Connect with us

CULTURAL

Lumales Ti Rurumezan Ni Opo Tumalun: Memahami Keseimbangan Alam dan Ancaman Bencana

Published

on

14 Juli 2024


“Para leluhur memberi nasehat, jangan kita menyalahkan siapa-siapa kalau hari ini dilanda bencana. Karena bencana itu bukan disebabkan oleh alam, apalagi oleh Sang Khalik. Bencana itu disebabkan tindakan dan perilaku kita sendiri, manusia.”


Penulis : Etzar Frangky Tulung


LANGIT hadir tanpa awan di tengah musim penghujan, matahari pun bebas bersinar. Hangatnya mengalir sampai ke tulang-tulang. Beradu dengan angin sepoi-sepoi yang masuk-keluar pintu dan jendela Wale Mapantik Kaaten. Seakan menetralisir penatnya jiwa dalam ruangan yang baru saja melewati pekan dengan berbagai tanggung jawab yang cukup menindih.

Minggu, 6 Juli 2024. Jam menunjukkan pukul 11:00 Wita. Sebagian anggota Komunitas Penulis Mapatik dari berbagai daerah di Tanah Minahasa, duduk menyatu dalam ruangan. Cerita demi cerita dilantunkan, mengurai sederet pengalaman pada halaman kehidupan yang baru dilampaui.

Kain tenun berwarna maron tua, dipadukan hitam dan putih, tergores motif indah, mengiasi ruangan. Terikat rapi di hadapan jendela kaca rumah tua di Kelurahan Matani Satu, Kecamatan Tomohon Tengah itu. Di bawah plafon tripleks yang mulai usang, ditemani pahitnya seduhan kopi arabika Tomohon, kami sedikit berdiskusi tentang alam dan hutan yang hari ini sudah mulai kehilangan keseimbangan.

Di Tanah Minahasa kini, tak sedikit hutan yang telah dirombak demi kepentingan sebuah pembangunan. Terkadang, alam menjadi korban oleh keserakahan dan kerakusan manusia akan kekayaan. Banyak situs budaya dan peninggalan masa lampau, penanda peradaban penting, ikut menjadi sasaran perusakan demi sebuah proyek prestisius. Hutan diobrak-abrik demi  karpet merah perusahaan tambang, industri properti, hingga atas nama pembangunan kawasan wisata.

Kisah-kisah menyedihkan itu tiba-tiba diinterupsi seorang kawan, Gerard Tiwow. Ia mengusulkan, baiknya hari ini kami melakukan lumales, ziarah kultura ke salah situs leluhur tou (orang) Minahasa, yang memiliki ingatan tentang pelestarian alam. Situs yang terkait dengan sosok leluhur yang memiliki kemampuan khusus dalam menjaga keseimbangan alam dan makhluk hidup yang mendiami hutan.

Sontak, mata kami pun saling bertatapan satu dengan yang lain. Satu persatu merespons usulan Gerard, langsung menyatakan keinginan untuk menuju ke situs yang ia maksud.

Jam di dinding telah menunjukkan pukul 13:00 Wita. Racikan kopi hitam yang diseduh, tersisa ampas tebal di pangkal cangkir keramik tua. Sebuah isyarat bagi kami untuk segera bergerak menuju lokasi ziarah kultura Mapatik yang memang telah direncanakan.

Kali ini, ada 8 orang anggota Komunitas Mapatik yang bersedia mengikuti lumales. Saya, Gerard Tiwow, Rikson Karundeng, Josua Wajong yang tinggal di seputaran Tomohon, Benhard Holderman, Reinhard Loris, Tessa Samagitu dan Melvin Makalew dari Tanah Tonsea, serta Hendro Karundeng dari Selatan, Tanah Tontemboan. Kami mengendarai 4 buah sepeda motor, menuju ke lokasi situs yang berada di Kobong Pangi, Kelurahan Paslaten, Kota Tomohon.

Kendaraan harus membelah beberapa bukit. Tak ada hambatan berarti. Apalagi kondisi jalan perkebunan yang dilalui lumayan bagus. Setelah menempuh waktu 15 menit dari Wale Mapantik Kaaten, kami pun tiba di perkebunan Pangi. Motor-motor langsung diparkir di sayap kanan jalan.

Cuaca hujan membuat jalanan licin. Kami memang harus berjalan kaki. Tak butuh waktu lama untuk melalui jalan setapak sejauh kurang lebih 500 meter. Rasa ingin tahun yang besar, memacu semangat untuk melangkah, agar secepatnya tiba di titik yang dituju. Itulah yang membuat perjalanan naik-turun bukit terasa menyenangkan.

Suara serangga dan siulan burung-burung terdengar nyaring, seakan menyambut  kedatangan kami untuk menapaki jejak leluhur di tempat itu. Nyanyian lagu berbahasa Tombulu yang dilantunkan oleh beberapa kawan, mengiring langkah kami menuju ke situs Watu Kadera.

Dalam perjalanan, kami dikagetkan dengan gerakan candaan seekor sapi bertanduk kecil, yang tampak awas menatap kami dari tepi jalan. Teriakan histeris penuh tawa meletup dari Reinhard dan Benhard yang berada di depan, ketika melewati sapi putih gemuk itu. Sambil tertawa dan sedikit berhati-hati, saya pun mulai bercanda dengan sapi yang terikat tali tebal di bagian leher itu.

Ternyata, di belakang saya ada Tessa, yang memakai pakaian merah terang. Mungkin itu yang menarik perhatiannya, hingga memasang kuda-kuda seolah ingin mengejar kami.

Beberapa meter di depan, kami juga disambut gonggongan dua ekor anjing mungil. Mungkin mereka juga kaget, atau gonggongan itu merupakan sapaan terhadap rombongan peziarah yang berjalan kaki melewati sebuah popo (pondok) di pinggir jalan. Bisa juga itu sebuah peringatan, untuk mepertegas, mereka adalah penjaga wilayah sakral itu.

Sepanjang hampir 200 meter wilayah yang kami lalui, terlihat banyak pohon besar yang sudah tumbang ditebang. Lahannya tampak akan diubah menjadi tempat untuk menanam berbagai jenis sayuran. Menurut Gerard, salah satu teman yang pernah datang ke situs tersebut, dulunya di wilayah itu masih sangat rindang dan banyak pohon besar. Terlihat juga rentetan pohon cengkeh berbuah lebat, berdiri tegak di kemiringan jalan menuju situs. Sejauh mata memandang, dari atas sampai bawah, wilayah pemukiman Tomohon, memang sudah banyak lahan yang ditanami pohon rempah Minahasa itu.

Tak terasa, kami pun sampai di lokasi situs yang berada di kemiringan yang cukup curam. Jalannya cukup licin. Kami harus menuruninya secara perlahan sambil berpegangan, agar tidak terpeleset dan jatuh ke jurang.

Melihat Dari Dekat Rurumezan Ni Opo Tumalun

Tiba di Watu Kadera, situs yang juga sering disebut orang Tombulu dengan ‘Rurumezan Ni Opo Tumalun’ (Tempat duduk Opo Tumalun), tampak ada reretaan, simbol ucapan syukur dan permohonan yang digunakan dalam sebuah ritus. Ditata rapi di depan batu yang berbentuk kursi itu. Ini tanda, baru saja ada peziarah yang datang di situs Watu Tumalun.

Satu persatu kami pun mengucapkan salam. Sebuah ungkapan penghormatan bagi alam dan Sang Khalik sebagai pemiliknya, para makhluk ciptaan yang ada di hutan itu, dan bagi leluhur yang lebih dulu menjadi pemilik wilayah itu. Sesudah itu, secara bersamaan semua spontan mencabut rerumputan dan mengangkat sampah di sekitar situs.

Tiga lintingan rokok dinyalakan Melvin Makalew dan diletakkan di atas sehelai daun bersih. Benhard berinisiatif melayangkan ungkapan syukur kepada Empung Wailan Wangko, Sang Khalik Pencipta Alam Semesta. Doa-doa sesuai tradisi pun dilantunkan. Sebuah upaya untuk ‘berdamai’ dengan alam dan para leluhur. Suasana sejuk dan udara segar di bawah pepohonan yang menutupi situs, terasa seakan menyentuh hati dan pikiran kami, mengingatkan untuk tetap menjaga dan melestarikan alam lestari yang diberikan Sang Khalik, dan diwariskan melalui para leluhur.

Usai menyapa alam dan para leluhur, Gerard, salah seorang penulis di Komunitas Mapatik, mengatakan ziarah kultura ini sangat penting untuk terus dilakukan. Menurutnya, kalau kita hanya melihat situs-situs dari gambar-gambar dan berbagai data yang sudah ada, kita tidak memanfaatkan panca indera dengan baik. Artinya, kalau hanya mendengar cerita-cerita yang ada, terasa masih ada yang kurang. Baiknya juga pergi untuk hadir merasakan secara langsung.

“Coba torang bandingkan dengan torang pigi langsung. Contoh, sama di saat ini torang ada pigi di Watu Tumalun. Hari ini, kebanyakan torang hanya melihat gambar yang ada di catatan-catatan, media sosial, dan mendengar cerita-cerita saja,” katanya.

“Kalau kita pergi langsung di situs, kita bisa melihat dan memahami betul bentuk fisik dari watu tersebut. Modelnya seperti apa, bisa kita lihat, pegang, bahkan rasakan aroma khas dari situs itu,” lanjutnya.

Gerard mengatakan, udara di tempat ini sangat sejuk dan terasa segar. Nuansa dari tempat ini juga adalah hal yang paling penting. Memang ketika saya dan teman-teman sampai di situs Watu Kadera, suasana sekitar tempat ini agak berubah. Seakan kami sedang dilihat dan dipantau seseorang, namun ada perasaan damai dalam hati. Kami merasa dilindungi.

Lebih jauh Gerard menjelaskan, lewat juga ziarah ini kita bisa mengetahui letak sebenarnya lokasi situs yang sering kita bicarakan itu. “Ziarah kultura ini sangat penting. Agar supaya juga kita bisa mengetahui letak lokasi situs. Tidak hanya itu, tetapi juga sekeliling tempat itu juga penting untuk kita ketahui dan pahami. Contohnya, ketika kita datang sekitar dua tahun lalu, tempat ini masih hutan lebat yang banyak pepohonan. Pas kita datang hari ini, sudah terdapat beberapa perubahan. Tebing yang di sekitar sudah digusur, atau rusak,” jelas penulis muda yang juga aktif tertlibat dalam berbagai penelitian bersama Komunitas Mapatik ini.

“Maksudnya, hal ini sangat ironis. Di situs ini ada ingatan tentang sosok penjaga hutan, akan tetapi tidak jauh sebelum ke tempat itu, pepohonan sudah banyak yang ditebang demi kepentingan tertentu. Tidak sampai 200 meter, sudah banyak yang rusak. Soalnya, situs ini terhimpit. Di depannya sudah ada perkebunan, di belakangnya ada galian C,” ungkapnya.

Tiwow menegaskan, bukan hanya situs itu yang penting, tapi juga semua yang ada di sekelilingnya. Seharusnya semua itu dijaga dan dilestarikan dengan baik.

Penulis Kelung.id itu pun berharap, lewat pendokumentasian yang dilakukan akan muncul perhatian dari berbagai pihak, untuk ikut menjaga dan melestarikan berbagai situs bersejarah di tanah Minahasa.

“Lewat ziarah ini juga, ketika kita posting lewat berbagai media sosial, akan muncul perhatian khusus dari mereka yang melihat ini. Mereka juga akan ikut memberi diri untuk menjaga dan melestarikannya. Semua terlepas dari apa yang akan mereka lakukan, mereka pasti memiliki keinginan yang muncul dari hati untuk datang ke situs, dan bukan datang untuk merusaknya,” tegasnya. 

Membaca Kisah-Kisah Opo Tumalun

Tidak terasa, sudah lebih satu jam kami berdiri sambil diskusi di tempat itu. Terdengar kicauan indah berbagai jenis burung di pohon besar, seakan mengingatkan kami bahwa hari itu sudah mulai petang. Tetapi kesejukan alam sekitar dan udara yang begitu nikmat, seperti memaksa untuk tetap berada lebih lama lagi di tempat itu.

Director Komunitas Mapatik, Rikson C. Karundeng juga mengatakan, ziarah kultura ini memang menjadi agenda rutin yang digelar oleh Komunitas Mapatik. Menurutnya, pada umumnya sebagai orang Minahasa menyebut tradisi ini sebagai ‘lumales’. Menjejaki kembali jejak yang ditapaki oleh para leluhur. Jadi biasanya, kita datang ke tempat-tempat situs budaya peninggalan leluhur tou Minahasa. Situs-situs sejarah yang memiliki ingatan tentang para leluhur dan pengetahuan mereka, pengetahuan tou Minahasa.

“Nah, apa yang penting dari ziarah itu, biasanya kita datang untuk pendokumentasian. Mengambil foto-foto, bahkan cerita-cerita di balik situs itu, dari narasumber manapun yang memiliki ingatan tentang tempat itu, maupun juga leluhur yang ada di situs itu,” katanya.

Hari ini, di tanah Minahasa, terkadang banyak orang yang terjebak dalam perdebatan tentang cerita-cerita di balik sebuah situs. Memang hal itu masih sering menjadi persoalan panjang hingga saat ini. Hal yang sering dilupakan, cerita-cerita itu diwariskan bukan dari setiap sub etnis. Cerita itu ada di tiap Walak, Wanua atau Roong. Bahkan cerita-cerita itu biasanya diwariskan dalam setiap taranak, sehingga tiap taranak memiliki cerita berbeda. Makanya, ia selalu menyarankan ke teman-teman, setiap cerita yang didengar harus direkam dan didokumentasikan, agar kita bisa bagikan dan wariskan bagi anak cucu kita.

“Tetapi yang terpenting, kita bisa berbagi cerita untuk teman-teman hari ini. Sekali lagi, tidak soal perbedaan cerita-cerita di balik situs, karena yang paling penting biasanya di balik cerita itu ada makna sama yang tersimpan, yang tetap bisa menghidupkan generasi hari ini,” tegasnya.

Ia mencontohkan, kita datang di situs Rurumezan Ni Opo Tumalun. Melalui situs itu sebenarnya bagaimana kita mengingat kembali tentang leluhur Minahasa yang dahulu memberi diri untuk bertanggung jawab terhadap hutan.

“Opo Tumalun ini adalah opo penguasa hutan. Ada narasumber dulu yang saya wawancara, tua-tua di Tombulu ini menjelaskan bahwa jalur opo Tumalun itu dari Lokon Empung kemudian melewati pegunungan Wawo, kemudian ke wilayah Masarang,” ungkapnya.

Cerita-cerita itu bahkan ada dalam ingatan orang-orang Tondano. Jadi, selain orang-orang Tombulu yang punya banyak cerita tentang opo Tumalun, orang Tondano juga punya banyak cerita tentang leluhur yang juga mereka sapa dengan opo Tawaluyan. Karena, menurut cerita dan tradisi orang tua di Tondano, jejak pengembaraan opo Tumalun ini atau wilayah tempat ia ‘bekerja’ itu sampai di Tondano. Orang Tonsea pun punya banyak cerita yang bisa kita dapati tentang Opo Tumalun ini.

Artinya, ini leluhur penting bagi kita. Dia dipercaya oleh orang Minahasa dahulu adalah orang yang diberikan karunia khusus untuk bisa berkomunikasi dengan makhluk hidup lain seperti binatang, bahkan roh-roh hutan. Sehingga, ada narasumber dan beberapa data yang ia dapat, menjelaskan tentang opo Tumalun juga bertanggung jawab menjaga hutan dan makhluk hidup di tempat itu. Ia mampu berkomunikasi dengan seluruh makhluk hutan yang ada di wilayah itu.

Karundeng menuturkan, hal penting yang seharusnya kita dapat dari cerita opo Tumalun adalah bagaimana cara kita meneladani sikap hidup dia, meneladani cara hidup yang yang ia tunjukkan bagi anak cucu kita mendatang. Ini yang membuat kita menghormati, mengingat dan mengenang dia.

Opo Tumalun memberi diri untuk menjaga hutan, makhluk hidup dan roh-roh hutan, sosok yang siap melayani segala makhluk sebagai penjaga keseimbangan alam. Karena, dalam konsep berpikir orang Minahasa, menjaga keseimbangan alam itu penting. Dalam hal ini, menjaga hubungan yang baik dengan tumbuhan dan makhluk hidup, di dalamnya juga ikut menjaga keseimbangan alam yang ada

Otomatis, dengan kita menjaga keseimbangan alam, kita akan terhindar dari bencana. “Nah, itu kenapa orang tua, para leluhur kemudian memberi nasehat, jangan kita menyalahkan siapa-siapa kalau hari ini dilanda bencana. Karena bencana itu bukan disebabkan oleh alam, apalagi oleh Sang Khalik. Bencana itu disebabkan tindakan dan perilaku kita sendiri, manusia,” terang Karundeng.

Manusia yang merusak hutan dan lingkungan, hal ini kemudian mengganggu keseimbangan, sehingga terjadi bencana. Pesan itu sangat penting, karena hari ini kita juga sedang menghadapi musim hujan yang cukup tinggi, yang mengakibatkan longsor dan berbagai bencana ikutan lainnya.

Sepanjang perjalanan kami ke lokasi situs, semuanya merasakan hal yang sama. Merasa miris melihat kondisi hutan. Baru masuk menuju ke lokasi situs, sudah tidak lagi seperti hutan yang memiliki banyak pohon. Hutan sudah dirombak untuk dijadikan tempat menanam sayuran. Kita merombak hutan untuk mengejar kesejahteraan, tanpa memikirkan soal kerusakan hutan, terganggunya keseimbangan alam di tempat itu.

Memetik Pelajaran dari Para Leluhur

Lumales kali ini untuk memantik atau memperkuat kesadaran kami sebagai tou Minahasa, bagaimana menjaga lingkungan dan keseimbangan alam supaya kita terhindar dari bencana dan tetap menikmati kedamaian serta kesejahteraan bersama alam yang lestari. Itu menjadi tanggung jawab kita bersama. Keselamatan dan kesejahteraan bukan hanya untuk generasi Minahasa hari ini, bukan hanya untuk tou yang mendiami tanah ini, tapi juga untuk semua makhluk dan generasi yang akan datang.

Itu pengetahuan penting yang harus kita pelajari dari opo Tumalun. Setiap kita diberi tanggung jawab, tinggal kembali ke kita apakah mau untuk menjalankan tanggung jawab itu sebagai bagian dari tou Minahasa.

Opo Tumalun bertanggung jawab di wilayahnya untuk menjaga dan memastikan hutan serta makhluk hidup lain tetap terjaga dengan baik. Terpenting juga dia melakukan itu dengan kesadaran dan kecerdasannya. Ia mendengarkan ajaran dari leluhur sebelumnya. Dari dia kita belajar, generasi hari ini yang hidup di tanah Minahasa harus tetap terus belajar, memahami nilai-nilai ajaran leluhur, termasuk dalam upaya menjaga alam ini.

“Sekali lagi, ini menjadi penting bagi generasi kita. Datang ke situs opo Tumalun, mengingat ingatan dan kisah-kisah yang diteladankannya, untuk tetap mengingatkan kita sebagai tou Minahasa, membuat kita siuman bahwa kita diberi tanggung jawab untuk menjaga kelestarian alam,” kunci Karundeng.

Setelah mendengar penjelasan panjang dari seorang penulis sejarah dan peneliti di Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (Pukkat) itu, kami benar-benar mendapat ilmu dan pengetahuan tentang bagaimana seharusnya generasi kami saat ini belajar dan memahami setiap kisah dan keteladanan dari sosok leluhur yang berkomitmen, serta konsisten menjaga alam dan hubungan yang baik dengan segala makhluk di hutan.

Usai mendapat pencerahan, kami pun bersiap-siap untuk pulang. Kembali menikmati jalan licin yang kami lalui sebelumnya. Seperti halnya ketika datang kami menyapa, memberi salam, saat hendak pulang kami juga pamit kepada alam, para leluhur dan segala makhluk di tempat itu, sambil memohon tuntunan Empung Wailan Wangko dan para leluhur, agar bisa sampai di tujuan dengan selamat.

Sepanjang perjalanan pulang, masih begitu banyak tanya yang muncul dalam benak. Kami pun saling berdiskusi di atas kuda tunggangan. Semua coba memberi pendapat tentang Watu Kadera, memberikan hasil refleksinya masing-masing. Tak bisa dihindari, diskusi tetap berlanjut di Wale Mapantik Kaaten, rumah belajar bersama.

Sekira pukul 17:15 Wita, kami tiba di rumah tua bergaya Belanda. Rumah yang juga memiliki banyak ingatan dan pengetahuan yang perlu dipelajari. Saya pun bergegas ke dapur, memanaskan air dan menyeduh satu ceret kopi hitam. Terlihat wajah-wajah penasaran dan haus pengetahuan, seakan duduk menanti cerita lain tentang Minahasa, tanah warisan leluhur yang kami cintai. Diskusi dan cerita-cerita di balik situs tempat para leluhur Minahasa bereksistensi di masa lampau, menjadi topik hangat dan menemani malam panjang kami.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *