Daerah
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
Published
2 months agoon
18 Oktober 2024
“Pergerakan dan mahasiswa adalah dua kata yang kaya makna. Soekarno dan Marhaen, dua nama yang kaya sejarah. Bung dan Sarinah, dua organ dalam satu tubuh, dua sayap dalam satu punggung. Tubuh GMNI, punggung nasionalis.”
Penulis: Etzar Tulung
JAM menunjukkan pukul 09.00 pagi. Wale Mapantik yang terletak di Kelurahan Matani Satu, Kecamatan Tomohon Tengah, masih terasa sejuk. Namun, perlahan sinar matahari mulai tertutup awan gelap. Mengingatkan saya tentang sesuatu. Selama 2 hari, Sabtu-Minggu, 12-13 Oktober 2024, ada agenda penting di rumah para pegiat literasi ini. Pekan Penerimaan Anggota Baru (PPAB) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Tomohon.
Serentak, bersama kawan-kawan langsung bersiap membersihkan kantor sejumlah media massa yang juga ruang belajar kami. Mulai dari halaman depan, ruang tamu, dapur dan sampai halaman belakang. Setelah itu, dilanjutkan dengan memasang sejumlah ‘penanda’. Baliho kegiatan, dan terutama bendera GMNI, lambang perjuangan para mahasiswa ‘Pejuang Pemikir, Pemikir Pejuang’.
Usai bersih-bersih dan mempersiapkan berbagai hal, kami pun duduk sejenak. Seruput kopi hitam buatan Hendro Karundeng, sambil menunggu kedatangan para mahasiswa calon ‘Bung’ dan ‘Sarinah’.
Beberapa waktu kemudian, satu persatu panitia dan calon anggota mulai menyambangi Wale Mapantik. Terlihat, mereka sudah membawa pakaian dan peralatan tidur. Menandakan siap mengikuti rangkaian kegiatan selama dua hari di tempat ini.
Walaupun cuaca mendung berawan gelap, semangat belajar dan keingintahuan tentang gerakan dan perjuangan mahasiswa, tidak mengurangi semangat para calon kader Marhaen.
Sekira pukul 15.00 sore, kegiatan pembukaan dan materi pertama dimulai. Saya dan Dani Lantang segera mengupas dua tandan pisang warembong, untuk disajikan bersama dengan kopi hitam bagi kawan-kawan yang sementara mengikuti kegiatan.
“Zar, nanti torang dua yang momasa vor dorang. Ini malam beking ikang tahu-tempe dengan sayor petsai jo neh,” kata Dani dengan nada bangga bisa berkontribusi.
Saya pun langsung mengiakan, mengambil tanggung jawab menyiapkan makan malam dalam kegiatan ini. Usai menyajikan minum sore, kami langsung bersiap-siap untuk memasak makan malam.
Sembari mengaduk wajan, saya dan sejumlah panitia lainnya berdiskusi tentang perjuangan mahasiswa hari ini di Sulawesi Utara. Diskusi tentang sejumlah isu hangat menjadi pembahasan serius di ruang ‘To’zong Wale Mapantik’.
Walau memikul tanggung jawab di dapur, saya dan Dani masih sempat bergantian sesekali mencuri waktu untuk mendengarkan materi yang disampaikan oleh para narasumber yang sangat berpengalaman dan berkompeten tentang gerakan mahasiswa.
Dari wajah mereka, tampak keseriusan peserta yang kali ini didominasi oleh Sarinah-Sarinah yang berasal dari beberapa kampus di ‘Kota Pendidikan’. Mereka mengikuti proses pengkaderan GMNI dengan penuh semangat.
Hal ini terbukti, penyampaian materi dari para pemantik, langsung direspons baik dengan memberikan pertanyaan, saran, ide, gagasan, bahkan kritikan tentang materi yang diberikan.
Tepat pukul 18.30 Wita masakan telah selesai. Makanan dan peralatan makan telah diatur rapi di atas meja, siap untuk disantap. Setelah semua selesai mengambil makanan, kami pun mulai menikmati sajian sederhana di rumah tempat jurnalis belajar menulis ini.
Agenda dapur tuntas. Para peserta kembali mengikuti pemaparan materi terakhir di hari pertama dari sejumlah narasumber yang juga adalah pemimpin-penggerak mahasiswa.
Minggu pagi, hari kedua pelaksanaan pengkaderan. Rangkaian kegiatan diawali dengan ibadah bersama oleh seluruh peserta dan panitia pelaksana.
Sementara yang lain menghadap hadirat Sang Khalik, Saya dan Dani sementara waktu harus berhadapan dengan blanga goreng, mempersiapkan sarapan pagi. Makanan khas Minahasa, kola’ berbahan dasar pisang warembong, gula merah, sedikit kental manis dan kayu manis.
Selesai ibadah, waktu telah menunjukkan pukul 08.00 pagi. Semua langsung sumokol, sebelum melanjutkan materi. Tanggung jawab belum usai, saya bersama Dani kembali untuk menyiapkan makan siang. Sepakat wio’o campur sayor leilem, sebuah hidangan khas orang Minahasa, akan jadi santapan siang.
Biasanya, dalam berbagai kegiatan yang sering kami lakukan, pasti tidak akan pernah terlepas sebuah tradisi tua orang Minahasa, yang secara turun-temurun masih sampai saat ini dilakukan. Kami menyebutnya rukup atau ru’rup. Tradisi warisan para leluhur ini tetap kami jaga di Wale Mapantik. Berupaya mewujudnyatakan itu dalam praktik hidup bersama setiap hari, dalam kegiatan organisasi mahasiswa, pelatihan menulis, maupun dalam kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya.
Tradisi ini adalah sebuah tindakan spontan, pemberian sukarela dan tulus hati dari masyarakat ketika ada acara suka, duka, dan kegiatan apapun itu. Penerima dan orang lain tidak akan melihat siapa yang memberi dan yang belum berkesempatan, serta apa yang mereka beri. Intinya, ketulusan itu akan mengurangi beban keluarga atau pelaksana kegiatan.
Di kegiatan PPAB GMNI Cabang Tomohon yang digelar di Wale Mapantik,
kami juga menerapkan tradisi itu. Baik ru’kup dalam bentuk uang, beras, ikan, bumbu dapur, kopi dan gula, dikumpulkan peserta, panitia, bahkan para senior dan pemateri. Semua yang dikumpulkan, itu juga yang dinikmati bersama selama kegiatan.
Ini menunjukkan bahwa, walaupun kita sudah berada pada zaman teknologi yang begitu canggih, nilai tradisi dan pengetahuan masa lampau oleh para leluhur, tidak akan pernah hilang. Kami adalah anak keturunan yang tetap akan menjaga warisan pengetahuan dari para leluhur, serta berkomitmen untuk terus melanjutkannya kepada anak-cucu.
Dalam kesadaran dan kenyataan, tradisi pengetahuan tou Minahasa itu, banyak tersimpan makna positif yang bisa membantu banyak orang. Tradisi itu juga memberikan gambaran tentang kehidupan yang setara dalam masyarakat Minahasa, tidak memandang latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi, dan sebagainya. ‘Tou masuat peleng, mahpute waya’.
Setelah melewati cukup banyak materi dari para narasumber selama dua hari, akhirnya agenda pengkaderan ‘Pejuang Pemikir, Pemikir Pejuang’ GMNI Cabang Tomohon berakhir dengan baik.
Ketika diwawancarai usai kegiatan, Ketua GMNI Cabang Tomohon, Leonard A. Wilar mengatakan, agenda ini adalah tahap awal sebagai calon kader GMNI. Setelah PPAB, mereka masih akan melewati tahap Kaderisasi Tingkat Dasar (KTD), Kaderisasi Tingkat Menengah (KTM), dan Kaderisasi Tingkat Pelopor (KTP).
“Tahap awal ini peserta akan diperkenalkan apa itu GMNI. Mereka akan dijelaskan setiap materi dan terlebih khusus cara kerja organisasi ini bagi mahasiswa,” ucapnya.
Bung Leon, sapaan akrabnya, menjelaskan peserta PPAB tahun ini beragam. Ada dari sejumlah fakultas di Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT). Mulai dari Fakultas Teologi, Hukum, Psikologi, serta Ekonomi dan Bisnis.
“Ada juga dari Fakultas Psikologi dan Fakultas Teknik di Universitas Negeri Manado (Unima). Kedua fakultas ini, harusnya mereka PPAB di Minahasa. Tapi GMNI Cabang Tomohon memfasilitasi agar bisa bergabung bersama GMNI,” lanjutnya.
Ia pun menjelaskan, bergabung bersama GMNI ada banyak manfaat. Contohnya seperti relasi, jaringan dan banyak hal positif lain.
“Manfaat mereka bergabung di GMNI yang paling utama adalah membangun relasi. Selanjutnya, dalam ber-GMNI akan memantik softskill yang tersembunyi dari mereka, untuk bisa percaya diri dan mengembangkannya, melatih kemampuan kepemimpinan dan mengelola organisasi,” ucap penulis kelung.id ini.
“Ini juga adalah sebagai ruang belajar bersama. Melalui GMNI akan merawat dan mengasah pemikiran yang tetap kritis melihat berbagai persoalan yang ada, mulai di masyarakat bahkan dalam lingkungan kampus,” kuncinya.
GMNI Melahirkan Kader Pejuang Rakyat
Mahasiswa Fakultas Teknik, Unima yang juga menjadi narasumber, Filo G. Karundeng mengatakan, melalui PPAB GMNI Tomohon ini, akan dapat melahirkan kader-kader baru yang mampu berjuang bersama masyarakat.
“Hari ini, saya diberikan kesempatan oleh GMNI Tomohon untuk menyampaikan materi mengenai pemuda Minahasa dan mahasiswa sebagai penjaga peradaban. Tentu saja, materi kali ini sangat kontekstual,” ujarnya.
Menurutnya, GMNI merumuskan dan menghadirkan materi ini, karena persoalan yang akan dihadapi mahasiswa sangat relevan. Apalagi di era globalisasi saat ini, gaya dan metode perjuangan perlu disesuaikan dengan konteks yang sedang terjadi.
“Materi terkait pemuda Minahasa ini juga bertujuan agar kader-kader GMNI dapat belajar tentang sejarah, tokoh-tokoh pemuda, dan gerakan pemuda di Sulawesi Utara, khususnya di Minahasa,” ucap Karundeng.
Dewan Pemuda Adat (DePan) Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Region Sulawesi itu berharap, kader-kader GMNI yang mengikuti PPAB ini mampu belajar dari tokoh-tokoh yang menjadi materi refleksi bersama. Kemudian materi yang didapat perlu juga dijamurkan ke saudara-saudara mereka di kampung masing-masing.
“Kami menyebutnya sebagai ‘Gerakan Pulang Kampung’. Jadi, apa yang diperoleh pada kegiatan ini bukan hanya untuk kepentingan organisasi, tetapi juga perlu digunakan sebagai ilmu yang dapat dibagikan kepada masyarakat tempat kader-kader tersebut lahir dan tinggal,” ungkapnya.
“Pengetahuan ini harus dibagikan kepada saudara dan teman-teman, agar tidak hanya berakhir di kota atau di ruang-ruang kampus, tetapi juga kembali ke akar, ke kampung halaman,” lanjut salah satu anggota Dewan Pemuda Adat Asia ini.
Kader GMNI yang mengikuti PPAB tahun 2021 ini pun mengatakan, mahasiswa memiliki peran penting dalam menjaga garis peradaban. Karena ini tidak hanya untuk kelompok tertentu atau elite, tetapi harus merata kepada semua, termasuk petani, buruh, dan anak cucu di masa depan.
Dijelaskannya, masyarakat adat juga memiliki visi dan tujuan yang sejalan dengan gerakan ini, yaitu berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya. Sangat mirip dengan ‘Trisakti Soekarno’. Kader-kader GMNI yang berlandaskan ideologi Soekarno juga harus berperan aktif dalam perjuangan ini, termasuk perjuangan bersama masyarakat adat.
“Ada tiga hal penting yang perlu dicatat oleh kader-kader GMNI dalam menjaga perjuangan. Pertama, dalam bahasa Inggris, adalah ‘exist’, yang berarti mahasiswa harus dengan berani menunjukkan identitas diri mereka, termasuk identitas budaya dan adat. Jangan merasa malu menggunakan pakaian adat, karena hal ini menunjukkan kita ingin menjaga nilai-nilai tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang kita,” sebutnya.
Lanjut Karundeng, nilai kedua adalah ‘resist. ’Sebagai mahasiswa dan kader GMNI, mereka perlu melakukan upaya perlawanan terhadap kelompok kapitalis yang merusak lingkungan dan situs budaya. Jika bukan mereka yang menjaga, kemungkinan besar anak dan cucu akan kehilangan identitas mereka, serta tidak tahu cara belajar tentang tradisi dan identitas sejatinya.
“Ketiga adalah ‘indigenize’. Kita perlu memperkaya diri dengan pengetahuan tradisi, meskipun tidak terlibat langsung dalam upaya menjaga situs. Kita bisa mempelajari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya untuk bisa menjelaskan kepada orang lain dengan benar. Intinya, kita juga harus bisa ‘mengadatkan’, mengajak teman yang lain untuk ‘kembali pulang’ ke rumah kita,” jelasnya.
Anggota Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Kecamatan Tomohon Tengah itu juga mengharapkan, lewat pengkaderan ini mahasiswa akan memiliki semangat perjuangan dalam ‘Gerakan Pulang Kampung’.
“Semoga teman-teman mahasiswa yang hadir di PPAB GMNI, akan bisa memperteguh semangat nasionalisme, sekaligus dapat membawa semangat Minahasa, berkontribusi dalam gerakan pulang kampung, dan bersama-sama berjuang untuk masyarakat adat, masyarakat sipil, termasuk buruh, perempuan, dan semua yang tertindas. Mari kita jaga tanah kita, tempat tinggal yang diwariskan para leluhur, dan wariskan kepada anak cucu kita kelak,” tandasnya.
Siap Menjadi Pejuang Marhaen
Ada kesan yang meletup dari benak setiap peserta PPAB. Gratio Waraney Rondonuwu, mengatakan pergerakan dan mahasiswa adalah dua kata yang kaya makna. Soekarno dan Marhaen, dua nama yang kaya sejarah. Bung dan Sarinah, dua organ dalam satu tubuh, dua sayap dalam satu punggung. Tubuh GMNI, punggung nasionalis.
“Itu merupakan sedikit kalimat baru hasil ilmu yang saya dapatkan dalam PPAB GMNI Cabang Tomohon. Sebuah kompas baru yang menentukan arah pergerakan dan sebuah wadah baru untuk berdampak dan bermanfaat bagi masyarakat luas,” ujarnya.
Melalui wadah berpikir kritis ini, mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi (FIPP), Unima, itu mengatakan sangat bangga bisa bergabung dengan GMNI.
“Satu lagi kepingan rasa bangga sebagai mahasiswa bertambah. Hidup sebagai antusias organisasi memang mempunyai kesan tersendiri. PPAB GMNI membuka pandangan baru bahwa gerakan itu bisa dimulai dari kursi-kursi kayu di luar dan diskusi-diskusi malam di tepi api,” ungkapnya.
Menurutnya, ber-GMNI menjadi salah satu langkah awal baginya untuk mulai melihat, melakukan dan menentukan suatu keputusan secara kritis.
“Konsep organisasi yang nasionalis dan berjuang untuk rakyat kecil merupakan sebuah persona positif yang menutupi segala kekurangan. Berusaha untuk terus membentuk kader yang hebat dan kuat merupakan tujuan yang begitu luar biasa. Dan menurut saya GMNI satu langkah lebih di depan dari organisasi lainnya,” jelasnya.
Perintis Pers Mahasiswa (Persma) Vellichor, Program Studi Psikologi FIPP Unima itu pun menyampaikan banyak terima kasih dan apresiasi bagi seluruh pengurus serta panitia penyelenggara PPAB.
“Terima kasih panitia PPAB, GMNI Cabang Tomohon 2024. Lewat bahasa Bung Leon tentang ‘selangkangan lembab’ sampai motivasi Bung Etzar tentang melawan dengan tulisan, saya mendapat pengalaman baru yang berbeda dari biasanya. GMNI Jaya, Marhaen Menang!” kuncinya.
Ungkapan kesan dan pesan pun juga dilontarkan seorang mahasiswa Fakultas Hukum, UKIT, Angereine Pinontoan, saat menjadi salah satu peserta PPAB.
Dikatakannya, sangat bersyukur dan penuh bangga bisa menjadi bagian dari GMNI.
“Di Wale Mapantik saya bersama teman-teman bisa berjumpa dengan kakak-kakak, Bung dan Sarinah yang luar biasa,” ujarnya.
Sedikit bercerita, Sarinah Angereine mengungkapkan, awalnya ia sempat hilang semangat karena terlambat melakukan pendaftaran untuk menjadi salah satu peserta PPAB.
“Saya baru mendaftar sudah satu hari sebelum pelaksanaan kegiatan. Pengkaderan akan dimulai pada besoknya, sedangkan saya baru daftar malam sebelumnya. Pikir-pikir sudah tidak bisa lagi, tapi setelah mendapat informasi untuk dapat ikut, akhirnya itu yang memicu semangat saya agar bisa bergabung mengikuti kegiatan dua hari satu malam ini,” ucapnya.
Menurut Pinontoan, walaupun waktu yang sangat singkat dan terbatas, tapi itu menjadi pengalaman yang berharga bisa menjadi bagian dari organisasi ini.
“Walau hanya waktu yang tidak lama ini, tapi bagi saya itu menjadi pengalaman yang paling berharga dan tidak akan terlupakan. Banyak sekali ilmu, wawasan, pengetahuan yang luar biasa didapatkan dalam kegiatan ini. Pastinya saya sangat bersyukur,” ungkapnya.
Anggreine pun menyampaikan banyak terima kasih dan apresiasi bagi panitia penerimaan anggota baru GMNI Cabang Tomohon Tahun 2024.
“Kepada kakak-kakak, Bung dan Sarinah yang ada di sini, saya menyampaikan terima kasih sebanyak-banyaknya untuk waktu dan segala materi, pengetahuan yang boleh dipaparkan selama kegiatan ini,” tambahnya.
Ia pun berpesan, semoga para narasumber serta Bung dan Sarinah akan menjadi panutan seperti yang dia kenal saat itu.
“Kalian sangat-sangat luar biasa. Berharap kakak-kakak, Bung dan Sarinah, tetap menjadi kakak yang kami kenal dan tetap jadi panutan untuk kami. Semoga GMNI ini semakin maju semakin jaya dan semakin banyak mahasiswa yang tergerak untuk bersama-sama membangun kebersamaan, menjadi mahasiswa yang berguna ke depan,” tandasnya.
Senada diungkapkan oleh peserta lainnya, Putri Berekhe Eklesya Kurama. Ia mengaku sangat bersyukur bisa bergabung dengan organisasi ini.
“Masuk dalam organisasi GMNI Tomohon adalah salah satu yang saya syukuri. Karena saya bisa mendapatkan teman baru dan tentu bisa saling bertukar pikiran,” ucapnya.
Mahasiswi Fakultas Hukum UKIT itu mengatakan, awalnya dia sempat merasa ragu untuk bergabung. Namun karena rekomendasi teman terdekatnya, sehingga ia mencoba untuk memberanikan diri ikut PPAB.
“Ke GMNI direkomendasi dari orang terdekat saya. Awalnya saya tidak ingin berorganisasi, karena berpikir akan mengganggu perkuliahan saya. Namun, setelah berpikir berkali-kali, akhirnya saya mencoba,” ungkap Sarinah Putri, sapaan akrabnya.
Menurutnya, motivasi terbesar untuk bergabung, salah satunya untuk mengenal lebih jauh tentang Bung Karno atau presiden pertama Indonesia.
“Setelah saya mendaftarkan diri dan mengikuti PPAB, tentunya saya mendapatkan banyak sekali materi. Di antaranya, penjelasan tentang Ir. Soekarno,” tuturnya.
Diakui, organisasi GMNI menjadi wadah yang tepat untuk menyuarakan suara rakyat dan mahasiswa.
“Setelah saya mengikuti PPAB, saya berpikir tidak salah untuk bergabung dalam organisasi GMNI, karena ini menjadi salah satu organisasi yang bisa menyuarakan isi hati masyarakat, bahkan diri kita sendiri,” jelasnya.
“Berharap, tentunya semoga kita semua tidak akan bosan untuk ber-GMNI. Karena lewat organisasi ini, kita juga bisa mengeluarkan atau menyampaikan suara kita dan masyarakat sekitar kepada para pemangku kekuasaan,” pungkasnya. (*)
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan
-
Aroma Pelanggaran HAM Menyeruak Bersama Bau Busuk di Tanjung Merah