BERITA
Masa Prapaskah dalam Solidaritas untuk Keadilan
Published
6 years agoon
By
philipsmarx26 Maret 2019
Oleh: Denni Pinontoan
kelung.com – Umat Kristen se-Dunia yang kini berjumlah kurang lebih 2.5 miliar, dengan jumlah denominasi 45 ribu sementara merayakan masa Prapaskah memperingati masa-masa sengsara Yesus. Organisasi gereja-gereja internasional, baik Katolik, Protestan maupun Orthodox mengajak umat Kristen se-Dunia untuk merayakan masa Prapaskah dalam keprihatinan, kesederhanaan dan solidaritas terhadap sesama ciptaan.
Refleksi ini berangkat dari kenyataan masih dijumpainya beragam bentuk ketidakadilan di berbagai belahan dunia yang dialami oleh kelompok-kelompok yang rentan, rakyat miskin, perempuan dan anak. Diskriminasi dan kekerasan dalam beragam bentuk memakan banyak korban setiap tahunnya. Gereja-gereja ini juga merefleksikan makna Prapaskah hubungannya dengan ancaman kerusakan ekologi yang semakin massif terjadi.
Masa Prapaskah adalah perayaan minggu-minggu sengsara Yesus. Umumnya gereja-gereja merayakannya selama 40 hari yang dimulai Rabu Abu sampai hari Minggu Palma. Perayaan berakhir di Kamis Putih, sehari sebelum Jumat Agung, yaitu perayaan kematian Yesus Kristus.
Pemimpin tertinggi Katolik di Vatikan, Paus Fransiskus dalam pesannya menghimbau umat untuk menjalani masa prapaskah dengan merefleksikan kembali relasi manusia dengan Tuhan dan manusia, Tuhan dan sesama ciptaan lainnya. Ajakan Paus ini berangkat dari kenyataan bahwa relasi harmonis antara sesama ciptaan dan antara ciptaan dengan Allah terus menerus terancam oleh kuasa dosa dan kematian.
“Dosa menuntun manusia untuk menganggap dirinya sebagai dewa ciptaan, melihat dirinya sendiri sebagai penguasa mutlak dan menggunakannya, bukan untuk tujuan yang dikehendaki oleh Sang Pencipta, tetapi untuk kepentingannya sendiri, untuk merugikan makhluk lain,” kata Paus.
Dosa tersebut, urai Paus, selalu mengintai di hati manusia. Dalam tampilannya, dosa itu hadir dalam bentuk keserakahan dan pengejaran kenyamanan, kurangnya perhatian untuk kebaikan orang lain dan bahkan diri sendiri.
“Ini mengarah pada eksploitasi ciptaan, baik manusia maupun lingkungan, karena ketamakan yang tak terpuaskan yang memandang setiap keinginan sebagai hak dan cepat atau lambat menghancurkan semua yang ada dalam cengkeramannya,” tegas Paus.
Akar semua kejahatan, lanjut Paus, adalah dosa. Dosa telah merusak hubungan antara manusia dengan Allah dan dengan orang lain serta semua ciptaan. Rusaknya hubungan ini membuat lingkungan tempat tinggal menjadi hutan belantara.
Paus mengatakan lagi, masa-masa suci prapaskah yang sebagai jalan menuju Paskah menuntut umat untuk memperharui hatinya dengan cara pertobatan dan pengampunan, agar dapat hidup sepenuhnya dalam rahmat berlimpah dari misteri paskah.
“Prapaskah adalah tanda sakramental dari pertobatan ini. Ini mengundang orang-orang Kristen untuk mewujudkan misteri paskah secara lebih mendalam dan konkret dalam kehidupan pribadi, keluarga dan sosial mereka, di atas segalanya dengan berpuasa, berdoa dan memberi sedekah,” ungkap Paus.
Berpuasa berarti belajar mengubah sikap terhadap orang lain dan semua ciptaan, berpaling dari godaan untuk “melahap” segalanya demi kepuasan. Kerelaan untuk menderita karena kasih dapat mengisi kekosongan hati. Sementara sedekah, menurut Paus adalah cara untuk menghindar dari kegilaan menimbun segalanya untuk diri sendiri.
“Jangan biarkan musim rahmat ini berlalu dengan sia-sia! Marilah kita meminta Tuhan untuk membantu kita memulai jalan pertobatan sejati. Mari kita tinggalkan keegoisan kita dan mementingkan diri sendiri, dan beralih ke Paskah Yesus,” kata Paus.
Paus juga mengajak umat untuk memaknai sengsara Yesus dalam solidaritas terhadap sesama yang membutuhkan bantuan atau yang lemah.
“Marilah kita berdiri di samping saudara dan saudari kita yang membutuhkan, membagikan barang rohani dan materi kita dengan mereka. Dengan cara ini, dengan secara konkret menyambut kemenangan Kristus atas dosa dan kematian ke dalam hidup kita, kita juga akan memancarkan kekuatannya yang mentransformasi ke semua ciptaan,” harap Paus.
Global Catholic Climate Movement (GCCM), organisasi di dalam gereja Katolik yang bekerja untuk ekologi mengajak umat Kristen untuk melakukan puasa tidak makan daging pada hari Jumat selama minggu-minggu prapaskah tahun 2019 ini. Disebutkan, berpuasa dari daging pada hari Jumat adalah bagian dari tradisi gereja Katolik. Puasa daging adalah cara untuk menghayati hidup dalam kesederhanaan dan kerendahan hati seperti yang telah diteladankan oleh Yesus.
Padahal lain, menurut GCCM, puasa daging setiap Jumat selama minggu-minggu prapaskah adalah cara untuk memelihara keberlanjutan alam ciptaan. Konsumsi daging sapi misalnya di baliknya adalah kerusakan hutan di Amazon, Brasil dan di seluruh Amerika Latin.
Mengutip riset dari Yale University dan para ahli lainnya, GCCM menyebutkan, peternakan menyumbang sekitar 80% penggundulan hutan di Brasil. Konsumsi daging dari peternakan juga secara tidak langsung berdampak pada peningkatan emisi gas rumah kaca atau perubahan iklim.
“Peternakan sapi bertanggung jawab atas sekitar 80% dari semua deforestasi. Tanah ini kebanyakan diambil secara ilegal dari penduduk asli,” demikian GCCM.
Dengan demikian, menurut GCCM, mengkonsumsi makanan yang tidak berasal produsen yang merusak alam adalah cara untuk menghormati tradisi Prapaskah. Ini pula adalah untuk menyatakan solidaritas terhadap sesama manusia dan ciptaan lainnya di seluruh dunia.
Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD), organisasi ekumenis internasional yang beranggotakan 350 gereja-gereja Protestan beragam tradisi se-dunia, memulai minggu-minggu prapaskah dengan kampanye “Seven Weeks for Water” atau “Tujuh Minggu untuk Air”. Kampanye ini telah dimulai pada Selasa, Maret lalu di Chiang Mai, Thailand. Kegiatan ini diadakan dalam kerjasama dengan Konferensi Kristen Asia dalam rangkaian kegiatan Ziarah Keadilan dan Perdamaian DGD.
Kampanye ini telah dimulai sejak 2008 melalui Jaringan Air Oikoumenis-DGD. Air memiliki makna spiritual yang kuat dalam tradisi Kristen sebagai anugerah Allah. Pada 2019, Ziarah Keadilan dan Perdamaian-DGD memfokuskan refleksinya di wilayah Asia. DGD mendorong gereja-gereja untuk menghayati minggu-minggu prapaskah dalam refleksi dan aksi untuk keadilan air.
“Bukan kehendak Tuhan bahwa bumi dihancurkan. Kita semua makhluk, kita yang seharusnya menjadi penatalayan ciptaan, secara tidak adil merusak diri sendiri, ” demikian khotbah Pdt. Arnold C. Temple, Presiden Konferensi Gereja-Gereja Seluruh Afrika, pada acara pembukaan yang dibacakan oleh Wakil Sekretaris Jenderal DGD, Prof Dr Isabel Apawo Phiri.
Temple melalui Phiri mengajak gereja-gereja untuk menyusun strategi dan mengambil tindakan dalam upaya untuk menyatakan solidaritas bagi sesama yang rentan. Minggu-minggu prapaskah hendaknya dijadikan momen untuk merenungkan keadilan air bagi mereka yang rentan.
Gereja Orthodoks Yunani di Amerika dalam seruannya yang dirilis 11 Maret 2019 lalu mengajak umatnya untuk merayakan masa suci prapaskah dengan doa, puasa, dan pelayanan. Uskup Agung Demitrios mengatakan, doa dan puasa adalah cara untuk menempatkan kekudusan dan kehendak Allah di atas segalanya.
Menurut dia, melalui kepatuhan kepada kehendak Allah, maka umat akan dibimbing untuk pelayanan kepada sesama yang membutuhkan.
Gereja Anglikan Inggris pada masa prapaskah tahun ini mengajak umatnya untuk terlibat dalam kampanye Perjalanan Ziarah Masa Prapaskah. Kampanye ini dimaksudkan untuk mengundang umat merefleksikan kembali relasi dirinya sebagai manusia dengan Tuhan, dan antar sesama manusia.
Archbishop Justin Welby dan John Sentam dalam pengantar mereka mengenai maksud kampanye ini menjelaskan tentang makna khotbah Yesus di atas Bukti sebagai bahan perenungan sepanjang masa suci prapaspkah. Mereka memberi penekanan pada kata ‘Diberkatilah’ yang muncul delapan kali di teks khotbah Yesus tersebut.
“Kata-kata ini telah membentuk sejarah dan mengubah kehidupan banyak orang secara luar-dalam,” kata mereka.
Dikatakan, bahwa perkataan tersebut adalah potret Yesus. Khotbah Yesus tersebut, menurut Welby dan Sentam adalah jawaban atas pertanyaan manusia di zaman ini: apa artinya menjadi manusia? (*)
Editor: Gratia Karundeng