ESTORIE
Manuel Sondakh, Pendeta dan Politisi yang Kontroversial
Published
5 years agoon
By
philipsmarx23 April 2019
Oleh Denni Pinontoan
Manuel Sondakh adalah seorang pendeta, guru, politisi, dan sekaligus anggota DPR RI hasil Pemilu 1955, tokoh yang kontoversial pada zamannya
PEMILIHAN UMUM (Pemilu) pertama secara nasional Indonesia dilaksanakan pada tahun 1955. Salah satu partai politik peserta pemilu adalah Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Seorang anggota dewan partai ini yang terpilih dari daerah pemilihan Sulawesi Utara-Tengah menjadi anggota DPR RI adalah Manuel Sondakh.
Pemilu ini dilaksanakan dua tahap. Tahap pertama adalah memilih anggota DPR, dilaksanakan pada 29 September 1955. Jumlah peserta pemilu yang ikut sebanyak 30 partai politik dan individu.Tahap kedua adalah pemilihan anggota Konstituante, dilaksanakan pada 15 Desember 1955.
Manuel Sondakh adalah seorang politisi, juga pendeta dan guru. Ketika terpilih sebagai anggota dewan pada pemilu 1955 itu, Manuel Sondakh sedang menjabat Ketua Sinode Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM).
Ketua Sinode, Ketua Partai, Ketua DPRD, Direktur Perusahaan
Manuel Sondakh lahir di Motoling, tepat pada hari Natal, 25 Desember 1905. Ia menempuh Pendidikan Sekolah Rakyat lalu kemudian Sekolah theologia dan sekolah guru.
Sejak tahun 1947 Manuel Sondakh sudah aktif di dunia politik. Pada tahun itu ia menjadi anggota DPRD Minahasa. Sambil itu, sejak tahun 1932 sampai 1952, ia menjadi Guru di Sekolah Theologia di Tomohon. Lalu kemudian pada tahun 1948 sampai 1952 menjadi rektor di sekolah theologia tersebut.
Tahun 1948 sampai tahun 1950 ia menjabat sebagai wakil ketua Sinode GMIM. Selanjutnya, sejak tahun 1950 sampai 1955 ia menjabat sebagai ketua sinode.
Pada tahun 1947 sampai 1954 Manuel Sondakh menjadi anggota dewan di DPRD Minahasa. Selang tahun 1952 sampai 1954 ia menduduki jabatan ketua dewan.
Mulanya Manuel Sondakh aktif di Partai Gerakan Indonesia Merdeka (GIM) yang berpusat di Minahasa. GIM adalah partai yang mendukung federalisme Indonesia. Ia aktif di partai itu sejak tahun 1947 sampai tahun 1950.
Nanti tahun 1952 ia bergabung dengan Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Tahun 1955, pada pemilu pertama itu, ia terpilih sebagai anggota DPR RI dari Parkindo yang berasal dari daerah pemilihan Sulawesi Utara-Tengah.
Parkindo berdiri pada Desember 1945. Partai ini kelanjutan dari Partai Kristen Nasional (PKN). PKN berdiri tidak lama setelah Pemerintah mengeluarkan Maklumat tertanggal 3 November 1945 yang menganjurkan kelompok-kelompok masyarakat membentuk partai politik.
Di DPR RI Manuel Sondakh menjadi anggota Fraksi Parkindo. Bersama dengan dia adalah Marthinus Caley dari Waingapu, Sumba, Dr. J. Leimena dari Maluku, Christifel. J. Mooy, dari Kupang, Huibert Senduk, dari Makassar, Willem L. Tambing dari Makassar dan Mr. A.M. Tambunan dari Sumatera Utara.
Tokoh yang Kontroversial
“Di zaman pelayanannya ini Beliau dianggap tokoh yang kontroversial, penuh pertentangan di kalangan jemaat dan masyarakat,” tulis W.A. Roeroe, pendeta, mantan Ketua Sinode GMIM dalam bukunya Kenangan Kepada Orang Benar Membawa Berkat, terbit tahun 2007.
Sepak terjangnya di masa itu adalah sesuatu yang masih sulit dipahami oleh kalangan luas. Sebagai seorang pendeta, ketua sinode, sebagai politisi atau sebagai anggota dewan. Meski sudah melakoni aktivitas rangkap ini sejak karirnya sebagai pendeta dan guru, namun tetap saja hingga di tahun 1950-an, bagi jemaat hal itu adalah sesuatu yang sulit diterima. Bukan cuma ketua partai, di masa sebagai ketua sinode, ia pula menduduki jabatan direktur P.T. Poigar (perusahaan perkebunan kelapa).
“Untuk itu beliau banyak digugat baik oleh anggota-anggota gereja kita sendiri maupun oleh orang luaran dalam masyarakat. Sampai-sampai sejauh berbentuk celaan,” ungkap Roeroe.
Ketika Manuel Sondakh memulai masa pelayanan sebagai pendeta, perubahan sedang terjadi di dalam gereja Protestan di Hindia Belanda. Perubahan itu terkait perpisahan antara gereja dan negara, utamanya masalah keuangan.
Ketika lembaga-lembaga zending dari Belanda mengutus para zendelingnya, utamanya sejak tahun 1831, pembiayaan sepenuhnya dibebankan kepada lembaga-lembaga misi itu. Tapi di kemudian hari, seiring makin bertambahnya jumlah jemaat, jumlah missionaris dan pekerja gereja, maka muncullah masalah keuangan.
Jemaat-jemaat yang dilayani oleh zendeling, akhirnya diserahkan kepada Indische Kerk (Gereja Protestan di Hindia Belanda) yang berpusat di Batavia di bawah pengaturan Kerkbestuur. Lalu sejak awal 20, maka mulai muncul dorongan untuk mendirikan gereja mandiri.
GMIM berdiri sendiri pada 30 September 1934. Dengan begitu maka semakin mantaplah upaya penyerahan segala urusan gereja, termasuk pembiayaan ke gereja-gereja mandiri itu. Di GMIM untuk membiayai gaji para pendeta dan urusan-urusan lain, maka pihak Belanda menghibahkan sejumlah dana tertentu.
“Sebagian besar dana inilah yang oleh BPS (Badan Pekerja Sinode, red.) ditanamkan sebagai modal dengan membeli sejumlah saham pada perkebunan kelapa P.T. Poigar,” jelas Roeroe.
Menurut ketentuan waktu itu, kata Roeroe, karena Sinode pemegang saham terbesar, maka yang menjadi direktur PT. Poigar adalah Ketua BPS. Waktu itu, sebagai ketua BPS adalah Manuel Sondakh. Maka jadilah pada waktu bersamaan ia adalah Ketua Sinode, Ketua DPRD sekaligus Direktur Perusahaan.
Jabatan rangkap ini, menurut Roeroe, sedikit banyak mempengaruhi GMIM, terutama dalam hal pengaturan sistem organisasi. Pada tata gereja GMIM tahun 1950-1951, organisasi gereja ini diatur dalam pengelompokkan yang diistilahkah “Jemaat Lingkaran”. Jadinya, waktu itu GMIM memiliki 35 jemaat lingkaran. Dalam satu jemaat lingkaran ditempatkan seorang pendeta untuk melayani.
Menurut Roeroe, bersamaan waktu itu, di DPRD Minahasa yang ketuanya adalah Manuel Sondakh sedang pula didiskusikan pengorganisasian sistem pemerintah. Setiap kelompok masyarakat yang dirasa lebih dekat dengan sistem kemasyarakat Minahasa akan dipimpin oleh seorang ‘hukum kedua’ yang juga disebut Assisten Wedana. Sebelum berlaku di pemerintahan, hal yang serupa sudah diberlakukan oleh sang ketua sinode yang adalah juga ketua dewan di dalam GMIM.
“Rupanya bagi beliau lebih cepat terlaksana diskusi pengorganisasian itu di Sinode daripada pergulatan politis di DPR Minahasa,” kata Roeroe.
Bagi Roeroe, pilihan Manuel Sondakh, sebagai pendeta sekaligus politisi salah satunya karena situasi. Minahasa dan Indonesia pada umumnya, waktu itu baru memasuki alam kemerdekaan. Semuanya masih serba dalam pengaturan dan penyesuaian.
“Bersamaan dengan itu beliau diperhadapkan dengan masaalah nasionalisme, masaalah mencintai negara dan membangun bangsa sebagai seorang pendeta Ketua Sinode,” ungkap Roeroe.
Selain sebagai anggota DPRD Minahasa, Manuel Sondakh juga pernah menjadi anggota dewan Negara Indonesia Timur (NIT). Lalu ia terpilih dari Parkindo menjadi anggota DPR RI.
Sebelum menjadi ketua Sinode tahun 1951, Manuel Sondakh adalah wakil ketua sinode gereja terbesar di Tanah Minahasa ini. Di masa ia sebagai wakil ketua sinode pada tahun 1949 dan sekaligus sebagai anggota DPR, dalam kapasitas sebagai anggota dewan Manuel Sondakh menjadi salah anggota delegasi Indonesia menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda.
Selain kontroversi keterlibatannya dalam dunia politik, dialah pendeta, ketua sinode dan juga politisi yang pernah ditahan karena kepemilikan senjata tanpa izin. Surat kabar De Locomotief edisi 19 Februari 1954 dalam beritanya menyebutkan bahwa penahanan itu terjadi pada tanggal 28 Januari. Namun tidak berapa lama kemudian, ia dibebaskan.
Dalam menjawab gugatan orang-orang tentang keterlibatannya dalam dunia politik, Manuel Sondakh selalu berusaha menjawabnya dengan tenang dan arif. Seperti pada suatu kali ada seorang yang mempertanyakan peran gandanya itu, dengan tenang Manuel Sondakh menjawabnya dengan berkata, “Kalau ada politikus yang palung ulung dan agung, maka ialah Tuhan Allah sendiri untuk mengatur kesejahteraan dan kedamaian serta keselamatan dalam dunia ini.” Demikian rekaman Roeroe sikap Manuel Sondakh waktu itu.
Manuel Sondakh meninggal di Jakarta 18 November 1984 dan dimakamkan di kampung kelahirannya, Motoling.
Dialah pendeta yang dibesarkan oleh zamannya, zaman peralihan. Soal apakah yang telah ia lakukan itu benar atau bagaimana, berhasil atau tidak, sejarahlah yang akan menjawabnya.
“Sungguhpun sekali lagi apakah Beliau berhasil atau tidak, masih akan diselidiki lagi,” ujar Roeroe. (*)
Editor: Daniel Kaligis
Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun.
KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya
You may like
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan
-
Aroma Pelanggaran HAM Menyeruak Bersama Bau Busuk di Tanjung Merah
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Gelisah Jurnalis di Sekolah Menulis Mapatik
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa