CULTURAL
Mari Makan dan Minum Bersama Para Dewa
Published
6 years agoon
By
philipsmarx12 Maret 2019
Oleh: Denni Pinontoan
Di era leluhur, ritual seperti melakukan jamuan makan dan minum bersama para dewa demi terjaganya jiwa yang utuh
PADA SUATU masa di mana kehidupan terbentuk oleh relasi-relasi harmoni di antara semua yang hidup dan yang mendukung kehidupan.
Semua memiliki jiwa, sebagai sari dari kehidupan. Zaman ketika orang-orang masih dapat duduk makan dan minum bersama para dewa yang dimuliakan.
Binatang dan tumbuhan, manusia, gunung, sungai, laut, batu dan tanah menyatu membentuk sebuah sistem gerak hidup bersama manusia. Inilah era di mana manusia menjalin relasinya yang intim dengan hewan, tumbuhan dan segala yang ada bersamanya.
Orang Minahasa menyimpulkannya dengan ungkapan “Tou wo se waya manou-nou,” manusia, semua yang hidup, dan yang menunjang kehidupan.
Kayobaan, dunia ini adalah tempat hidup semua itu. Tanah adalah rahim kehidupan semesta. Semua terhubung oleh jiwa membentuk suatu tatanan sakral.
Albertus Christiaan Kruyt telah mendokumentasikan kehidupan keagamaan masyarakat di kepulauan Nusantara dalam Het Animisme in den Indischen Archipel, sebuah buku setebal 500-an halaman yang terbit pertama kali tahun 1906. Kruyt adalah seorang zendeling dan etnografer berkebangsaan Belanda. Ia lahir Jombang, Jawa Timur pada 10 Oktober 1869 dan di meninggal di Den Haag Belanda pada 19 Januari 1949.
Pada bukunya ini, Kruyt menguraikan contoh-contoh praktek hidup masyarakat di beberapa bangsa di kepulauan ini yang mengungkapkan kepercayaan terhadap jiwa.
Tubuh manusia adalah tempat berdiamnya jiwa. Ada satu hal menarik yang diungkapnya. Tentang air liur. Bahwa air liur adalah tempat sari jiwa.
“Bukan hanya pada beberapa bagian tubuh manusia yang mengandung materi jiwa, ada juga kekuatan hebat dalam sekresi tubuh itu: yaitu dalam air liur,” kata Kruyt.
Oleh karena itu, tulis Kruyt, ludah atau air liur sering digunakan pada beberapa ritual pengorbanan. Praktik ini berdasar pada pemahaman bahwa manusia adalah bagian dari substansi jiwa yang harus dijaga keutuhannya.
Dengan memberi ludah pada korban, maka mereka memahami bahwa apa yang dikurbankan itu adalah bagian dari dirinya. Di Dayak, korban binatang diberi ludah untuk memberi tanda ikatan. Di suku lain, Kenyah di Serawak, orang-orang yang pulang dari perjalanan berburu dianggap diikuti oleh roh-roh yang diburu. Maka setiap orang harus berjalan melangkahi api yang dibuat lalu meludah ke api itu secara bersama-sama.
Pada hal lain, meludah, kata Kruyt, memang berarti untuk menyatakan rasa jijik terhadap yang dianggap tidak bersih atau yang tidak disenangi.
Di Batak Toba, orang-orang yang hadir pada sebuah acara pemakaman biasanya akan melakukan tindakan meludah. Itu juga berlaku bagi keluarga yang berduka. Ini bermakna untuk menolak kematian menghampiri diri sendiri.
Di Minahasa bagian Tontemboan, kata Kruyt, hal demikian juga dilakukan. Pada sebuah acara kematian, orang-orang akan mengunyah sirih pinang lalu mengambil air liurnya. Air liur tersebut diremas bersama rambut kepala atau seutas benang dari pakaian, lalu ditinggalkan di tempat yang mereka lewati sebagai tanda bencana atau bahaya kematian yang menyertai mereka telah ditinggalkan di situ.
Di Makassar, ketika seorang anak sakit lalu ayahnya harus melakukan perjalanan jauh maka si ayah harus mengolesi anaknya dengan air liur sirih di dahi sebelum berangkat. Ini dimaksudkan agar jiwa anak yang sakit tidak akan mengikuti ayahnya. Air liur menjadi tanda kehadiran sang ayah bersama si anak yang sedang sakit.
Di suku Dayak Kalimantan, seseorang yang baru saja mendapatkan anjing, pertama-tama yang ia harus lakukan adalah meludahkan air liur ke mulut anjing itu. Cara lain, menyuruh anjing menjilat air liur si calon pemilik yang diludahkan ke tangan. Ini dimaksudkan agar anjing itu menjadi bagian darinya.
Demikian juga di Karo Batak. Seseorang yang baru membeli babi atau anjing, ketika pertama kali memberi makan hewan itu, ia harus meludahkan air liur ke makanan.
“Batak mengklaim, bahwa hewan itu akan terbiasa dan tidak melarikan diri,” kata Kruyt.
Kruyt juga menulis beberapa tradisi di suku-suku lain yang meyakini air liur adalah sari jiwa. Entah itu untuk menyatakan ikatan, hubungan yang erat, intim atau bahkan sesuatu yang dianggap menyatu membentuk sebuah kehidupan bersama. Dalam pemahaman yang lain, air liur dianggap sebagai pembeda, terutama untuk hal-hal yang dianggap tidak baik.
Ritual: Jamuan Makan dan Minum Bersama Para Dewa
“Makanan dan minuman bagi orang-orang di kepulauan Nusantara bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik, melainkan juga diyakini dengan makan dan minum seseorang akan menerima substansi jiwa dari lainnya,” tulis Kruyt.
Jiwa yang dimaksud Kruyt, juga menunjuk pada apa yang disebut di Minahasa, terutama Tontemboan dengan mu’kur. Jiwa orang setelah kehidupan di sini disebut nimu’kur. Di Tombulu, ia juga disebut renga-rengan yang berarti teman.
Hampir semua tindakan atau praktik kehidupan komunitas di masa itu mesti berdimensi religius. Maka, ritual sering sekali dilaksanakan. Pemberian hewan korban adalah penting untuk setiap ritual.
Di Minangkabau, seorang yang akan menyembelih hewan untuk dimasak dagingnya, pertama-tama akan melumuri pisau yang akan dipakai dengan air liur. Di suku Angkola, Tapanuli, senjata yang dipakai untuk berburu juga akan dilumasi dengan air liur. Demikian juga di suku Kaili, Sulawesi bagian tengah.
Di Makassar, sambil mengucapkan doa, ketika membersihkan beras, biasanya orang-orang akan mengusap beras dengan jari yang telah dilumuri air liur.
Di tempat lain, air liur adalah tanda agar luka atau penyakit tidak menjangkiti orang lain.
“Untuk memberitahukan, bahwa seseorang memiliki luka atau rasa sakit di pada suatu bagian tubuhnya, maka ujung jari terlebih dahulu dibasahi dengan air liur, sebelum menunjuk ke titik di tubuh,” tulis Kruyt.
Di Toraja, menurut Kruyt, orang-orang yang pulang dari perang akan menyembelih seekor anjing. Mereka percaya bahwa seperti seekor anjing yang berani, demikian pula juga jiwa mereka.
“Dengan memakannya, maka jiwa sendiri akan menjadi berani pula,” kata Kruyt.
Hal serupa juga ditemukan di Maluku. Jantung anjing dianggap dapat memberi keberanian dan ketangkasan. Di Seram, juga Aru, pesta yang diadakan setelah berburu menggunakan hati anjing.
“Demikian juga di Nias orang makan daging anjing untuk menjadi berani,” ungkap Kruyt.
Tentang jenis makanan dan minuman yang digemari atau ditolak, di masing-masing suku berbeda-beda. Namun pada intinya, keseluruhan makanan atau minuman diyakini mengandung jiwa. Jadi, makan dan minum adalah untuk menambahkan ke tubuh substansi jiwa dari semesta.
Misalkan di Suku Dayak orang-orang tidak memakan daging rusa karena kepercayaan mereka terhadap sesuatu dari rusa itu. Buol dan di beberapa tempat di Tomini, mengkonsumsi daging kerbau dapat menyebabkan penyakit. Di Galela, anak-anak dibiarkan makan kacang dan jagung karena dipercaya akan menyembuhkan luka penyakit.
Jadi, di masa lampau itu, pilihan makanan terkait dengan kepercayaan terhadap apa yang baik dan apa yang buruk. Selain mungkin soal nasib sial atau buruk, kebanyakan malah lebih pada pertimbangan kesehatan tubuh dengan mengacu pada kepercayaan terhadap adanya jiwa pada setiap hal itu.
Beberapa jenis binatang, seperti antara lain anjing yang diyakini dapat memberikan keberanian dan ketangkasan, selain untuk digunakan berburu, ia juga untuk dimakan pada sebuah ritual. Menurut Kruyt, semua itu tidak lepas dari keyakinan, bahwa antara manusia dan binatang tidak memiliki perbedaan yang mendasar. Ada kesatuan antara keduanya dalam hal substansi jiwa.
“Tidak ada perbedaan esensial antara representasi alam, demikian juga antara manusia dan hewan,” jelas Kruyt.
Demikianlah, kecerdasan para leluhur yang telah mewariskan tradisi praktik kuliner kepada kita hari ini. Pilihan makanan dan minuman ditentukan oleh pertimbangan religius, yang di dalamnya mengandung nilai-nilai moral dan etis. Semua itu terbentuk oleh adanya relasi yang intim dan harmoni antara manusia, hewan, tumbuhan dan semesta.
Kesederajatan antara semua unsur yang beraneka tapi terhubung oleh substansi jiwa itu menjadi dasar pada tradisi kuliner makan dan daging dan minum darah. Demikianlah, ia menjadi jamuan makan dan minum bersama para dewa. (*)
Editor: Daniel Kaligis