CULTURAL
Luka Jejak Peradaban Tou Tazataza
Published
2 years agoon
13 Desember 2022
“Dari Tanawangko ada jalan dari barat ke timur, menuju Tomohon. Jalan pertama adalah yang terbaik. Melalui jalan ini berturut-turut orang akan dapat pergi ke Negeri Lemoh, Taratara, dan Woloan dan setelah menempuh jarak enam belas pal akan tiba di Tomohon. Di sepanjang jalan ini terlihat pemandangan indah berupa puncak-puncak Gunung Tatawiran, Kasehe dan Lokon, terkenal dalam nyanyian-nyanyian serta doa-doa dengan nama ‘Se Lokon Telu’.”
Penulis: Belarmino M. Lapong
HARI itu cukup cerah, di musim hujan penghujung 2022. Jumat, 2 Desember, Daniel Wohon Lonta berkisah di popo sederhana sekitar sawah Katua’na’an, Taratara. Sambil menjaga padi yang telah menguning, mantan Hukum Tua (Kepala Desa) Taratara Dua 2002-2004 ini menguak ingatan kelam di kampung halamannya pada tahun 1980-an. Masa pelik, saat perusakan dan penjarahan waruga merajalela.
Ia tau, waktu itu banyak orang salah mengartikan kebijakan Gubernur Hein Victor Worang. Kepala Daerah Sulawesi Utara 1967-1978, yang bermaksud mengumpulkan pusaka-pusaka tou (orang) Minahasa untuk disatukan dalam satu museum provinsi, agar tidak diperjual-belikan. Pusaka-pusaka, barang-barang peninggalan leluhur adalah bagian dari identitas tou Minahasa, karena itu hendaknya tetap ada di Minahasa dan tak patut diperjualbelikan.
Kebijakan itu yang disalahartikan oleh kebanyakan orang. Mereka mencari sebanyak mungkin barang-barang peninggalan masa lampau dan dijual ke pihak pemerintah waktu itu. Sehingga era tahun 1970-an sampai 1980-an menjadi masa penjarahan waruga paling masif di Minahasa, termasuk di Taratara.
“Banyak waruga dibongkar, dilubangi dan dijarah isinya. Setelah itu dibiarkan begitu saja. Tidak ada yang bertanggung jawab. Waktu saya perangkat desa, sebelum jadi Hukum Tua, waruga-waruga selalu dibersihkan. Karena banyak bule-bule (turis asing) yang datang di Taratara, suka mo lia tu waruga,” kata Lonta.
Ada juga kisah yang masih terekam jelas dalam ingatan mantan Lurah Taratara Dua tahun 2004-2009 ini. Ada waruga yang diangkut ke daratan Eropa. “Masih ada orang tua-orang tua di Taratara tau, pernah juga ada waruga di wanua kita yang pemerintah da bawa ka Belanda,” ungkap Lonta.
Desa Wisata Terbengkalai
Taratara, salah satu negeri tua yang ada di wilayah kota Tomohon kini. Dahulu masuk dalam distrik Tombariri. Pada masa Hukum Tua Pieter Tangkuman, tahun 1955, Taratara kemudian masuk ke wilayah distrik Tomohon, yang kelak menjadi kota Tomohon.
Secara geografis, wanua ini tepat berada di kaki Gunung Lokon, Kasehe dan Tatawiran. Masyarakat mengenal ketiga puncak ini sebagai “Se Lokon Telu” atau “Telu Mahtuari”, yang artinya tiga bersaudara. Cerita rakyat mengenai ketiga puncak gunung ini begitu kuat tersimpan dalam ingatan.
N. Grafland dalam bukunya De Minahasa (1869), menulis pemandangan yang ia tangkap dengan mata ketika melintasi jalan ke Tomohon di pertengahan abad-19. Diceritakan, dari Tanawangko ada jalan dari barat ke timur, menuju Tomohon. Jalan pertama adalah yang terbaik. Melalui jalan ini berturut-turut orang akan dapat pergi ke Negeri Lemoh, Taratara, dan Woloan dan setelah menempuh jarak enam belas pal akan tiba di Tomohon. Di sepanjang jalan ini terlihat pemandangan indah berupa puncak-puncak Gunung Tatawiran, Kasehe dan Lokon, terkenal dalam nyanyian-nyanyian serta doa-doa dengan nama “Se Lokon Telu”.
Keadaan geografis Taratara menjadikannya begitu indah dan menarik, dibandingkan negeri-negeri atau kelurahan lain di Tomohon. Tepat di kaki ketiga puncak gunung tarmasyhur itu, terbentang hamparan sawah pertanian masyarakat yang telah diolah sejak lama. Begitu pula lahan perkebunan kelapa, yang saat ini menjadi salah satu sumber penghasilan, berupa kopra.
Nicolas Rotikan (76 tahun), mantan perangkat desa Taratara mengatakan, era tahun 1974 sampai akhir tahun 1999, Taratara tercatat sebagai destinasi Desa Wisata Budaya di kabupaten Minahasa dan provinsi Sulawesi Utara.
“Sekitar tahun 1970-an, Direktur Jenderal Pariwisata pernah datang berkunjung di Taratara,” sebut Rotikan.
“Era emas” wanua ini tak lepas dari segala sumber daya yang terdapat di Taratara. Mulai dari keadaan alam, kehidupan sosial masyarakat, seni budaya Minahasa, serta peninggalan peradaban masa lampau yang masih ada.
Dalam website indonesiantravelbook.com, masih tercatat Taratara sebagai daerah wisata unggulan di Sulawesi Utara. Tercatat, “Taratara (Tahr-ra Tahr-rah: This village has traditionally been the center of Minahasan culture and arts. Traditional dances are performed in the open air at Kemer Garden. There are Japanese caves from World War II at the Ranowangko dam. The Kemer natural spring is nearby in the shadow of the volcanoes. Just 15km southwest of Tasik Ria. Taratara is easily reachable from Manado by public bus or taxi”.
Semenjak dahulu, Taratara terkenal dengan pusat seni dan budaya Minahasa. Berbagai tarian serta musik daerah eksis, dan tetap hidup. Mulai dari musik bambu, makaaruyen, maengket, mahzani, kawasaran, katrili, kolchis, tari jajar, sampai tarian kreasi modern, masih bisa didapati di Taratara sampai saat ini.
Selain kekayaan seni serta keadaan alam yang ada, di wanua ini masih terdapat peninggalan-peninggalan peradaban masyarakat Minahasa masa lampau, yakni waruga. Menurut data dari Adrianus Kojongian, seorang peneliti lokal dan penulis sejarah Tomohon, sekira tahun 1980-an waruga di Taratara berjumlah tiga puluh. Tersebar di Taratara Dua, dua puluh dan Taratara Satu, sepuluh.
Tahun 2010, peta wisata Tomohon masih mencantumkan waruga Taratara sebagai salah satu spot wisata arkeologi di kota Tomohon. Namun dari penelusuran saya, saat ini sudah tidak tercantum lagi. Desa Wisata Taratara benar-benar hilang dalam peta wisata manapun di Sulawesi Utara.
Bukti Peradaban Minahasa
Waruga adalah artefak peninggalan budaya Minahasa masa lampau, berupa kubur batu berbentuk kubus dan berpenutup seperti atap rumah dengan berbagai ukiran. Selain di Taratara, waruga tersebar di berbagai tempat di Minahasa. Para ahli mencatat, tradisi penguburan di dalam wadah batu ini disebut dengan tradisi megalitikum (zaman batu besar).
Tulisan yang membahas tentang waruga lebih dalam, pertama kali dibuat oleh S. A. Budding tahun 1854. Ia menulis bahwa jasad orang meninggal di Minahasa dikuburkan dalam kubur batu yang terletak di halaman rumahnya.
Grafland dalam perjalanan pribadinya menyusuri tanah Minahasa sejak paruhan abad 19, mengisahkan bahwa kubur batu waruga mulanya terletak di belakang dan depan rumah setiap keluarga. Tiap keluarga memiliki satu kubur batu atau lebih. Jika ada anggota keluarga yang meninggal, kubur batu akan dibuka dan mayat anggota keluarga tersebut akan diletakkan di dalamnya dalam posisi jongkok. Setelah itu kubur batu ditutup lagi. Begitu seterusnya dengan anggota keluarga yang telah meninggal.
Rinto Taroreh, seorang budayawan Minahasa, dalam wawancara medio 2021, menjelaskan di dalam waruga jenazah didudukkan dengan tumit kaki berada dekat pada bagian bokong dan kepala tunduk mencium lutut kaki. Posisi seperti jongkok.
“Masyarakat Minahasa percaya, sebagaimana manusia dilahirkan dengan posisi seperti itu, maka dengan posisi itulah mereka meninggal. Kepercayaan ini disebut dengan kepercayaan kelahiran kembali,” kata Taroreh.
Denni Pinontoan dalam tulisan “Waruga dan Pembangunan Sadar Budaya” tahun 2018, mendefinisikan waruga berasal dari dua kata. Wale dan roha. Wale berarti rumah dan roha yang berarti jiwa. Jadi waruga adalah rumah tempat jiwa bersemayam.
Hal ini berkaitan dengan filosofi orang Minahasa tentang kehidupan setelah kematian. Mereka berkeyakinan terhadap roh leluhur yang senantiasa menolong manusia yang dianggap sebagai cucu atau puyun.
Budaya waruga di Taratara, tercatat dalam buku Tomohon Kota-ku, karya Adrianus Kojongian tahun 2006. Menurutnya, wanua ini mengalami era kejayaannya pada masa kepemimpinan Tonaas Tambingon tahun 1750. Di era itu, seni pahat dan ukir berkembang dengan pesat. Ini terlihat dari relief-relief khas di waruga-waruga yang ada di Taratara.
Waruga di Taratara tersebar di wilayah sekitar batu pendirian kampung, “Watu Tumani” atau “Watu Tetektek um Wanua Tazataza”. Di wilayah yang saat ini berdiri gedung GMIM Imanuel Taratara. Wilayah ini dalam ingatan masyarakat dikenal dengan kompleks “Tinalingaan um Wanua”. Namun keberadaan Watu Tumani Taratara, menurut cerita yang beredar di masyarakat, telah ditimbun di salah satu pekarangan rumah warga. Dekat di mana situs itu didirikan pada awalnya.
Penjarahan Masif di Kampung Tua
Kondisi waruga Taratara di masa lalu, sudah berbeda dengan kondisi saat ini. Ada yang telah hilang entah ke mana.
Hasil penelusuran saya di awal tahun 2022, jumlah waruga Taratara tersisa tujuh. Empat di daerah Nimawanua Taratara, satu di belakang SD GMIM 1 Taratara, dan dua di sekitar rumah warga dengan kondisi yang memprihatinkan.
Waruga Taratara warisan para leluhur, jejak peradaban masa lampau, telah menjadi objek wisata primadona Minahasa di satu masa. Namun, saat ini kebanggaan itu hampir hilang ditelan pembangunan kampung yang semakin semarak.
Nicolas Rotikan, saat diwawancarai pada 2 Desember 2022, mengatakan waruga Taratara pernah mengalami masa penjarahan yang masif di medio tahun 1980-an. Pelakunya justru bukan dari orang-orang di luar kampung, tapi para orang Taratara sendiri.
“Masih teringat jelas siapa para pelaku tersebut. Ya, walaupun saat ini banyak dari mereka telah meninggal dunia,” ungkap pria yang sehari-hari dipanggil Opa Klass ini.
Motivasi mereka merusak serta menjarah isi dalam waruga adalah untuk mencari harta benda bawaan kubur. Sesudah itu akan mereka jual atau koleksi pribadi.
“Di dalam waruga, dia punya isi banyak. Ada piring, cincin, gelang, kalung, serta pernah ada pedang dan tombak. Dorang ambe samua,” jelas Rotikan.
Pernah satu masa, ketika Nicolas masih aktif sebagai salah satu perangkat desa Taratara Dua, ada warga yang melakukan penggalian untuk pipa air di sekitar kompleks Nimawanua (kampung tua) Taratara. Sementara melakukan penggalian, tanjak yang digunakan tersandung benda keras seperti beton yang tertimbun di dalam tanah.
Mereka mengira itu bekas pondasi rumah yang telah lama tertimbun. Mereka pun melanjutkan penggalian hingga mengakibatkan kerusakan pada benda yang mereka kira beton tersebut.
“Hey, brenti. Waruga itu!” kata Rotikan, menirukan teriakan salah satu rekan kerja mereka ketika itu.
Ternyata yang mereka gali dan terlanjur dirusak itu adalah penutup waruga. Setelah diangkat, penutup telah terlanjur rusak dan didapati badan waruga pun telah hancur. Di dalamnya mereka dapati ada beberapa batu buah kalung dan serpihan piring yang telah pecah.
Dalam keyakinan masyarakat Taratara, jika ada yang dengan sengaja membongkar waruga, bisa mendatangkan petaka bagi pelakunya. Kesadaran itu membuat para pekerja segera menaruh kembali buah kalung, pecahan piring, serta serpihan waruga yang telah rusak, dan menimbunnya kembali. Jalur penggalian pipa air akhirnya sedikit digeser ke sebelah lubang waruga itu.
Masuk periode tahun 2000-an, pembangunan rumah masyarakat di sekitar Nimawanua Taratara begitu ramai. “Saya ingat, banyak waruga di sekitar situ. Di belakang Indomaret ada beberapa. Tapi saat ini so ancor deng so ilang,” tutur Rotikan.
Beberapa kasus semacam itu banyak ditemui pada waktu itu. Penggalian sumur, pondasi rumah, saluran irigasi, serta penggalian lubang untuk septic tank di wilayah sekitar Nimawanua atau sekitar GMIM Imanuel Taratara kini, banyak ditemui waruga di dalam tanah. Namun, ada yang mereka timbun kembali. Ada pula yang dihancurkan, lalu dijarah semua isinya.
Dari Wanua Taratara ke Negeri Belanda
Di tahun 1909. Pada masa Hukum Tua Daud Israel Kereh, Hukum Kedua Taratara C.A. Waworuntu dan Hukum Besar Tombariri Willem Walangitang, pengiriman waruga ke Negeri Belanda dilakukan. Bukti peradaban Minahasa masa lampau yang ada di Taratara itu diangkat beramai-ramai oleh masyarakat Taratara untuk dikirim ke Jakarta. Selanjutnya dibawa ke Museum Etnologi Nasional Belanda. Informasi itu disampaikan Adrianus Kojongian, ketika diwawancarai Mei 2019.
Sejumlah data ia berikan. Seperti catatan majalah Nederlandsche Staatscourant tahun 1910, yang menceritakan jika badan waruga beserta penutup bermaterial batu kapur asal Taratara itu tiba di Leiden, Belanda awal tahun 1910. Dicantumkan di majalah itu juga, waruga Taratara bukan satu-satunya waruga yang dibawa dari Minahasa ke Belanda. Ada tiga waruga dan satu balonsong dari Tombatu yang dibawa dan menjadi koleksi di museum Rijks Etnographisch Museum di Leiden, Belanda sampai sekarang.
Waruga yang dibawa ke Belanda ini tergolong unik, karena terdapat ukiran sosok manusia mengangkang dengan peda di tangan kanan dan kepala manusia di tangan kirinya. Menurut cerita masyarakat di Taratara, relief tersebut mau menjelaskan jika yang dikuburkan di dalam adalah seorang prajurit atau waraney memumuis. Seorang pengayau, penjaga wanua Taratara.
Penghancuran Situs Terus Terjadi
Di Sulawesi Utara, pada tahun 2016 silam, Proyek Strategis Nasional yang ditetapkan dengan Perpres Nomor 3 Tahun 2016 dan Inpres Nomor 1 Tahun 2016, menjadi penanda langkah baru penghancuran kawasan situs sejarah budaya milik masyarakat adat di Minahasa.
Dalam keputusan tersebut dituangkan, proyek nasional di Sulawesi Utara yakni pembangunan waduk Kuwil di Minahasa Utara dan pembangunan Jalan Tol Manado-Bitung. Pencanangan proyek dilakukan secara langsung oleh Presiden Joko Widodo pada waktu itu.
Proyek-proyek itu adalah proyek pendukung untuk megaproyek Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Likupang, yang kemudian dalam sejumlah kajian berpotensi besar mengancam keberadaan ruang hidup masyarakat adat Minahasa dan merusak lingkungan.
Setelah pengesahan keputusan presiden tersebut, pada tahun 2016 dilakukan relokasi besar-besaran waruga Kinangkoan di desa Kawangkoan, Minahasa Utara. Itu pertama kali waruga di kawasan itu akan direlokasi secara paksa.
Di tahun 2018, sebuah tragedi kebudayaan terjadi di Minahasa, yang membuat luka berdarah di antara tou Minahasa. Waruga-waruga di daerah Pinandeian atau Wanua Ure Kuwil diangkat secara paksa dan dipindahkan ke kompleks waruga Kinangkoan, Wanua Ure Kawangkoan-Kalawat. Waruga-waruga di Wanua Ure Kawangkoan-Kalawat ini pun mengalami hal yang sama dua tahun silam pada pembangunan jalan Tol Manado-Bitung.
Banyak yang meringis, waruga-waruga rusak dan hancur karena dipindahkan secara paksa dengan alat berat pada waktu itu.
“Jangan melihat waruga itu sebagai objek saja. Waruga adalah situs kebudayaan masyarakat Minahasa di tempat waruga itu berada. Yang mempunyai satu ikatan dengan tanah adat di mana dia berdiri,“ tegas Rinto Taroreh, budayawan Minahasa, dalam wawancara pada tahun 2021. Taroreh menjadi salah satu tokoh yang aktif berjuang bersama masyarakat adat selama konflik itu terjadi.
Tercatat, perusakan dan masa kerusakan waruga bukan kali itu saja terjadi. Mulai dari masa perang Tondano, waruga-waruga di Nimawanua Tondano rusak berat terkena meriam, masa Perang Dunia II yang merusak waruga serta situs lainnya, masa penjarahan waruga yang marak di era tahun 1970-an sampai 1980-an, dan terus terjadi hingga saat ini. Sejarah mencatat, perusakan dan penjarahan waruga terus terjadi oleh para pemburu harta karun, tapi juga atas nama pembangunan.
Hari ini, sangat sulit dan hampir mustahil bisa menemukan waruga yang masih utuh badan dan penutupnya. Banyak yang tidak selamat dari hasil “tangan gatal” manusia. Kecuali waruga yang masih tertimbun atau sengaja “dibiarkan” tersimpan di dalam tanah.
Penanda Kehidupan Tou Tazataza
Situs-situs sejarah, bukti peradaban masa lampau di tanah adat Minahasa, banyak yang telah hilang dan hancur karena peristiwa alam. Ada juga yang rusak dan dilenyapkan oleh tangan-tangan jahil manusia. Termasuk oleh anak keturunan tou Minahasa sendiri.
Kisah miris lain, jejak kebudayaan mengagumkan itu hari ini terstigma negatif di tempatnya sendiri. Warisan berharga itu justru dianggap berhala dan “setan-setan”. Sementara, para pemangku kebijakan pun kurang memberi perhatian. Bahkan terkesan abai terhadap keberadaan situs-situs tersebut.
Pengalaman, kondisi itu berbanding terbalik ketika tou Minahasa berkesempatan keluar daerah atau luar negeri. Dengan bangga dan sumringah berpose mengambil gambar di situs-situs peradaban negeri lain. Seperti sudah menjadi standar gengsi masing-masing orang. Tak sempurna jalan-jalan ke luar daerah tanpa foto-foto di situs-situs tua di tempat yang dikunjungi.
Foto-foto seperti itu banyak bertaburan di media sosial. Hal wajib bagi mereka menghormati dan bangga akan situs peradaban negeri orang, ketika di negeri sendiri situs peradaban yang menjadi warisan leluhur dianggap berhala dan bahkan cenderung harus dimusnahkan.
“Waruga adalah identitas keluarga dan masyarakat Minahasa. Ketika tou Minahasa melihat waruga, mereka akan mengingat identitas mereka. Waruga menjadi ingatan serta memori kolektif tou Minahasa atas leluhur mereka, nilai serta pesan yang mereka wariskan,” kata Rinto Taroreh, budayawan Minahasa asal Warembungan yang giat bersama komunitas Waraney Wuaya menggali serta menghidupi nilai-nilai leluhur Minahasa.
“Waruga juga adalah bukti perjuangan para leluhur akan kehidupan yang kita nikmati saat ini. Dan menjadi komitmen untuk kita menjaga dan memperjuangkan tanah ini sebagai tempat kita hidup,” jelas Taroreh.
Januarius Ngala (24 tahun), mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, mengungkapkan pendapatnya tentang keberadaan waruga di Taratara. Menurutnya, waruga menjadi pengingat kepada masyarakat Taratara pada sejarah perjalanan peradaban di kampung ini.
“Waruga juga mengingatkan kita bahwa generasi saat ini pun akan menjadi ‘pendahulu’ dari generasi mendatang, dan kita generasi saat ini akan pula menjadi bagian dalam peradaban lampau Taratara di masa yang akan datang,” kata pemuda asli Taratara yang kerap disapa Clief ini.
Ia berpendapat, apa yang dinikmati generasi hari ini, kenikmatan kehidupan masa kini tak lepas dari jasa dan kehidupan para leluhur Taratara di masa lalu.
Bagi Ngala, waruga menjadi simbol solidaritas dan religiusitas masyarakat Minahasa tempo dulu. Penggunaan kubur waruga terhadap anggota keluarga yang meninggal menandakan sudah adanya rasa penghargaan yang sangat tinggi kepada yang meninggal untuk memperoleh tempat yang layak sebagai rumah terakhirnya. Bisa dilihat dari ukiran waruga yang indah serta pengerjaan waruga yang pasti memakan waktu yang lama, dan dibuat dengan sepenuh hati bagi anggota keluarga yang meninggal.
“Dari waruga pula, solidaritas tou Minahasa tempo dulu dapat dipelajari. Bagaimana mereka secara gotong royong mengangkat batu bahan waruga, memahat, mengukir sampai mengangkat badan serta penutup waruga untuk digunakan,” ujar Ngala.
Perusakan dan kelestarian waruga Taratara sebagai bukti nyata peradaban leluhur saat ini pun menjadi keresahan pribadinya. Dia mengakui banyak mendengar cerita bahwa begitu banyak waruga yang ada di Taratara waktu dulu, namun saat ini hampir hilang tak berjejak dimakan pembangunan dan keserakahan manusia.
“Menurut saya, tiga hal bisa dilakukan untuk kelestarian waruga di Taratara yang tercinta ini. Pertama, perkuat literasi tentang waruga ke masyarakat dengan menggunakan media yang umum digunakan masyarakat saat ini. Contohnya, tulisan di media sosial. Kedua, pemugaran dan pembersihan situs waruga di Taratara adalah tanggung jawab kita bersama, bukan hanya segelintir pihak saja. Ketiga, termasuk harapan saya ke depan, masyarakat Taratara bisa membuat acara atau festival bertema budaya Taratara. Melalui acara ini segala elemen masyarakat dilibatkan,” tegas Ngala, tokoh pemuda yang juga dikenal sebagai mantan ketua Orang Muda Katolik (OMK) Paroki St. Antonius Padua Taratara.
Senada dengan Clief, Sucita Rumayar (22 tahun), mahasiswa Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Pembangunan, Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi mengatakan, waruga yang adalah satu dari sekian banyak peninggalan kebudayaan Minahasa harus dilestarikan. Secara khusus oleh para pemuda.
“Waruga dapat menjadi objek dalam membantu proses pendalaman budaya daerah. Penelitian serta kajian harus tetap dilakukan mengenai waruga, agar informasi-informasi terbaru serta aspek penting peninggalan budaya Minahasa ini dapat ter-update serta diketahui lebih banyak orang di Minahasa,” jelas Rumayar.
Perbedaan persepsi serta pemahaman itu wajar dalam memaknai waruga, khususnya di Taratara. Masih banyak pula menurutnya para pegiat budaya yang bias dalam mempraktekkan cara menghormati tinggalan leluhur ini, sehingga menimbulkan anggapan negatif di masyarakat, serta mengajarkan yang salah di depan umum. Contohnya, banyak yang beranggapan penyembahan berhala dan lahirnya budaya animisme baru.
Pemuda yang aktif dalam pelayanan di GMIM Imanuel Taratara ini juga mengharapkan, dalam mengkaji waruga harus diperkuat pula dengan pemahaman kepada masyarakat tentang keberadaan situs.
“Literasi harus kuat, agar tidak ada kesalahpahaman masyarakat akan keberadaan waruga serta situs lainnya. Masih banyak stigma negatif pada situs-situs kebudayaan Minahasa. Di situ peran penelitian, kajian serta literasi diperlukan di hadapan masyarakat umum,” tutup pemuda yang biasa disapa Cita ini.
Waruga adalah tanda kehidupan tou Minahasa. Waruga membuktikan kemajuan peradaban Minahasa masa lampau. Dari waruga, dapat dipelajari komitmen kehidupan dari para leluhur Minahasa, bagaimana komitmen mereka soal keberlangsungan ruang hidup bagi generasi mendatang.
Waruga Taratara di Belanda begitu terawat, beda hal dengan waruga lain di Taratara yang kondisinya sangat memprihatinkan. Waruga Taratara banyak hancur ditelan pembangunan dan sikap acuh anak-cucu tou Tazataza.
Catatan sejarah menguak, berbagai stigma dialami situs budaya Minahasa ini. Mulai dari pelarangan kubur waruga oleh pemerintah Belanda pada tahun 1860-an karena dianggap menyebarkan penyakit, terstigma oleh agama, distigma sosial oleh masyarakat sampai dipinggirkan atas nama pembangunan.
Dalam acara The 5th Jakarta Geopolitical Forum 2021 dengan tema “Culture and Civilization: Humanity at the Crossroad”, Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo menegaskan, perkembangan peradaban yang terjadi tidak harus menghancurkan budaya dari peradaban atau bangsa mana pun. Meskipun akses budaya dari peradaban lain terbuka lebar. Suatu bangsa harus mampu membangun dan mempertahankan budaya yang telah dimiliki dari masa lalu.
Ia juga mengatakan, masuknya pemikiran-pemikiran mainstream, serta budaya dan nilai yang terbawa oleh budaya dari peradaban lain, dapat menghancurkan peradaban suatu bangsa.
“Peradaban akan berubah menjadi lebih maju dengan teknologi, ekonomi, idealisme, pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Namun teknologi juga dapat menghilangkan moralitas manusia sedikit demi sedikit,” kata Agus Widjojo seperti ditulis dalam lemhannas.go.id, 21 Oktober 2021.
Juri Lina dalam bukunya yang berjudul Architects of Deception (2004), mengatakan ada tiga cara untuk melemahkan, menguasai bahkan menghancurkan suatu bangsa dan negara. Pertama, kaburkan sejarahnya. Kedua, hilangkan dan hancurkan bukti-bukti sejarahnya sehingga tidak bisa diteliti dan dibuktikan kebenarannya. Ketiga, putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya dan katakan bahwa leluhur mereka bodoh dan primitif.
Fakta hasil-hasil kajian para ahli, nilai, norma serta filosofi budaya menjadi benteng terakhir ketika menghadapi gempuran zaman yang semakin masif menghancurkan manusia saat ini. (*)
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan