Connect with us

BERITA

Kasus Pelarangan Beribadah Marak, PBM 2006 Perlu Ditinjau

Published

on

17 Januari 2019


Oleh: Febriani Sumual


 

kelung.com – Berbagai kasus penghadangan bagi warga negara beragama tertentu untuk beribadah di Indonesia berkutat pada alasan klasik soal izin sebagaimana termaktub dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 (PBM 2006). Padahal, PBM tersebut bertujuan untuk keteraturan dan kerukunan umat beragama, bukan justru mempersulit.

Demikian salah satu poin pernyataan sikap Majelis Pekerja Harian-Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia Wilayah (MPH-PGIW) Sumatera Utara tertanggal 15 Januari menanggapi kasus pelarangan sepihak yang dilakukan oleh sekelompok warga terhadap jemaat Gereja Bethel Indonesia (GBI) Philadelpia yang beribadah di tempat ibadah yang terletak di Kelurahan Besar Kecamatan Medan Labuhan Sumatera Utara, Minggu (13/1) lalu.

“Dengan demikian kami mengharapkan semua lapisan untuk memahami PBM No. 9/8 tahun 2006 secara utuh dan tidak sepenggal-penggal,” tegas Ketua Umum MPH-PGIW Sumatera Utara, Bishop Darwis Manurung dan Sekretaris Umum Pdt Hotman Hutasoit dalam surat pernyataan sikap mereka.

MPH-PGIW Sumatera Utara mendesak pihak kepolisian untuk mengusut tuntas pelaku penghadangan tersebut. “ Untuk itu kami mendesak agar pihak kepolisian mengusut tuntas dalang dibalik penghadangan tersebut demi tegaknya keadilan di negeri ini, serta mengamankan dugaan tindakan dan cara kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok masa saat ibadah berlangsung,” tegas mereka seperti dikutip dari Pgi.or.id

Pada hari Minggu, 13 Januari lalu sekelompok orang melakukan pelarangan sepihak terhadap jemaat GBI yang sedang beribadah. Menurut keterangan Kabid Humas Polda Sumut Kombes Tatan Dirsan, aksi itu dilakukan kurang lebih oleh 50 orang.

“Yang dijadikan tempat ibadah oleh pendeta Jan Fransman Saragih STH adalah rumah tinggal yang bersangkutan dan terletak di lingkungan perumahan, sehingga menimbulkan keresahan di masyarakat sekitar lingkungan,” kata Kombes Tatan kepada wartawan, Senin (14/1/2019), seperti dikutip dari detik.com.

Tatan mengatakan, pada 6 Desember 2018 telah diadakan di kantor kecamatan Medan Labuhan yang dihadiri Fokopimcam Medan Labuhan, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Kementerian Agama Kota Medan. Hasil rapat tersebut adalah surat pernyataan yang berisi penghentian kegiatan ibadah tersebut mulai 1 Januari 2019 sampai adanya izin resmi sesuai Peraturan Bersama Menag dan Mendagri no 9 dan 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah. Namun, kata Tatan, pernyataan tersebut ditandatangani oleh Pendeta Jan Fransman Saragih.

Namun, keterangan Tatan tersebut berbeda dengan kronologi peristiwa yang dibuat oleh Medkominfo PP GMKI seperti yang ditayangkan di situs Persatuan Gereja se-Indonesia (PGI) pada 16 Januari 2019. Disebutkan, bahwa jemaat GBI Philadelphia beribadah di bangunan gereja yang dibangun di tanah Pdt. Jan Fransman Saragih.

Dalam catatan kronologi tersebut juga dijelaskan, ibadah GBI Philadelpia pertama kali dilaksanakan pada 11 November 2018 yang langsung mendapatkan penolakan dari beberapa masyarakat di Blok 8. Kamis, 15 Novemver 2018 , warga melakukan konvoi mengelilingi gereja pada saat ibadah malam dan menggeber suara sepeda motor.

Pada Minggu, 25 November 2018, warga masuk ke dalam gereja, membuat video ibadah jemaat. Jemaat yang sedang khusuk beribadah tidak melakukan perlawanan hingga warga membubarkan diri. Selang beberapa hari, warga yang berkeberatan dengan gereja membuat pengaduan kepada Camat Medan Labuhan.

Minggu, 6 Januari 2019, keluarga Hj.Nurhalidah datang ke depan gereja, mendokumentasikan gereja sebelum ibadah dan mengatakan agama Kristen tidak sesuai dengan ajaran Islam. Mereka meneriakkan agar gereja segera ditutup.

Senin, 7 Januari 2019, adanya tembusan surat dari Camat Medan Labuhan perihal instruksi penutupan gereja GBI Philadelpia, namun pada saat terjadinya protes warga (Minggu, 13 Januari 2019) surat tersebut hilang diambil oleh oknum kepolisian Medan Labuhan.

Minggu 13 Januari 2019, Pada pukul 06.00 WIB dan diulang kembali pada pukul 09.00 WIB, ada pengumuman dari pengeras suara masjid Al-faisal mengajak umat muslim di blok 8 untuk melakukan perang amal mahruf nahi munkar terhadap gereja GBI Philadelpia.

Selanjutnya pukul 09.30, terjadi aksi protes warga blok 8 Griya Martubung I terhadap peribadahan di GBI Philadelpia, tepat 30 menit sebelum ibadah minggu dimulai. Seratusan lebih massa mendatangi gereja setelah diarahkan oleh pihak tertentu. Massa yang hadir tidak keseluruhan warga blok 8, namun ada yang dari luar lingkungan gereja tersebut.

 

Pemerintah Perlu Meninjau Kembali PBM 2006

Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI)  dalam pernyataan sikapnya, mendesak Presiden untuk mengevaluasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006 dan No. 8 Tahun 2006. Menurut GMKI, peraturan tersebut adalah akar persoalan sulitnya melaksanakan kebebasan beribadah dan beragama menurut UUD 1945.

PP GMKI juga meminta Mendagri mengevaluasi, menertibkan, dan menindak tegas Gubernur, Bupati/walikota, camat, Lurah, RT/RW, yang bersikap intoleran dan menghalangi kebebasan umat beribadah dan mendirikan rumah ibadah.

Selain itu, mendesak Kapolri agar menindak tegas dan memecat jajaran dibawahnya, yang gagal mengantisipasi dan melindungi keamanan kebebasan umat beragam dari ancaman dan tindakan-tindakan persekusi kelompok intoleran. PP GMKI merasa pirihatin dengan sikap masyarakat setempat yang tidak Pancasilais.

“Untuk itu kami menghimbau agar masyarakat setempat maupun masyarakat umum agar dapat menerapkan nilai-nilai Pancasila dan kehidupan yang toleran dalam kehidupan sehari-hari agar tidak terjadi perpecahan diantara anak bangsa,” tegas Ketum dan Sekum GMKI,  Korneles Galanjinjinay-David V H Sitorus dalam pernyataan sikap mereka.

Dalam riset yang dilakukan The Indonesian Institute (TII), sebuah lembaga penelitian kebijakan publik independen tahun 2015 terhadap penerapan PBM 2006 antara lain menemukan, tiga faktor penyebab permasalahan pendirian rumah ibadah. Pertama, masih adanya pengaruh tokoh masyarakat di tingkat lokal yang masih sangat kuat untuk menolak pendirian rumah ibadah. Kedua, minimnya sosialisasi PBM 2006 yang menyebabkan ketidaksamaan pandangan implementasi PBM 2006 ini. Ketiga, permasalahan persyaratan pendirian rumah ibadah.

Menurut TII salah satu faktor yang menghambat pelaksanaan aturan ini adalah lemahnya penegakan hukum. Lemahnya faktor penegakan hukum dikarenakan PBM 2006 tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat dan mengikat serta tidak adanya sikap yang tegas dari kepala daerah untuk menegakkan hukum. Disebutkan juga, pemerintah daerah tunduk ketika berhadapan dengan tekanan massa, sehingga hukum dikendalikan oleh tekanan massa.

Dengan demikian TTI mendesak pemerintah untuk menegakkan hukum sesuai dengan prinsip keadilan, kebhinekaan dan kesetaraan. “Penegakkan hukum ditujukan kepada siapapun yang melakukan pelanggaran apapun agama dan keyakinannya. Ketegasan terhadap kelompok intoleran yang melakukan tindak kekerasan atas nama agama,” demikian rekomendasi TII.(*)

 


Editor: Andre Barahamin

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *