Connect with us

GURATAN

Lumekep Sana Ta’un, Refleksi Akhir Tahun Pinaesaan Ne Kawasaran

Published

on

3 Januari 2024


“Berefleksi untuk menakar hati dan pikiran. Berefleksi untuk menguatkan kembali pijakan. Berefleksi bersama untuk membangun kebersamaan dalam ide dan tujuan yang sama, menjaga dan melestarikan tradisi peninggalan leluhur.”


Penulis: Juan Ratu


“LUMEKEP Sana Ta’un”, upacara adat yang begitu suci bagi kita semua sebagai orang Minahasa. Menutup lembaran tahun yang berjalan. Agar dapat berefleksi dan menelanjangi diri sebagai tou (manusia), bahwa ada yang telah kita capai, dan apa yang perlu kita capai lagi. Atau pula, apa yang harus kita lepas dan tinggalkan, serta menilik kembali, alam raya sekitar. Berefleksi dan berkontemplasi.

Di kaki Gunung Lokon, tempat suci, memiliki daya spirit yang membentuk karakter setiap darah Minahasa. Kokoh berdiri, tegas berpijak. Bila dipandang dengan mata kepala. Dalam daripada itu, Lokon adalah spirit sekaligus bilangan tua orang Minahasa. Berada di wilayah adat Tombulu, kesepakatan bersama para peziarah kultural Minahasa untuk melaksanakan upacara adat dengan tuntunan leluhur, terpilihlah Wanua Wangko Woloan. 

Terpilihnya Wanua Woloan bukan hanya pada taraf penalaran kultural dan spiritual semata. Tapi, secara logis dan geografis, Wanua Woloan adalah titik sentral untuk memastikan pengkondisian tertujunya “Pinaesaan Ne Kawasaran”. Wanua Woloan, memiliki daya tarik tersendiri, sebagai wanua yang secara historis memiliki basis kultural Minahasa yang kuat. Woloan menjadi bagian dari sejarah kebangkitan kultural dan persatuan sekaligus beraliansinya setiap Waraney Um Wanua an Tuur In Tana Ta.

Ritus Lumekep Sana Ta’un, dirangkaikan dengan refleksi sebagai Minahasa. Bahwa detik setiap detik, endo mange endo, wengi akar wengi, harus dimaknai. Peristiwa setiap peristiwa yang terjadi di tanah Minahasa, siapa yang datang dan pergi mange ang Kasendukan. Kita harus ingat. Sebuah refleksi yang berbasis spiritual.

Kesempatan bersama para tetua, sekaligus sumber primer menggali pengetahuan Minahasa, bagi saya begitu mahal. Terhimpun dalam wadah, dan tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah, setara, sejajar dan sehati sepenanggungan. Spirit Pinaesaan. Ditambah, saya merasa terhormat memberikan perspektif dan motivasi. 

Bersanding bersama tokoh dan budayawan Minahasa, seperti Dr. Denni Pinontoan, M.Th., yang adalah akademisi Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Manado, serta Ketua Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (Pukkat) yang telah melakukan penelitian dan penelusuran budaya Minahasa secara intens sekitar 30 tahun. Bersama juga, Tonaas Gerry Rorimpandey, dikenal sebagai tonaas generasi milenial, yang bergerak di kawasan industri dan pusat ekonomi saat ini, kota Manado. Pergerakannya bersama “Waraney Umbanua”, dengan berjejaring dan melestarikan budaya Minahasa dengan pendekatan ala perkotaan. Bahwa orang budaya itu tidak kolot, dan menunjukan bahwa Minahasa bisa berhimpun dalam ruang-ruang era baru. Serta tonaas dari Tenggara Minahasa, Tonaas Erens Tuama Baranei, seorang pemimpin tumpukan Kabasaran dalam sebutan Tonsawang. Yang melakukan penetrasi melawan stigma terhadap budaya Minahasa. 

Refleksi ini menjadi ruang untuk menyatakan sikap sebagai Minahasa, dan membagikan cerita perjuangan setiap Minahasa itu harus kita bangun. Serta selalu berjaga-jaga, seperti latihan dasar menjadi “Kelung Um Banua”, yang harus waspada dan skeptis, karena tanah ini begitu berharga. Ingatan kepada leluhur tidak ternilai harganya. 

Semua rangkaian ritus tertuntun dengan rapi berkat penyertaan leluhur, melalui pemandu acara, Belarmino Lapong, yang bergerak sebagai “Kelung um Banua”, mendapatkan mandat sebagai Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Tomohon.

Refleksi untuk tanah ini, bukan hanya dengan berkata-kata semata. Tapi, dari menampilkan seni tradisi, dalam bentuk simbol-simbol adat di Karai, Wuyang, Suusunan, Porong, dan pusaka-pusaka setiap Awu wo Taranak. Refleksi dalam bentuk doa nyanyian, yang sempat direpresi oleh rezim yang berkuasa. Seperti alat musik suci, yang dibawakan oleh Tonaas Lengkong, yang disebut “Lok-Lok” di Tontemboan, Oli-Oli penyebutannya di Tonsea atau di keluarga Lengkong.

Ada juga penguatan dari orang tua yang dihormati, sebab telah mencapai tingkat “Owak Ni Leos”, dari Sarian Kawasaran Kayu Pute Tanggari, Tonaas LUMEKEP Sana Ta’un. Dengan gaya nasehat yang lugas, beliau meminta untuk setiap generasi Minahasa bersatu, dan buanglah setiap akar pahit dan kedengkian. Sebab, tanah ini membutuhkan rasa persatuan dan persaudaraan. Sesuai dengan semangat hadirnya Pinaesaan Ne Kawasaran.

Pinaesaan Ne Kawasaran, dengan kesadaran bersama bahwa tanah Minahasa perlu dijaga. Bahwa kita harus selalu berhati-hati dengan kehadiran se reges lewo’ wo tou lewo’. Untuk menghancurkan nilai, kepercayaan bahkan ikatan kita dengan tanah dan tradisi luhur dari orang tua. 

Mengutip bahasa dari Tonaas Rinto Taroreh, refleksi akhir tahun ini juga adalah untuk, “Berefleksi untuk menakar hati dan pikiran. Berefleksi untuk menguatkan kembali pijakan. Berefleksi bersama untuk membangun kebersamaan dalam ide dan tujuan yang sama, menjaga dan melestarikan tradisi peninggalan leluhur.”

Baku-baku bae, baku-baku tongka.

Sa cita sumerar, esa cita, sa cita esa, sumerar en cita!

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *