Nasional
Masyarakat Adat Wayoli Tolak Eksploitasi Talaga Rano

14 Oktober 2025
“Talaga Rano bukan hutan belantara tak bertuan. Talaga Rano bukan tanah kosong. Talaga Rano adalah aset leluhur yang harus dilestarikan alamnya untuk anak dan generasi Masyarakat Adat Wayoli.”
Penulis: Rikson Karundeng
13 OKTOBER 2025, lepas tengah hari. Bunyi tifa terdengar ditabuh penuh semangat, mengiringi para penari cakalele yang turun melayangkan protes di depan gedung rakyat Halmahera Barat (Halbar), Hate Bicara, Jailolo.
Massa berpakaian adat datang membawa aspirasi. Sasadu yang memiliki makna simbolik, identitas budaya Masyarakat Adat Wayoli, terikat kencang di kepala mereka. Motilo’a, janur kuning simbol ikatan, kesatuan warga desa-desa bagian dari suku mereka turut melingkar di tubuh.
Suara menggelegar terdengar dari sound system di atas sebuah mobil pick up. Para tokoh adat lantang berbicara menggunakan bahasa Wayoli. Pemerintah diminta segera menghentikan proyek eksploitasi panas bumi di kawasan Talaga Rano. Nada risau tergurat tegas, proyek itu akan mengancam Wayoli, ‘tanah warisan’ dan kelestarian lingkungan hidupnya.
Masyarakat adat di wilayah provinsi Maluku Utara (Malut) kecewa. Pemerintah dianggap tidak menghormati hak-hak konstitusional atas tanah leluhur mereka. Pokok-pokok tuntutan massa aksi jelas terbaca di poster-poster yang mereka bawa.
Proyek panas bumi telah mencaplok tanah adat tanpa persetujuan para pemegang mandat leluhur. Tindakan itu dianggap bentuk perampasan ruang hidup dan pelanggaran terhadap hak adat yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang.
Massa menolak segala bentuk eksploitasi di wilayah adat mereka. Tanah Wayoli adalah sumber kehidupan masyarakat, karena itu tidak untuk dijual atau dirusak.
“Kami bukan menolak pembangunan, tapi kami menolak pencaplokan hak-hak adat. Pembangunan sejatinya harus berlandaskan keadilan dan penghormatan terhadap manusia dan alam,” kata Ardians Garera, penggerak Masyarakat Adat Wayoli.
Tensi aksi meningkat, gesekan dengan aparat keamanan tak terhindarkan. Masyarakat yang geram terlihat melemparkan bibit pohon kelapa ke dalam gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Halbar.
Usai menyampaikan aspirasi di rumah rakyat, massa bergerak ke kantor bupati Halbar yang berjarak sekira 950 meter. Situasi Kembali memanas, karena keinginan untuk bersua dengan sang kepala daerah tak berujung manis.
Alasan Penolakan Masyarakat Wayoli
Talaga Rano adalah titipan leluhur. Masyarakat Adat tak ingin ikon wisata kuliner berbasis budaya itu akan menjadi lumpur, limbah industri yang kelak akan berbuah bencana alam akibat ulah manusia rakus.
“Talaga Rano bukan hutan belantara tak bertuan. Talaga Rano bukan tanah kosong. Talaga Rano adalah aset leluhur yang harus dilestarikan alamnya untuk anak dan generasi masyarakat adat suku Wayoli pada khususnya, dan masyarakat Halmahera Barat pada umumnya,” teriak Donald Rizal, saat melakukan orasi.
Aksi protes yang menyasar para wakil rakyat dan pemerintah Halbar dipastikan benar-benar lahir dari hati masyarakat. Karena itu, mereka menolak jika gerakan ini dihubungkan dengan persoalan politik.
“Aksi ini murni dari keresahan masyarakat adat setempat. Tidak ada tendensi politik apapun. Tidak ada orang yang coba men-drive ini, tapi kesadaran masyarakat,” kata Merlon Kuadang, penggerak Masyarakat Adat Suku Wayoli.
Aksi ini menolak eksploitasi geothermal di wilayah adat Wayoli, karena ada ancaman terhadap kawasan istimewa, pusaka warisan leluhur yang namanya Talaga Rano.
“Sudah banyak orang yang coba mendaki di wilayah ini. Terakhir ada ekspedisi kemarin berujung di sana dan mereka melakukan penanaman pohon di situ. Jadi memang Talaga Rano ini hijau, asri sekali, sangat indah,” ujar Merlon.
Alasan penting lain kenapa mereka melakukan penolakan, di wilayah eksploitasi panas bumi itu ada banyak masyarakat yang tinggal dan hidup.
“Mereka yang tinggal di sekitar Talaga Rano ini adalah Masyarakat Adat suku Wayoli. Sangat berdekatan dengan Talaga Rano ada sekitar enam desa,” jelasnya.
Masyarakat Adat Wayoli sudah menempati wilayah sekitar Talaga Rano jauh sebelum ada Indonesia. Mereka bisa memastikan, Talaga Rano bukan tanah kosong. Dalam ingatan dan dalam cerita yang diwariskan turun-temurun Masyarakat Adat Wayoli, wilayah ini adalah tanah leluhur mereka. Sejak dahulu, masyarakat sudah memanfaatkan wilayah ini untuk bercocok tanam.
“Mereka menanam kelapa, cengkeh, pala, dan berbagai tanaman lainnya. Jadi orang lain pikir Talaga Rano ini hutan kosong, tapi sesungguhnya tidak. Sejak dulu Masyarakat Adat di wilayah ini sudah memanfaatkan daerah ini sebagai tempat hidup mereka. Makanya kecintaan dan rasa memiliki mereka terhadap Talaga Rano sangat kuat. Tidak boleh ada investor yang coba mengeksploitasi tanah adat mereka,” ucap Merlon.
“Daerah ini memang wilayah kecamatan Sahu kini. Tapi dalam sejarah dan sepengetahuan masyarakat, itu wilayah orang-orang Wayoli. Makanya kelapa, pala, cengkeh di sana milik mereka. Dengan dasar itu, masyarakat merasa terganggu kalau ini dieksploitasi investor,” tegasnya.
Hasil konsolidasi pengurus Masyarakat Adat Wayoli dari desa ke desa di sekitar Talaga Rano, mereka meminta pengurus suku untuk mendiskusikan secara serius persoalan ini.
“Menariknya, terakhir surat dari Menteri ESDM tertanggal 24 September 2025 kemarin, isi surat perihal mereka melakukn rapat koordinasi untuk sosialisasi bahwa tahapan panas bumi di Talaga Rano sudah pada tingkat pelelangan,” ungkap Merlon yang dikenal sebagai Wakil Sekretaris Suku Wayoli Provinsi Maluku Utara.
Merespons informasi itu, warga menggelar diskusi bersama. Hasilnya, Masyarakat Adat Wayoli harus ada gerakan massa. Harus melakukan protes kepada pemerintah daerah.
“Makanya, kami melakukan aksi besar-besaran hari ini. Massa sekitar seribu lebih. Massa yang turun adalah Masyarakat Adat Wayoli, muda maupun orang-orang tua, dan didukung oleh para aktivis dan masyarakat lain yang bersimpati dengan persoalan ini,” terang Merlon, sembari menjelaskan jika dalam aksi solidaritas itu turut serta para aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), dan saudara-saudara mereka dari suku Sahu.
“Satu sikap kami. Tidak boleh panas bumi ada, tidak boleh eksploitasi Talaga Rano. Masyarakat sudah memperhitungkan dampak-dampaknya. Yang pasti akan merugikan,” ujarnya.
Warga memahami, jika eksploitasi panas bumi dilakukan maka hewan-hewan endemik, spesies langka yang hidup di kawasan Talaga Rano akan terancam. Kawasan ini juga menyimpan air. Bagian dari persedian air, kebutuhan cadangan warga, apalagi air ini ada di atas gunung.
Hal lain yang meresahkan masyarakat, di daerah Talaga Rano ada beberapa pulau yang ‘mengapung’ indah di atas danau. Situs ini, pulau-pulau kecil di atasnya yang dipercaya sering berpindah sesuai situasi dan kondisi, sakral bagi masyarakat. Mereka tak ingin mengganggu wilayah penting itu.
Para penggerak Masyarakat Adat Wayoli memastikan, mereka telah belajar banyak dari daerah lain. Bicara soal dampak, sudah terlalu banyak referensi sehingga meyakinkan mereka soal dampak negatif yang akan dialami manusia dan lingkungan di wilayah eksploitasi sumur panas bumi.

Tak Bersua Bupati, Aksi Terus Berlanjut
Target aksi massa adalah bertemu DPRD dan pemerintah kabupaten Halmahera Barat. Mereka bersikeras harus ketemu eksekutif dan legislatif di daerah untuk menyampaikan dan mendapatkan respons atas kegelisahan mereka.
Di Kantor DPRD Halbar, massa berhasil bertemu dan berdialog dengan anggota dewan. Di hadapan para wakil rakyat, massa meminta DPRD harus mampu bersikap.
Tuntutan itu direspons. DPRD Halbar memastikan akan memanggil bupati untuk menegaskan keinginan dan perjuangan Masyarakat Adat Wayoli.
“Kebetulan di DPRD ada teman dan saudara kami dari Suku Wayoli. Ketua Suku Wayoli juga anggota DPRD Halbar. Mereka komit akan berjuang bersama. Ketua umum suku Wayoli akan meng-up date setiap perkembangan kasus ini,” ungkap pengurus suku Wayoli provinsi Maluku Utara yang turut serta dalam aksi, Merlon Kuadang.
Di kantor bupati, masyarakat tak berhasil bertemu dan menyampaikan aspirasi ke bupati Halbar. Reaksi kekesalan massa pun meletup.
“Bupati ini kan orangnya shock. Jadi beliau dari Jailolo langsung ke Ternate. Mau bilang melarikan diri, tapi memang dia tiba-tiba bilang ada agenda di Ternate,” ujar Merlon dengan nada ketus.
Para penggerak Masyarakat Adat berusaha menemui sejumlah aparat kepolisian yang berjaga di lokasi aksi. Berharap mereka bisa memfasilitasi ruang mediasi dengan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Halbar dan memastikan bupati dapat menemui massa aksi.
“Kenapa, karena torang mau bupati sampaikan sikap saja terhadap tuntutan masyarakat,” ucap Merlon.
“Kami ingin bupati batalkan izin usaha pertambangan panas bumi Talaga Rano. Dengan cara bargaining politik atau menyurat atas nama pemerintah daerah ke gubernur, kemudian gubernur ke Menteri ESDM atau bypass langsung bupati ke Menteri ESDM,” terangnya.
Massa mengaku kesal karena tidak bisa menemui bupati. “Mereka mau berkemah untuk menunggu bupati, tapi kami memberi saran ke teman-teman. Karena kasihan orang tua, mama-mama dan papa-papa Masyarakat Adat ada banyak yang datang. Jadi kami minta untuk bubar dulu,” jelasnya.
Merlon dan penggerak Masyarakat Adat lainnya kemudian berupaya berkoordinasi dengan sejumlah pejabat pemerintah daerah, para staf ahli bupati, agar mereka bisa menyiapkan ruang bagi masyarakat untuk duduk bersama dengan kepala daerah mereka.
“Kalau boleh dialogis. Bupati siapkan waktu, siapkan agenda, hadirkan semua perwakilan terkait di lingkar Talaga Rano yang ada enam desa. Kemudian hadirkan para tua-tua dan tokoh adat, biar mereka yang sampaikan langsung sikap dan tuntutan mereka ke bupati dan berharap bupati bisa respons,” tegasnya.
Siap Hadang Wapres Gibran
Massa aksi memberi peringatan tegas kepada pemerintah daerah Halbar. Kalau ruang untuk duduk bersama tidak bisa diciptakan, mereka tidak dimediasi, maka Masyarakat Adat punya rencana lain.
“Kami sudah bersepakat untuk sambut Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang akan datang ke Halbar dengan demo,” beber Merlon.
Masyarakat akan berupaya menghadang kedatangan wapres dengan cara apapaun, agar suara mereka bisa didengar pemerintah.
“Masyarakat Adat akan blokade akses umum, jalan utama antara kecamatan Ibu dan Jailolo. Masyarakat mau tebang pohon-pohon untuk memacetkan jalan,” kata Merlon.
Ditegaskan, berbagai cara akan dilakukan agar aspirasi masyarakat bisa didengar. “Kami meminta masyarakat agar kita bernegosiasi dulu. Tapi, intinya berbagai cara akan dilakukan Masyarakat Adat demi memperjuangkan apa yang menjadi keinginan kami,” tutur Merlon.
Selama belum ada sikap tegas dari pemerintah daerah terhadap rencana eksloitasi panas bumi kawasan Talaga Rano, Masyarakat Adat Wayoli akan terus berjuang.
“Beberapa waktu ke depan, kami akan mengikuti perkembangan. Kalau aksi belum maksimal, karena belum menemui bupati, akan ada aksi-aksi lanjutan. Selama belum ada titik terang, belum ada sikap tegas dari bupati, kami masih akan terus melakukan aksi. Kami akan terus berjuang,” ucap Merlon serius.
Kementerian ESDM Lelang Talaga Rano
“Peluang investasi energi panas bumi kini terbuka melalui platform GENESIS dari Direktorat Jenderal EBTKE!” tulis Ditjen EBTKE melalui akun Instagram resmi @djebtke, 25 Mei 2025.
Informasi itu memastikan jika Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM, telah resmi mengumumkan lelang untuk 10 wilayah kerja panas bumi (WKP) dan 11 wilayah penugasan survei pendahuluan dan eksplorasi (PSPE) tahun 2025, termasuk Talaga Rano di Halbar, Malut.
Direktorat Jenderal (Ditjen) Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM menyatakan, proses lelang dilakukan melalui platform Geotermal Energy Information System atau GENESIS.
GENESIS memuat informasi publik mengenai data geotermal dari survei geosains dan kegiatan pengeboran. GENESIS dikembangkan menjadi platform terintegrasi untuk manajemen data geotermal, e-tendering untuk wilayah kerja geotermal dan pelaporan.
17 September 2025, saat menghadiri pembukaan Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE) 2025 di Jakarta, Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia menyebutkan tentang besarnya potensi panas bumi di Indonesia. Ia pun meminta untuk segera melakukan lelang WKP. Menurutnya, ini sesuai dengan arahan Presiden Prabowo Subianto, agar melakukan reformasi dan percepatan regulasi demi memberikan kepastian dan percepatan bagi para pelaku usaha panas bumi.
Dijelaskan, Indonesia memiliki potensi sumber daya panas bumi yang besar, mencapai 23.742 Megawatt (MW). Dari jumlah itu, masih terdapat peluang besar pengembangan panas bumi di Indonesia.
Saat ini Indonesia menempati posisi nomor dua sebagai produsen listrik panas bumi secara global. Dengan kapasitas terpasang listrik dari sumber panas bumi sebesar 2.744 MW, posisi Indonesia hanya berada di bawah Amerika Serikat yang memiliki 3.937 MW listrik dari panas bumi.
“Kita tahu bahwa geothermal adalah salah satu sumber energi baru terbarukan dan Indonesia mempunyai cadangan yang cukup besar, terbesar di dunia. Dan dari sini, baru kurang lebih sekitar sepuluh persen yang bisa kita kelola. Artinya masih ada sembilan puluh persen potensi ini,” ujar Bahlil.
Demi memuluskan langkah itu, Kementerian ESDM menyederhanakan perizinan dan regulasi yang disinyalir dapat menghambat investasi, untuk mempercepat pemanfaatan panas bumi. Tahun 2024 lalu, Kementerian ESDM telah meluncurkan platform digital untuk pengelolaan panas bumi bernama Genesis. Mulai tahun ini, lelang WKP dilakukan melalui platform Genesis.
“Salah satu yang tidak disukai investor adalah aturan yang berbelit-belit. Semakin berbelit aturan, semakin tidak disukai oleh investor. Maka program kami waktu satu tahun kemarin adalah memangkas berbagai tahapan regulasi yang menghambat proses percepatan dalam bidang geotermal. Kita memangkas semuanya,” terang Bahlil.
Pada kegiatan IIGCE 2025, telah dilakukan penandatanganan 7 nota kesepahaman di sektor pendidikan atau capacity building, serta kerja sama komersial antar badan usaha, baik BUMN, swasta nasional dan luar negeri, dalam hal investasi pengembangan teknologi dan komitmen pembiayaan dengan kapasitas 265 MW dengan total investasi sebesar USD1,5 miliar atau Rp25 triliun.
Daftar 10 WKP yang Secara Resmi Dilelang Kementerian ESDM pada 2025:
1. Danau Ranau, status: high enthalpy; cadangan mungkin: 42,6 MW; pengembangan: 20 MW.
2. Gunung Endut, status: medium enthalpy; cadangan mungkin: 38 MW; pengembangan: 35 MW.
3. Gunung Galunggung, status: medium enthalpy; cadangan mungkin: 110 MW; pengembangan: 110 MW.
4. Gunung Tampomas, status: medium enthalpy; cadangan mungkin: 32 MW; pengembangan: 30 MW.
5. Gunung Ciremai, status: medium enthalpy; cadangan mungkin: 27 MW; pengembangan: 25 MW.
6. Songgoriti, status: high enthalpy; cadangan mungkin: 35 MW; pengembangan: 35 MW.
7. Oka Ile Ange, status: medium enthalpy; cadangan mungkin: 31 MW; pengembangan: 10 MW.
8. Lainea, status: medium enthalpy; cadangan mungkin: 66 MW; pengembangan: 20 MW.
9. Telaga Ranu, status: high enthalpy; cadangan mungkin: 72 MW; pengembangan: 40 MW.
10. Banda Baru, status: med-high enthalpy; cadangan mungkin: 25 MW; pengembangan: 20 MW.












