OPINI
Makna Kematian Al-Baghdadi: Masa Depan Terorisme di Asia Tenggara
Published
5 years agoon
By
philipsmarx9 November 2019
Oleh: Zachary Abuza
Professor di The National War College, Washington, DC. Pakar isu keamanan dan politik Asia Tenggara.
Kematian pemimpin ISIS, dan dampak kegagalan invasi Turki ke Suriah telah memicu kekhawatiran bahwa para jihadis dapat membuka front pertempuran di negara masing-masing.
KEMATIAN ABU BAKAR al-Baghdadi pada 27 Oktober 2019, pemimpin Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), ditambah dengan keputusan Presiden AS Donald Trump untuk menarik pasukan AS dari timur laut Suriah dan meninggalkan sekutu-sekutu Kurdi mereka, tentu memiliki implikasi mendalam. untuk lintasan jihadisme Salafi di Asia Tenggara – tetapi tidak dengan cara yang diharapkan banyak orang.
Sejak 2014, sel-sel bersenjata mantan Jemaah Islamiyah (JI) dan berbagai kelompok dari organisasi militan lainnya telah menyatakan kesetiaan kepada al-Baghdadi dan ISIS. Dalam banyak hal, kemunculan ISIS menghidupkan kembali jaringan teroris di Asia Tenggara, yang sempat mengalami degradasi serius secara organisasional sehingga di tahun 2010 mereka tidak mampu melakukan operasi terorisme skala besar. Janji kesetiaan tersebut tidak berbalas hingga awal 2016, dan meskipun ada upaya untuk menciptakan kemiripan struktur komando dan kontrol yang terpusat, seperti dengan deklarasi Negara Islam Asia Timur (ISEA), sebagian besar kelompok di wilayah ini tetap otonom. Menyangkut sumber daya, hanya sedikit mengalir yang berasal dari sisa-sisa ISIS di Suriah dan Irak.
Dalam videonya di bulan April 2019, al-Baghdadi bahkan tidak menyebutkan Asia Tenggara, karena tidak pernah menjadi prioritas ISIS; meskipun akhirnya menjadi semakin penting dengan kekalahan keKhalifah-an di tahun 2018 dan diadopsinya model insurgensi secara global.
ISIS, yang berkomitmen untuk mendirikan Kekhalifahan dengan kekerasan berdasarkan interpretasi atas hukum Islam abad ke-7, merupakan faktor pendorong utama atau menjadi ilham dari berbagai serangan di Asia Tenggara meskipun tidak secara langsung memimpin aksi-aksi tersebut. Untuk alasan itu, kita misalnya telah melihat beberapa kelompok yang sangat berani dan profesional, dan sebagian besar lain yang lebih amatir. Namun, pengepungan selama lima bulan di kota Marawi, Filipina pada pertengahan 2017 adalah bukti dari apa yang bisa dicapai oleh kelompok-kelompok ini – bersama dengan pejuang asing – jika mereka berkoordinasi.
Tidak dapat disangkal bahwa para militan ini telah terinspirasi oleh ISIS. Sudah ada 13 pemboman bunuh diri di Indonesia sejak 2016, dan, sejak aksi yang pertama di bulan Juli 2018, telah ada enam kali aksi serupa di Filipina. Fakta lainnya adalah, setidaknya ada 13 pembom bunuh diri yang berasal dari Malaysia yang terlibat dan melakukan serangan di Irak dan Suriah, sehingga kita dapat mengatakan bahwa jin keluar dari botol. Selain itu, setidaknya ada lima pembom bunuh diri perempuan, belum termasuk empat pembom bunuh diri perempuan yang berhasil ditangkap, yang paling terakhir adalah penangkapan seorang perempuan di bulan Oktober.
Secara keseluruhan, sel-sel pro-ISIS di Asia Tenggara terfragmentasi namun lebih tangguh secara stamina. Mereka memiliki sejumlah besar perangkat dan materi propaganda online, yang disebarluaskan melalui Facebook, WhatsApp, dan sekitar 400 saluran Telegram, yang terus digunakan untuk melakukan rekrutmen dan radikalisasi. Seorang peneliti kontra-terorisme Malaysia baru-baru ini mengatakan kepada saya dengan nada yang sangat menyesal bahwa individu-individu yang menjadi inti dari kelompok-kelompok militan Jamaah Islamiyah adalah mereka yang telah berhasl melalui proses radikalisasi di luar negeri; namun pada akhirnya itu dapat berarti bahwa ISIS telah dan sedang melakukan radikalisasi di Malaysia dan dua negara tetangga yang lain yaitu Indonesia dan Filipina. Ini artinya ideologi ke-Khalifa-an ISI jelas ada dan kini telah mengakar.
Kekhawatiran langsung untuk masalah keamanan regional dapat disimpulkan ke dalam dua faktor. Pertama, apakah akan ada serangan balasan sebagai pembalasan atas kematian Baghdadi? Kedua, akankah kekacauan di Suriah timur laut yang disebabkan oleh penarikan personil militer AS dan invasi Turki akan menyebabkan pelarian massal dari dalam penjara dan kembalinya para pejuang asing?
Kecil kemungkinan bahwa akan ada serentetan serangan balas dendam, karena beberapa alasan. Sel-sel Asia Tenggara yang berjanji setia kepada ISIS akan terus melakukan apa yang sebenarnya sudah sering mereka lakukan dan dengan tempo mereka sendiri, terlepas dari peristiwa di Suriah. Mereka menyerang ketika mereka memiliki kemampuan dan sumber daya untuk melakukannya. Terorisme lebih bersifat oportunistik. Misalnya sebagai bukti adalah serangan penikaman non-fatal baru-baru ini terhadap mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Indonesia, Wiranto. Selain itu, sel-sel pro-ISIS di Indonesia selama tiga tahun terakhir telah menggeser strategi mereka dengan lebih memfokuskan diri pada apa yang mereka sebut”musuh dekat”; yang secara umum menargetkan negara Indonesia dalam hal ini adalah aparat, dan polisi pada khususnya. Kelompok-kelompok ini tampaknya sangat fokus dengan strategi ini dan tampak tidak terlalu menyambut isyarat komando dari Suriah.
Akhirnya, kita dapat menyimpulkan bahwa kini ISIS yang merupakan organisasi militan intra-negara telah terlembagakan secara alami. Seseorang pada akhirnya akan muncul dan menggantikan al-Baghdadi. Sebabnya adalah, para militan tidak terikat kepada salah satu figur, ikatan yang menyatukan mereka adalah ideologi, yang tentu saja berumur lebih panjang. Sejujurnya, eksekusi Abdurrahman Aman, salah satu ideolog ISIS terkemuka di kawasan itu, yang dijatuhi hukuman mati di Indonesia pada Juni 2018, akan lebih mungkin memicu lebih banyak serangan balasan.
Kekhawatiran kedua tentang membanjirnya pejuang asing yang berperang di Suriah dan akan kembali ke negara masing-masing juga tampaknya terlalu berlebihan. Ada sekitar 30 orang Malaysia dan lebih dari seratus orang Indonesia masih berada di kamp-kamp penahanan yang dikendalikan oleh pasukan Kurdi dan Irak, tetapi mayoritas dari mereka adalah perempuan dan anak-anak. Tidak jelas berapa banyak lain di kamp-kamp yang dikelola oleh Kurdi. Sementara ada laporan bahwa sekitar 50 orang Indonesia yang telah berhasil melarikan diri, tidak jelas siapa mereka atau bahkan apakah pelarian itu benar-benar terjadi. Jelas, ada kekhawatiran bahwa Kurdi menarik pasukan mereka dari tugas jaga untuk mempertahankan diri melawan invasi Turki. Jika ada orang Asia Tenggara yang dibebaskan atau melarikan diri, sebagian besar kemungkinan akan tetap berjuang untuk memulihkan keKhalifah-an ISIS; dan hanya beberapa dari mereka yang mungkin akan mungkin kembali ke Asia Tenggara, perjalanan yang secara logistik sangat menantang.
Beberapa kombatan berkebangsaan Malaysia dan tahanan Indonesia adalah para pejuang tangguh dalam pertempuran dengan pengalaman yang lebih dari cukup terkait cara membuat bom. Tetapi bahkan non-kombatan, seperti perempuan dan anak-anak, cenderung sangat diindoktrinasi. Hingga saat keputusan AS untuk melakukan penarikan kekuatan militer mereka, pemerintah Malaysia dan Indonesia telah mencoba berulang kali untuk menegosiasikan pemulangan warga negara mereka, berharap untuk memulangkan mereka dengan kontrol penuh di mana mereka dapat ditahan, diinterogasi, dan dimasukkan melalui program de-radikalisasi. Namun, terjadinya kekacauan di wilayah timur laut Suriah telah membuat upaya pemerintah Malaysia dan Indonesia untuk melanjutkan negosiasi tersebut menjadi mustahil dilakukan.
Peristiwa baru-baru ini di Suriah memang memiliki implikasi serius bagi masa depan terorisme di wilayah tersebut. Ada dua akibat utama dari kejadian tersebut.
Pertama, penarikan kekuatan militer AS dari wilayah tersebut merupakan anugerah bagi ISIS, yang telah kehilangan hampir semua wilayahnya. ISIS kemungkinan besar akan mendapat manfaat langsung dari kekacauan meskipun al-Baghdadi tewas terbunuh. Meski demikian, skenario untuk menarik lebih banyak militan dari Asia Tenggara dalam waktu dekat menjadi tidak mungkin untuk dilakukan. Para militan justru akan lebih memilih untuk melakukan perjalanan ke Filipina bagian selatan, di mana mereka dapat terlibat dalam pertempuran untuk mempertahankan agama mereka, atau Hijrah. Propaganda ISIS sendiri sejak pertengahan 2016 telah diarahkan untuk targetan tersebut.
Dengan terbunuhnya al-Baghdadi, saya memprediksi bahwa semakin banyak gerilyawan yang akan mempertimbangkan kembali peluang untuk pergi ke Irak dan Suriah. Sebaliknya, Mindanao akan menjadi daya tarik bagi mereka, di mana mereka dapat mencangkokkannya ke dalam berbagai kelompok pro-ISIS seperti Abu Sayyaf, Negara Islam Lanao (Mautes), Pejuang Kemerdekaan Islam Bangsamoro (Bangsamoro Islamic Freedom Fighters) atau Ansuar al-Khalifa Filipina.
Filipina tetap menjadi satu-satunya tempat di Asia Tenggara di mana sel dan kelompok pro-ISIS memiliki prospek untuk mengendalikan teritori secara fisik, atau minimal menjadi tempat di mana pertempuran-pertempuran bersenjata akan menjadi cara untuk mendapatkan memperoleh pengalaman militer. Penting juga untuk dipahami bahwa anda tidak bisa menjadi provinsi ke-Khalifah-an tanpa wilayah. Dan sayangnya, Filipina tetap tidak mampu menghadapi sejumlah tantangan keamanan mereka meskipun ada bantuan internasional yang cukup besar.
Kedua, jika ISIS benar-benar bubar, atau berubah menjadi organisasi Jihadis Salafi yang baru, atau momentum terbunuhnya al-Baghdadi sebagai awal untuk menciptakan peluang bagi ISIS dan al Qaeda untuk menggabungkan kembali kekuatan mereka, maka hal tersebut akan berdampak serius di Asia Tenggara. Kematian al-Baghdadi juga akan menjadi bandul yang mengarahkan kembali sebagian dukungan ke Jemaah Islamiyah, yang diam-diam sedang membangun kembali jaringannya, sembari membiarkan kelompok pro-ISIS menanggung beban terbesar dari serangan oleh pasukan keamanan regional. Keputusan Jamaah Islamiyah untuk secara temporer menahan diri untuk melakukan aksi kekerasan, bukanlah sesuatu yang bersifat strategis, namun taktis. Dan tanpa al-Baghdadi dalam peta internasional, bandul dukungan terhadap Jamaah Islamiyah akan mengayun lebih mudah.
Dalam jangka pendek, peristiwa yang baru-baru ini terjadi di Suriah tidak mungkin memiliki dampak pada terorisme di Asia Tenggara, meskipun mereka bisa menjadi tanda mengenai cikal bakal perubahan jangka panjang pada perjalanan jihadisme Salafi. (*)
Terjemahan: Andre Barahamin
Editor: Gratia Karundeng
Foto: Reuters