INDEPTH
Lumales, Tradisi Ziarah Makam Leluhur di Minahasa
Published
6 years agoon
By
philipsmarx29 Desember 2018
Oleh: Rikson Karundeng
Ziarah Makam di Malam Natal dan Tahun Baru cara pelihara relasi dengan leluhur
kelung.com – Sore, 24 Desember 2018, pekuburan umum Tondano ramai dikunjungi warga. Mereka terlihat membersihkan makam. Rata-rata mereka datang berkelompok. Satu taranak. Bagian dari satu rumpun keluarga.
Usai melakukan bersih-bersih, warga terlihat meletakkan bunga warna-warni yang dibawa di atas makam. Saat menjemput malam, berbagai macam penerang seperti lampu dan lilin, dinyalakan dan diletakkan di sekeliling makam. Sanak keluarga tampak riang gembira. Ziarah makam, biasanya juga diramaikan dengan pesta kembang api sebagai wujud sukacita.
“Deri kacili torang orang tua so seajar, kalu malam natal atao taon baru, datang ka kubur. Orang tua, oma deng opa, sudara-sudara yang so ‘lebe dulu’ pe kubur. Torang babersih, bawa bunga kong pasang lilin,” ujar Marlon Politon.
Bagi orang muda seperti dia, tradisi ini penting dilakukan untuk terus mengenang orang tua yang telah ‘pulang’ lebih dulu menjumpai Sang Pencipta.
“Biasa, kalu datang bagini, orang tua ja jelaskan sapa tu da kubur di sini. Dorang pe kebiasan waktu hidop deng samua dorang pe bae. Ini musti torang inga karna bukang cuma kebanggan voor torang mar ini teladan yang musti torang iko deri orang tua,” kata warga Kelurahan Tuutu, Kecamatan Tondano Barat ini.
Diakui, semua yang datang berziarah biasa dipenuhi rasa sukacita. “Torang kalu datang sanang-sanang. Makanya kebiasaan ini salalu torang rindukan. Kalu so Desember, kurang-inga-inga mo ka kubur orang tua. Anak-anak sumore kalu mo ka kubur malam natal dengan akhir taon. Memang ada orang tua yang masih ja manangis kalu datang mar itu manangis bahagia. Dorang biasa sambil manangis, ja bacerita deng tu orang tua yang so meninggal sama deng dorang masih hidop,” ungkapnya.
Tradisi Sarat Makna yang Masih Terpelihara
Kebiasaan masyarakat Minahasa datang ke makam orang tua atau sanak saudara hingga kini tetap terpelihara. Tradisi yang biasa dilakukan saat malam natal dan malam tahun baru itu langgeng karena punya alasan kuat.
Teolog Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT), pendeta Ruth Wangkai menjelaskan, tradisi ini merupakan cara orang Minahasa memelihara hubungan mereka dengan sanak keluarga yang telah berpulang lebih dahulu.
“Tradisi ini biasa malam natal tanggal 24 Desember dan malam taon baru tanggal 31 Desember. Tapi kalau sudah ada waktu sebelum natal, saya biasa sudah datang membersihkan makam orang tua lebih dulu. Nanti malam natal dan taon baru kemudian kembali membawa bunga dan memasang lampu,” kata pendeta Ruth.
Tradisi ini sudah ia lakoni sejak dulu. Ketika masih kecil, ia sering dibawa ibunya dari Manado, tempat mereka tinggal, ke Kakas untuk membersihkan makam oma dan opanya. Di negeri asal ibunya itu. Kebiasaan tersebut kian intens ia jalani sejak ayah dan ibunya meninggal. Apalagi pendeta Ruth tinggal di Tomohon, dekat dengan Taman Pekuburan Umum Kamasi, tempat ayah dan ibunya dimakamkan.
“Saya memang agak rasa bagaimana jika menggunakan istilah kubur. Kalau pakai bahasa Arab, makam. Itu artinya tempat persinggahan. Kalau kubur kadang terasa ngeri mendengarnya.
Bayangannya, masakkan mau datang ke makam orang tua kemudian kesannya terasa seram. Mungkin makna tidak begitu tapi image yang terbangun selama ini, kalau kubur tempat orang mati. Tidak ada lagi hubungan dengan kita. Padahal maknanya bukan seperti itu,” tandasnya.
Baginya, ziarah ke makam leluhur merupakan cara dia memelihara hubungannya dengan orang tua yang telah meninggal dunia.
“Saya secara personal memahami hingga saat ini tetap ada hubungan dengan leluhur, orang tua, mama dan papa, sekalipun mereka sudah meninggal. Selain keterikatan biologis karena kita lahir dari kita pe mama yang nikah dengan kita pe papa, jauh lebih dalam dari sekedar ikatan biologis adalah keterhubungan spiritual dengan orang tua dan tentu leluhur-leluhur orang tua kita,” terang pendeta Ruth.
“Karena tidak jauh dari makam ayah dan ibu saya yang dikubur satu liang lahat, ada makam opa saya. Saya tidak pernah mengenal opa saya. Saya hanya mengenal dia dari cerita-cerita orang dan dari makamnya. Ketertarikan saya ketika datang di makam, ada simbol topi kawasaran. Kata orang, opa saya dulu pemimpin kawasaran. Saya sempat berpikir, mungkin kita pe jiwa kepemimpinan terturun dari leluhur melalui kita pe opa, kemudian kita pe papa yang pendeta,” kata pendeta Ruth yang juga dikenal sebagai Ketua Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (PERUATI) ini.
Biasanya, ketika datang ke makam orang tua, pendeta Ruth terlebih dahulu memberi salam. Menyapa mereka seperti masih hidup. Diakui, secara fisik memang ia tidak melihat orang tuanya tapi mereka tetap hadir, dekat dengannya. Pendeta Ruth dan orang tuanya sudah berbeda dunia tapi selalu punya keterhubungan. Itu yang membuatnya sering datang ke makam dan berkomunikasi, memberi salam dan mengungkapkan banyak cerita di tempat itu.
“Belakangan, saya ada sedikit masalah dengan kakak beradik soal warisan. Jadi saya sering sedikit mengungkapkan itu kepada orang tua ketika ke makam mereka. Karena warisan itu milik orang tua. Saya yakin ketika itu mereka adakan, maksudnya sangat baik untuk kita, anak-anak dan cucu-cucu. Nanti anak-cucu bisa menikmati dan senang,” bebernya.
Pendeta Ruth berefleksi. Ia sangat bahagia karena ketika hidup mereka selalu berpikir ke depan. Apa yang mereka tinggalkan bagi anak-cucu adalah wujud kehadiran mereka kini.
“Mereka secara fisik sudah tidak ada tapi ketika kita bermasalah dengan adik-kakak cuma karena warisan itu, saya bercerita sadikit dengan dorang di makam. Sembari bertanya, jangan-jangan saya juga ada yang salah. Saya sadar, warisan yang ditinggalkan merupakan kebaikan hati orang tua dengan maksud supaya torang baku-baku bae dan menikmati hidup sekarang sampai anak-cucu,” ujarnya.
Tanah dan rumah yang kini ditempati Pendeta Ruth dan keluarga adalah warisan orang tua. Sebuah wujud usaha untuk anak dan cucu ketika mereka masih menikmati masa-masa sulit dalam hidup.
“Papa dulu Pendeta yang hidup pas-pasan di era 60 sampai 70-an. Tapi mereka masih bisa membangun rumah ini. Beruntung Ibu bidan jadi ada gaji. Di masa itu dorang pas-pasan tapi masih bisa meninggalkan ini voor torang jadi tempat tinggal. Masakkan kita mau melupakan begitu saja mereka. Makanya warisan ini saya rasa wujud kehadiran mereka dengan kita,” katanya.
Pendeta Ruth menegaskan, memelihara hubungan dengan orang tua yang sudah meninggal merupakan tanggungjawab. Salah satu cara dengan berziarah ke makam mereka walaupun hanya setahun sekali.
Tradisi ini diyakini sangat baik. Makanya ia dan keluarga tetap menjalaninya. Kalau tidak baik dan tidak bermakna, tentu sudah lama ditinggalkan.
“Itu memang tradisi warisan leluhur yang kita tetap pelihara hingga saat ini. Dan kita juga tetap melakukan itu karena tidak ada yang bertentangan,” tegasnya.
Ziarah ke makam orang tua adalah cara pendeta Ruth dan keluarga mengingat orang tua, mengingat keteladanan mereka yang kini telah terpisah secara fisik.
“Saya kini masih melihat mereka dengan mengingat keteladanan yang mereka berikan, melalui warisan yang diberikan ke saya. Jadi mati tidak membuat hubungan kita putus segala-galanya. Jadi saya memelihara itu dengan cara seperti berzirah ke makam,” terangnya.
Menurutnya, tradisi berziarah ke makam leluhur tidak hanya memiliki makna kultural tapi juga teologis.
“Kenapa saya katakan teologis, contoh sampai sekarang kita yang Kristen tidak pernah mengenal Abraham, Ishak dan Yakub tapi sampai sekarang kita berdoa kepada Allah Abraham, Ishak, dan Yakub. Nah, kenapa kita tidak juga berdoa bagi Allah leluhur kita, Allah dari Opa dan Oma, Mama dan Papa saya, Allah yang mereka imani. Jadi keterhubungan kita dengan Allah yang kita sembah salah satu dengan mengingat mereka, berkunjung ke makam mereka,” jelas pendeta Ruth.
Jadi, pendeta Ruth dan keluarga selalu terbubung secara iman, biologis dan spiritual dengan orang tua dan leluhur mereka. Ziarah ke makam adalah ekspresi iman. Sama seperti pengalaman bangsa Israel yang selalu diingatkan tentang peristiwa-peristiwa masa lampau yang sangat penting bagi mereka.
“Makanya tradisi ziarah seperti ini sangat kuat bagi bangsa Israel. Hal yang sama juga di bangsa Semit, termasuk masyarakat-masyarakat berbagai agama di dunia,” kuncinya.
Menapaki Ulang Jalan Leluhur
Ziarah ke makam orang tua di Minahasa bukan tradisi baru. Kebiasaan ini telah berakar di tanah ini jauh dalam dari era Malesung. Tou (orang) Minahasa mengenalnya dengan lumales. Menapaki ulang jejak para leluhur.
Tradisi ini sangat terkait dengan cara berpikir tou Minahasa. Menyimpan makna kultural, filosofis dan teologis.
Budayawan Minahasa, Fredy Wowor menjelaskan, tradisi lumales adalah bentuk pengormatan anak keturuhan terhadap leluhurnya sekaligus pengakuan terhadap Sang Khalik.
“Masyarakat Tontemboan mengenal istilah sumiri. Menghormati dan menghargai (para leluhur). Latar berpikirnya, kalau tidak ada generasi sebelumnya, tidak mungkin kita ada hari ini. Makna spiritualitas di situ adalah sebuah pengakuan terhadap ada yang lebih dahulu dari kita. Ini bentuk pengakuan terhadap keberadaan Sang Pencipta,” jelas Wowor.
Tradisi lumales dilakukan secara berulang dalam sebuah ritual atau upacara. Dengan melakukan ritual, ada tata cara yang diulang dan mengandung pelajaran.
“Pelajaran dari lumales itu penghargaan dan penghormatan. Pokoknya, secara spiritual untuk mengingatkan sekali lagi kepada kita bahwa hidup kita sangat berarti. Karena segala sesuata ada waktunya. Itu makanya kita pergi ke mereka yang sudah lebih dahulu,” terangnya.
“Lumales secara filosofis dan spiritual, lebih dalam adalah bentuk pengakuan kepada Tuhan. Dia yang berkehendak. Pengakuan bahwa sebelumnya ada yang menghendaki kita. Ada kekuatan yang menghendaki segala sesuatu termasuk kehadiran manusia di tanah ini. Dialah Tuhan,” terang Wowor.
Hari ini, ziarah ke makam orang tua ditandai dengan kegiatan membersihkan makam, membawa bunga dan lampu atau lilin dan diletakkan di makam. Wowor menjelaskan, kebiasaan itu sudah dilakukan sejak lama.
“Babersih, bawa bunga, pasang lilin. Ketika sebersih tu tampa, mengacu pada penyucian. Menyucikan atau mengembalikan dia pada kedudukan yang semula. Di awal kan makam leluhur itu bersih. Kemudian seiring waktu, ditumbuhi semak, kotor, jadi dibersihkan,” kata Wowor.
“Kalau bunga itu simbol keindahan, puncak cita rasa. Itu hanya bisa dirasakan orang yang berbahagia. Ini simbol, orang yang datang adalah orang yang bahagia. Orang itu bahagia untuk bertemu dengan orang yang dicintai, disayangi, dirindukan. Itu simbol kedekatan. Gambaran keakraban dan kedekatan. Makna simbolik dari itu adalah bunga. Refeleksinya, betapa bahagianya orang yang datang itu. Dan ia tidak datang karena diperintah tapi karena rasa bahagia,” paparnya.
Selain kegiatan bersih-bersih dan membawa bunga di makam, tradisi memasang penerang juga punya makna yang dalam.
“Kemudian kenapa lampu? Itu bermakna torang datang dengan niat dan hati yang bersih. Tidak ada kata-kata yang mau disembunyikan. Datang tidak sembarangan tapi dengani niat yang tulus. Kita tidak datang di gelap-gelap. Di sisi lain, itu simbol penunjuk jalan bahwa kita masih mengingat leluhur. Dengan mengingat leluhur, kita mengingat ajaran-ajaran mereka yang luhur,” terang akademisi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) Manado ini.
Penjelasan senada diungkapkan budayawan Minahasa, Rinto Taroreh. Menurutnya, tradisi lumales dilakukan tou Minahasa yang mendiami seluruh tanah adat Minahasa kini. Bahkan tetap dilanjutkan oleh masyarakat Minahasa diaspora. “Di Minahasa dikenal kata sumiri untuk daerah Tontemboan dan sumigi di tempat lain seperti Tombulu dan Tondano. Maknanya sama. Proses penghormatan. Tapi ada kata lumales yang berarti pigi lales (langsung). Maknanya, dengan mendatangi langsung makam leluhur, bisa lebih kenal, bisa ‘dapat’. Kan beda tu baku dapa di jalan deng langsung ka rumah. Keakraban itu lebih dapat. Makanya, di lumales, proses ke lokasi makam leluhur justru yang paling penting,” kata Taroreh.
Tradisi ziarah makam menunjukkan bahwa antara anak keturunan dan leluhur yang telah ‘mendahului’ tidak terpisahkan. Berbeda dunia bukan berarti telah terpisah.
“Kubur orang Minahasa dulu cuma di muka rumah atau samping rumah. Jadi sesuatu yang tidak berjarak. Setiap saat kita bisa pigi ka situ untuk sumigi. Misalnya kase rokok, kopi tapi bukan dalam makna itu akan dihisap dan diminum oleh mereka yang telah meninggal. Itu tanda keterhubungan, kedekatan. Bahwa walau sudah di dunia lain, mereka masih tetap terhubung,” ulasnya.
Taroreh menegaskan, pemaknaan itu tak lepas dari pemahaman orang Minahasa terhadap kematian. “Dalam tradisi Minahasa tidak ada kematian. Hanya bentuk kehidupan yang diubah. Jadi yang mawuri, so pigi lebe dulu, baku dapa deng sudara-sudara yang lain yang so lebe dulu. Peristiwa itu sama deng kelahiran baru. Salah satu cara memelihara hubungan kita dengan mereka yang telah mendahului adalah dengan sumigi ini,” kata Taroreh.
Mawuri merupakan upacara paling sakral dan paling meriah bagi masyarakat Minahasa selain panen padi. Mawuri digelar sangat meriah untuk merayakan sebuah peristiwa penting bagi tou Minahasa. “Upacara kematian atau mawuri menjadi landasan dari semuanya. Tak heran itu digelar sangat meriah. Melebihi dari pesta syukur lain,” terangnya.
Mawuri digelar untuk merayakan kaangean. Titik penting dalam hidup tou Minahasa. “Itu untuk merayakan sesuatu yang penting. Maknanya, pada peristiwa itu dia so tasampe. Kalu sebelumnya belum, skarang so tasampa. Orang Tontemboan bilang, so kaangean, so tasampe dia,” kata Taroreh.
“Proses kembali kepada Sang Khalik itu semacam tujuan. Di dunia ibarat daun. Pada saatnya daun itu akan balik ke tanah yang menjadi sumbernya. Seperti kita, pada saatnya akan kembali ke Empung Wailan Wangko. Bagi kita orang Minahasa, proses kematian itu kesempurnaan. Lekep, so tasampe orang bilang. Itu filosofi tua,” jelasnya.
Taroreh mempertegas soal makna membersihkan makam, membawa bunga dan memasang lampu di makam orang tua yang telah meninggal. Dijelaskan, leluhur Minahasa mengajarkan bahwa segala sesuatu yang dilakukan selalu diawali proses babersih. “Ambe kower (ruas bambu sebagai wadah untuk minum) saja harus babersih. Dalam proses babersih itu ada doanya. Isinya mau mengungkapkan bahwa segala kelemahan, mimpi jaha akan dibersihkan. Makna bersih itu ketika kita sampai di satu tampa, orang harus melayakkan diri dengan tempat itu. Babersih, sebagai simbol penghormatan juga,” papar Taroreh.
Bunga yang dibawa ke makam merupakan penanda. Gambaran kalbu orang yang datang berziarah. “Dulu tu bunga ja bawa itu bunga werot ato luly. Orang Tontemboan bilang kendem. Kenapa, karena dia seperti tawaang, tidak gampang mati. Kedua dia warna-warni. Simbol kebahagiaan, simbol sukacita. Dalam pengertian, ketika berziarah, torang mau mengingat kembali hubungan yang membahagiakan dengan dia yang diziarahi. Itu depe garis besar,” kata Taroreh.
Sementara, penerang yang dibawa di makam memiliki makna hidup. “Pasang lampu dalam pengertian simbol dari hidup. Yang sudah pergi masih berhubungan dengan kita, dia masih hidup di dalam hati kita dan dia memang masih hidup di ‘sana’. Cahaya lampu atau lilin itu sekaligus sebagai tanda penerang jalan untuk menerangi jalan mereka di kehidupan lain,” pungkasnya.
Taroreh meyakini, tradisi mengujungi makam orang tua akan terus hidup di Minahasa. Selain ia telah berakar dalam darah, tradisi ini masih tetap ‘menghidupkan’ orang Minahasa.
“Upaya membunuh tradisi ini sudah berlangsung sejak lama namun tidak pernah terjadi karena tradisi ini sangat bermakna bagi kehidupan tou Minahasa. Memberi arti bagi hidup. Dahulu makam kita hanya di depan atau di samping rumah. Ketika orang-orang Eropa datang, kubur dipaksa dibuat di tempat jauh dengan berbagai alasan yang menurut mereka sangat logis dan etis. Tak jarang kita dipaksa. Tapi leluhur kita tau, itu cara mereka untuk menjauhkan kita dari tradisi kita. Cara mereka untuk menghilangkan ingatan tou Minahasa terhadap tanah dan leluhurnya,” tutup Taroreh. (*)
Editor: Denni Pinontoan
You may like
-
Lumales Ti Rurumezan Ni Opo Tumalun: Memahami Keseimbangan Alam dan Ancaman Bencana
-
Siri A Se Parengan-Rengan Ni Cita
-
Patik Ni Owak: Ritus Suci, Eksistensi dan Identitas Minahasa
-
Foso dan Ingatan Nenek
-
Mu’ung: Pesan Ilahi untuk Persaudaraan, Kerja Keras dan Upaya Menjaga Lingkungan
-
Porong Kawasaran: Ketopong Mashyur Teropong Masa Lampau