Connect with us

OPINI

Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa

Published

on

Proses ritual manuk a'pak berupa pengucapaan doa kepada Dewata. Foto: Boby Harianto

8 Agustus 2024


Penulis: Boby Harianto (Pemuda Adat Sumarorong, Pemeluk Kepercayaan Alukta)


AGAMA atau religi adalah sebuah sistem yang mengatur kepercayaan serta peribadatan kepada Tuhan, serta tata cara kaidah yang berhubungan dengan adat istiadat, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan kehidupan. Di kabupaten Mamasa, kawasan Toraja Barat, ada salah satu agama leluhur yang masih banyak dianut masyarakat. Agama ini dikenal dengan Alukta atau Aluk Todolo. Penganut kepercayaan agama ini meyakini bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari tuntunan Dewata yang termanifestasikan ke dalam empat bagian, yakni Dewata Litak, Dewata Wai, Dewata to Metampa, dan leluhur yang disebut Lendu’ Membali Puang (Roh Para Leluhur). Karena itu, penganut kepercayaan Alukta dalam kehidupannya senantiasa melakukan peribadatan atau ritual untuk keempat perwujudan Tuhan dalam kepercayaan mereka. Upacara atau ritual ini dilakukan oleh individu maupun kelompok atau komunitas.

Salah satu ritual yang selalu dilakukan oleh penganut agama Alukta adalah ritual Manuk A’pak. Ritual ini dilakukan setiap enam bulan sekali, atau dua kali selama satu tahun. Biasanya dilakukan pada pertengahan tahun, yakni antara bulan Mei sampai Juni dan pada akhir tahun, yakni antara bulan November sampai bulan Desember. Waktu itu dipilih kerana terkait kepercayaan pemeluk agama Aluk bahwa di bulan-bulan tersebut terjadi pertarungan antara Dewa Kebaikan dan Kejahatan. Manuk a’pak dilakukan secara mitologi untuk mendukung Dewa Kebaikan agar dapat mengalahkan kejahatan. Pada bulan-bulan itu terjadi pergantian musim yang sarat dengan penyakit dan serangan hama terhadap tumbuhan serta hewan ternak. Menurut kepercayaan agama Aukta, apabila ritual ini tidak dilakukan, maka akan menimbulkan kamarammunan lako padang atau sakit penyakit yang menyebarluas. Termasuk pada ternak dan tanaman, terutama tanaman padi sebagai tanaman pokok.

Empat Jenis ayam yang digunakan sebagai persembahan utama yakni Malea (ayam merah kaki putih), Bolong (ayam hitam), Rame (ayam coklat kaki putih), dan Busa’ (ayam dengan warna putih secara keseluruhan) dalam ritual manuk Appa’(Foto : Sippaga Bassi, Roy Gjehan, Raden Jakfar)

Empat Jenis ayam yang digunakan sebagai persembahan utama yakni Malea (ayam merah kaki putih), Bolong (ayam hitam), Rame (ayam coklat kaki putih), dan Busa’ (ayam dengan warna putih secara keseluruhan) dalam ritual manuk Appa’
(Foto : Sippaga Bassi, Roy Gjehan, Raden Jakfar)

Manuk A’pak Dalam Keyakinan Alukta

Secara etimologi, dalam Bahasa Mamasa, manuk berarti ayam dan a’pak berarti empat, sehingga secara harfiah, manuk a’pak berarti empat ayam. Dalam pelaksanaannya, manuk a’pak adalah pengorbanan empat ekor ayam dengan karakteristik dan warna yang berbeda. Empat karakter ayam tersebut diatur berdasarkan warna dari keseluruhan ayam. Ayam jantan berwarna merah dengan kaki putih bersih disebut malea. Ayam betina dengan warna coklat dengan kaki putih disebut ramai atau rame. Ayam berwarna hitam, baik bulu maupun kakinya, disebut bolong. Ayam berwarna putih dari bulu hingga kakinya disebut busa’. Keempat ayam ini dipercaya mewakili empat perwujudan dewata, yakni ayam jantan merah mewakili Dewata Tometampa, ayam ramai mewakili Dewata Wai, ayam berwarna hitam mewakili Dewata Litak, dan ayam putih mewakili Tolendu’ Membali Puang.

Manuk a’pak biasanya dilakukan di pura atau di tempat-tempat yang sebelumnya telah sering digunakan untuk ritual. Dalam melaksanakan ritual ini, biasanya seluruh masyarakat sekitar akan datang. Masing-masing membawa ayam, biasanya satu ekor per satu keluarga. Ayam-ayam tersebut akan dimasak di tempat lain untuk dimakan bersama setelah proses pemala’ atau ritual peribadatan selesai dilakukan.

Proses memasak nasi di dalam bambu dengan cara dibakar menggunakan arang dari pembakaran kayu pakis (Foto : Boby Harianto)

Proses memasak nasi di dalam bambu dengan cara dibakar menggunakan arang dari pembakaran kayu pakis (Foto : Boby Harianto)

Peran Gender Dalam Tradisi Manuk A’pak

Proses ritual manuk a’pak bermulai pada sore hari, sebelum hari pemala’ dilakukan. Para lelaki akan pergi ke hutan untuk mencari beberapa elemen upacara, yakni kayu kering, daun bere-bere, dan bambu untuk dibawa ke lokasi tempat pelaksanaan ritual manuk a’pak. Kayu kering harus berupa tanaman pakis tua. Daun bere-bere adalah daun yang berbentuk bulat dan di bagian pinggirnya bergerigi. Daun yang diambil adalah daun yang tidak cacat dan yang berbentuk sempurna. Bambu muda yang akan diambil digunakan untuk memasak nasi dan keempat ayam yang akan digunakan dalam ritual manuk a’pak. Selain itu, para pria akan membuat rangka tenda sebagai tempat berteduh anak-anak dan para wanita ketika ritual dilakukan.

Sementara para kaum pria sedang mencari bahan-bahan di hutan, para perempuan secara bersama-sama akan menapis beras ketan hingga bersih, lalu merendam beras tersebut untuk digunakan pada keesokan harinya. Bahan-bahan lain yang mesti disiapkan dan boleh dilakukan, baik oleh perempuan maupun laki-laki adalah menyiapkan beberapa buah pinang, daun sirih, dan kapur yang terbuat dari kulit kerang. Namun, biasanya bahan-bahan itu sudah disiapkan jauh-jauh hari sebelum hari ritual manuk a’pak dilakukan, terutama kapur.

Pada hari pelaksanaan ritual, para laki-laki dan perempuan akan berangkat ke lokasi tempat manuk a’pak dengan membawa segala perlengkapan yang sebelumnya telah disiapkan, seperti alat memasak, tenda, tikar dan lain-lain. Kegiatan yang pertama dilakukan ketika tiba di tempat pelaksanaan adalah menyalakan api dan menyiapkan bambu tempat untuk menanak nasi oleh para pria, sementara para wanita akan mengisi beras ketan ke dalam bambu yang telah disiapkan sebelumnya.

Proses mengeluarkan nasi dari bambu kemudian diletakkan di piring atau daun(Foto: Boby Harianto)

Proses mengeluarkan nasi dari bambu kemudian diletakkan di piring atau daun
(Foto: Boby Harianto)

Puncak Ritus Manuk A’pak

Sementara proses tersebut berjalan, ayam yang dibawa akan dicuci bersih dari kepala hingga kaki, sembari ditaburi dengan beras oleh pemimpin ritual atau tomammang. Sebelum ayam-ayam itu disembelih, tomammang akan memanjatkan doa untuk dibawa oleh roh ayam menuju alam puya atau alam roh.

Setelah itu, tomammang akan mengambil beberapa bagian dari keempat ayam tersebut, lalu diletakkan di bawah daun bere-bere dan daun sirih, bersama sebuah pinang dan kapur sirih. Ada juga beberapa bagian dari ayam itu yang dibakar dan dimasak menggunakan bambu muda. Setelah semua telah siap dan nasi telah dikeluarkan dari bambu, tomammang yang dibantu orang lain akan memilah bagian-bagian ayam yang akan ditambahkan ke dalam daun bersama beberapa bagian daging mentah tadi. Puncak ritual akan ditandai dengan tomammang melantunkan doa dalam bahasa sastra daerah kepada dewata. Doa-doa ini pada dasarnya meminta agar segala sakit-penyakit dijauhkan. Baik bagi manusia maupun hewan ternak, kemudian memohon kesuburan bagi lahan masyarakat dan menjauhkan bencana alam.

Setelah doa selesai dipanjatkan, tomammang membuat empat bungkusan dari daun yang berisi sirih dan beberapa bagian tubuh ayam, dan diselipkan di dekat lalikan batu (tungku untuk memasak). Bungkusan lain ditempatkan di sumur tempat mengambil air. Ada juga bungkusan yang diletakkan di dalam belanga dan diletakkan di tempat masuk di lokasi yang dijadikan tempat melaksanakan ritual. Hal itu bermakna agar dewa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat penganutnya dan menjauhkan bencana serta menyuburkan tanah untuk tanaman mereka.

Kegiatan saat ayam selesai di sembelih kemudian dibakar untuk membersihkan bulunya. (Foto : Boby Harianto)

Kegiatan saat ayam selesai di sembelih kemudian dibakar untuk membersihkan bulunya. (Foto : Boby Harianto)

Manuk A’pak Bukan Hanya Kepercayaan tapi Sebuah Tradisi Memupuk Kebersamaan

Dahulu kala, ritual seperti ini sangat banyak dilakukan oleh komunitas-komunitas pemeluk Alukta, terutama di beberapa kecamatan di kabupaten Mamasa. Yakni, Sumarorong, Messawa, Nosu, dan Pana’. Di bulan-bulan pelaksanaan ritual manuk a’pak, akan sering dijumpai di beberapa pinggir jalan bekas-bekas pelaksanaan ritual ini. Seiring semakin banyaknya pengaruh agama samawi yang masuk ke daerah-daerah tersebut, membuat pemeluk agama aluk semakin berkurang. Meskipun demikian, pemeluk agama samawi yang kini jauh lebih banyak, akan tetap ikut ketika para orang tua pemeluk agama Aluk melaksanakan ritual tersebut, sebagai bentuk kebersamaan dan menjaga tradisi.

Terlepas dari kepercayaan yang dianut oleh pemeluk agama Aluk, ritual manuk a’pak dilakukan bukan hanya dilaksanakan dalam rangka melakukan penyembahan kepada dewata, tapi juga sebagai bentuk kecintaan manusia kepada alam tempat mereka tanggal. Inilah alasan kenapa para pemeluk Aluk sangat menghargai alam dalam kehidupan mereka sehari-hari. Bentuk penghargaan terhadap alam tersebut, tergambar dengan beberapa praktek sehari-hari, seperti tidak membuang sampah di sembarang tempat, tidak mengucapkan kata-kata kotor ketika sedang berada di alam (hutan). Bahkan ketika akan melakukan penebangan kayu untuk membuat rumah, mereka akan terlebih dahulu meminta izin dengan memanjatkan doaa sebelum menebang kayu di hutan. Begitupun ketika akan membuka lahan, membuat irigasi atau membuat saluran air minum.

Selain itu, ritual-ritual yang dilakukan oleh pemeluk agama Aluk juga secara tidak langsung memupuk tali silaturahmi dan budaya gotong royong antar masyarakat, yang belakangan ini mulai tidak nampak lagi di beberapa komunitas masyarakat, khususnya di kabupaten Mamasa. Misalnya, orang-orang harus berkumpul di tenda yang sama saat menunggu pelaksanaan ritual di hutan. Hal ini secara tidak langsung akan menimbulkan keakraban antar satu dengan yang lain. Selain itu, dalam melakukan persiapan pelaksanaan ritual, orang-orang secara spontan akan diajak untuk saling bergotong royong dalam menyiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk melaksanakan ritual. Aspek pengorbanan materi juga terjadi, seperti masing-masing akan membawa ayam ke tempat ritual yang akan digunakan untuk makan bersama, ketika proses ritual telah selesai dilakukan.

Beberapa bagian dari empat ayam yang dibakar, yang digunakan dalam ritual manuk appa. (Foto : Boby Harianto)

Beberapa bagian dari empat ayam yang dibakar, yang digunakan dalam ritual manuk appa. (Foto : Boby Harianto)

Manuk A’pak: Manifestasi Hubungan Manusia Dengan Tuhan dan Alam

Pada dasarnya pelaksanaan ritual manuk a’pak adalah manifestasi dari kesadaran manusia bahwa Tuhan adalah pengatur segalanya. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk ciptaannya wajib untuk selalu merawat silaturahmi antar manusia dengan penciptanya. Selain itu, manuk a’pak juga adalah perwujudan akan pentingnya alam dimana mereka tinggal. Kesadaran bahwa alam atau bumi dapat menumbuhkan tanaman bagi kehidupan manusia dan menumbuhkan segala rumput segar bagi ternak, maka manusia sebagai mahluk yang tinggal di atasnya wajib untuk menjaga bumi dan tanah, agar bumi dapat menghidupi seluruh mahluk hidup yang tinggal di atasnya.

Menurut kepercayaan para penganut agama Aluk, jika manuk a’pak tidak dilaksanakan dalam setiap enam bulan atau dua kali di satu tahun yang sama, maka dipercaya alam akan mendatangkan nestapa bagi kehidupan manusia dan membuat alam berjalan secara tidak seimbang. Hal ini ditandai dengan akan ada banyak jenis penyakit yang menyerang manusia dan hewan ternak, panen akan gagal karena hama dan penyakit, dan dipercaya akan terjadi banyak bencana alam yang akan merusak ladang serta persawahan.

Olehnya karena itu, adalah sebuah keharusan bagi pemeluk agama Aluk untuk melaksanakan ritual manuk a’pak dua kali dalam setahun. Pelaksanaan ritual manuk a’pak sendiri seperti dalam tradisi agama Hindu Bali, mirip dengan pelaksanaan ritual Galungan. Baik dalam pelaksanaanya, maupun kepercayaan akan makna dari ritual yang dilakukan. (*)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *