CULTURAL
Makan ‘RW’: Tradisi atau Kebiadaban?
Published
6 years agoon
By
philipsmarx05 Maret 2019
Oleh: Denni Pinontoan
Orang-orang Minahasa penyuka masakan RW (Rintek Wu’uk), sebuah kegemaran yang sulit dimengerti oleh banyak orang dengan cara pandang tertentu
ORANG-ORANG dari luar Tanah Minahasa, terutama dari kelompok-kelompok yang menyebut diri pecinta hewan atau lebih khusus anjing, agak sulit memahami tradisi kuliner masyarakat di sini. Utamanya, kegemaran orang-orang Minahasa makan RW (Rintek Wu’uk), salah satu jenis masakan khas Minahasa berbahan daging anjing. Mengikuti masakan RW adalah penjualan daging anjing di pasar-pasar tradisional.
Sabtu, 2 Maret lalu, sejumlah NGO Internasional pecinta hewan yang terdiri dari Chance for Animals Foundation, Dog Meat Free Indonesia (DMFI), Action Project Animal, WordPress Media, Hope and Wellness foundation e.v Germany datang ke Manado. Menurut mereka, seperti diberitakan kumparan.com, para wisatawan tidak suka dengan cara sembelih anjing di pasar-pasar tradisional. Mereka menyebut itu sebagai, “tindakan biadab.”
Sebastian Margenfeld, Founder and Director of Hope and Wellness foundation e.v Germany menyebutkan, orang-orang Eropa termasuk Jerman, tidak akan pernah mau melihat penyiksaan terhadap hewan, seperti yang terlihat di pasar ekstrim.
“Pasar ekstrim adalah sesuatu yang tidak ingin dilihat orang-orang, terutama orang Barat dan Jerman, sama sekali tidak mau melihat hal seperti itu,” tutur Sebastian seperti dikutip kumparan.com.
Sebelumnya Koalisi Pecinta Anjing se-dunia (nama bersama sejumlah NGO itu) ini telah bertemu dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, yang diwakili oleh Assisten I Edyson Humiang. Mereka meminta komitmen dari Pemerintah Provinsi untuk melakukan edukasi kepada masyarakat tentang anjing. Berita kumparan.com mengutip pendapat Koalisi Pecinta Anjing se-dunia menyebutkan, anjing “bukan makanan dan tak layak untuk dibunuh dengan cara-cara yang sadis.”
Dari berita di kumparan.com ini terungkap cara pandang ‘Koalisi Pecinta Anjing se-Dunia’ yang kebanyakan mereka berasal dari Inggris, Jerman dan Italia itu. Bersama mereka adalah juga aktivis-aktivis pecinta hewan dari Manado. Bahwa, hal-hal di seputar tradisi orang-orang Minahasa mengkonsumsi daging anjing yaitu masakan bernama RW itu dikategorikan sebagai ‘cara-cara biadab’. Ini muncul dalam penjelasan mereka seperti dikutip kumparan.com, yaitu anjing disebut sebagai “bukan makanan dan tak layak untuk dibunuh dengan cara-cara yang sadis.”
Fakta pertama bahwa, rata-rata orang Minahasa penyuka makanan berbahan dasar daging anjing atau RW. Fakta kedua, benar ada pasar tradisional yang menjual daging anjing, misalnya pasar Beriman Tomohon dan pasar Karombasan. Fakta ketiga, cara sembelih anjing adalah dengan memukul kepalanya menggunakan alat pemukul hingga anjing mati. Fakta keempat, di pasar-pasar tradisional itu ada anjing-anjing yang dikurung di kandang-kandang menunggu giliran untuk disembelih.
“Ya, mengkonsumsi daging anjing yang torang ja bilang RW itu adalah bagian dari tradisi masyarakat Minahasa,” ujar Candra Rooroh dalam sebuah acara bacirita tentang kuliner Minahasa baru-baru ini di Sonder.
“Dalam tradisi Minahasa, menyembelih anjing itu tidak sembarangan. Sebelumnya mesti diawali dengan doa,” kata Fredy Wowor, budayawan Minahasa.
“Dalam perkembangannya, seiring perubahan gaya hidup yang berdampak pada cara memahami anjing dan kuliner khas dari dagingnya itu, maka jadilah ia barang dagangan di pasar-pasar tradisional,” tambah Rooroh.
“Dahulu, masakan RW itu hanya disajikan pada acara-acara khusus. Misalnya nae rumah baru (peresmian rumah, red) atau pesta nikah,” ujar Wowor.
Tapi ada lagi banyak fakta lain yang justru sering tidak diindahkan hingga buru-buru membuat kesimpulan, bahwa tradisi orang Minahasa mengkonsumsi RW dan banyak hal di sekitarnya adalah ‘cara-cara biadab’. Mari kita lihat fakta-fakta berikut.
Fakta pertama, anjing sudah ada dalam sejarah masyarakat Minahasa sejak dahulu kala. Anjing adalah teman untuk berburu dan sebagai penjaga rumah. Fakta kedua, anjing adalah salah satu hewan yang dikurbankan dalam jenis ritual tertentu. Fakta ketiga, anjing disembelih dan dagingnya dimasak menjadi RW, hanya pada acara-acara khusus, bukan untuk dikonsumsi sehari-hari. Fakta keempat, sekarang ini banyak orang Minahasa memelihara anjing untuk kesenangan, terutama berbagai jenis anjing ras.
Fakta kelima, ada banyak orang Minahasa yang memelihara jenis anjing lokal untuk difungsikan sebagai penjaga rumah atau teman yang memperlakukannya sebagaimana ia adalah hewan, bukan properti pribadi. Fakta keenam, tidak semua orang di Minahasa – terutama yang memiliki identitas Minahasa pada banyak aspek – dengan berbagai alasan gemar mengkonsumsi RW. Fakta ketujuh, banyak hal di sekitar kebiasaan mengkonsumsi RW adalah cara untuk berekonomi, yaitu jual-beli anjing, menjual daging di pasar, dan menjual masakan RW di rumah-rumah makan.
“Kalau kita sandiri, mungkin juga begitu dengan orang-orang Minahasa lainnya, merasa jijik jika yang dimasak itu adalah daging anjing ras. Sebab pe tahu kamari ja makang RW, yang kita tahu di keluarga dan pa torang pe kampung anjing yang ja makang anjing biasa (anjing lokal, red),” jelas Rooroh.
***
Hubungan antara manusia dengan binatang bernama anjing terbentuk bersama dengan budaya dan sejarah masyarakatnya. Sepertinya hal manusia dan masyarakat memperlakukan dan berhubungan dengan hewan lainnya, ayam, kuda, sapi, babi, ular, dlsb.
Di masyarakat Minahasa tempo dulu Anjing adalah bagian dari ritual. Setiap ritual ditandai dengan jamuan makan bersama, di situ juga anjing hadir sebagai salah satu menu. Di masyarakat Minahasa modern, ritual agama tua kebanyakan telah digantikan dengan ibadah-ibadah gerejawi, yang juga salah satunya ditandai dengan makan bersama. RW juga bagian dari makan bersama itu untuk disantap.
Ritual, menyiapkan masakan, makan bersama, cara memasak, menyajikan menu itu adalah bagian dari kebudayaan. Setiap peradaban, memiliki hal-hal ini. Dengan mengatakan, salah satu proses dari menyiapkan masakan RW sebagai ‘tindakan biadad’, pada hal pertama, itu dapat dikatakan kesimpulan yang terlalu terburu-buru. Pada hal kedua, setiap upaya menilai atau mengindetifikasi sesuatu, seseorang atau kelompok orang tidak pernah bebas 100% dari apa yang mendasari atau diyakininya. Selalu mungkin orang bias dalam menilai atau mengidentifikasi sesuatu, apalagi yang tidak dihidupinya.
Paul Richard Renwarin dalam bukunya Matuari wo Tonaas, terbit 2007 menulis, pada ritual membangun rumah, tiang utama bangunan direcikan dengan darah anjing yang disembelih. Pada hari pertama si pemilik rumah mendiami rumah yang sudah selesai dibangun, seorang imam akan mempersembahkan seekor ayam. Kepala ayam itu lalu dipotong dalam rumah, dan badannya dilemparkan ke tanah. Badan itu bergerak-gerak di atas tanah sehingga merecikan darahnya ke dinding rumah.
Adam dalam “Zeden En Gewoonten En Het Daarmede Samenhangend Adatrecht Van Het Minahassische Volk” termuat pada Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië, Deel 81, 3de/4de Afl. (1925) juga menyebutkan tradisi ritual yang melibatkan anjing.
Adam menulis, “Bila rumah perlu diganti atapnya di sana sini, antara lain di Tomohon, orang masih merasa wajib untuk menyembelih seekor anjing berwarna loreng (asu korotey) dan kemudian memakannya.”
Asu korotei adalah jenis Anjing itu lokal Minahasa. Disebut dengan nama asu korotei karena mengikuti kulit dan bulunya yang loreng (korotei).
“Daging babi bukan satu-satunya jenis daging yang dimakan di sini. Daging anjing, kelelawar, dan bahkan daging ular, terutama di Tonsawang juga disukai,” tulis Adam.
Seperti di peradaban lain, di Minahasa anjing adalah juga teman untuk berburu babi hutan dan penjaga rumah. Pada hal ini, ia menjadi berbeda dengan hewan jenis lain, seperti ayam, babi atau kuda, dlsb.
Jadi, mengkonsumsi anjing itu sudah sejak dahulu, sejak para leluhur menyelenggarakan macam-macam ritual. Sama halnya digunakannya anjing untuk berburu.
Menurut Wowor, sampai tahun 1990-an yang masih sempat disaksikannya, menyembelih anjing tidak dilakukan sembarangan atau secara massal.
“Itu lantaran menyembelih anjing untuk dibuat RW hanya pada hari-hari khusus. Makanya, RW itu adalah masakan istimewa,” kata Wowor.
Orang-orang Minahasa adalah penyayang anjing. Mereka memperlakukannya berbeda dengan lain yang juga dikonsumsi, yaitu ayam atau babi, atau juga dengan hewan lain yang dipakai untuk membantu pekerjaan, seperti sapi. Mengkonsumsi daging anjing, tidak serta merta langsung dapat diidenfitikasi sebagai perilaku atau kebiasaan ‘tidak beradab’.
“Bagaimana dengan kebiasaan orang-orang pada umumnya mengkonsumsi daging ayam?” Ujar Rooroh.
Cara orang menyembelih anjing di pasar-pasar tradisional yang disebut ‘sadis’ itu adalah kesan masing-masing orang. Semua hewan yang disembelih untuk dikonsumsi akan mengeluarkan darah dan mengerang kesakitan. Tapi tapi apakah itu langsung dapat disimpulkan sebagai cara-cara sadis?
Kesan ‘sadis’ tersebut diperoleh dari penyembelihan anjing secara massal. Ketika gaya hidup berubah, menjadi modern berarti memperoleh sesuatu dengan cara membeli atau berbelanja, membuat tradisi mengkonsumsi anjing juga berubah. Orang-orang lebih mudah menggunakan uang untuk membeli daging Anjing yang siap dimasak daripada menyiapkannya sendiri, dengan cara menyembelih anjing secara tidak terbuka dan dengan penuh kehati-hatian karena dalam keyakinan, itu juga bagian dari tindakan religius.
Tapi ‘menyiksa’ anjing atau hewan lainnya, misalnya dengan cara memukul, mengiris dan menggantung hidup-hidup lalu si hewan tidak mati, melainkan kesakitan dan hidup dengan tubuh yang cacat atau penuh luka saya kira bukan bagian dari kebiasaan apalagi budaya masyarakat Minahasa. Menjadikan anjing sebagai ‘properti’ atau memperlakukannya semacam ‘barang mainan’ juga bukan tradisi di sini.
Hingga masakan dari dagingya pun diperlakukan khusus. Begitupula mengkonsumsinya juga pada acara-acara khusus. Yang memasaknya, juga orang-orang khusus.
Saya pernah bertanya kepada seorang teman, namanya Steven Taebani. Ia berasal dari sebuah suku di Toli-toli, Sulawesi Tengah. Saya bertanya apakah masyarakat di sukunya juga mengkonsumsi masakan dari daging anjing.
“Iyo, torang ja makang. Maar biasanya ja beking orang-orang dari Manado yang so tinggal di sana,” jawab Steven.
“Apakah di sana ada tradisi itu?”
“Kalau pelihara anjing untuk berburu, iyo. Maar memasak daging anjing, tidak ada.”
“Apakah ada larang untuk mengkonsumsi daging anjing,” tanyaku lagi.
“Tidak. Makanya, torang juga so ja makan,” kata Steven.
RW memang dibentuk dari kata Minahasa, yaitu rintek wu’uk. Nama ini menunjuk pada bulu halusnya (rintek = halus; wu’uk = bulu/rambut). Sebuah masakan yang kaya bumbu dan menggunakan banyak cabai. Sehingga RW identik sebagai masakan yang pedas. Ia identik dengan Minahasa. Namanya yang terkenal di luar Tanah Minahasa tetap RW.
Dengan kekhususannya ini, maka begitulah ia menjadi pula semacam masakan khusus. Tidak banyak orang lidahnya cocok dengan RW. Hanya orang-orang Minahasa yang menjadi bagian dari tradisi kuliner ini yang cocok. Begitupula, hanya orang-orang dengan kepekaan khusus yang dapat mengerti tradisi yang memang sulit dimengerti ini.
Tentu bagi mereka yang memperlakukan anjing sebagai properti atau objek untuk kesenangan diri sendiri, untuk memuaskan keyakinan ideologisnya sangat sulit memahami tradisi kuliner ini. Orang-orang yang hanya datang sebentar lalu pulang lagi ke tempat asalnya, tentu tidak dapat memahami sebuah budaya di mana orang-orangnya mensucikan anjing untuk ritual, tapi sekaligus tanda dari ritual itu adalah makan bersama, dan RW adalah salah satu menunya. (*)
Editor: Andre Barahamin
Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun.
KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama untuk mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan