Connect with us

ESTORIE

Macchiato di Savannakhet

Published

on

17 Februari 2019


Oleh: Andre Barahamin


Secara harafiah, Savanakhet berarti “Kota Surga”. Nama terkait klaim masa lalu soal tingkat kesuburan tanah. Pertanian kala itu adalah berkah dan menjadi petani adalah kebanggaan

 

KAGET.

Itu yang saya rasakan saat pertama kali memandangi bagian atas kedai kopi plus resto ini. Namanya terpampang besar di bagian atas depan yang begitu mencolok dari jalan raya. Papan nama yang mungkin terbuat dari bahan besi tahan karat berwarna perak. Pantulan sinar mataharinya cukup untuk membuat matamu terganggu.

Beranda Macchiato De Coffee didominasi warna gelap dengan jendela kaca di sana sini. Kau hampir bisa melihat seluruh bagian dalam dengan cukup berdiri di teras. Di sebelah kanan ada dua kotak telpon umum khas tanah Britania. Dicat merah menyala dan diletakkan hampir berdempetan. Halaman parkirnya sangat luas untuk ukuran kafe.

Ingatan saya berputar ke masa lalu.

Beberapa tahun lampau ketika saya begitu sering hilir mudik antara Vietnam-Thailand dengan menggunakan jalur darat. Dalam ingatan saya, kedai kopi ini tidak ada. Macchiato De Coffee belum eksis ketika itu. Hanya ada jalanan berdebu dengan pembangunan yang berjalan lambat, pos imigrasi yang tak tertib, dan tumpukan passport para pelintas dari Laos dan Vietnam yang penuh selipan uang sogok ala kadarnya. Di sekujur kota begitu mudah ditemui warung-warung mi, bar dan resto murahan serta tempat-tempat bermain billiard. Semua itu begitu akrab dalam ingatan, dan tidak ada satupun fragmen tentang kedai kopi bernuansa Barat seperti Macchiato De Coffee.

Jujur, ingatan saya tentang Savannakhet hanya dua.

Pertama, kegersangan yang tampak begitu culas saat terik ketika berpilin dengan debu jalanan. Berjalan kaki siang hari di kota ini terasa seperti pelatihan militer yang sudah barang tentu membosankan untuk ukuran pembenci militerisme seperti saya. Tidak ada pohon peneduh. Yang tampak hanya mobil yang hilir mudik, perempatan jalan yang tidak terurus hingga mesin-mesin ATM yang tampak kusam.

Namun terkadang, terik di Savannakhet yang sengatannya mampu melelehkan patah hati, mengingatkan saya kepada pulau-pulau di semenanjung utara Sulawesi. Tempat ikan-ikan dijemur dan para nelayan yang tertidur pulas di bawah pohon beringin dengan bunyi dengkur bersahut-sahutan sementara sebagian yang lain bermain domino penuh tawa. Sehingga mereka yang datang dari hutan beton dan terobsesi dengan kerja, menuduh kegiatan semacam itu kontraproduktif dan pemalas.

Itu sebabnya di Savannakhet dulu, saya senang sekali tidur siang sehabis makan siang. Mengamini Lafargue meski untuk sesaat.

Hal kedua yang tidak bisa dihapus dari ingatan adalah mengenai bar-bar mini yang terletak di berbagai sudut kota. Tempat seperti ini adalah ruang eskapik bagi imigran berkulit pucat dan atau mereka yang berhenti sejenak di Savannakhet. Semacam halte waktu di mana para peminum bir bertemu kemurahan hati khas Laos. Beerlao, bir khas Laos mudah ditemukan di sana sini dijual dengan ukuran yang lebih murah dari ibukota, Vientiane. Sebagai komplemen, kacang disediakan bagi mereka yang tidak tahan menenggak alkohol tanpa mengunyah sesuatu. Saya tentu saja melengkapinya dengan kretek. Karib sepanjang jalan.

Saya pertama kali menginjakkan kaki di Savannakhet pada akhir 2013.

Medio November tahun itu, saya bersama dua orang kawan, menyeberang dari Mukdahan, Thailand. Kami bertiga adalah prajurit sewaan yang dikontrak selama tiga minggu oleh sebuah lembaga penelitian dan ditugaskan untuk mengamati dan mengumpulkan sejumlah informasi. Investigator menara gading kelas teri dengan bayaran per minggu yang nominal total penghasilannya mungkin lebih buruk dari bayaran para pelacur di distrik mesum Bangkok.

Operasi mengumpulkan pundi-pundi uang yang dibalut dengan pembenaran akademis meski kami sendiri tak pernah tahu dengan pasti seberapa bermanfaat penelitian tersebut. Saya adalah adalah bagian dari tim amatir yang ditugaskan untuk melakukan sebuah riset terkait aktivitas masyarakat yang bermukim di lintas batas antar negara.

Maklum, saat itu ASEAN Economic Community sedang jadi topik utama di Thailand dan beberapa kota studi utama seperti Bangkok, Chiang Mai dan Khon Kaen. Menurut desas desus kala itu, ada cukup uang yang tersedia di beberapa universitas top di Thailand. Dana ini hanya bisa diakses melalui proposal rangkaian riset yang di dalamnya dapat meyakinkan pendonor bahwa tawaran tersebut akan memiliki dampak dan kontribusi bagi ide terbentuknya sebuah masyarakat konsumen di region Asia Tenggara.

Kau tidak harus jadi pintar di kelas. Cukup jadi paling cerdik, gesit dan tentu saja paham bagaiman teknik yang baik untuk menjilat para profesor. Dan yang paling utama, kau tahu bagaimana berpura-pura paham tentang sesuatu yang sebenarnya belum terlalu terang dalam isi kepalamu sendiri. Jika semuanya lancar, dipastikan kita bisa mengulur tangan untuk mendapatkan sedikit bagian.

Tapi jangan melakukan hal ini seorang diri. Minimal, harus ada satu nama yang bisa jadi jaminan. Semacam agunan bahwa uang yang akan dihabiskan nanti bisa disulap menjadi lembaran laporan. Tentu saja bukan namamu sendiri. Apalagi jika kau adalah peneliti amatir yang bahkan belum genap usia berkepala tiga.

Keberuntungan nasib, latar belakang sebagai seorang anak kampung yang berasal dari perbatasan, serta sedikit pengalaman yang tercantum di riwayat hidup membuat saya diajak terlibat.

Meskipun faktanya kemampuan bahasa Laos saya nol besar, sementara daya komunikasi dalam bahasa Thai sangat buruk. Masih terlalu sering salah ketika mengucapkan intonasi nada. Kesalahan yang tidak hanya membuat lawan bicara kebingungan, tapi juga salah paham. Kalimat-kalimat yang saya ketahui juga terbatas pada percakapan sederhana dan bukan dialog dua arah dengan tingkat kerumitan di atas rata-rata. Saya bisa memesan makanan tapi masih sulit mencerna jika sedang bicara soal sejarah atau politik.

Kelemahan-kelemahan itu membuat saya harus rela menjadi penerima informasi tangan kedua setelah dua partner saya yang berasal dari Thailand dan Laos.

Sejak dimulainya riset, masing-masing kami saat itu saling menyimpan tanya dan curiga soal siapa yang mendapatkan bayaran lebih besar. Pertanyaan macam itu sering tampak dengan senyum a la kadarnya ketika kami secara tak sengaja menyinggung soal honor. Tapi atas nama etika dan selusin pembenaran yang tak penting, tidak ada yang benar-benar berani untuk saling mengkonfrontasi soal siapa dan berapa angkanya. Kami bertiga tanpa sadar, adalah para pegawai teladan yang sedang berlomba menjaga rahasia perusahaan.

Kawan pertama, Lambai Souvanlorpaying yang berasal dari Louang Phabang, mengaku belum pernah menginjakkan kaki di Savannakhet meski ia berasal dari Laos. Pria dengan rambut tipis yang membuat kepalanya tampak hampir plontos ironisnya justru tak tahu banyak soal tempat ini. Sepanjang hampir tiga minggu periode penelitian di tempat ini, Lambai hanya mengoceh tentang betapa Louang Phabang adalah tempat terindah dibandingkan Vientiane atau Savannakhet.

Ia membandingkan kegersangan Savannakhet dengan sungai, air terjun dan semarak lampu malam hari di kampung halamannya. Ia selalu mengeluh soal harga makanan dan buruknya layanan di hotel tempat kami menginap. Yang paling membuat saya kesal adalah mulutnya yang terus menerus mencecar Savannakhet saat sedang minum bir. Selain merusak suasana, hal tersebut bahkan suatu kali hampir membuat kami bertengkar dengan pengunjung lain.

Kuat dugaan saya, hal ini tidak lepas dari kebanggaan teritorial yang begitu kental dalam sejarah Laos. Negeri ini adalah proyek unifikasi sepihak Prancis dengan menggabungkan tiga kerajaan besar: Louang Phabang, Vientiane dan Champasak. Meski di masa sebelumnya, ketiga wilayah ini berada di bawah dinasti Lan Xan, sebelum kemudian terpecah. Louang Phabang sempat menjadi teritorial kerajaan Burma, sementara Champasak di bagian selatan sempat dikuasai Siam.

Sementara kawan kedua saya, Gwisanee Nata adalah seorang perempuan dengan kemampuan bahasa Inggris anak sekolah menengah yang berasal dari Mahasarakham. Ini salah satu kota di bagian timur laut Thailand. Daerah ini lebih dikenal dengan nama Isaan, dan dialek bahasanya lebih mirip Laos. Beberapa kata yang digunakan juga serupa. Ketimbang bertindak sebagai peneliti, Gwisanee sebenarnya adalah akuntan sekaligus ibu asrama bagi saya dan Lambai. Ia yang mengatur penginapan, memastikan bahwa kami makan enak dengan harga terjangkau, serta bisa menikmati bir secukupnya ketika malam tiba.

Daerah asal perempuan ini di masa lalu adalah pintu masuk para gerilyawan komunis Laos dan Vietnam semasa periode perang gerilya Partai Komunis Thailand. Senjata dan dukungan finansial Cina, Vietnam dan Laos mengalir melalui Isaan. Salah satunya melewati Mukdahan yang berbatasan dengan Savannakhet.

Dukungan dari Vietnam sendiri tidak bisa dilepaskan dari fakta sejarah bahwa wilayah ini memiliki ikatan dengan Nguyen Sinh Cung. Dalam The Soviet Union in Asia (1973), Geoffrey Jukes, mencatat bahwa revolusioner asal Vietnam ini sempat singgah bermukim di Isaan untuk beberapa waktu ketika berada dalam pelarian dari kejaran Prancis. Paman Ho sempat tinggal di Nakhon Phanom yang berbatasan dengan Savannakhet.

Jangan heran jika wilayah ini memainkan peran strategis di periode perang pembebasan Vietnam selatan dari cengkraman Amerika Serikat.
Berbatasan dengan Quang Tri, Savannakhet menjadi salah satu basis satelit para gerilyawan Vietcong untuk menghantam musuh. Hingga hari ini, ada banyak imigran Vietnam yang menetap dan menjadi warga negara Laos. Beberapa narasumber yang sempat kami wawancarai adalah mantan kombatan perang unifikasi Vietnam.

Hari ini, orang-orang Vietnam di Savannakhet adalah salah satu kelompok etnis mayoritas. Cara menemukannya begitu mudah. Lihat saja siapa yang duduk bergerombol santai di trotoar jalan pada pagi hari sembari meminum kopi, merokok serta tentu saja sedang bercakap-cakap dalam bahasa Vietnam.

Satu-satunya akses menuju Savannakhet dari dataran Siam adalah melewati Thai-Laos Friendship Bridge II (FSB II) yang membentang di atas sungai Mekong.

Tempat ini bisa dicapai jika anda telah melewati siksaan sebelas jam duduk terbujur duduk dalam bus yang berangkat dari terminal Mo Chit di Bangkok. Tiba di Mukdahan, kalian harus kembali berganti bus khusus yang menghantar para pelintas batas. Bus paling pertama akan berangkat pada pukul 7.15 pagi hari. Sementara rute penyeberangan terakhir akan ditutup pada pukul 9 malam. Setiap 45 menit akan ada satu bus yang siap menghantar para pelintas batas. Hanya dibutuhkan kurang dari setengah jam untuk melalui dua pos pemeriksaan imigrasi Thailand-Laos.

Macchiato De Coffee akan terlihat begitu bus memasuki Savannakhet setelah melewati pengecekan imigrasi. Silakan menengok ke jendela sebelah kiri. Ukuran papan nama raksasa begitu menonjol.

Savannakhet adalah nama kota sekaligus merujuk pada provinsi.

Menurut Khamyad Rasdavong dalam The history of Buddhism in Laos (2006), secara harafiah, ia dapat diartikan sebagai “Kota Surga”. Penamaan ini terkait erat dengan klaim masa lalu soal tingkat kesuburan tanah Savannakhet yang di atas rata-rata. Pertanian kala itu adalah berkah dan menjadi petani adalah kebanggaan. Lokasinya yang persis di pinggir sungai Mekong membuat para penduduk provinsi terbesar di Laos ini dahulu menyandarkan penghasilannya dari pertanian. Belum termasuk menyebut soal melimpahnya ikan di sepanjang sungai Mekong.

Sewaktu Laos baru belajar menyeimbangkan diri sebagai sebuah republik komunis, menurut Vattana Polsena dalam The early years of the Lao Revolution (1945-1949): Between history, myth and experience (2006), banyak hasil pertanian mereka yang diekspor ke Quang Tri, Vietnam. Sebagian kecil lain dipasarkan diam-diam ke Mukdahan dengan harga murah. Namun bagi banyak penyeludup di masa itu, harga yang ditawarkan masih jauh lebih baik dari pasar domestik yang protektif namun luput menghitung biaya produksi dan tenaga kerja.

Orang-orang di Savannakhet adalah saksi bagaimana Laos yang pontang panting berdikari. Seruan negara untuk berhemat, kemiskinan yang meluas karena kesalahan kalkulasi politik dan ekonomi, minimnya infrastruktur pendidikan dan kesehatan adalah penanda-penanda yang berupaya untuk dihapus para penduduk kota ini dari ingatan mereka.

Embargo ekonomi internasional, blokade Thailand karena sentimen ideologi, berkurangnya topangan finansial Vietnam secara drastis di masa genting, antipati Cina yang dibayangi sengkarut perselisihan Sino-Soviet di masa lalu, adalah sedikit di balik banyak alasan mengapa Laos lalu mulai membuka diri di awal dekade 1990-an. Tirai investasi kemudian dibuka lebar meski secara perlahan pasca-krisis ekonomi yang menghantam Asia. Salah satunya seperti yang dicatat oleh Wayne Arnold dalam “Mining Gold in Laos Where Bombs Once Rained” yang dipublikasikan New York Times (2002), adalah membiarkan perusahaan-perusahaan tambang multinasional untuk kemudian masuk dan melakukan ekstraksi.

Savannakhet adalah salah satu bagian tubuh Laos yang dijamah asing pertama kali dan Australia adalah negara perdana yang diberikan konsesi untuk menggarap cadangan emas di distrik Sepone.

Setelah pertambangan di Sepone dibuka awal dekade 2000-an, arus uang dan merkuri menggiring banyak orang mengganti pekerjaan. Dari petani menjadi buruh. Sepone lalu menjadi kebanggaan Savannakhet. Ia adalah pertambangan emas dan tembaga terbesar di Laos meski faktanya kini konsesi Sepone dimiliki sepenuhnya oleh Minerals and Metals Group (MMG), sebuah perusahaan joint venture Australia dan Cina.

Sepone juga menjadi pelopor berdirinya pertambangan-pertambangan lain di daerah ini. Di provinsi ini, ada sekitar enam titik pertambangan lain yang dibuka setelah Sepone. Semuanya adalah perusahaan tambang yang dikelola oleh asing sementara negara hanya mendapat persenan.

Namun bukan emas yang melekat di ingatan penduduk di wilayah ini.

Kebanggaan utama Savannakhet adalah Kaysone Phomvihane. Ia adalah putra daerah yang sempat menjabat sebagai Perdana Menteri dan kemudian sebagai Presiden Laos setelah era perang sipil. Ia juga merupakan pendiri Partai Revolusioner Rakyat Laos yang berhaluan komunis. Dalam buku Arthur J. Dommen berjudul The Indochinese Experience of the French and the Americans: Nationalism and Communism in Cambodia, Laos, and Vietnam (2001), Phomvihane disebutkan sebagai anak dari sepasang imigran asal Vietnam. Ayahnya Nguyen Tri Loan yang kemudian menikah dengan perempuan Laos bernama Nang Dok, berasal dari wilayah utara Vietnam sebelum akhirnya bermukim di Na Seng, desa kecil di distrik Khanthabouli, Laos.

Ketika lahir, Phomvihane dikenal dengan nama Nguyen Cai Song. Sebagai penghormatan, di kemudian hari pemerintah Laos mengganti nama distrik tersebut dengan namanya.

Phomvihane yang datang dari keluarga pedagang, sempat dikirim ke Ha Noi untuk belajar hukum. Harapannya, ia dapat menjadi pengacara ketika kembali ke Laos. Profesi terhormat dan jaminan bebas kemelaratan di era kolonialisme Prancis. Namun, semasa kuliah Phomvihane muda justru tertarik dengan ide-ide Marxisme dan terlibat lebih jauh dalam aktivitas bawah tanah menentang penjajah. Ia kemudian mengidolakan Ho Chi Minh hingga akhirnya bergabung dengan gerakan Pathet Lao yang bertujuan memerdekakan Laos.

Pathet Lao adalah organisasi pembebasan Laos yang merupakan aliansi lintas ideologi sebelum akhirnya didominasi kelompok komunis dan mengubah haluan politik organisasi. Kelompok ini cukup berpengaruh di pertengahan abad 20. Mereka mendapatkan dukungan penuh dari Partai Komunis Vietnam (PKV). Termasuk ketika Phomvihane mendirikan Tentara Pembebasan Rakyat Laos (TPRL) pada 20 Januari 1949. Semangat kemerdekaan yang tengah melanda Asia dan Afrika pasca takluknya Jepang dalam Perang Dunia II, dipandang sebagai momentum tepat untuk mengusir Prancis.

Menurut Dommen, selain Phomhivane, tokoh kunci Pathet Lao yang lain adalah Pangeran Souphanouvong, Pangeran Souvanna Phouma dan Pangeran Boun Oum. Dua nama pertama berasal dari keluarga Kerajaan Louang Phabang, sementara Oum adalah keturunan dari Kerajaan Champasak.

Di tahun 1950, Phomvihane diangkat sebagai Menteri Pertahanan Pemerintahan Oposisi yang dibentuk sebagai tandingan terhadap republik boneka buatan Amerika Serikat. Lima tahun sesudahnya, ia menjadi sosok paling berpengaruh dalam mengorkestrasi terbentuknya Partai Revolusioner Rakyat Laos. Basis PRRL berada di daerah Sam Neua, Laos utara. Berdirinya PRRL juga menjadi marka menuju era perang sipil yang berlangsung selama 22 tahun.

Perang sipil yang berlangsung dari tahun 1953 hingga 1975 merupakan satu dari sekian wajah Perang Dingin di daratan Indo-Cina. Jika Pathet Lao yang berhaluan komunis mendapatkan dukungan langsung dari PKV, maka Pemerintah Kerajaan Laos yang mulai berkuasa sejak 1947 mendapat dukungan dari Kerajaan Thailand, Amerika Serikat dan Prancis sebagai donor utama.

Pemicu perang ini dalam catatan Pholsena, salah satunya dimulai sejak penandatangan pakta perjanjian antara Prancis dan Laos di tahun 1953.

Perjanjian ini menandai penyerahan seluruh urusan administratif dari kolonial kepada pemerintahan yang baru, minus urusan militer. Sekaligus meresmikan Republik Laos sebagai salah satu anggota persemakmuran Prancis. Perjanjian ini dianggap tidak cukup bagi kelompok komunis yang menginginkan Laos yang berdikari sehingga kemudian memicu ketegangan di antara tiga kubu besar kekuatan politik di Laos saat itu yang merefleksikan kekuatan dari masing-masing pangeran. Kelompok komunis berada di belakang Pangeran Souphanouvong.

Sebagai jalan keluar, diputuskan untuk membangun pemerintahan koalisi. Taktik ini berjalan lambat dan penuh kecurigaan. Terutama karena dipengaruhi oleh situasi perang pembebasan Vietnam selatan yang sedang berkobar.

Kubu Pangeran Oum yang didukung oleh Amerika Serikat, tentara Thailand dan pasukan Republik Vietnam di bagian selatan, merasa terganggu dengan upaya PKV untuk menggunakan wilayah Laos sebagai terminal persinggahan dan lumbung pangan serta senjata dalam kampanye gerilya Vietnam membebaskan bagian selatan negeri itu yang disandera Amerika Serikat.

Kelompok Pathet Lao yang dikomandai oleh Pangeran Phouma dan Phomvihane, yang didukung oleh Nguyen Ai Quoc dan Tentara Pembebasan Rakyat Vietnam (TPRV) berhasil memenangkan peperangan di tahun 1975. Sekaligus menandai runtuhnya dominasi Prancis atas Laos dan berdirinya Republik Demokratik Laos yang komunis. Ibukota Laos yang baru juga dipindahkan, dari Louang Phabang di utara menuju Vientiane yang berada di bagian tengah negeri itu dan berbagi batas darat dengan Thailand.

Setelah merengkuh kemenangan di tahun 1975, Phomvihane menjabat sebagai Perdana Menteri mendampingi Phoumi Vongvichit, seorang tokoh senior Pathet Lao. Jabatan sebagai presiden dijalani Phomvihane sejak Agustus 1991 dan berlangsung selama 15 bulan sebelum ia mangkat karena serangan jantung di bulan November 1992.

Salah satu warisan paling penting Phomvihane adalah pembentukan provinsi Sekong di bagian selatan negeri itu sebagai tanda penghormatan atas partisipasi kelompok-kelompok etnis minoritas yang berjuang bersama PRRL dalam pembebasan nasional.

Ia juga dikenal sebagai seorang diplomat ulung dan merupakan figur di balik penetapan tapal batas antara Vietnam dan Laos, semasa menjabat sebagai Perdana Menteri. Proses alot perbatasan ini memakan waktu 30 tahun di mana melibatkan pengukuran di hampir 2.000 titik. Penentuan tapal batas ini dipandang sebagai capaian penting dalam isu kedaulatan Laos terhadap Vietnam yang sejak masa perang sipil menjadi sentimen negatif bagi gerakan komunis.

Untuk menghormati jasa-jasa Phomvihane, pemerintah Laos kemudian membangun sebuah musem di ibukota Vientiane.

Dan kedai kopi seperti Macchiato De Coffee adalah salah satu monumen. Di sini kita dapat menelusuri bagaimana sebuah wilayah secara perlahan bertransformasi. Dari daerah pinggiran rural yang tulang punggung ekonominya adalah pertanian, kini menjadi kota jasa yang pinggirannya digerakkan oleh ekstraksi tambang emas dan tembaga.

Macchiato De Coffee sadar betul bahwa tidak jauh dari situ ada konsulat Thailand yang menjadi destinasi utama para pemburu visa. Kebanyakan dari mereka adalah imigran dari daratan Eropa yang tidak akan pernah singgah di Savannakhet jika bukan karena batas waktu untuk tinggal di sudut timur laut Siam hampir tandas. Mengurus visa di Savannakhet juga menjadi opsi paling logis. Murah untuk dicapai dan menawarkan paket lebih ramah kantong ketika mengajukan perpanjangan ijin tinggal.

Lagipula pendingin udara, menu kopi, cemilan khas daratan Eropa serta kemampuan berbahasa Inggris para pelayannya seperti mengirim tanda bahwa Macchiato De Coffee berada di level yang lain dibanding kedai kopi lain yang berpikir menjadi pesaing. Ketika terik matahari bercampur dengan penantian visa, kafe ini adalah pilihan paling logis untuk mengusir penat.

Itu mengapa saat memasuki Macchiato De Coffee, saya sadar sedang melihat wajah progres Savannakhet. Wajah baru yang hampir menyapu bersih masa lalu yang gersang.

Memutuskan memesan segelas kopi di kafe ini adalah upaya sadar untuk memperbaharui ingatan tentang tempat ini. Bahwa sekarang Savannakhet bukanlah pertambangan Sapone yang berdebu dan muram karena terus menerus dicurangi asing. Kota ini justru merangkul erat para pendatang Eropa dan menjadikan mereka sumber mengucurnya uang.

Macchiato De Coffee adalah balon warna warni dan hiasan berwarna merah yang menggelantung di teras rumah. Sebagai penanda dan undangan untuk singgah ketika hari raya tiba. Savannakhet yang direpresentasikan Macchiato De Coffee mengingatkan saya pada ajakan-ajakan nakal dan mesum perempuan malam di kafe-kafe kecil di Louang Phabang. Macchiato De Coffee tidak sedang meratapi nasib Laos yang hingga kini masih dianggap terbelakang dan dipandang sebelah mata oleh Thailand dan Vietnam.

Meski rasa kopinya mengecewakan, saya memilih menutup mulut dan tersenyum lalu menikmatinya.

Saya sadar benar sedang menjadi saksi sebuah adaptasi. Laku untuk menyesuaikan diri agar tidak sekedar menjadi penonton lalu tersisih. Segelas macchiato yang saya teguk di Macchiato De Coffee tak ubahnya kecupan nakal di pipi setelah kau berjalan keluar dari tempat pelacuran dini hari. Macchiato De Coffee serupa geisha yang sedang menertawakan mereka yang meremehkan Savannakhet. Karena tampaknya Savannakhet tahu betul, besok atau lusa kita akan kembali ke dalam pelukannya.

Segersang apapun kulitnya, ekspatriat berwajah pucat dan para pemburu visa akan tetap datang menyetubuhi Savannakhet.(*)

 


Editor: Gratia Karundeng

Continue Reading
2 Comments

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *