BERITA
Maengket Kreatif, Revolusi Industri 4.0 dan Nilai Keminahasaan
Published
6 years agoon
By
philipsmarx24 Maret 2019
Oleh: Rikson Karundeng
kelung.com – Maengket, seni tradisi masyarakat Minahasa yang terus berkembang. Perjalan historis menggurat tegas bagaimana ekspresi religiusitas tou (orang) Minahasa ini mengalami perubahan bentuk, fungsi bahkan makna. Paling jelas bagaimana ia bergeser dari fungsi sakral ke pertunjukkan, hiburan. Gempuran arus budaya global di Minahasa membuat kondisi itu sulit dihindarkan.
Salah satu faktor yang menyebabkan perubahan fungsi maengket adalah apa yang disebut turistifikasi oleh Ivan R.B. Kaunang dalam bukunya Maengket: Kristalisasi Politik Identitas (ke)Minahasa(an) (2010). Istilah ini mengandung arti sesuatu yang awalnya bukan untuk ditujukan atau digelarkan bagi wisatawan (tourism) sebagai (suguhan) seni hiburan, tetapi sekarang ini dipertunjukan untuk wisatawan sebagai seni hiburan (tourist arts).
Persoalan ini ikut digumuli banyak pihak. Termasuk oleh tou Minahasa perantauan yang menyatu dalam Kerukunan Keluarga Kawanua (KKK). Untuk menseriusi topik ini, Sabtu, 23 Maret 2019, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) KKK memfasilitasi sebuh focus group discussion (FGD) bertajuk “Maengket Kreatif” di ruang sidang Kantor Bupati Kabupaten Minahasa. Pekerja seni maengket, budayawan, sejarawan, organisasi berbasis adat dan budaya, DPP KKK, duduk berdiskusi bersama. Budayawan dan sejarawan Ivan Kaunang, Fendy Parengkuan bersama Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP KKK, Ayub Yunus, dipercayakan jadi pemantik diskusi.
“Mengumpulkan orang di masa pemilu memang agak sedikit riskan. Karena dimana-mana sekarang orang berkumpul dalam rangka itu. Tapi ini lepas dari kegiatan kampanye. Kami tak datang dengan niat untuk berkampanye. Tapi kalau kegiatan ini diadakan pada saat-saat tahun pemilu, ya pemilihan waktunya yang memang bersamaan,” kata Ketua DPP KKK, Ronny Franky Sompie yang hadir di forum itu berama sang istri, Dyah Iswarini.
Sebagai pimpinan KKK, ia mengaku sangat menyambut baik kegiatan ini dan sangat berterima kasih kepada seluruh narasumber dan para pemerhati budaya Minahasa, khususnya tari-tarian dan lebih khusus lagi tarian maengket, yang memberi respon positif terhadap agenda tersebut.
“Tari maengket kalau kita buka di google, penjelasannya hanya seputar tarian daerah Sulawesi Utara, khususnya Minahasa. Ditulis ada tiga babak, maowey kamberu, maramba, lalayaan. Maowey kamberu untuk ucapan syukur panen. Maramba kegotongroyongan sekaligus naik rumah baru untuk menguji kekuatan apakah rumah kokoh. Kalau dia kokoh berarti sudah baik. Lalayaan gambaran tentang pergaulan muda-mudi di zaman dulu. Itu sebelum Belanda datang sebab ketika Belanda datang, muda-mudi so badansa, baku polo,” tutur Sompie yang terlihat serius mengikuti FGD tersebut.
Ia menilai, sejak dulu maengket tidak beranjak, meningkat, tidak banyak perubahan kecuali sedikit gerakan tangan dan tambah kolaborasi seni musik. “Mohon maaf, memang saya awam soal maengket. Cuma yang saya perhatikan sejak SD, SMP, SMA, maso AKABRI, keluar dari Sulut dan sampai sekarang, cuma babagitu tu tari mengket. Tidak bertambah,” ungkap alumni Akademi Kepolisian Republik Indonesia tahun 1984.
Doktor hukum Universitas Borobudur Jakarta ini membandingkan, ia melihat seni tradisi di Bali sangat berkembang. Tarian selamat datang bukan hanya tarian pendet saja. Di hotel-hotel tampilannya sangat variatif.
“Saya enam bulan jadi Kapolda Bali, di sana tarian sangat variatif, berkembang, jumlah penarinya tidak terikat. Berapa saja tergantung lokasi pentas. Kenapa ia berkembang, karena ada mindset yang sama di seluruh kalangan masyarakat Bali tentang pariwisata kaitannya dengan budaya, dan bagaimana menarik wisatawan dengan tarian yang gemulai dan tidak membosankan,” tandasnya.
Peran Institut Seni Indonesia (ISI) Bali diakui sangat penting. “Jadi tahun ini wisatawan datang, besok dia sudah lihat yang lain. Tahun depan juga sudah beda lagi tariannya. Itu karena mereka punya ISI Bali. Torang punya UNSRAT, UNIMA, UKIT, apakah perguruan-perguruan tinggi ini punya fakultas atau program studi (prodi) seni budaya Minahasa dan mengembangkan seni Minahasa?” sebut Sompie.
Ia melihat, ISI Bali setiap tahun menghasilkan banyak produk dari Prodi Melukis, Prodi Ukir, Prodi Musik dan Prodi Tari. “Artinya, setiap lulusan S1 perguruan tinggi ini wajib menghasilkan karya. Kalau dari Prodi Tari itu tarian baru. Wajib itu. Nantinya itu dikembangkan dengan hotel-hotel yang ada di Bali,” ungkapnya.
Koordinasi yang baik dilakukan Dinas Pariwisata, ISI Bali dan pihak pengelolah hotel. Buah kreativitas dari kampus itu pun dikembangkan. Dengan demikian tarian Bali berkembang dengan musiknya. Tidak hanya gamelan digabung dengan musik modern tapi seni budaya Bali ikut dikolaborasikan dengan seni tradisi suku lain. Artinya, inovasinya selalu berkambang. Pengembangan seni budaya diupayakan terus-menerus.
“Hari ini adalah perjumpaan awal kita. Kalau kita sepakat, bukan baku-baku ambe di WA tapi torang bapikir masa depan Minahasa. Gubernur so datangkan wisatawan banyak. Suguhan tarian kita jangan sama. Jangan di Minut sama, Minsel sama, Mitra sama, maengket tu tiga babak itu terus. Tapi mungkin hasil FGD kita akan menuju pada sebuah lomba tarian kreatif yang merupakan produk dari ilmuan dan para pemerhati, praktisi tarian maengket kita,” ucap Sompie.
“Mungkin bisa kita suguhkan nanti di acara Tomohon Flower International Festival (TIFF) atau Manado Fiesta. Kalau di Bali ada pesta budaya Bali. Dorang manyanyi, manari, bermain musik dan ada pusat kegiatannya. Semua berlatih, siswa SD, SMP, SMA berlatih tiap tahun dan dipentaskan di tempat khusus itu sehingga seni budaya mereka berkembang terus-menerus,” sambungnya.
Eks Kepala Divisi Humas Polri ini mengungkapkan soal kerinduan dirinya, kerinduan tou Minahasa diaspora, kerinduan KKK. Kerinduan untuk mengembangkan tarian Minahasa, termasuk maengket. “Kita kembangkan maengket kreatif, tarian selamat datang dan tarian untuk apa saja. Tentu kita tahu tarian maengket asal katanya engket, jinjit. Jadi torang punya tarian khas, kalau manari bakentey bagitu. Yang paling menarik samua penari menyanyi. Makanya penarinya dengan sendirinya belajar bahasa daerah. Tergantung dia dari pakasaan mana,” tuturnya.
“Jadi yang ingin saya sampaikan, mungkin DPP KKK kali ini mengajak, tanpa mengabaikan peran pemerintah. Tapi karena kita bagian dari tou Minahasa sehingga karena kepedulian ini kami mau mengajak kita dalam acara FGD ini. Terpenting semangat utama tidak ada cara berpikir negatif di ruangan ini karena tidak ada niat yang lain. Kita hadir di sini bukan mo tunjung sombong sebagai Dirjen Imigrasi. Kita datang sebagai Ketua Umum DPP KKK, atau lia jo kita Ronny Sompie, tou Minahasa asal Sukur Airmadidi. Apapun latar belakang kita, tidak menjadikan kita berbeda karena kita tou Minahasa,” tegas Sompie.
Ia berpikir, ke depan forum ini bisa ikut mendorong saudara-saudara mereka dari Sangihe, Bolaang Mongondow dan wilayah lain di Sulut, untuk mengembangkan tari-tarian daerah. Agar wisatawan dari Australia, Cina yang datang berulang-ulang ke Sulut, tidak jenuh karena melihat banyak yang bisa dilihat dan belum pernah dilihat di daerah Sulut.
Sompie juga berpikir, Sulut dekat dengan negeri asal turis yang sering menyerbu Indonesia. Posisi strategis ini menurutnya harus bisa dimanfaatkan dengan baik. “Kalau orang Jepang, Cina, Korea sampe di Bali dan nda sampe pa torang, torang rugi. Torang musti ambil posisi tengah ini sebagai antara sebelum dorang pi Bali. Tapi kita perlu belajar dari Bali soal mindset. Karena pengembangan seni budaya ini sekarang sulit berkembang kalau harus menunggu anggaran. Kalau kita kaitkan dengan pariwisata, pasti akan berkembang, kita akan terus bersemangat,” aku Sompie.
“Sekali lagi bukang mo batunjung jago, tunjung pande tapi cuma mo berikan motivasi pemikiran. Mudah-mudahan ini bisa kita pahami bersama. DPP KKK siap membantu dan mengembangkannya di Minahasa, di Jakarta dan di seluruh Indonesia,” pungkasnya.
Sompie mengungkapkan, kini KKK sudah menyiapkan di Jakarta utu dan keke, para teruna Minahasa untuk dilatih berbagai tarian tradisi yang kreatif, dan akan ditampilkan dalam berbagai iven untuk memperkenalkan Minahasa.
Di akhir pemaparan sejumlah pembicara, Sompie mengaku sangat senang mendengar penjelasan-penjelasan soal maengket dalam FGD ini karena dia bukan budayawan yang banyak paham soal tradisi budaya. Posisinya sebagai Ketua DPP KKK diakui memanggilnya agar bisa bersama-sama dengan tou Minahasa lainnya mengembangkan kebudayaan Minahasa.
“Oleh karena itu, dari ruangan ini kita tidak hanya output kegiatan FGD saja. Harus ada kelanjutan, ada outcome ke masyarakat. Entah kapan outcome kita wujudkan. Stakeholder bukan cuma kita tapi pemerintah juga. Kita gugah mereka. Apakah kita akan menuju pada upaya dalam wujud kegiatan-kegiatan lomba menulis tentang maengket kreatif agar mendapatkan pemikiran sehingga perlu ada sebuah tim untuk menyeleksi tulisan-tulisan ini. Kedua, lomba tarian maengket itu sendiri. Namun demikian kita harus punya pemikiran yang sama dulu untuk menilai ini. Jadi harus ada tim teknis,” jelas Sompie.
Ia mengungkapkan, telah menerima saran dari dua budayawan Minahasa, Ivan Kaunang dan Fendi Parengkuan, agar membuat workshop usai FGD ini. Para praktisi tari maengket, budayawan, sejarawan, termasuk pihak pemerintah, kembali dihadirkan dalam forum tersebut. Dari situ diharapkan akan lahir persepsi yang sama, termasuk melihat secara langsung tarian maengket kreatif yang disiapkan para praktisi.
“Misalnya bisa ada tarian dengan tema sumikolah. Tergantung kita sehingga berkembang. Barangkali dengan alasan religi, ada yang harus dipentaskan khusus,” kata Sompie.
Ia mencontohkan di Bali, ada tari kecak yang hanya bisa ada di dalam pure tapi kalau orang ingin melihat tari kecak yang ditampilkan ke publik, ada tempat khusus yang telah disiapkan. Orang-orang biasanya antri untuk menonton.
“Kita juga bisa melakukan. Misalnya maengket, lalayaan nanti bisa ditonton dimana, maramba dimana, tarian-tarian kreatif dimana. Supaya kalau turis Cina datang, bukang cuma datang baspeda di Lembeh,” sebutnya.
Dirjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM ini menjelaskan, turis Republik Rakyat Tiongkok yang datang ke Sulut rata-rata dari daerah pegunungan. Tak heran jika ke wilayah jazirah utara Selebes mereka akan mencari pantai. Menurutnya, masyarakat Tiongkok punya daerah pegunungan yang lebih indah dari daerah Sulut. Makanya yang perlu dipikirkan adalah bagaimana di daerah pegunungan Sulut para turis bisa melihat tradisi budaya yang tidak ada di tempat asal mereka. Seni tradisi yang dikreasikan diyakini bisa menjadi daya tarik itu.
“KKK punya keterbatasan, kami sulit membagi waktu. Tapi keinginan kita besar untuk bersama bapak dan ibu mengembangkan budaya, pariwisata. Bagaimana mau memajukan maengket agar bisa berkembang, mana yang bisa dipertontonkan. Ada batasannya tapi kita sepakat dulu, nanti kita diskusi dengan pemerintah juga. Sama seperti di Bali, ada tarian yang hanya bisa di dalam pure, ada yang bisa dipertontonkan di publik,” ujarnya.
Sompie berpendapat, ide-ide yang dibahas dalam FGD tersebut bisa didialogkan lebih dulu dengan publik melalui media. “Kita punya notulen, tapi butuh juga catatan-catatan intisari dari kawan-kawan. Kita coba bangun opini dulu. Cara bangun opini yang baik, kita bagi ide ini ke media mainstream dan media sosial. Mari kita gelorakan dulu ini di tengah kegiatan politik yang sedang berlangsung. Kita menghemat waktu, target kita apakah bisa kita tampilkan di TIFF atau Manado Fiesta atau saat perayaan 17 Agustus. Tapi kalau tidak bisa, tidak usah pake target tapi tahun ini apa yang bisa kita lakukan bersama-sama,” jelasnya.
“Kita berdoa agar apa yang kita niatkan bisa berhasil demi masa depan Minahasa. Minahasa bisa berkembang, penjelasan-penjelasan tentang maengket juga harus lebih baik di dunia maya. Tidak sesingkat yang tampil wikipedia,” kunci putra kebanggaan Gimon Maxmilian Sompie dan Juliana Unggu Dungus ini.
Menjawab Tantangan Zaman Tanpa Mengabaikan Nilai Hakiki
Sebuah upaya untuk kreatifikasi tari maengket tengah didorong KKK. Harapannya, selain bisa tetap dipakai dalam upacara adat, kegiatan keagamaan, ada juga maengket yang dapat memenuhi unsur tari adat, tari kontemporer yang dapat digunakan dalam dalam banyak momen penting yang bersifat kedaerahan, maupun nasional dan internasional.
Ada pendapat, pakem tari maengket kini belum banyak mengalami transformasi dan modifikasi yang signifikan. Itu perlu dilakuan dengan tetap mempertahankan aspek “asli” atau “original” dari tari tersebut.
“Hal yang mengherankan sebetulnya karena suku Minahasa terkenal kreatif dan juga adaptif dalam perkembangan zaman. Sementara tari daerah lain mengalami sejenis metamorfosa dan transformasi yang luar biasa, tari maengket sendiri masih saja agak statis dan belum mengalami transformasi dalam hal koreografi dan ragam ataupun lirik lagunya. Itu sebabnya, tari maengket masih cenderung sulit untuk ditampilkan dalam tampilan kekinian dan sesuai dengan tuntutan perubahan dengan tanpa menghilangkan aspek originalitas budaya dan makna kulturalnya,” kata Sekjen DPP KKK, Ayub Yunus.
Ia melihat, realitas kontemporer menunjukkan betapa Provinsi Sulut semakin laju berpacu dalam aspek pariwisata. “Sebagaimana biasanya, maka pariwisata memiliki kolaborasi positif dengan kreativitas masyarakat dan budaya setempat. Karena pada dasarnya, pariwisata bukan hanya perkara keindahan alam, bukan sekedar eksotis atau tidaknya panorama yang dimiliki sebuah lokasi. Tetapi, juga melibatkan aspek hospitality (keramahan) dan terpenting, kekayaan budaya dari masyarakat ataupun komunitas daerah bersangkutan,” terangnya.
“Contoh Bali ataupun Hawai yang bisa menjadi benchmark, maka dapatlah kita saksikan kombinasi panorama dan kreativitas budaya yang sudah berkembang dan dimodifikasi sedemikian rupa. Aspek asli budaya lokal dalam gerak dan musik, tidak berubah dalam makna, tetapi kreativitas dalam gerak dan musik yang kemudian dikembangkan sedemikian rupa,” terang putra Sonder yang kini dipercayakan sebagai Konsul Kehormatan Republik Latvia ini.
Senada diungkapkan Wakil Ketua Umum DPP KKK, Audy Wuisang. Ia berpendapat, tari maengket menjadi salah satu tarian lokal yang sangat terkenal, mewakili tradisi dan budaya Minahasa yang kental, dan memiliki potensi besar untuk menjadi ikon kultural. Tetapi, membutuhkan perhatian lebih dalam mengembangkannya untuk menjadi lebih kreatif tanpa meninggalkan aspek lokalitas dalam makna budaya dan juga interpretasi atas koreografinya.
“Untuk maksud tersebut, maka DPP KKK terpanggil untuk melanjutkan tugas sejarah bagi tanah leluhur. Yakni dengan merancang dan memfasilitasi sebuah FGD untuk mendalami dan juga membahas mengenai kemungkinan sebuah modifikasi tari maengket agar menjadi lebih kreatif, lebih adaptif dan dikembangkan sesuai tuntutan budaya kontemporer Minahasa,” tandas pendeta alumni Fakultas Teologi UKIT ini.
Putra Tondano yang kini mengabdi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu menegaskan, output dari kegiatan FGD yang digelar KKK diharapkan dapat melahirkan sebuah konsep dasar yang bisa dikembangkan lebih kreatif ke depan tentang tari maengket modifikasi. Apakah dalam aspek penyajian yang dipersingkat, maengket untuk penyambutan tamu, atau maengket untuk iven budaya lainnya.
“Selain itu keluaran lainnya, sangat diharapkan adanya peluang pekerjaan yang lebih terbuka dan sesuai tuntutan daerah pariwisata, seputar para pekerja seni dan tari maengket. Dan, daya dukung aspek ini mesti diukur dan dipersiapkan secara lebih sistematis dan bukannya reaktif. Karena itu, para pekerja seni maegket sangatlah perlu untuk membentuk wadah bersama,” terang Wuisang yang dikenal sebagai Sekjen DPP Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI).
Ia juga menjelaskan, sebuah rekomendasi yang kelak dihasilkan dan disampaikan kepada semua pihak, termasuk pemerintah, memuat masukan-masukan konseptual dengan format strategi dan upaya-upaya kreatif ke depan mestilah terencana, terpola dan mapalus.
Terencana, maksudnya memikirkan pengembangan konsep modifikasi yang tepat dan dengan juga agihan waktu yang tepat serta capaian atas penetapan waktu tersebut. Terpola, maksudnya strategi dan pelaksanaannya mesti melibatkan banyak stakeholder, yakni pemerintah, pekerja seni, dunia pendidikan, dunia tari dan juga masyarakat, sebagai aspek landas budaya itu sendiri.
“Sementara mapalus mengandung maksud, pekerjaan besar dan terstruktur ini, sangat perlu untuk dikerjakan secara mapalus. Secara bersama dengan memadukan keahlian yang berbeda satu dengan yang lainnya. Baik pekerja maengket, penari, organisasi yang berbasis budaya, dunia pariwisata, sekolah dan pendidikan tari, dan lainnya,” papar Wuisang.
Dalam FGD “Maengket Kreatif” ini, ikut hadir dan memberikan pikiran, Bidang Budaya DPP KKK, Pendeta Treisye L. Mambo.
Budayawan dan Praktisi Maengket Beri Dukungan
Arus dukungan mengalir. Merespon FGD “Maengket Kreatif” yang difasilitasi DPP KKK. Sejarawan, budayawan dan para pelatih tari maengket yang hadir dalam forum tersebut bersepakat untuk menangkap bola gagasan itu dengan serius. Berbagai ide pun dilontarkan untuk mengasah setiap pendapat yang tersaji.
Di ujung kegiatan ini, Ivan Kaunang menegaskan, ide maengket kreatif sangat positif. “Kaitan dengan memajukan kebudayaan daerah, pelestarian dan pengembangan kebudayaan lokal, dalam hal ini maengket, ide tersebut sangat positif,” kata akademisi Fakultas Ilmu Budaya UNSRAT ini.
Tari maengket perlu dikreasikan untuk menjawab zaman tapi nilai-nilai keminahasan yang ada di dalamnya tak bisa diabaikan. “Sebenarnya terlalu kasar kalau kita sebut seni tradisi dijual. Hal ini boleh terjadi jika ada kedewasaan kita dalam berkesenian. Artinya, maengket ‘asli’ dan ‘original’ tetap kita pertahankan sebagai objek penelitian. Tapi kita harus terbuka di era kini untuk mengembangkan lebih lanjut maengket untuk kebutuhan khusus. Seperti untuk menjawab pariwisata,” jelas doktor kajian budaya yang meneliti secara khusus tentang maengket.
Kaunang menegaskan, di era revolusi industri 4.0 sekarang ini, sudah saatnya memikirkan bagaimana kesenian itu juga menjadi industri, bagaimana budaya menjadi industri untuk ekonomi.
Dosen pascasarjana UNSRAT ini juga mengakui jika dapur seni Sulut kurang dikaji secara intelektual. “Selama ini kesenian kita sekan terkesan berjalan di tempat karena dapur seni kita kurang dikaji secara intelektual. Yang ada dan banyak adalah pekerja seni, peminat dan praktisi tapi seniman intelektual penting juga untuk kajian-kajian secara ilmiah tumbuh kembang. Supaya kajian tentang kesenian lokal di daerah kita berkembang,” kata Kaunang berpendapat.
Ia menjelaskan, tari maengket penting dibentuk secara performing arts. Bagaimana memenuhi unsur elemen seni sebagai pertunjukan.
Dukungan dan apresiasi ikut diungkapkan Fredy Wowor. Budayawan yang aktif di dunia seni pertunjukan ini berpendapat, inisiatif yang diambil DPP KKK sangat penting dan harus dihargai.
“Harus dihargai ada inisiatif untuk mengantisipasi perkembangan zaman, perkembangan pariwisata, beriringan dengan perkembangan kebudayaan kita. Kegiatan berupa upaya mengembangkan seni tradisi, khususnya maengket, tentu saja harus dihargai. Dari inisiatif ini kemudian ada harapan, maengket bisa jadi salah satu profesi alternatif terkait kerja-kerja kebudayaan,” ucap Wowor.
Senada dengan Ivan Kaunang, Wowor tetap mengingatkan agar kerja kreatif ini tak akan megingkari nilai-nilai hakiki dari maengket.
“Ada konsepsi untuk mengantisipasi perkembangan situasi zaman terkini dengan memberikan sebuah alternatif bagi pekerja seni maengket dengan melakukan upaya kreasi baru. Tapi di sisi lain tidak juga mengingkari prinsip-prinsip nilai hakiki dari maengket. Tidak mengabaikan nilai-nilai kehidupan masyarakat Minahasa yang ada dalam maengket,” kata pegiat Mawale Movement ini.
Kata Wowor, menuju ke kreasi baru tentu saja tidak dalam sekejap. Hal itu memerlukan juga kajian lebih mendalam agar supaya ke depan visi itu dapat dimiliki juga oleh para pekerja seni, terutama di bidang seni maengket di Minahasa. (*)
Editor: Denni Pinontoan
Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun.
KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya
You may like
-
Tanjung Merah Jadi Saksi Papendangan Pinaesa’an Ne Kawasaran Tonsea
-
Tradisi Pertunjukan Lawak Minahasa: Mengorek Ingatan Poke’ke’ dan Ongkor
-
Patik Ni Owak: Ritus Suci, Eksistensi dan Identitas Minahasa
-
Santi: Pembuka Jalan Kehidupan
-
Kolintang: Dari Musik Ritual Hingga Panggung Festival
-
Sam Ratulangi Penggagas Festival Maengket Pertama