FEATURE
Masa Tenang Yang Menegangkan
Published
6 years agoon
By
philipsmarx8 April 2019
Oleh: Denni Pinontoan
Masyarakat pemilih masih permisif dengan politik uang, masa tenang justru jadi masa menegangkan
SEPULANG DARI warung membeli rokok, seseorang yang saya kenal karena tinggal di satu kompleks, menyapa saya dengan ramah. Saya pun berhenti.
“Selamat malam,” ujarnya.
“Eh, malam bae,” balasku.
“So ada calon di DPRD kota?” Tanya dia.
Aku terkejut. Dia sehari-hari aku kenal tukang ojek. Pendiam. Tapi kali ini mau bacirita.
“Ya, belum ada no,” jawabku.
Dia diam sejenak. Aku juga menunggu apa yang mau dia katakan lagi.
“Bagini kwa, ada torang pe calon. Depe nama …….Itu depe baliho….” Dia menunjuk sebuah baliho bergambar calon anggota legislatif (caleg) yang dia maksud.
“Oh, dia dang….”
Lalu, panjang lebar dia menjelaskan kelebihan dan hanya kelebihan. Tentu bagi seorang tim sukses, calon yang sedang disukseskan itu tidak ada yang kurang.
“Kalo kwa tertarik, nanti kita mo catat,” katanya.
“Oh iyo katu kang, voor ngoni tim sukses, penting ja tulis tu nama pendukung yang ngoni da rekrut,” kataku polos.
“Kalo kwa iyo, kalo smo dekat-dekat tanggal 17, nanti kita bawa di rumah,” ujarnya.
Saya langsung jadi tahu apa maksudnya. Waktu yang dia bilang itu, sudah dapat dipastikan pada masa-masa tenang. Itulah yang populer disebut ‘serangan fajar’, meskipun itu bukan lagi sesuatu yang datang tiba-tiba karena sudah memberitahukan terlebih dahulu.
Dia adalah salah satu dari mungkin tiga orang lain yang melakukan hal serupa selama musim kampanye ini, mempromosikan seorang caleg kepada saya. Dan memang cara-cara itu sedang gencar dilakukan sekarang. Hari-hari jelang tanggal 17 April.
Masyarakat Pemilih Masih Permisif
“Yang kita antisipasi yaitu pada saat minggu-minggu tenang,” ujar Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (4/4/2019) seperti dirilis detik.com.
Dengan begitu, Polri akan mengoptimalkan patroli terpadu yang bekerja sama dengan TNI, Bawaslu, pemerintah daerah, dan tim sukses dari masing-masing pasangan capres-cawapres.
Sesuai jadwal yang ditetapkan oleh KPU, masa kampanye akan berakhir pada tanggal 13 April. Masa tenang, tanggal 14 sampai 16 April. Tanggal 17 adalah hari pemungutan suara.
Politik uang diprediksi masih signifikan dalam Pemilu 2019 ini. “Serangan fajar” justru akan makin marak terjadi pada saat-saat masa tenang.
Survei Charta Politika Indonesia periode 19 sampai 25 Maret 2019 menemukan, waktu pemberian uang atau hadiah, berdasarkan jumlah responden yang menjawab, tertinggi adalah sehari sebelum pencoblosan (sebanyak 13 %). Malam hari sebelumnya pencoblosan sebanyak 8,4 %. Yang lainnya, dua hari sebelum pencoblosan, pagi di hari pencoblosan, dan lebih dari seminggu sebelum pencoblosan. Atau antara 6 sampai 3 hari sebelum pencoblosan.
Survei tersebut berdasarkan hasil wawancara tatap muka secara langsung dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Jumlah sampel sebanyak 2000 responden,yang tersebar di 34 Provinsi.
Politik uang terjadi karena rupanya masyarakat pemilih Indonesia kebanyakan masih permisif terhadap praktek tersebut. Survei ini juga menemukan, bahwa 45,6 % responden memaklumi politik uang dalam Pemilu. Sebanyak 40,8% responden mengatakan, menerima uang atau hadiah yang diberikan, tapi belum tentu memilih calon tersebut. Sebanyak 31,2 % menyatakan sikap menolak dan tidak menerima pemberian tersebut. Sebanyak 8.0 % menyatakan akan memilih calon yang memberikan yang atau hadiah tersebut.
Sementara besaran nominal uang yang dapat mempengaruhi pilihan, sebanyak 26,8 % mengatakan, lebih dari Rp. 200.000. Sebanyak 19 % mematok kisaran Rp. 50.000. Jumlah nominal kisaran Rp. 110.000 sampai 200.000 sebanyak 16,5 %. Dan sebanyak 15,7 % memasang harga Rp. 55.000 sampai Rp. 100.000.
Tentang siapa pemberi uang tersebut, dari tim sukses sebanyak 45.2 %. Yang lainnya melalui Kepala Desa/Lurah, pengurus partai, dan Ketua RT/RW/Dusun/Lingkungan.
Data hasil survei tentang waktu ‘serangan fajar’ tersebut memperkuat fenomena yang sering terjadi dalam setiap Pemilu atau Pilkada, bahwa praktek politik uang, justru marak terjadi di masa tenang.
Survey ini mempertegas prediksi Bawaslu, bahwa potensi politik uang tertinggi adalah saat masa tenang yakni 14-16 April 2019.
Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Mochammad Afiffudin mengatakan, indeks kerawan politik uang masih sangat tinggi jelang 13 hari masa pencoblosan.
“Dalam setiap kerawanan indeks kita, politik uang menjadi kerawanan tertinggi selain situasi di hari H,” kata Afiffudin seperti dilansir liputan6.com, Kamis, 4 April lalu.
Karenanya, Bawaslu akan melakukan patroli pengawasan pada saat masa tenang. Patroli dilakukan untuk mencegah tidak terjadinya praktek politik uang.
“Dari sisi pencegahan, karena juga menjadi kewenangan kami, kami akan melakukan patroli pengawasan di masa tenang yang salah satu fokus mencegah terjadi politik uang, memunculkan psikologi publik agar tidak mau menerima dan memberi atas dasar menyuruh orang memilih karena dampaknya pidana dan kualitas proses pemilu kita,” ungkapnya.
“Nanti akan ada secara serentak kami meminta jajaran melakukan patroli pengawasan salah satu fokus menolak dan melawan politik uang yang biasanya dipetakan mempunyai titik rawan tinggi disaat masa tenang,” sambung Afiffudin.
Burhanuddin Muhtadi, dosen pada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada artikelnya berjudul “Riset tunjukkan sepertiga pemilih Indonesia terima suap saat pemilu” yang dipublikasikan di theconversation.com 20 Juli 2018, merujuk dari penelitian doktoralnya mengungkapkan, satu di antara tiga orang pemilih terpapar oleh praktik politik uang pada pemilu 2014. Hal ini menempatkan Indonesia ke dalam peringkat ketiga negara di dunia yang paling banyak melakukan politik uang ketika pemilu.
Burhanuddin mengolah data dari berbagai macam survei yang dilakukan antara tahun 2006 dan 2016 dengan jumlah responden lebih dari 800.000 orang di seluruh Indonesia.
“Praktik jual beli suara sudah ada sejak pemilu pertama Indonesia pada 1955. Salah satu partai tertua Indonesia, Partai Nasional Indonesia (PNI), yang didirikan oleh Presiden Soekarno, membagikan uang kepada tokoh-tokoh pada tingkat lokal agar bisa memenangkan pemilu,” tulis Burhanuddin.
Dengan menggunakan data survei yang dikumpulkan setelah pemilu 2014, Burhanuddin menemukan bahwa setidaknya 33% dari pemilih pernah ditawari suap. Hal ini berarti bahwa dari 187 juta total jumlah pemilih, hampir 62 juta orang menjadi target praktik jual beli suara.
“Angka ini menempatkan Indonesia di nomor ketiga negara-negara di dunia yang melakukan praktik jual beli suara, setelah Uganda dan Benin,” tulisnya.
Praktek yang Merusak Demokrasi
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) seperti dilansir BBC.com, Minggu, 7 April mencatat, potensi kecurangan pemilu bisa dikontribusikan oleh perilaku kompetisi yang pragmatis, di tengah suasana kompetisi yang sangat kompetitif, apalagi dalam pileg.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, tulis bbc.com, mengatakan, makin banyaknya partai dalam pemilu kali ini membuat kompetisi pileg “makin sengit”, belum lagi calon legislatif harus berkompetisi di internal dan eksternal sehingga membuat mereka menempuh “perilaku yang penting menang, apapun caranya, karena memang kompetisinya sangat sengit.”
“Maka di kampanye rapat umum yang akan berlangsung mulai 24 maret sampai 13 April. Pada masa tenang, yang akan berlangsung pada 14 april sampai 16 April, pada hari pemungutan suara, itu politik uang yang menyasar pemilih harus kita antisipasi,” ujar Titi kepada BBC Indonesia.
Almas Sjafrina, peneliti dari divisi korupsi politik Indonesian Corruption Watch (ICW) menambahkan, syarat ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 4% membuat para calon legislatif lebih sulit memperoleh kursi di parlemen. Implikasinya, praktik politik uang yang ia sebut sebagai ‘praktik jual beli suara’ kian rawan.
Masa tenang, lagi-lagi menjadi masa menegangkan, waktu yang paling disukai oleh tim sukses atau calon untuk lakukan ‘serangan fajar’. “Salah satu titik yang paling rawan adalah ketika hari tenang, justru mereka bergerilya karena tiga hari terakhir itu lah kesempatan terakhir mereka untuk meyakinkan target pemilih. Entah itu secara langsung maupun tidak langsung,” ujar Almas.
Peneliti Perludem, Fadli Ramahanil, tulis BBC.com, memandang politik uang menjadi salah unsur pelanggaran yang akan banyak terjadi di pemilu 2019, khususnya untuk konteks pemilu legislatif, terutama di pileg kabupaten kota.
“Semakin mendekati hari pemungutan suara, potensinya akan semakin besar terjadinya politik suara itu karena orang menganggap bahwa persepsi publik soal politik uang itu masih terbelah,” tuturnya dalam sebuah diskusi yang digelar di Jakarta, Rabu (27/03).
“Ada sebagian yang sudah sadar bahwa ini penyakit demokrasi, ada juga masyarakat yang masih menolerir politik uang,” imbuh Fadli.
Fadli mengatakan, selain merusak demokrasi, politik uang juga merugikan pemilih, dalam jangka pendek atau panjang.
“Pemilih akan selesai transaksinya dengan caleg ketika uang diberikan, padahal transaksi antara pemilih dan yang dipilih itu lima tahun jangka waktunya. Tapi karena dia memilih karena diberikan uang, setelah terpilih dia (pemilih) akan ditinggalkan,” ujarnya.
Tekanan Jalur Birokrasi
Beberapa minggu sebelum bertemu dengan tim sukses tersebut, sebelumnya rumah saya didatangi oleh seorang tim sukses untuk calon yang lain. Ia seorang perempuan. Caleg yang dia kampanyekan anak petinggi birokrasi di kota ini. Nama lurah jadi tamengnya.
Setelah menyampaikan maksudnya, saya bilang kami keluarga yang punya hak pilih tidak boleh dicatat. Itu melanggar aturan. Tapi, si tim sukses ini mengatakan sesuatu yang mengejutkan kami.
“Oh, kalo bagitu nanti mo lapor pa lurah,”
“Lapor jo.”
Bukan lagi rahasia, jalur birokrasi sering digunakan untuk memenangkan seorang caleg. Terutama caleg dari keluarga pejabat birokrat atau bahkan kepala daerah.
“Kalau di daerah saya, banyak Lurah dan Pala’ (Kepala Lingkungan) yang mulai mengeluh. Karena mereka harus memenuhi target. Pala’ 20 suara, Lurah harus minimal 40 suara. Kalau Camat dan pejabat lain, tanya saja langsung ke mereka kalau targetnya berapa,” ungkap salah seorang peserta ketika menghadiri kegiatan Konsolidasi Stakeholder Pemilu 2019 di Provinsi Sulawesi Utara, yang digelar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia (RI) di Manado, Rabu 20 Maret 2019 seperti diberitakan kelung.com 21 Maret 2019 lalu.
“Mereka terpaksa melakukan itu karena jabatan mereka terancam. Atasan mereka sudah sampaikan, kalau tidak tercapai target itu, jabatan yang sedang diduduki akan diambil dari mereka. Kasihan, para Pala’ dan Lurah banyak yang mengeluh,” sambungnya.
Fenomena ini dibenarkan Karel Najoan. Akademisi Universitas Negeri Manado (UNIMA) yang hadir sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut. Najoan membeberkan sederet modus yang dilakukan sejumlah pejabat daerah di berbagai kabupaten dan kota di Sulut untuk menggerakkan ASN dalam memenangkan Caleg tertentu. Praktek itu diakui Najoan terjadi dan merupakan warisan praktek Pemilu atau Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dari masa lalu hingga hari ini.
Di Sulawesi Utara, banyak caleg adalah keluarga dari pejabat birokrat, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Mencatat nama pemilih dilakukan para tim sukses untuk memenuhi target yang dibebankan oleh caleg kepadanya. Jalur birokrasi efektif sebab ia memiliki akses jaringan hingga ke kelompok-kelompok terkecil dalam pemerintahan, yaitu lingkungan.
“Maksud mo catat nama apa dang?” Tanyaku kepada tim sukses yang datang ke rumah itu.
Si perempuan tim sukses itu tak menjawabnya. Namun, tim sukses yang lain, mengatakan supaya nanti mereka tahu pemilih mana yang akan didatangi pada waktunya. Tim sukses di tingkat paling bawah, seperti dua orang yang bertemu dengan saya itu, rupanya hanya karena untuk mendapat untung sedikit dari pesta demokrasi ini. Mereka sehari-hari adalah orang-orang biasa, bukan pengurus dan aktivis partai.
“Kita kwa selain tim sukses, nanti lei mo jadi saksi di TPS,” kata si tim sukses perempuan itu.
“Kong berapa calon bayar pa ngana,” tanyaku.
“Ada no katu. Yang penting lumayan no,” jawabnya. (*)
Editor: Daniel Kaligis
Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun.
KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya
You may like
-
Ibuisme: Dharma Wanita, Emak-emak hingga Ibu Bangsa
-
Manuel Sondakh, Pendeta dan Politisi yang Kontroversial
-
Setelah Tanggal 17, Apa?
-
M.R. Dajoh, Pengarang Syair Mars Pemilu 1955
-
Demokrasi di Minahasa: Tu’ur In Tana’, Pinawetengan, Paesaan In Deken Hingga Pemilihan Ukung
-
Mafia Survei Teror Pemilu 2019