BERITA
Mafia Survei Teror Pemilu 2019
Published
6 years agoon
By
philipsmarx14 April 2019
Oleh: Rikson Karundeng
kelung.com – Lembaga survei kembali mekar-menjamur di musim pemilihan umum (pemilu) 2019. Seperti kisah lama, polemik soal survei rekayasa atau realita pun ramai. Merespon hasil monitoring opini publik yang digulir secara berkala.
Setiap riset kontestasi politik diumumkan lembaga survey lewat media massa, beragam respon publik menyeruak. Ada yang mendapatkan jempol, tempuk tangan, tapi ada juga yang disambut dengan nada cibir dan umpatan. Hal itu terlihat ketika Charta Politika memaparkan hasil surveinya untuk “Menerka Wajah Wakil Rakyat Ibukota 2019” Senin, 11 Februari 2019.
Nada sesal sejumlah calon anggota legislatif meletup. Menanggapi hasil survei Charta Politika. Beberapa organisasi bahkan ikut memberi tanggapan. Seperti yang terlontar dari Iman Zuliansyah. Ketua Umum Koalisi Pengawas Pemilu Bersih (KPPB) itu menilai, hasil survei Charta Politika sebagai bentuk penggiringan opini masyarakat. Tujuannya untuk memenangkan calon legislatif (caleg) dari partai tertentu.
Ia pun langsung mengimbau masyarakat untuk tidak cepat percaya terhadap hasil survei yang diduganya pesanan sejumlah caleg tersebut. “Saya menduga survei dilakukan berdasarkan pesanan, dan untuk menaikan elektabilitas caleg tertentu dan menjatuhkan lawan-lawannya,” ungkap Iman, seperti ditulis wartakota.tribunnews.com, 13 Februari 2019.
Dugaan itu katanya sangat beralasan, sebab apabila survei dilakukan terhadap caleg dengan ruang lingkup Daerah Pemilihan (Dapil) masing-masing, hasil survei sangat subjektif. “Tetapi jika bicara partai secara nasional, itu baru bisa dikatakan objektif, tetapi itu juga tergantung opini masyarakat, karena di setiap provinsi berbeda,” imbuhnya.
“Parahnya, hasil survei ini dipakai untuk menyudutkan calon tertentu sebagai penggiringan opini ke masyarakat. Ini semata-mata untuk menguatkan pendapat kalau hasil survei dan mengajak masyarakat untuk memilih calon yang dianggap mendapatkan suara terbanyak dalam survei,” tambahnya.
Dirinya pun kembali menegaskan agar masyarakat tidak cepat percaya dengan hasil survei yang disebar dan sudah dirilis sejumlah lembaga survei.
“Hasil survei setiap caleg ada di partai masing-masing dan KPU. Nah, kalau masyarakat mau percaya survei, tanyalah ke partai yang bersangkutan. Ini untuk menghindari penggiringan opini yang menguntungkan caleg tertentu, namun merugikan yang lain,” tutupnya.
Polemik tentang survei apakah rekayasa atau realita kembali ramai setelah Kompas membocorkan hasil surveinya tentang elektabilitas pasangan calon presiden dan wakil presiden yang dinilai berbeda dengan hasil survei kebanyakan.
Kehebohan kian meluap setelah Kompas melansir hasil survei yang dilakukan oleh bagian penelitian dan pengembangannya itu. Sebab hasil survei itu menunjukkan perbedaan elektabilitas pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin dengan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno kian menipis; berbeda dengan hasil survei kebanyakan badan lainnya.
Hasil survei Litbang Kompas yang dirilis 20 Maret lalu itu tentu saja mengejutkan para pendukung pasangan bernomor urut 01. Elektabilitas Jokowi-Ma’ruf hanya 49,2 persen, sedangkan Prabowo-Sandiaga 37,4 persen. Sebanyak 13,4 persen responden merahasiakan pilihan mereka.
Hasil survei Litbang Kompas ini berbanding terbalik dengan survei-survei yang sudah dilakukan oleh beragam lembaga survei sebelumnya, yang memenangkan Jokowi-Ma’ruf dengan perbedaan rata-rata 20-an persen.
Kompas sendiri menyatakan bahwa lembaganya sangat independen dalam melakukan survei.
Cara Mengendus Lembaga Survei Abal-abal
Lembaga survei abal-abal bisa diendus. Peneliti di Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirajuddin Abbas menjelaskan, untuk mengetahui kredibilitas sebuah lembaga survei yang baik, ada empat hal perlu diperhatikan, yakni reputasinya, sumber daya manusianya, metodologinya, dan proses surveinya.
“Seberapa menyesatkan atau tidak menyesatkan (sebuah hasil survei), itu tergantung seberapa baik kredibilitas lembaga survei menjalankan itu dan melaporkannya. Karena kita juga tidak menolak ada juga (lembaga survei) yang curang. Tidak melakukan survei dengan baik tapi melaporkan seolah-olah melakukan survei. Itu yang membuat kebingungan di tengah masyarakat,” kata Sirajuddin kepada voaindonesia.com, 25 Maret 2019.
Profesor Musni Umar, ahli sosiologi sekaligus Rektor Universitas Ibnu Chaldun, Jakarta, secara gamblang menyatakan dirinya termasuk orang yang resah dan tidak mempercayai hasil-hasil survei yang ada selama ini. Menurutnya hampir tiap hari turun di lapangan dan bertanya dengan orang-orang yang dia temui. Wawancara merupakan salah satu cara untuk mendapatkan data.
Dari fenomena yang dilihatnya di lapangan, tampak jelas bahwa hasil wawancara yang dilakukannya secara langsung tidak mencerminkan hasil survei yang ada. Oleh karena itu ia tidak mempercayai hasil-hasil survei yang ada selama ini terkait pemilihan presiden 2019. Dia lebih meyakini hasil wawancaranya dengan masyarakat yang jelas merupakan pemilih sesungguhnya. Musni mengklaim cara-cara semacam itu dia buktikan ketika kampanye pemilihan presiden 2004 sampai Jokowi ikut dalam pemilihan presiden 2014.
Musni pun mengungkapkan alasannya meragukan hasil-hasil survei yang ada soal peluang Prabowo dan Jokowi memenangkan pemilihan presiden April mendatang.
“Pertama, yang melakukan survei itu tidak ada netralitasnya. Untuk kita mengatakan survei itu bias atau benar kalau netral. Kedua, lembaga survei rata-rata di sini dibiayai oleh yang membiayai, jadi tidak mandiri. Siapa yang mendanai, tentu lembaga survei itu akan mengikuti apa maunya yang mendanai,” sebut Musni.
Ia menegaskan, survei-survei yang tidak layak dipercaya itu tidak boleh dibiarkan terus menerus. Sebab mereka mencoba mengarahkan masyarakat untuk menyukai atau memilih salah satu calon pasangan.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Maruarar Sirait menyatakan sepakat untuk mengetahui valid atau tidaknya sebuah survei maka harus melihat rekam jejak lembaga survei yang dimaksud. Dia menambahkan survei adalah potret keadaan pemilih saat survei dilakukan, jadi hasilnya juga bisa berubah di lain waktu ketika survei dilakukan lagi.
“Percaya atau tidak (terhadap sebuah hasil survei) setuju saya rekam jejak, metodologi yang disampaikan. Mohon maaf, dokter kalau yang kredibel, walaupun kita bayar, kalau kita sakit, dibilang sakit, nggak bisa dibilang kita sehat. Kalau pengacara yang profesional, yang berintegritas, kalau salah, salah, benar, benar,” tutur Maruarar.
Politikus dari Partai Gerakan Indonesia Raya Fadli Zon, mengungkapkan saat ini ada lembaga survei yang juga menjadi lembaga konsultan politik. Mestinya tidak boleh ada lembaga survei yang merangkap pula sebagai lembaga konsultan politik.
Fadli menekankan jika ada lembaga survei yang juga bertindak sebagai lembaga konsultan politik, maka akan ada konflik kepentingan. Lembaga survei semacam itu akan menjadikan survei sebagai alat propaganda, alat kampanye dari yang membayar lembaga survei tersebut sebagai konsultan politik.
Dia mengklaim saat ini banyak lembaga survei di Indonesia merangkap menjadi konsultan politik. Lembaga survei semacam ini bukan lembaga survei yang independen dan tidak pernah menyatakan diri sebagai lembaga independen.
“Dia sebetulnya diam-diam sudah punya kolaborasi dengan salah satu kontestan apakah di pilkada, pilpres atau dengan partai politik dan mereka juga mendapatkan kontrak untuk berapa kali survei dan kemudian menjadi konsultan politik sekaligus. Inilah yang membuat lembaga survei itu, tidak semua, bisa menjadi predator demokrasi, predator politik. Mereka ini menjadi mafia survei,” kata Fadli.
Menurut Fadli, lembaga survei yang merangkap konsultan politik tersebut bukan melakukan pekerjaan untuk menggambar satu gambaran publik yang sesungguhnya, tetapi lebih pada apa yang diharapkan oleh yang membayarnya. Fadli menegaskan lembaga survei merangkap konsultan politik dapat membahayakan demokrasi.
Sementara, nada positif diungkapkan guru besar psikologi politik yang juga anggota Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia, Hamdi Muluk dan guru besar dari Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI), Siti Zuhro. Kedua ahli politik ini berpendapat, survei pesanan sah-sah saja. Diakui memang ada survei abal-abal namun sebenarnya tidak ada masalah dengan survei yang dilakukan atas permintaan pihak tertentu. Misalnya, untuk mengetahui bagaimana sentimen publik atas kandidat-kandidat tertentu.
“Itu sah-sah saja, sepanjang lembaga survei yang dipesan tidak melakukan kejahatan-kejahatan akademis, seperti memalsukan data, memalsukan sampling dan seterusnya,” jelas Prof. Hamdi kepada BBC Indonesia, 13 Maret 2019.
“Nanti tentang hasilnya terbuka dua kemungkinan, diarahkan pada yang memesan namun bisa juga dirilis ke publik sebagai pegangan untuk, misalnya elektabilitas atau isu-isu yang publik perlu tahu,” sambungnya.
Partai politik, misalnya, secara teratur melakukan survei untuk pengambilan keputusan seperti strategi kampanye dan penerimaan publik terhadap mereka atau survei yang dilakukan pemerintah maupun kepala daerah tertentu untuk menentukan arah kebijakan.
Prof. Siti Zuhro juga menegaskan tidak ada masalah jika sebuah survei dilakukan berdasarkan pesanan pihak atau lembaga tertentu namun sebaiknya pendukung dana diumumkan.
“(Lembaga survei) mau secara terbuka mengatakan kepada publik siapa yang memberikan funding, siapa yang mendanai sehingga survei bisa dilakukan. Itu jauh lebih elok, lebih bisa dipertanggungjawabkan ketika pendananya disebutkan dalam publikasi.”
Atau survei pesanan tersebut tidak usah harus diumumkan ke publik namun terbatas untuk kalangan pihak atau lembaga bersangkutan saja.
Lebih jauh dijelaskan Prof Hamdi, survei abal-abal sebenarnya bisa dikenali. Caranya tidak mudah, namun sebaiknya publik harus siap untuk mencari tahu survei yang tergolong abal-abal karena kelak yang dirugikan adalah masyarakat itu sendiri.
Salah satu hal yang perlu dilakukan orang adalah mempelajari track record (rekam jejak) dari lembaga yang menyelenggarakan maupun orang-orang yang mengelola lembaga itu, seperti siapa penelitinya, apakah kualitas akademiknya memadai, dan apakah metodologinya benar.
“Di mana-mana di dunia, itulah hal pertama yang dipegang orang. Jadi kredibiltas atau track record dari lembaga penyelenggara itu sebuah pertaruhan. Sekali dia melakukan kecurangan, melakukan kesalahan yang disengaja dan terbuka ke publik, maka reputasinya tercoreng,” tutur Hamdi Muluk.
Warning tegas pun disampaikan ke media massa yang sering mempublikasikan hasil survei sebuah lembaga. Prof. Hamdi mengharapkan agar media lebih menggali kredibilitas dari sebuah lembaga yang mengumumkan hasil survei sehingga khalayak umum bisa terbantu untuk menilainya.
“Waktu ada press release, wartawan harus tanya secara detail. Bagaimana metodologinya, apakah samplingnya terjaga atau tidak, bagaimana cek dan recek samplingnya. Itu semua ada prosedur ilmiah yang bisa kita telusuri,” tandasnya.
Masuk Kategori Hoax
Survei pesanan masuk kategori hoax. Hal tersebut ditegaskan Ferry Liando, saat memberikan materi tentang ‘Hoax dan ancaman Pemilu 2019’ dalam kegiatan yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika, Rabu (10/4), di Hotel Sutan Raja Minahasa Utara.
Menurutnya, belakangan banyak lembaga survei yang mempublikasikan hasil-hasil kajiannya. Survei itu jika dianalisis dengan baik dan objektif maka sangat positif bagi yang memanfaatkannya.
“Hasil-hasil survei tentang peluang parpol pada pemilu 2019 sangat positif bagi parpol untuk melakukan pemetaan. Di wilayah mana yang kuat dan di wilayah mana yang lemah. Jadi survei itu sesungguhnya bermanfaat sebagai sarana evaluasi,” terang Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) Manado ini.
Namun Liando mengaku khawatir tatkala melihat publikasi hasil survei yang bermacam-macam belakangan ini.
“Hal yang dikhawatirkan selama ini adalah publikasi hasil-hasil survei belakangan ini kerap sangat jauh berbeda antara yang satu dengan yang lain. Walaupun dilakukan di waktu dan sampel lokasi yang sama,” ujarnya.
“Perlu transparansi bagi semua lembaga survei terhadap kerja-kerja mereka. Perlu dipublikasi siapa pihak yang mensponsori. Jangan sampai muncul kesan publik bahwa survei itu dipesan untuk menguntungkan pihak tertentu,” jelasnya.
Ditegaskan, akan sangat berbahaya jika opini publik yang terbentuk merupakan hasil rekayasa. “Hasil survei ketika dipublikasi akan rawan mempengaruhi opini publik. Akan berbahaya jika opini publik yang terbentuk di masyarkat merupakan hasil rekayasa atau setingan,” tandasnya.
Jika survei bukan kajian akademik yang tersistematis lalu dipublikasikan, menurut Liando itu masuk kategori hoax. “Hoax sering diartikan penyebaran informasi yang tidak mengandung kebenaran,” kata Liando. (*)
Editor: Denni Pinontoan