Connect with us

OPINI

Mamasa Mamase: Terpaksa Mase-Mase dari Masa ke Masa

Published

on

31 Juli 2024


Penulis: Rama Wijaya (Pemuda Adat Mamasa)


TO KONDO SAPATA’ atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Mamasa, dahulu disebut dengan nama Pitu Ulunna Salu Kondo Sapata’ Wai Sapalelean, yang berarti “Tujuh Hulu Sungai Dengan Sawah Yang Luas Dengan Satu Pematang”. To Kondo Sapata’ merupakan komunitas adat yang telah lama mendiami dataran tinggi Sulawesi Barat. Menurut tulasan (budaya tutur) yang diceritakan dari para tetua dan pemangku adat, orang pertama yang datang dan membangun peradaban di tanah ini adalah Nene’ Pong Kapadang dari Sa’dan Toraja dan bertemu dengan Nene’ Torije’ne dari wilayah Tabulahan.

Tari Bulu Londong, tarian ksatria Mamasa di zaman dahulu.Dikisahkan, seseorang dikatakan sebagai pria sejati bila sudah membawa kepala musuh. (Foto: dikita.id)

Tari Bulu Londong, tarian ksatria Mamasa di zaman dahulu.Dikisahkan, seseorang dikatakan sebagai pria sejati bila sudah membawa kepala musuh. (Foto: dikita.id)

To Kondo Sapata’ awalnya merupakan tujuh komunitas besar yang kemudian diperluas, atau dalam bahasa Mamasa “Di Tawa Pole Mana’” (membagi ulang wilayah) menjadi kurang lebih 24 komunitas adat yang kini tersebar di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. To Kondo Sapata’ sejatinya adalah komunitas adat dengan sistem pemerintahan yang mirip dengan federasi. Setiap masyarakat memelihara dan melaksanakan hukum adat sesuai dengan adat istiadatnya, namun tetap terikat dengan pembagian tugas untuk melindungi tanah Pitu Ulunna Salu Kondo Sapata’ Wai Sapalelean. 24 wilayah adat itu saat ini terdaftar sebagai anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Komunitas-komunitas tersebut adalah Aralle, Balla Messalu, Balla Satanetean, Ballatumuka, Bambang, Lembangna Salulo, Mala’bo, Mambi, Matangnga, Messawa, Nosu, Orobua, Osango, Pana, Ralle Ana’, Rambu Saratu, Rantebulan, Sepang, Tabulahan, Tabang, Tawalian, Sindaga Manik, Saloan, dan Makuang.

Keragaman tentu unik bagi Komunitas Adat Pitu Ulunna Salu Kondo Sapata’ Wai Sapalelean. Setiap wilayah adat memiliki aturan hukumnya sendiri dan ini terus ditegakkan sampai hari ini. Keberagaman yang dimiliki mencerminkan bahwa Masyarakat Adat Pitu Ulunna Salu Kondo Sapata’ Wai Sapalelean merupakan masyarakat yang dapat menerima perbedaan dan dapat hidup selaras dengan alam. Meskipun rincian hukum adat berbeda, ada satu kesamaan yang dimiliki oleh masyarakat adat ini, yaitu mengakui Ada’ Tuo (adat yang hidup), yakni adat istiadat adalah proses penyelesaian masalah yang paling efektif.

Hasil Bumi Yang Menjanjikan

Dengan ketinggian rata rata 1.500-2.000 meter di atas permukaan laut, membuat Mamasa menjadi salah satu kabupaten tersejuk di Indonesia, dengan temperatur yang stabil berkisar dari 22°C sampai 25°C. Mamasa yang dikenal dengan daerah penghasil kopi dan kakao ini mulai berkembang dan perlahan merangkak dari ketertinggalannya. Salah satu potensi terbesar yang dimiliki kabupaten Mamasa adalah perkebunan dan pertanian yang subur. Sebagai suatu daerah di ketinggian dan tanah yang begitu subur, Mamasa bisa menjadi satu pusat perkebunan yang masif. Dilansir dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Mamasa, perkebunan kopi arabika, kopi robusta, dan kakao di kabupaten Mamasa dalam kurun waktu 2016-2018 terus meningkat, baik luas areal dan juga hasil produksinya. Perkebunan kopi robusta pada tahun 2016 memiliki luas areal 4.656 Ha, dengan produksi 361 ton. Pada tahun 2017 seluas 4.910 Ha, dengan jumlah produksi meningkat kurang lebih 100 persen dari tahun sebelumnya sebesar 732 ton. Pada tahun 2018 luas areanya mencapai 5.091 Ha, dengan jumlah produksi 961 ton. Sementara itu, untuk jenis kopi arabika, luas areal perkebunan pada tahun 2016 sebesar 5.339 Ha, dengan produksi 401 ton. Pada tahun 2017 luas areanya sebesar 6.051 Ha, dengan Produksi 958 ton. Dan pada tahun 2018, luas areanya 6.479 Ha, dengan produksi 1.057 ton. 

