Published
4 weeks agoon
17 Januari 2025
“Leletokan Wangko adalah proses penegasan kembali, bahwa Minahasa atau dunia ini haruslah dipimpin oleh kebenaran. Bukan oleh seseorang, atau sebagian orang”
Penulis: Juan Ray Ratu
TANDA dan ingatan dalam bentuk jejak itu akan menjadi baik, bila yang meninggalkan jejak adalah orang yang berpengetahuan atau tahu ke arah mana jalan menuju tujuan yang benar.
Tetapi, langkah itu bisa membinasakan bila sang penjejak, tidak tahu arah dan hanya asal-asalan untuk melangkah.
Refleksi inilah yang terbesit seiring bertambah usia dan melihat konteks sekeliling. Etika menjadi manusia dewasa, harusnya menjadi penunjuk jalan hidup. Pemberi teladan yang baik, serta meninggalkan ingatan yang dapat mencerahkan hidup orang lain, atau generasi.
Minahasa pun demikian, selalu diperhadapkan dengan berbagai peristiwa. Bahkan, peristiwa yang hadir adalah peristiwa yang khas, dan hanya terjadi bagi mereka yang mengikuti jejak luhur Minahasa. Peristiwa yang menentukan langkah peradaban, entah tanahnya maupun orangnya.
Pernah peristiwa yang melegenda. Dikenal Mahwetik, atau Leletokan Wangko. Sebuah parafrase penting dalam fase menjadi Minahasa. Diizinkan untuk dialami agar menjadi pengingat. Bahwa apa yang telah digariskan oleh mereka yang baik, haruslah diuji untuk disempurnakan. Tidak bijak untuk diganti apalagi ditiadakan.
Dalam beberapa sumber menyatakan, Leletokan Wangko, adalah proses penegasan kembali, bahwa Minahasa atau dunia ini haruslah dipimpin oleh kebenaran. Bukan oleh seseorang, atau sebagian orang.
Tiwa’ dan permenungan Minahasa, selalu mengedepankan manusia bijak. Mereka yang bijak dan memiliki pengetahuan, haruslah berbagi (we’teng) kepada mereka yang tidak memilikinya. Akan tetapi, mereka yang tidak memiliki, haruslah berusaha kuat untuk melayakan dirinya menerima pengetahuan untuk dapat pinawetengan ne tua’.
Leletokan Wangko, peristiwa langka dan kompleks, tidak semua generasi akan merasakannya. Beruntunglah bila peristiwa itu kembali, sebab mereka yang di satu generasi tertentu diizinkan merasakan aura dan gentingnya nuansa yang pelik dan mencekam.
Leletokan Wangko, bagi kita tou temboan, memandangnya sebagai ritus sakral yang sangat sulit dilaksanakan. Sebab, ritus tersebut, melibatkan ruang yang besar, energi yang banyak, waktu yang tidak singkat dan seluruh alam semesta menjadi bagian ritual agung tersebut.
Leletokan Wangko, menunjukan jati diri dan maksud setiap darah Minahasa, bahwa ada yang bertumbuh, ada yang stagnan, dan ada yang layu, bahkan ada yang harus disingkirkan, sebab telah dikuasai oleh ‘reges lewo’.
Leletokan Wangko juga memberikan pertanda kepada generasi, bahwa harus dipisahkan antara ma’walun dan ma’waluy. Pencerahannya, dapat memperlihatkannya serta memberikan semangat untuk terus berusaha berisi dengan semangat berjuang hidup.
Dalam nasihat orang tua dan permenungan kultural, memberikan inspirasi fenomena pasca Leletokan Wangko, agar generasi setelahnya tidak menjadi seperti yang digambarkan oleh peristiwa agung tersebut. Artinya untuk tidak boleh menginjak kepala dari yang lain, bahasa hari-harinya, Minahasa menolak tendesi monarki, atau feodalisme, ataupun sistem yang menstratafikasi sosial. Minahasa harus dibangun dengan kesamaan juang, persaudaraan, persamaan hak, dan kesadaran komunal.
Sikap agung inilah yang memberikan semangat untuk Minahasa selalu berada pada titik yang paling radikalnya adalah, semua manusia Minahasa adalah Sang Raja/Ratu/Kaisar/Tsar.
Tapi, Leletokan Wangko tidak akan ada maknanya, jikalau tidak diizinkan oleh Opo Empung untuk terjadi. Artinya, kita meyakini ada fase se ma’waluy untuk tumbuh dan eksis, fase yang diberikan untuk mengumpulkan energi dan pengaruh dalam sebuah generasi. Fase inilah yang menjadi fase yang paling pelik bagi mereka yang berpengetahuan atau se ma’walun. Sebab, mereka harus bersabar dan tetap sadar. Tidak boleh terjebak dalam rayuan maut, atau termanipulasi dari pola pandang yang menoleransi sikap anti-minahasa tersebut.
Inilah fase paling krusial, tapi sangat penting, fase penderitaan dan pengorbanan bagi se ma’walun. Pengujian lewat elemen semesta. Diuji lewat ruang dan waktu, dimensi yang lebih tinggi dari sekedar elemen pembentuk seperti air, angin, udara, dan api.
Namun, dalam setiap ajaran bijak yang menjadi dogma. Tiap keyakinan dan agama, meyakini satu hal, adalah manusia harus diuji. Semakin pelik ujian, semakin tangguh dan bernilai manusia tersebut.
Inilah fase paling berharga dan bernilai yang sejati bagi para bijak. Inilah mengapa, ada para tetua yang kita kenal dengan, Mandey, Muntu-untu, Kopero, dan lainnya, yang memiliki peran yang krusial dalam peristiwa agung ini. Pembentukan diri dan pencapaian hakiki sebagai manusia, harus diproses secara holistik.
Arti yang penting untuk kita berkontemplasi, sebab Leletokan Wangko tidak akan bermakna bila tidak diperhadapkan dengan fenomena menguatnya se ma’waluy dan menahan dirinya se ma’walun.