FEATURE
Luthfi Andi Mutty: Melanjutkan Perjuangan yang Belum Tuntas
Published
6 years agoon
By
philipsmarx18 Maret 2019
Oleh: Andre Barahamin
Sistem kerja parlemen yang tidak berkelanjutan menyadarkan Opu Luthfi bahwa perjuangan mendorong RUU Masyarakat Adat akan kembali ke garis awal.
“SEGALA MACAM PAPARAN yang disampaikan aparat pemerintah terkait persoalan masyarakat adat merupakan angin surga,” kata Luthfi A. Mutty. Pendapat ini kemudian disambut tepuk tangan peserta Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) V.
Hal tersebut disampaikan Mutty saat ia didaulat sebagai salah satu pembicara di Simposium Tata Negara dan Reorganisasi Kelembagaan Negara yang merupakan salah satu tema pembahasan dalam KMAN V yang dihelat di Tanjung Gusta, Kampung Rakyat Penunggu, Medan, Sumatera Utara pada Maret 2017. Ia sedang menjabat sebagai Anggota Badan Legislatif (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).
Opu Luthfi, begitu biasa pria kelahiran Masamba, 1 September 1956 ini biasa disapa. Terlahir sebagai sosok sederhana, visioner dan berintegritas. Ia sempat menjabat sebagai Pejabat Bupati Luwu Utara di tahun 1999, sebelum kemudian menduduki posisi tersebut selama 10 tahun, hingga tahun 2009. Selama rentang masa kepemimpinan tersebut, Luthfi A. Mutty kemudian secara alamiah menjadi simpatisan hingga kemudian menjadi salah satu aktor penting di balik dinamika perjuangan masyarakat adat di Luwu Utara dalam memperjuangkan pengakuan dan pemenuhan hak-haknya.
Dua penanda penting keberpihakannya dengan gerakan masyarakat adat adalah lahirnya Peraturan Daerah (Perda) Kabuapten Luwu Utara No.12 Tahun 2004 tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat, serta terbitnya Surat Keputusan (SK) Bupati Luwu Utara No.300 Tahun 2004 tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Seko.
Usai menjabat sebagai Bupati, Mutty lalu menimba ilmu menjadi Staf Ahli Wakil Presiden (Wapres) Boediono, hingga tahun 2014.
“Selama menjadi Staf Ahli Wapres, saya belajar lebih banyak soal kepentingan masyarakat di daerah. Terutama seputar tanggung jawab saya soal penanggulangan kemiskinan dan otonomi daerah. Lima tahun itu, saya menemukan bahwa otonomi daerah dan pengentasan kemiskinan akan sulit diwujudkan bagi masyarakat adat,” kata Mutty.
Pada saat menjabat sebagai Staf Ahli Wapres Boediono, Opu Luthfi ikut berperan dalam lahirnya Deklarasi 9 Kementerian dan Lembaga tentang Pengukuhan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat. Deklarasi ini ditandatangani di Istana Wakil Presiden pada tanggal 1 September 2014, dan hingga kini masih dinilai sebagai salah satu capaian penting dalam jatuh bangun gerakan masyarakat adat di Indonesia.
Ia lalu memutuskan untuk ikut bertarung dalam perebutan kursi sebagai Anggota DPR-RI di Pemilihan Umum Anggota Legislatif (Pileg) 2014. Mutty menggunakan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) di Daerah Pemilihan (Dapil) Sulawesi Selatan III. Perjuangan ini tidak sia-sia karena dengan dukungan 39.828 suara, Mutty terpilih sebagai salah satu wakil rakyat Sulawesi Selatan di Senayan.
Mantan Camat Wotu di tahun 1987 ini menyadari bahwa perjuangannya setelah menjadi Anggota DPR-RI menjadi lebih berat.
“Saya tidak hanya menjadi perwakilan masyarakat adat di Dapil dari mana saya terpilih, atau hanya di Sulawesi Selatan saja. Saya kini adalah wakil rakyat, terlebih khusus wakil masyarakat adat. Tidak hanya yang berada di Sulawesi Selatan, tapi juga di Indonesia,” ungkap Mutty.
Sebagai Anggota DPR RI periode 2014-2019, melalui Fraksi Partai Nasdem, Mutty merupakan salah satu sosok penting pengusul Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat. Meski Opu Luthfi menyadari bahwa perjuangannya untuk mendorong RUU Masyarakat Adat agar dapat disahkan menjadi Undang-undang bukan perkara gampang, namun tiada jalan mundur.
Juli 2018, secercah kabar gembira muncul. RUU Masyarakat Adat yang lama dinanti, secara resmi mulai dibahas oleh Badan Legislatif (Baleg) DPR-RI bersama Pemerintah.
Di tahun 2019, terbit Surat Perintah Presiden (Supres) terkait pembahasan RUU Masyarakat Adat bersama enam kementerian. Lembaga-lembaga yang dimaksud yaitu Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes-PDTT).
Walau hingga kini nasib RUU Masyarakat Adat tak kunjung jelas. Hal diakibatkan oleh sikap abai Pemerintah yang tak kunjung mengirimkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) kepada DPR-RI.
Bagi Mutty, RUU Masyarakat Adat adalah hal yang tak bisa ditawar. Penetapan RUU Masyarakat Adat menjadi UU dinilainya akan menjadi salah satu alat kontrol sekaligus alat ukur hadirnya negara di tengah-tengah masyarakat adat.
“Melalui UU Masyarakat Adat ini kami ingin memastikan bahwa negara hadir. Selain fakta bahwa, janji menetapkan RUU Masyarakat Adat sebagai UU juga merupakan janji Presiden Jokowi dalam Nawacita,” jelas Opu Luthfi.
Pria asal Tana Luwu ini meyakini bahwa hadirnya UU Masyarakat Adat akan mempermudah upaya dan perjuangan masyarakat adat di Indonesia -yang tersebar dari Sumatera hingga Papua- untuk mendapatkan pengakuan, penghormatan, dan perlindungan. UU Masyarakat Adat diyakini Opu Luthfi adalah jaminan hukum terhadap hak-hak masyarakat adat sebagai pewaris budaya leluhur dan pemilik tanah ulayat yang sah dan warga negara yang telah mendiami wilayah republik jauh sebelum negara bernama Indonesia hadir di tahun 1945.
Perjuangan yang Belum Tuntas
Januari 2019, saat membacakan Catatan Akhir Tahun (Catahu) AMAN 2018, Sekretaris Jendral (Sekjen) AMAN, Rukka Sombolinggi menegaskan bahwa mengambangnya pembahasan dan penetapan RUU Masyarakat Adat menjadi UU adalah bukti jelas pengingkaran Joko Widodo terhadap enam poin komitmennya dalam Nawacita terkait masyarakat adat.
Ketidakjelasan komitmen tersebut dianggap Rukka sulit dipenuhi jika melihat waktu tersisa yang dapat digunakan Presiden Joko Widodo untuk menuntaskan agenda-agenda masyarakat adat yang dicantumkan dalam Nawacita seperti pengesahan RUU Masyarakat Adat, pembentukan Satgas Masyarakat Adat, meninjau ulang berbagai peraturan sektoral yang merugikan dan melanggar hak-hak masyarakat adat, membentuk mekanisme nasional penyelesaian sengketa di wilayah ulayat, melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi No.35, Tahun 2012 (MK 35/2012) dan melakukan pemulihan terhadap masyarakat adat yang menjadi korban kriminalisasi oleh investasi dan alat negara seperti polisi dan tentara.
Dalam Seminar dan Lokakarya Advokasi: Wajah Pemerintahan Jokowi-JK dan Masa Depan Masyarakat Adat, Rukka Sombolinggi menyatakan bahwa beberapa kebijakan pembangunan Jokowi justru memunculkan beban baru bagi Masyarakat Adat.
“Banyak kebijakan Pemerintahan Jokowi-JK untuk Masyarakat Adat sangat jauh dari esensi. Salah satu contohnya adalah RUU Masyarakat Adat. Justru, pemerintahlah yang kini berupaya menghambat pengesahan RUU Masyarakat Adat. DIM (Daftar Inventaris Masalah) kini tak kunjung diserahkan oleh Pemerintah kepada DPR-RI. Ibaratnya, sekarang justru Pemerintah yang melempar bola (RUU Masyarakat Adat) keluar lapangan,” tegas Rukka.
Sekjen AMAN menilai, Jokowi justru tampak pasif dan tidak mau mengambil inisiatif untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Salah satu bukti yang disodorkan AMAN adalah fakta bahwa produk hukum pengakuan Masyarakat Adat justru lahir dari inisiatif utusan politik AMAN di legislatif. Sosok yang dirujuk Rukka tidak lain adalah Luthfi Mutty, yang menjadi juru bicara tunggal isu dan kepentingan masyarakat adat di DPR-RI.
Bagi AMAN, sebagai organisasi masyarakat adat yang beranggotakan lebih dari 2.332 komunitas dengan populasi mencapai lebih dari 17 juta jiwa, ditetapkannya RUU Masyarakat Adat sebagai UU adalah harga mati yang tidak dapat dinegosiasikan.
“Melalui itulah kami di AMAN menilai bagaimana kualitas rezim Jokowi selama lima tahun ini,” tegas Rukka.
AMAN menyodorkan empat bukti nyata bagaimana Jokowi abai pada komitmennya terhadap masyarakat adat yang dicantumkannya dalam Nawacita.
Pertama, berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dialami Masyarakat Adat masih menggantung. Hingga berakhirnya tahun 2018, AMAN mencatat 262 orang tokoh dan warga komunitas masyarakat adat menjadi korban kriminalisasi. Kondisi ini adalah fakta tak terbantahkan dari belum seriusnya Jokowi selama 4,5 tahun berkuasa dan berjanji untuk menyelesaikan masalah hukum dan HAM yang menjadikan masyarakat sebagai korban.
Kedua, target pemerintah mempercepat penetapan status hutan adat sesuai mandat Putusan MK 35/2012 belum tercapai. Termasuk di dalamnya adalah belum tercapainya target dan janji pemerintah untuk melakukan penetapan hutan kelola masyarakat yang termasuk hutan adat seluas 12,6 juta hektar. Dalam catatan AMAN, hingga kini baru ada sekitar 27.000 hektar hutan adat yang berhasil ditetapkan. Jumlah tersebut tentu saja dinilai sangat melenceng jauh dari target awal.
Ketiga, AMAN menemukan bahwa hingga masa jabatan Jokowi yang akan berakhir kurang dari setengah tahun ke depan, belum ada satupun desa adat yang ditetapkan pemerintah. Meskipun AMAN sendiri telah mendorong penetapan 133 desa adat melalui produk hukum daerah, namun sampai saat ini belum ada satupun mendapatkan registrasi dan kode desa dari Kementerian Dalam Negeri.
Hasil kajian AMAN menemukan bahwa hal tersebut disebabkan oleh tumpang tindih fungsi antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa. Belum lagi menyoal tentang keterbatasan Kementerian Desa yang tak memiliki nomenklatur dalam pengaturan desa adat secara jelas. Dua hal tersebut disimpulkan AMAN sebagai alasan mengapa terjadi kemandulan dalam mengimplementasikan UU Desa Nomor 6/2014.
Keempat, peraturan perundang-undangan soal Masyarakat Adat masih tumpang tindih dan saling sandera antar lembaga pemerintah terkait. Tumpang tindih dan keengganan antar kementerian terkait untuk bekerjasama dinilai belum mampu menjawab kebutuhan Masyarakat Adat. Hal itu bahkan menjadi penyebab utama pengabaian dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat.
Sebagai contoh adalah terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Nomor 8, Tahun 2018 (Permen KKP No.8/2012) tentang pedoman pengakuan Masyarakat Adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Permen KKP No.8/2012 tersebut menurut AMAN secara substantif memiliki kesamaan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52, Tahun 2014 (Permendagri No. 52/2014). Hal tersebut dikhawatirkan AMAN akan menjadi alasan bagi mandulnya penerapan peraturan tersebut di lapangan.
Fakta-fakta tersebut yang menjadi salah satu pertimbangan serius AMAN untuk menyikapi Pemilu 2019 yang semakin dekat. Dengan memutuskan untuk tidak menyampirkan dukungan kepada salah satu calon presiden – calon wakil presiden (Capres-Cawapres), namun justru memfokuskan diri untuk memenangkan lebih banyak kader Utusan Politik Masyarakat Adat. Kader-kader ini adalah orang-orang yang telah dipilih, diputuskan, direkomendasikan dan diutus oleh komunitas-komunitas masyarakat adat untuk menjadi juru bicara dan wakil mereka di parlemen.
Bagi AMAN, pemilu bukan perebutan kekuasaan semata, tapi ke arah mana gerakan masyarakat adat akan melangkah.
“Kita sudah tahu, tanpa berpolitik tidak mungkin mempengaruhi kebijakan publik. Sebabnya adalah tidak akan ada perubahan sistematik di dalam Masyarakat Adat kalau Masyarakat Adat tidak terorganisir di dalam kekuatan politik,” kata Rukka Sombolinggi.
Keputusan politik tersebut lalu dibahas secara mendalam dan disahkan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) AMAN yang berlangsung di Koha, Minahasa, Sulawesi Utara pada 2018. Nama-nama sosok terbaik diputuskan untuk mewakili gerakan masyarakat adat melalui beragam partai politik. Salah satu yang direkomendasikan adalah Luthfi Mutty, yang kembali mencalonkan diri melalui Partai Nasdem, Daerah Pemilihan (Dapil) Sulawesi Selatan III.
Opu Luthfi menyadari pentingnya mandat yang dibebankan ke pundaknya. Sebagai orang yang sudah hampir lima tahun berjuang di Senayan menggaungkan tuntutan masyarakat adat, Mutty sadar bahwa perjuangan mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi UU adalah jalan ideologis sekaligus harapan bersama jutaan masyarakat adat di Indonesia.
“RUU tentang Masyarakat Adat ini sudah dibahas oleh DPR-RI periode 2009-2014. Tapi ini tidak berhasil digolkan menjadi UU. Hal ini tentunya disebabkan oleh adanya persoalan besar. Salah satunya adalah sistem kerja DPR-RI yang menganut model carryover (tidak bisa berlanjut, red). Jadi apa yang sudah dibahas oleh DPR periode saat ini meskipun telah mencapai 99%, tetap tidak bisa dilanjutkan oleh DPR periode nanti. Semuanya harus dimulai dari nol lagi,” jelas Mutty.
Sistem kerja parlemen yang tidak berkelanjutan menyadarkan Mutty bahwa jika ia terpilih, perjuangan untuk mendorong RUU Masyarakat Adat akan kembali ke garis start.
“Saya memutuskan menerima mandat masyarakat adat karena sadar betul, perjuangan belum selesai. Masih ada yang belum tuntas, dan tidak ada pilihan selain kembali ke Senayan dan menggolkan UU Masyarakat Adat,” tutup Opu Luthfi.(*)
Editor: Gratia Karundeng
Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun. KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama untuk mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya
You may like
-
Aroma Pelanggaran HAM Menyeruak Bersama Bau Busuk di Tanjung Merah
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa
-
Waraney Wuaya di Watu Tiwa’: Menata Situs, Menjaga Pengetahuan
-
Luka di Festival HAM, INFID dan Koalisi Masyarakat Sipil Protes
-
Mamasa Mamase: Terpaksa Mase-Mase dari Masa ke Masa