Kopi Mamasa mewakili Indonesia untuk hadir memperkenalkan produk kopi kebanggaan Provinsi Sulawesi Barat pada ajang promosi "Russia Halal Expo 2021" yang diadakan di Kazan Expo, Kazan, Republik Tartastan pada tanggal 28-30 Juli 2021. (Foto: Ditjenbun Kementan)

Kopi Mamasa mewakili Indonesia untuk hadir memperkenalkan produk kopi kebanggaan Provinsi Sulawesi Barat pada ajang promosi “Russia Halal Expo 2021” yang diadakan di Kazan Expo, Kazan, Republik Tartastan pada tanggal 28-30 Juli 2021. (Foto: Ditjenbun Kementan)

Kakao juga menjadi salah satu komoditas yang menjanjikan. Pada tahun 2016, luas areanya sekitar 20.004 Ha, dengan produksi 8.000 ton. Pada tahun 2017, luas areanya berkurang menjadi 15.941 Ha, tetapi hasil produksinya meningkat menjadi 8.063 ton. Pada tahun 2018 luas areanya terus berkurang menjadi 15.386 Ha, dengan produksi 7.743 ton. Menurut berita yang dilansir dari AntaraNews, kabupaten Mamasa setiap tahunnya mengekspor 400 ton kopi ke luar negeri, namun sayangnya potensi ini tidak di sadari oleh para pemangku kuasa yang ada di kabupaten Mamasa.

Mase-Mase Mesa-Mesa (Miskin Sendiri)

Lebih dari 20 tahun kabupaten Mamasa terbangun, tiga generasi kepemimpinan di kabupaten ini telah membawa Mamasa sampai pada masa yang “mase-mase” atau “miskin” dalam bahasa yang umum digunakan di daerah ini. 

Kabupaten Mamasa lahir 20 tahun yang lalu. Ibarat benih yang lahir dari perjuangan panjang rakyat kecamatan Mamasa, yang merupakan bagian dari Kabupaten Polewali-Mamasa (Polmas) saat itu. Keresahan rakyat Mamasa timbul akibat pembangunan tidak merata yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten Polmas. Kecamatan Mamasa seperti dianaktirikan dari proses pembangunan yang ada, sehingga daerah yang dikenal dengan julukan “Lita’ di Ada’ I” (Tanah Beradat) ini menjadi sangat tertinggal, baik dari segi infrastruktur maupun sumber daya manusianya.

Kondisi jalan poros Toraja-Mamasa tahun 2023, jalan utama yang menghubungkan Kecamatan Bittuang, Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan dengan Kecamatan Mamasa. (Foto: Rama Wijaya)

Kondisi jalan poros Toraja-Mamasa tahun 2023, jalan utama yang menghubungkan Kecamatan Bittuang, Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan dengan Kecamatan Mamasa. (Foto: Rama Wijaya)

Gelombang keinginan rakyat untuk merasakan kesejahteraan semakin hari semakin membara. Puncaknya, ribuan rakyat Mamasa mendatangi gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Polewali-Mamasa (Polmas) untuk memaksa wakil rakyat menandatangani persetujuan pembentukan kabupaten Mamasa pada tahun 2002. Dasar terbentuknya kabupaten ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Pembentukan Kabupaten Mamasa dan Kota Palopo di Sulawesi Selatan.

Awalnya, Mamasa di bawah pimpinan seorang mantan Bupati Bantaeng, Alm. M. Said Saggaf, yang mengisi kursi kepemimpinan Mamasa selama 5 tahun bersama wakilnya Alm. Victor Paotonan. Tugas berat harus diemban para pemimpin di awal berdirinya kabupaten Mamasa. Kondisi gedung pemerintahan yang sangat minim, belum lagi kondisi jalan yang sangat parah akibat tak pernah tersentuh perbaikan selama daerah Mamasa masih bergabung bersama kabupaten Polewali-Mamasa. Dengan visi membangun kota mungil yang bisa menjadi destinasi pariwisata baru, dimulailah pembangunan di bawah kepemimpinan Alm. Said Saggaf. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) lebih banyak dihabiskan untuk membangun jalan sebagai modal utama untuk menghubungkan antar kecamatan dan desa. 

Pembangunan ini tidak bisa dikatakan berjalan lancar. Masalah keterbatasan anggaran tentu menjadi tantangan utama hari itu. Dalam periode kepemimpinannya, Saggaf juga membangun beberapa infrastruktur dasar pemerintahan seperti Kantor DPRD dan Kantor Bupati baru. Segala bentuk peletakan dasar infrastruktur pemerintahan ini wajib diberikan apresiasi, namun bukan tanpa celah. Tidak adanya rencana jangka panjang tentang tata ruang, membuat pembangunan gedung pemerintahan seperti tanpa konsep. Gedung-gedung pemerintahan di kabupaten Mamasa tidak terkonsentrasi, sehingga membuat tata ruangnya menjadi carut marut dalam penataannya. Beberapa hal inilah yang akhirnya sempat melahirkan gerakan putra daerah yang menuntut agar Bupati Mamasa berasal dari kabupaten Mamasa sendiri, agar mampu memetakan daerahnya lebih efektif.

Putra Daerah Pertama

Periode Selanjutnya dilanjutkan oleh dua Putra Daerah terbaik Mamasa hari Itu, Obednego Depparinding dan Ramlan Badawi yang dikenal dengan OBOR. Di mulai pada 18 September 2008, harapan akan Mamasa yang lebih punya konsep pembangunan yang bersandar pada nilai adat istiadat di Mamasa dimulai. Mimpi rakyat untuk mendapatkan kesejahteraan di bawah pimpinan putra asli daerah, sangat besar. Melanjutkan visi pembangunan infrastruktur dasar seperti jalanan dan gedung pemerintahan, juga menjadi program utama periode ini. Sayangnya, kegagalan untuk mewujudkan tata ruang yang terencana dan masif masih juga terjadi di periode ini. Belum lagi politik dinasti yang menjadi momok utama penghambat pembangunan. Banyak tudingan bupati hanya menggunakan keluarga terdekatnya sebagai kepala-kepala di beberapa proyek. Hal itu menjadikan pemerintah ini juga tidak lepas dari banyak protes.

Upacara Adat Rambu Solo' untuk melepas jenazah Alm. Obednego Depparinding, di Tondok Bakkaru, 2023. (Foto: Gerard Tiwow)

Upacara Adat Rambu Solo’ untuk melepas jenazah Alm. Obednego Depparinding, di Tondok Bakkaru, 2023. (Foto: Gerard Tiwow)

Mamasa di bawah kepimpinan putra daerah belum juga menemukan bentuk bakunya dalam proses pembangunan yang berkelanjutan, hingga akhirnya periode ini harus selesai lebih awal. Obednego Depparinding diberhentikan dari jabatan Bupati Mamasa akibat dituduh terlibat dalam skandal kasus korupsi bersama beberapa anggota DPRD Kabupaten Mamasa periode 2003-2008. Meski akhirnya divonis bebas oleh Mahkamah Agung, periode ini dilanjutkan oleh wakilnya, Ramlan Badawi, yang sampai 2023 menjadi penguasa di kabupaten Mamasa.

Rezim Terlama

Ramlan Badawi menjadi pemimpin paling lama. Hampir 15 tahun menjadi pemimpin di kabupaten Mamasa. Mulai menjadi Wakil Bupati di periode 2008-2011, kemudian menjadi bupati dari Periode 2011-2013, dilanjutkan pada periode 2013-2018 dan 2018 sampai 2023. Tentu di bawah kepemimpinan ini, rakyat Mamasa mempunyai harapan tentang masyarakat yang harmonis dalam segala sisi. Mamasa dengan potensinya yang melimpah, mulai dari sektor pertanian, karena tanahnya yang subur, sampai pada sektor pariwisata yang bisa menjadi modal untuk keberlanjutan pembangunan. Namun tak seperti yang diharapkan oleh kebanyakan rakyat. Di masa kepemimpinan 3 periode ini, Mamasa justru semakin terpuruk. Padahal daerah ini sudah lebih maju dalam bidang infrastruktur dasar, seperti jalan antar kabupaten yang mulai membaik dan gedung pemerintahan yang sudah cukup lengkap meski masih belum terkonsentrasi. Tetapi pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya di Mamasa masih sangat timpang dan jauh dari harapan banyak orang. Belum lagi kurangnya perhatian pemerintah untuk peningkatan sumber daya manusia. Terbukti dengan minimnya program pembangunan di bidang pendidikan dan kesehatan sebagai penopang utama pembangunan sumber daya manusia. 

Di bawah kepemimpinan Badawi, Mamasa juga tidak mampu memanfaatkan potensinya untuk mendorong Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga membuat Mamasa selalu merasakan defisit anggaran hampir setiap tahun. Paling parah terjadi di tahun 2021 hingga 2023. Tak kurang dari Rp. 100 miliar defisit anggaran yang dirasakan kabupaten Mamasa pada tahun 2021. Akibat dari defisit anggaran telah membengkak dan menjadi momok menyeramkan, tak kurang dari Rp. 220 miliar nilai defisit pada era tahun 2022-2023. Akibat defisit, daya beli masyarakat menjadi menurun dan perputaran ekonomi menjadi tidak stabil. Kondisi yang lebih dikenal di Mamasa sebagai “ta’mo deen doi inde Mamasa” (sangat minim uang yang beredar di Mamasa). Dampak langsung dirasakan juga oleh pegawai instansi pemerintahan. Seperti ribuan aparat desa di seratus desa di Mamasa yang tidak menerima gaji selama tujuh bulan, akibat kosongnya kas daerah dan ratusan tenaga honorer yang terpaksa menelan ludah dan mengencangkan ikat pinggang, karena gaji mereka diputihkan. Bahkan ada yang dipecat, karena pemerintah daerah tidak lagi mampu mempekerjakannya.

 Paling aneh justru terjadi pada ratusan tenaga kesehatan (Nakes) di RSUD Kondo Sapata’. Mereka juga tak mendapatkan haknya selama lima bulan dengan alasan defisit ini, hingga terpaksa melakukan mogok kerja. Hal ini membuat masyarakat menciptakan arti akronim baru bagi RSUD yakni “Rumah Sakit Urus Diri”. Padahal pemerintah kabupaten Mamasa telah mengakses dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) kurang lebih Rp. 97 miliar, yang prioritasnya adalah untuk kesehatan dan ekonomi masyarakat. Dana tersebut juga digunakan untuk membayar gaji para tenaga kesehatan, dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, serta menstimulasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) agar bisa dibangun kembali pasca pandemi Covid-19. 

Dalam bahasa Mamasa, kerbau dengan kulit putih dengan corak hitam disebut Tedong Doti. Tedong yang menjadi kebanggaan To Kondo Sapata' ini dihargai sekitar 500 juta rupiah. (Foto: Rama Wijaya)

Dalam bahasa Mamasa, kerbau dengan kulit putih dengan corak hitam disebut Tedong Doti. Tedong yang menjadi kebanggaan To Kondo Sapata’ ini dihargai sekitar 500 juta rupiah. (Foto: Rama Wijaya)

Mamasa Mamase

Dari masa ke masa, pemerintah kabupaten Mamasa sepertinya belum bisa membawa daerah ini menjadi satu daerah yang “Mamase”, satu daerah yang memberi kasih sayang dan kesejahteraan terhadap seluruh rakyatnya. Mamasa masih digunakan oleh segelintir orang untuk memperkaya diri sendiri dan kolega. Sebagai generasi muda, kita tentu bertanggung jawab untuk terus memberi perhatian untuk Mamasa yang sejahtera dan Mamase. Apakah kita akan terus berdiam diri melihat daerah kita yang setiap harinya dipaksa menjadi mase-mase?

“Jika Solidaritas Adalah Senjata, Mari Kita Rakit Dan Kokang Bersama.”

“Rakka Batu Tuo Na Olai Kada Mesa.” (Bahkan Batu Yang Paling Keras pun Akan Hancur Jika Kita Bersatu)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *