hendra Mokorowu


SEJARAH tutur masyarakat Tonsawang, mengisahkan dahulu wilayah Tombatu digenangi air yang membentuk danau besar. Buku Asal Usul Minahasa yang disunting Benjamin Supit dan Matulandi P.L. Supit (2019), memberikan sejumlah gambaran tentang kondisi wilayah adat Tonsawang di masa lampau. Tulisan yang merekam kisah turun-temurun dalam tutur para tetua, dan diselesaikan 8 Maret 1854 itu, ada yang menceritakan tentang hulu kaum Raranta.

Disebutkan, ada seorang penghulu dan juga pemburu, menghantar kaumnya pergi menetap di Gunung Ampar, di sekitar danau besar. Karena mereka tinggal di gua-gua batu, maka mereka disebut dengan nama kaum Touwatu. Raranta dan komunitasnya merupakan salah satu kaum dari sejumlah kaum yang kemudian tinggal dan menetap di seputaran danau besar itu.

Dalam ingatan masyarakat Tonsawang hari ini, hamparan air itu kemudian dikeringkan oleh nawo (leluhur) Lelengboto. Proses mengeringkan danau dilakukan dengan menancapkan ’siou dele i ketan’ (sembilan lidi enau) sehingga membelah Bukit Basian, yang sekarang dikenal dengan ‘gunung potong’. Sebuah tempat di sebelah tenggara Desa Kuyanga, Tombatu, Minahasa Tenggara.

Wilayah danau yang dikeringkan itu masih menyisakan air yang menempati lubang-lubang tanah dan menjorok ke dalam tanah, sehingga membentuk danau-danau kecil. Orang Tonsawang  memberikan nama untuk danau-danau itu. Seperti Danau Kawelaan, Seledan, Bulilin, Pomubuan, Sosong, Tutud, Kuyanga, Derel, dan Danau Use’ban.

Pemandangan Tombatu yang dikelilingi banyak danau.

 

Luah Use’ban dan Imbit

Luah Use’ban berasal dari bahasa Tonsawang. Luah yang berarti ‘danau’, dan useban berarti ‘tanami padi’. Nikodemus Pangemanan, tua-tua adat Tonsawang menuturkan, Danau Use’ban merupakan penanda kampung yang berkaitan dengan pertempuran antara baraney (ksatria Minahasa) dan bogani (ksatria dari Selatan).

Suatu ketika, pasukan bogani dari Selatan menyerang wilayah Tonsawang. Para baraney dengan gagah berani berjuang untuk mempertahankan wilayah, tanah tempat hidup dan yang menghidupi mereka.

“Salah satu bogani yang tewas, ditancapkan seperti menanam padi di tengah danau ini. Posisi ditaruh kepala di bawah. Jadi Luah Use’ban dipahami sebagai danau tempat musuh dikubur seperti menanam padi,” kata Pangemanan yang biasa disapa dengan Mawit, di penghujung tahun 2015.

Kisah lain mengungkapkan tentang adanya penghuni yang menempati Danau Use’ban. Penguhi ‘tua’ ini telah ada sejak masa awal terbentuknya luah Use’ban. Sesosok perempuan tua berambut putih panjang, yang bernama ‘Imbit’. Dalam bahasa Tonsawang, imbit berarti ‘pakaian kebun’.

Sejak dahulu, jika ada anak-anak yang mandi di danau, mereka dilarang oleh orang tua agar jangan sampai meneriaki ‘paimbitan’ ke danau ini. Jika itu sampai dilakukan, maka penghuni danau akan marah, kemudian sesuatu yang buruk akan terjadi pada danau.

“Orang tua selalu memperingatkan agar anak-anak yang mandi di danau tidak ribut. Apalagi berteriak paimbitan. Jika itu dilakukan, akan berakibat negatif pada penduduk desa Tombatu. Berbagai pengalaman negatif yang terjadi, sering dituturkan secara turun-temurun kepada orang-orang di Tombatu,” kata Tomy Dopong, salah seorang masyarakat di sekitar Luah Use’ban.

Luah Use’ban di Tombatu.

Keanehan di Luah Use’ban

Danau Use’ban bersebelahan dengan Danau Derel. Letaknya berada di bagian selatan, kira-kira 1 kilometer dari desa Tombatu. Sebagian warga Tombatu tetap meyakini bahwa danau ini adalah salah satu tempat yang masih angker. Keyakinan penduduk setempat sudah tertanam lewat cerita turun-temurun tentang adanya ‘penjaga’ atau penghuni danau. Acap kali orang-orang Tombatu dan sekitarnya menyebutnya ‘panunggu’.

Banyak kejadian aneh yang terjadi di danau Use’ban. Seperti yang pernah saya alami secara pribadi pada tahun 1999. Di danau, ketika itu terlihat ada sekumpulan ‘pohon katu’ (metroxylon sagus atau rumbia) yang luasnya kira-kira seperti satu buah rumah sederhana. Kumpulan pohon rumbia ini berpindah, atau berjalan dari sisi danau yang satu ke sisi danau di seberangnya.

Setelah beberapa hari kemudian, kumpulan pohon rumbia itu berpindah lagi ke sisi danau lainnya. Pada saat berjalan atau berpindah, posisi pohon berdiri tegak seperti biasanya. Hal yang menjadi pertanyaan saya waktu itu, kenapa bisa pohon-pohon ini berjalan di atas danau?

Ada seorang sahabat yang coba memberikan jawaban sesuai nalar. Ia berpikir, pohon-pohon itu berpindah karena dibawa angin atau arus danau. Namun, bukan itu jawaban yang diperoleh dari masyarakat yang tinggal di sekitar danau ini.

Seperti penjelasan Frans Mokorowu. Salah seorang warga yang sehari-harinya bekerja sebagai nelayan di Danau Use’ban. “Dari dulu, pohon katu di danau memang sering berjalan sendiri,” kata Mokorowu.

Ia juga mengungkapkan bahwa menurut keyakinannya, yang menggerakkan pohon-pohon ini adalah ‘penunggu’ danau yang mereka kenal dengan ‘imbit’.

Pernah suatu hari, pada saat pohon rumbia di danau sedang berjalan, Mokorowu mengamati secara langsung dari dekat. Dengan memakai perahu kecil, ia membuntuti jalannya kawanan pohon rumbia itu.

Mokorowu kemudian mengamati dari dekat, di dalam air, di bawah pohon-pohon yang sedang berjalan itu tidak ada ikan besar atau binatang lain yang berukuran besar dan mampu menggiring kawanan pohon rumbia sampai terlihat berjalan di atas air.

Saat bersamaan, ia juga mengamati dengan cermat pohon-pohon di sekeliling danau. Bisa saja ada yang sedang tertiup angin keras, tapi Mokorowu memastikan tidak ada pohon yang bergerak karena angin. Hembusan angin di atas danau tampak biasa-biasa saja dan tidak mungkin mampu memindahkan kumpulan pohon rumbia itu.

Saat sekelompok pohon rumbia bergerak mengitari danau, diakui sering memberi dampak negatif bagi masyarakat. Terutama para nelayan yang setiap hari beraktivitas di Danau Use’ban.

“Akibatnya banyak jala penangkap ikan yang rusak. Jala-jala milik saya banyak yang robek-robek, padahal pernah baru saja dipasang,” kata Mokorowu.

Danau-danau di Tombatu jadi sumber kehidupan penting bagi masyarakat.

Kemunculan Bilong 

Banyak hal aneh yang pernah dialami masyarakat di seputaran Danau Use’ban. Frans Mokorowu mengisahkan hal lain yang mereka saksikan di danau ini. Menurutnya, sejak dahulu sering terlihat air danau yang tiba-tiba berubah warna menjadi hijau.

Saya orang Tombatu. Pengalaman itu juga pernah dialami secara langsung. Air yang tadinya jernih, tiba-tiba menjadi kabur kehijauan dan berlendir.

Bilong, sebutan orang Tombatu untuk jenis ganggang air tawar berwarna hijau. Pada saat bilong mulai muncul ke permukaan air, awalnya berbentuk bulat panjang dan berkelok-kelok seperti ular besar. Diameternya seperti batang pohon kelapa.

Bilong biasanya muncul satu per satu. Hanya dalam waktu singkat, bilong akan memenuhi permukaan danau, hingga tampak berubah warna menjadi hijau.

“Awalnya terlihat satu bilong yang muncul ke permukaan air. Beberapa menit kemudian muncul lagi satu, dan muncul lagi lebih banyak, sehingga kelihatan seperti banyak ular hijau berukuran besar dalam air yang bergerak naik ke permukaan. Kira-kira setelah 30 menit sesudah itu, wajah permukaan air danau menjadi hijau total dan airnya berlendir,” kata Frans Mokorowu.

Dalam ingatan masyarakat, di satu masa kehadiran bilong pernah terjadi setiap hari. Kehadirannya selalu dalam fenomena alam yang sama, saat mongimbala’ (hujan panas) datang di sore hari.

“Saat-saat bilong ini muncul adalah jika ada mongimbala’ dan mendung pada sore hari. Kejadian ini berulang terus setiap harinya pada tahun 2000. Hal ini masih berlangsung sampai pada tahun 2002, dan sejak saat itu sampai sekarang bilong di Danau Use’ban tidak pernah muncul lagi,” ungkapnya.

Mokorowu menegaskan, apapun yang terjadi di Luah Use’ban, kisah-kisah yang diwariskan dalam ingatan orang Tombatu, semuanya menyimpan nilai-nilai positif bagi masyarakat. Terutama mereka yang tinggal dan hidup di sekitar danau.

“Lepas dari pendapat orang tentang penyebab kejadian aneh di danau Use’ban, semua cerita yang diwariskan para orang tua sebenarnya untuk membuat orang sekitar danau selalu berhati-hati jika sedang beraktivitas di seputaran danau. Harus menjaga sikap sebagai bentuk penghormatan terhadap alam,” ucapnya.

Dijelaskan, nama Use’ban juga menyimpan sebuah pesan penting bagi anak keturunan Minahasa-Tonsawang yang hidup berdampingan dengan alam sekitar danau, bahkan hidup dari danau ini, untuk selalu menjaga berkat itu dengan baik dan dengan segenap perjuangan.

“Kisah tentang perjuangan para baraney dan nama Luah Use’ban, itu mau mengingatkan kepada kita untuk selalu menjaga alam dan tanah kita dengan baik. Jaga setiap berkat yang telah diberikan Sang Khalik kepada kita melalui alam Tonsawang. Jangan sampai rusak dan diambil orang untuk dieksploitasi, dan kemudian memberi dampak negatif bagi kita di tanah Minahasa,” tandas Mokorowu. (*)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *