CULTURAL
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
Published
4 months agoon
13 Agustus 2024
“Festival yang sudah digelar sejak tahun 2019 itu benar-benar menjadi salah satu wadah penting pelestarian bahasa Tombulu. Walaupun pasang surut harus dihadapi setiap tahun, kondisi itu tak mengurangi antusias masyarakat dalam menggelar perayaan ini.”
Penulis: Hendro Karundeng
PAGI itu, langit sedikit murung. Gerimis sejak subuh tetap setia menemani. Dinginnya angin malam seperti masih enggan berlalu dari kaki Gunung Lokon, walau sudah berhadapan dengan mentari.
Jam dinding bulat di atas papan whiteboard, di ruang kerja kami, menunjukkan pukul 9 lewat 15 menit. Teman-teman tampak sibuk mempersiapkan diri. Seorang gadis terlihat jelas di depan cermin oval tua sedang mencatok rambutnya.
“Kak, belum siap-siap?” kata Echa, salah satu staf di Wale Mapantik, markas ‘Kelung Project’, tempat kami bekerja.
Pertanyaan itu mengejutkan saya. Teringat, hari itu, Jumat, 9 Agustus 2024, merupakan hari puncak Festival Wanua Woloan 2024. Baju ganti pun langsung dikeluarkan dari ransel airwalk milikku. Bergegas menuju kamar mandi, sembari menguatkan diri menghadapi dinginnya sentuhan air wilayah dataran tinggi Tomohon, Sulawesi Utara.
Usai bersiap, kami langsung menuju ke lokasi festival. Kaos oblong bertuliskan “Kelung”, terasa seperti pelukan pujaan hati di atas kendaraan roda dua. Walau diterpa angin, tubuh sedikit hangat, karena duduk dibonceng Gerard Tiwow. Di kaca spion terlihat teman Reinhard Loris membonceng teman perempuan, Tesalonika Samagitu yang akrab kami sapa Echa.
Berempat kami menikmati sejuknya Tomohon, sambil menyapa mentari yang masih tampak masih malu-malu. 15 menit berlalu, kami sudah tiba di lokasi. Gapura berumur puluhan tahun menyambut kami. Lumut yang menutupi gerbang Amfiteater Woloan, tempat perayaan Festival Wanua Woloan 2024, menguatkan kesan jika kawasan itu bukan tempat yang baru dibangun.
Kesan Tamu dan Tou Woloan
Saat melewati gapura, deretan waruga, makam tua orang Minahasa, berjejer rapi. Seperti mengawal kami melewati jalan setapak selebar satu meter yang dikelilingi rumput manila.
Sepanjang mata memandang, puluhan orang terlihat tengah menikmati indahnya tempat itu. Sejuta tawa menghiasi wajah anak-anak yang berlarian. Tampak juga sejumlah turis asing yang tengah mengabadikan momen di setiap sudut titik awal pemukiman tou (orang) Woloan ini.
Ketika hendak memasuki bangunan kayu tak berdinding yang beratap katu (daun rumbia), tempat salah satu rangkaian acara digelar, kami bertemu dengan Robert. Turis asal Polandia yang tengah menikmati liburan di “Kota Bunga” bersama semua anggota keluarganya. Dia sempat memberi kesan yang sangat menyentuh bagi kami. Dari soal ramahnya warga, hingga enaknya captikus (minuman mengandung alkohol khas Minahasa) pemberian masyarakat.
Ia berujar, “We are really excited, because they invited us. Because very hospitable from the local people here, captikus is a very good drink. We really like it, so nice people,” – Kami sangat antusias, karena mereka mengundang kami. Karena masyarakat lokal Woloan sangat ramah. Captikus adalah minuman yang sangat enak. Kami sangat menyukainya, sungguh orang-orang yang baik.
Canda dan tawa kami tukar dengan Robert. Bagi ia dan keluarganya, kunjungan ini merupakan hal yang sangat berkesan. Apalagi ketika masyarakat dengan ramah dan tulus hati mengundang mereka ke perayaan itu. Selain keramahan para warga, ia juga menjelaskan betapa ia menikmati alkohol asli tanah Minahasa yang tengah digenggamnya dalam kower atau tempat minum yang dibuat dari bambu untuk upacara adat.
“It’s been a few times that we came to Tomohon, but never went to a ceremony like this. A very nice place,” – Sudah berapa kali kami datang ke Tomohon, tapi tidak di acara perayaan seperti ini. Tempat yang sangat bagus.
Robert pun memberi komentar soal captikus yang sedang ia nikmati.
“It is okay. For some people strong, but for us Polish, we know strong alcohol. So, no problem. In Poland, we have one liter cost like seratus ribu rupiah, in here it’s really cheap,” – Tidak masalah. Untuk beberapa orang ini keras, tapi untuk orang Polandia, kami biasa alkohol keras. Jadi bukan masalah. Di Polandia, satu liter harganya seperti seratus ribu rupiah, di sini sangat murah.
Rintik hujan tak jadi halangan bagi para pengunjung yang datang menikmati ramainya Festival Wanua Woloan. Warga yang menyatu di tempat itu tak hanya orang Woloan. Ada juga yang datang dari wilayah lain di provinsi Sulawesi Utara. Termasuk tou Minahasa diaspora.
Sedang asik menikmati berbagai sajian musik tradisi dalam rangkaian kegiatan, kami tiba-tiba dikejutkan dengan kilatan flash kamera milik seorang pengunjung. Ternyata salah satu kawan jurnalis kami di kota Tomohon. Armando Loho, namanya. Sahabat pegiat budaya yang juga warga asli wanua (kampung) Woloan.
Beratnya kamera dengan rangkaian rakitan peralatan, seakan ringan berayun di tangan kanannya. Sepanjang rangkaian upacara, Armando tampak serius mengabadikan setiap momen. Sesekali ia menaikan drone untuk mengambil gambar spesial dari atas.
Saat bertemu, Armando mengutarakan perasaannya sebagai warga yang sangat senang dengan perayaan itu. Ia bertukar cerita tentang pengetahuan warga sekitar tentang makna perayaan ini. Dari soal pemilihan tanggal, hingga rangkaian acara.
“Festival ini sudah jadi kegiatan tahunan di Woloan sejak diseminarkan pada tahun 2019. Festival ini merupakan festival dari masyarakat, untuk masyarakat. Karenanya festival ini dibuka untuk umum. Penentuan tanggal sembilan Agustus juga dikarenakan angka 9 merupakan angka keramat untuk rakyat Minahasa. Sementara, bulan Agustus karena bertepatan juga dengan rangkaian Tomohon International Flower Festival atau TIFF,” ujar Loho sembari melempar senyum.
Ditegaskan, Festival Wanua Woloan digelar dalam rangka mengingatkan tou Woloan tentang siapa mereka, identitas mereka. Agenda ini juga untuk memperkenalkan kepada masyarakat luar tentang wanua Woloan, sejarah, budaya dan kehidupannya.
“Woloan dulunya waktu masih sebagai komunitas, jauh sebelum jadi pedesaan, berada di sini. Tempat ini adalah titik awal pemukiman warga Woloan. Lalu sekitar tahun 1800-an, warga mendirikan desa di tempat pemukiman sekarang. Sehingga kegiatan ini jadi salah satu acara reminder atau pengingat bagi masyarakat,” papar Loho, fotografer profesional yang juga mengajar sebagai dosen komputer di Universitas Sariputra Indonesia Tomohon (Unsrit).
Pentingnya Pelestarian Bahasa Tombulu
Di tengah ramainya cuitan dan nyanyian burung di udara, terdengar juga beberapa bahasa yang memenuhi perayaan ini. Beberapa turis yang bercerita satu sama lain dengan bahasa internasional, nada bahasa Polandia yang terdengar menarik dari keluarga Robert, serta ada satu bahasa yang sangat kental bagi masyarakat Woloan. Bahasa Tombulu. Ya, bahasa tua rakyat Minahasa, khususnya yang mendiami wilayah adat Tombulu.
Di sepanjang rangkaian acara festival, penuh dengan bahasa Tombulu. Baik dalam tutur pemandu acara, para tetua yang diberi kesempatan bicara, anak-anak yang bercerita tentang asal mula berdirinya wanua Woloan, berbagai nyanyian yang diiringi musik kolintang serta orkes khas kampung, hingga sastra tarian kawasaran.
Syair-syair merdu Tombulu, mengalir manis dalam indahnya ikatan persaudaraan tou Woloan. Kehangatan yang turut dinikmati para pengunjung dari luar wanua.
Rosevelty Kapoh, salah seorang tetua Woloan, menjelaskan jika penggunaan bahasa Tombulu di Festival Wanua Woloan, menjadi tindakan nyata dalam upaya pelestarian budaya masyarakat Woloan, khususnya dalam berkomunikasi.
Festival yang sudah digelar sejak tahun 2019 itu benar-benar menjadi salah satu wadah penting pelestarian bahasa Tombulu. Walaupun pasang surut harus dihadapi setiap tahun, kondisi itu tak mengurangi antusias masyarakat dalam menggelar perayaan ini.
“Pasca pandemi Covid-19 di tahun 2022 dan 2023, kami melaksanakan kembali Festival Wanua Woloan. Waktu itu kami melaksanakan festival dengan sangat meriah, karena mendapat banyak dukungan. Kalau mau dilihat perbandingan kegiatan tahun ini dengan tahun-tahun lalu, yang hadir saat ini hanya sepersekian persen dari masyarakat yang hadir saat itu. Karena tahun lalu saja yang hadir bisa sampai 3.000 orang. Tapi untuk kali ini, tidak sampai 500 orang dan tidak tahu alasannya karena apa,” kata Kapoh yang juga Camat Tomohon Barat, saat memberikan sambutan.
“Salah satu cara untuk melestarikan bahasa Tombulu kepada anak-anak muda yang sudah tidak tahu berbahasa Tombulu, yaitu melalui kegiatan-kegiatan seperti ini. Kegiatan yang menggunakan bahasa Tombulu,” sambung Kapoh.
Gerimis tak kunjung henti. Angin pun tetap berhembus sedikit kencang. Tapi manisnya saguer (air nira, minuman tradisional Minahasa yang disadap dari pohon enau) dan hangatnya captikus mampu menghalau penat dan hawa dingin.
Mata para pengunjung tampak masih fokus kepada Kapoh yang berdiri dengan latar Gunung Lokon yang indah. Ia tampak penuh semangat memberi sepatah dua kata tentang perjuangan masyarakat untuk melestarikan bahasa Tombulu. Sebuah penegasan betapa seriusnya hal itu.
“Sekarang yang menjadi tugas dan tujuan kita, bagaimana caranya untuk menawarkan kepada pemerintah agar bisa menyediakan waktu satu jam kepada orang-orang yang akan menawarkan diri jadi guru bahasa Tombulu. Karena hingga saat ini tidak ada lagi pembelajaran muatan lokal, mungkin zaman dulu ada. Ini saatnya kita bersuara kepada pemerintah agar bahasa Tombulu bisa dilestarikan melalui kegiatan-kegiatan seperti ini. Atau juga melestarikan budaya dalam kegiatan seni pertunjukan maupun bahasa,” jelas Kapoh diiringi gerimis yang kian mengucur.
Tokoh panutan masyarakat itu mengingatkan semua orang tentang pentingnya pelestarian budaya. Ia berucap, pergantian zaman pasti akan terasa, hilangnya budaya tak menutup kemungkinan. Semakin banyak tradisi yang ditepis pergantian zaman, modernisasi yang semakin mengental, menjadi perhatian masyarakat Woloan.
“Saya yakin suatu saat nanti di dua puluh sampai tiga puluh tahun ke depan, sudah tidak ada lagi yang tahu berbahasa Tombulu. Maka hilanglah identitas orang Tombulu. Itulah yang menjadi salah satu pendorong keinginan-keinginan kita untuk melaksanakan kegiatan seperti ini. Itu hanya sekedar contoh saja,” ujarnya.
Kapoh juga menjelaskan harapannya tentang adanya pelajaran khusus bagi para siswa di sekolah-sekolah di Tomohon tentang bahasa daerah, khususnya bahasa Tombulu.
“Orang-orang zaman dulu selalu memahami bagaimana cara menghormati orang yang lebih tua dan itu yang diajarkan dalam adat dan di budaya kami. Sedangkan di sekolah-sekolah kini tidak belajar adat, melainkan lebih fokus belajar ilmu pengetahuan. Makanya, saat ini semakin berkembang ilmu pengetahuan, semakin sulit untuk belajar bahasa daerah, seni dan tradisi. Itu yang menjadi salah satu dampak hingga terjadi degradasi budaya,” keluh Kapoh.
Tradisi Mahzani Woloan
Festival Wanua Woloan terus berlangsung ramai. Amfiteater Woloan yang luas, makin penuh terisi pengunjung. Ritus hingga beragam pertunjukan seni tradisi menghipnotis ratusan orang yang datang meramaikan agenda tahunan orang Woloan ini.
Mahzani, salah satu tradisi masyarakat Woloan yang turut ditampilkan. Paduan gerak, syair dan lagu khas Woloan itu juga menyita pandangan kami.
Menurut Kapoh, mahzani merupakan rangkaian tradisi yang dirangkum dalam syair berupa nyanyian yang disertai gerakan. Menggambarkan tentang bagaimana masyarakat Woloan mengucap syukur akan kehidupan pemberian Empung Wailan Wangko atau Sang Pencipta, Penguasa Semesta Alam.
“Di dalam mahzani itu ada tarian dalam proses masa panen padi. Seperti pengucapan syukur yang kita lakonkan dalam festival ini. Ada juga maramba’, naik rumah baru, serta buka kebun, di mana kita selalu mengucap syukur kepada Tuhan. Selesai mengadakan pertemuan, semacam rapat, kita juga bersyukur dan begitu banyak tradisi lain yang diekspresikan dengan mahzani,” paparnya.
“Itu baru satu sisi dari mahzani dan sudah begitu banyak yang tidak dilakukan atau sudah hilang di Woloan. Hal yang menjadi salah satu keinginan kita kedepannya yaitu, tetap terus melestarikan tradisi, seni budaya, serta bahasa, agar supaya anak cucu kita tidak kehilangan identitas. Itulah yang menjadi motivasi kami,” sambungnya.
Selain dalam festival ini, Kapoh membeberkan, tradisi mahzani juga akan diseminarkan dalam program-program yang akan datang.
“Mahzani ini nanti akan kita seminarkan di program berikut. Karena kebetulan juga yang menulis tentang mahzani itu orang asal Woloan, yaitu Pastor Yus Talangi. Mahzani di situ memang tulisan yang diangkat dari orang Woloan dan sudah dibukukan, serta dijadikan sebagai penelitian untuk studi S2 dan nanti akan diseminarkan,” ucapnya.
Sampai Jumpa di Festival Wanua Woloan Berikutnya
Tak terasa hari mulai gelap. Jarum jam menunjuk pada angka 5 di arloji milikku. Mentari mulai bersiap menuju pembaringan di ufuk barat. Di kejauhan terlihat rembulan yang mulai menampakkan wajahnya. Kicauan burung mulai tak terdengar lagi, ayam-ayam sudah beranjak mencari tempat istirahatnya.
Di penghujung acara, Kapoh mengungkapkan harapannya. Perayaan yang dihadiri ratusan orang itu membuat dirinya hanyut dalam tetesan air mata. Rasa haru dan bangga terpantul di wajahnya. Dengan nada sendu, salah satu pemimpin marga di Woloan itu menutup rangkaian kegiatan.
“Harapan dan catatan khusus, kedepannya kita akan membenahi supaya agenda seperti ini menjadi lebih baik. Mungkin ini hanya dikarenakan miskomunikasi atau kurangnya komunikasi saja. Teruntuk panitia, ke depan supaya bisa menyosialisasikan kepada publik atau masyarakat luas, agar supaya siapapun mereka dapat memahami arti dan makna akan apa yang kita laksanakan saat ini. Sesuatu yang mulia untuk kebesaran nama Tuhan,” tutup Kapoh. (*)
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan