CULTURAL
Makna Situs di Minahasa, Pemuda dan Sebuah Pesan Penting
Published
4 weeks agoon

14 Januari 2024
“Mengapa situs itu penting bagi orang Minahasa? Karena selain itu menjadi simbol yang hidup, di situs itu juga kaya dengan pengetahuan dan nilai-nilai tradisi”
Penulis: Etzar Frangky Tulung
MENJAGA alam semesta adalah sebuah langkah penting untuk dilakukan oleh semua makhluk hidup yang mendiami tanah tempatnya berpijak. Selain menjaga hubungan baik dengan alam semesta, tapi juga menjaga hubungan yang harmonis dengan Sang Khalik. Termasuk semua yang ada di tanahnya, tempat ‘orang-orang pertama’ di masa lampau telah ada lebih dulu berpijak.
Melestarikan peninggalan leluhur seperti situs, barangkali hanya sebuah langkah kecil tapi sangat penting, untuk menjaga penanda peradaban masa lalu yang kaya akan nilai-nilai kehidupan.
Di tanah Minahasa, banyak sekali situs yang menjadi akar sejarah peradaban, menyimpan banyak cerita tempat generasi hari ini berpijak.
Budayawan Minahasa, Rinto Taroreh mengatakan, situs merupakan salah satu peninggalan sejarah masa lampau bagi tou (manusia) Minahasa.
“Situs ini sangat penting untuk kita jaga. Karena itu adalah warisan peradaban masa lampau. Warisan itu menjadi landasan pijak kita hari ini dan masa akan datang,” kata Taroreh, Senin, 13 Januari 2025.
Warisan leluhur menyimpan banyak makna dan nilai-nilai penting bagi generasi saat ini dan akan datang.
“Situs bukan hanya tentang dia sebagai batu saja, tapi di situ tersimpan makna dan nilai sejarah. Dia memang benda mati, tapi jujur dalam berbicara. Artinya, di situ kita bisa melihat adanya kerja sama,” ujarnya.
Di masa lampau, dalam pembuatan sebuah situs bukan hanya dikerjakan oleh satu orang. Tetapi itu dikerjakan secara bersama-sama oleh banyak orang.
“Semua dikerjakan bersama. Mulai dari proses pemilihan jenis batu, pemindahan dan pembentukan situs tersebut. Tersimpan keuletan dalam pengerjaannya. Ada spirit dan semangat yang tidak mudah luntur. Itulah yang perlu kita ambil maknanya,” ucap Taroreh.
Pada umumnya, di tanah Minahasa ini banyak sekali jenis situs. Terletak di berbagai tempat berbeda.
“Situs-situs sejarah di tanah Minahasa ini ada banyak jenis. Ada waruga, watu panimbe, watu si’izang, watu tula’u, watu tumotowa dan masih banyak lagi. Ada juga yang berbentuk rumah tua. Sehingga, sangat penting bagi kita untuk menjaga dan memelihara keberlangsungan situs ini,” ungkapnya.
Menurut Taroreh, ini seharusnya menjadi tanggung jawab setiap generasi yang mendiami tanah Minahasa untuk secara sadar dan serius melakukan pelestarian semua situs.
“Menjaga situs adalah tugas yang sangat penting untuk dilakukan. Karena bagaimanapun juga ini merupakan warisan peradaban masa lalu oleh leluhur Minahasa. Kalau tidak ada mereka, sudah pasti torang juga tidak ada hari ini,” jelasnya.
Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) sebagai pelestari kawasaran yang juga penggerak Sekolah Adat Waraney Wuaya itu berpesan dan mengajak seluruh elemen masyarakat agar bisa bersama-sama menjaga dan melestarikan peninggalan leluhur.
“Mari torang sama-sama menjaga situs ini. Karena selain dia sebagai sebuah peninggalan sejarah, tapi banyak peninggalan dari para leluhur seperti pengetahuan dan nilai-nilai tradisi di situ,” pesannya.
Lanjut Taroreh, mengambil contoh dari sebuah pohon, walaupun kecil, besar, tinggi dan kuat, semuanya ditentukan dari akar di dalam tanah.
“Itulah yang terjadi pada situs-situs torang hari ini. Untuk itu jangan menjadikan tanggung jawab ini hanya kepada kelompok tertentu saja, tapi justru menjadi tanggung jawab kita bersama,” jelasnya.
“Ini sebenarnya menjadi tugas kita bersama, bukan hanya satu pihak saja. Karena situs ini tersebar luas di tengah masyarakat, maka tanggung jawabnya ada ke masyarakat umum,” kuncinya.
Peran Penting Pemuda
Di waktu yang sama, seorang pemuda adat Minahasa, Filo Karundeng, berpendapat bahwa situs merupakan sebuah simbol yang menandakan tentang suatu peradaban yang pernah ada di tanah Minahasa sejak masa lampau.
“Mengapa situs itu penting bagi orang Minahasa? Karena selain itu menjadi simbol yang hidup, di situs itu juga kaya dengan pengetahuan dan nilai-nilai tradisi,” katanya.
Untuk menjaga dan melestarikan peninggalan tersebut, sebenarnya ada beberapa cara yang harus dilakukan tou Minahasa hari ini.
“Masyarakat adat punya tiga cara untuk melawan kepunahan situs-situs ini. Nah, itu seharusnya juga menjadi salah satu tugas dari para pemuda untuk ikut menjaga, memelihara dan melestarikannya,” ujarnya.
Menurut Filo, nilai-nilai lokalitas menjadi salah satu benteng pertahanan yang mampu menjaga umat manusia dari gempuran globalisasi.
“Nilai-nilai lokalitas yang dimaksud, selain bahasa, adat atau daerah, ada aturan-aturan dan termasuk juga situs-situs. Ini semua menyimpan banyak sekali pengetahuan, menjadi nilai sejarah bagi orang-orang Minahasa masa kini,” ucapnya.
Karundeng menjelaskan mengapa penting kehadiran pemuda untuk ikut terlibat melakukan pelestarian ini.
“Sebenarnya, semua orang itu punya tugas dan tanggung jawab yang sama untuk menjaga dan melestarikan situs atau peninggalan leluhur di tempat ia lahir dan berpijak. Bukan hanya orang tua saja, tetapi juga ada pemuda di dalamnya,” tegasnya.
Pertama, bisa dilihat dari fisik. Bukan karena mendiskreditkan orang tua yang sudah tidak kuat lagi, karena memang pemuda memiliki energi untuk melakukan hal-hal tersebut.
“Kedua, dilihat dari pengetahuan. Pemuda-pemuda di tanah Minahasa saat ini, jika dilihat dari kemampuan intelektualnya pasti mereka mampu bersaing dengan orang tua. Selain itu juga, pemuda mempunyai strategi dan teknik yang berbeda. Itu mereka bisa gunakan untuk ikut menjaga situs ini. Sehingga, pemuda juga memiliki kemampuan untuk mengumpulkan massa untuk ikut dilibatkan,” terangnya.
Pemuda hari ini, mereka memiliki banyak jejaring yang cukup luas yang mampu diajak untuk ikut bersama berkontribusi dalam upaya pelestarian.
Mengambil contoh dari Sekolah Adat Tou Mu’ung Wuaya. Ada banyak hal yang terus dan konsisten dilakukan untuk melestarikan peninggalan leluhur. Seperti membersihkan situs dan melakukan upacara adat di sekitar lokasi itu.
Pemuda sebenarnya menjadi generasi yang perlu mencari jati diri, perlu belajar tentang pengetahuan dan tradisi. Karena mereka yang akan menjembatani generasi sebelum dan selanjutnya untuk menjaga nilai-nilai tradisi ini.
“Kalau misalnya orang tua tidak juga melibatkan pemuda di generasi ini, maka generasi selanjutnya akan kehilangan pengetahuan tentang itu. Akan tetapi, kalau pemuda yang melakukan upaya pelestarian itu, otomatis mereka akan berhubungan dengan para tetua adat di kampung. Sehingga di kemudian hari, pengetahuan itu akan diteruskan ke generasi selanjutnya,” jelasnya.
Dewan Pemuda Adat Nusantara (DePan) Region Sulawesi, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) ini pun berpesan, walaupun sekolah dan bekerja di luar daerah, tapi harus mengingat dan kembali ke kampung tempat kelahiran.
“Torang teman-teman pemuda secara sadar pergi meninggalkan kampung. Belajar dan bekerja di luar untuk mendapatkan uang, penghasilan yang cukup dan jejaring. Akan tetapi seringkali, torang lupa untuk kembali dan mengimplementasikan apa yang telah torang dapat di tempat lain,” katanya.
Dewan Pemuda Adat Asia itu juga mengungkapkan, seharusnya ketika para pemuda yang telah lama tinggal di luar kampung asalnya, mereka harus tetap mengingat untuk kembali dan membagikan ilmu pengetahuan yang didapat kepada anak-anak di tempat kelahirannya.
“Paling sederhana, kerja keras dari orang tua lewat bertani dan melakukan banyak pekerjaan hanya untuk menyekolahkan torang. Kemudian, pengetahuan yang torang dapat di luar, tidak torang bawa kembali ke kampung. Justru pengetahuan kita hanya habis di tempat lain. Contohnya, di organisasi-organisasi tertentu, malahan tidak ada sumbangsih yang kita berikan ke kampung,” ujarnya.
Karundeng pun melempar tanya, apa yang akan terjadi pada masa seratus tahun mendatang, jika tidak ada yang mewariskan pengetahuan di kampung?
“Sehingga, semua yang telah diberikan orang tua kita itu tidak sia-sia bagi diri sendiri, tapi justru akan sia-sia bagi tempat tinggal kita. Tempat kita dilahirkan,” tambahnya.
“Oleh karena itu, teman-teman pemuda atau mahasiswa di mana pun torang akan belajar dan menimba ilmu nantinya, jangan lupa untuk kembali ke kampung. Karena ketika teman-teman kembali, itu akan menjamin kesejahteraan generasi selanjutnya,” kuncinya.
Tanggung Jawab Menjaga Harta Warisan Leluhur
Pemuda adat Tou Mu’ung Wuaya, Gerard Tiwow mengatakan, situs merupakan sebuah tanda yang menunjukkan pernah ada suatu peradaban di tanah Minahasa.
“Suatu peradaban muncul karena ada serangkaian sejarah dan ini menjadi bagian penting untuk pemuda hari ini. Pasti ada juga efek resiko lokalnya. Dari situs itu torang boleh liat apa yang terjadi pada masa lalu dan semua tentang pengetahuan-pengetahuannya,” kata Gerard.
Menurutnya, dengan adanya situs-situs warisan leluhur, menunjukkan bahwa kita hidup hari ini tidak terlepas dari keberadaannya.
“Maksudnya, keberadaan situs itu menjadi dasar hidup tou Minahasa pada masa sekarang ini. Sekalipun situs itu rusak, ia tetap akan berada di tempat awal dia diletakkan atau dibuat,” ucapnya.
Konteks mengapa situs penting, karena itu menjadi peninggalan orang-orang masa lampau, untuk mengingatkan generasi hari ini dan generasi selanjutnya, bahwa jauh sebelumnya sudah ada ‘tou’ yang hidup dan tinggal di tanah ini.
“Karena itu seperti pemberian yang harus torang jaga dan lestarikan. Contohnya, kalau torang punya nenek atau mama papa memberikan kalung dan barang berharga lainnya, itu pasti akan kita jaga dan pelihara dengan baik. Sama juga dengan situs sejarah, biar hanya sebagai batu biasa, tapi itu perlu dijaga,” ungkap Tiwow.
Penggerak Sekolah Adat Tou Mu’ung Wuaya itu menegaskan, apapun yang menjadi peninggalan leluhur di masa lampau itu wajib dipelihara oleh semua orang yang hidup mendiami tanah ini.
“Itu peninggalan dari torang punya leluhur. Seharusnya kita semua yang tinggal di tanah ini sama-sama bertindak untuk memeliharanya dengan baik,” tegasnya.
Selanjutnya, ketika dilihat dari aspek religius. Secara manusiawi batu adalah benda mati. Bahkan tidak mempunyai kekuatan apapun. Tetapi, dilihat dari kacamata spiritual tou Minahasa, batu itu hidup dan memiliki spirit.
“Memang batu-batu itu tidak punya kekuatan apapun. Tapi ingatan dalam batu tersebut bisa membuat efek spiritual bagi torang. Kalau misalkan situs itu rusak atau hilang, maka torang punya hubungan dengan leluhur tidak akan putus di satu generasi saja. Maka itulah penting bagi torang untuk terus menjaga situs itu,” ucapnya.
Dikatakan Tiwow, paling menarik dari situs sejarah, ia memiliki banyak aspek untuk diteliti. Bisa dari jenis batu, cara mengukir simbol-simbol, pemilihan tempat yang cocok untuk diletakkan dan masih banyak lagi.
“Situs sejarah itu kalau dari kacamata global, ini bisa membawa torang ke satu garis peristiwa waktu. Contohnya, kalau seseorang akan buat penelitian dari situs sejarah itu, banyak yang akan mereka temukan, kaji dan eksplorasi,” ungkap Tiwow.
Penulis dari Komunitas Mapatik ini juga mengatakan, pada saat orang-orang mengunjungi atau berziarah ke suatu situs, mereka akan mengetahui dan memahami tentang situs tersebut.
“Torang akan bisa dapat jawaban-jawaban dari apa yang dilihat. Akan ada banyak hal yang bisa dipahami dan dimengerti. Torang tau bersama, spirit pemuda adat itu adalah penggerak dan sebagai motor di tengah masyarakat,” sebutnya.
Lanjut Gerard, bisa dilihat di tengah masyarakat, ada banyak ‘golongan tua’. Kebanyakan mereka sudah tidak mampu melakukan hal-hal berat, terkendala keterbatasan fisik yang mulai tua. Maksudnya, mungkin mereka berpikir ini sudah bukan zaman mereka lagi, justru sudah ada pada pemuda.
“Nah, kalau misalkan pemuda-pemuda ini sudah tidak mau bergerak untuk menjaga situs-situs itu, siapa lagi yang akan menjaganya? Maksudnya ketika golongan-golongan tua itu sudah tidak mampu dan generasi muda ini tidak tau, maka itu dipastikan pada generasi selanjutnya sudah tidak akan mengetahui lagi tentang pengetahuan itu,” ucapnya.
Ia pun menjelaskan, pemuda sebenarnya berperan menjadi jembatan antar generasi. Karena pemuda masih dan punya daya kreativitas yang tinggi, sehingga perlu membuat inovasi-inovasi atau kegiatan-kegiatan pendekatan kepada leluhur di situs-situs yang ada. Dari kegiatan itu, pemuda akan mampu menggali dan mempelajari makna sejarah serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Tiwow pun berpesan, kalau misalnya melakukan kegiatan harus ‘sesuai konteks’. Tidak mungkin kalau misalnya datang di sebuah situs dekat gereja, kemudian ‘ba ator‘ (ritual adat). Pastinya itu akan menimbulkan stigma di tengah masyarakat.
“Sehingga, saya usulkan torang buat di situ sebagai pojok budaya. Agar supaya pendekatan pemuda sebagai agen perubahan dan motor penggerak akan diakui oleh masyarakat. Jika bukan torang, siapa lagi. Kalau bukan sekarang, kapan lagi,” kuncinya.
