Connect with us

CULTURAL

Melawan dengan Pikiran dan Tulisan

Published

on

14 Februari 2019


Oleh: Denni Pinontoan


Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946: pengalaman dan gagasan yang mewujud dalam aksi revolusioner

 

KEMUNCULAN SURAT KABAR, majalahdan jurnalis di Sulawesi Utara tidak terlepas dari kehadiran mesin cetak. Revolusi dan perjuangan melawan penjajahan, tidak pula terlepas dari keberadaan ketiganya. Tokoh-tokoh intelektual dan aktivis yang berperan pada Peristiwa 14 Februari 1946, banyak di antaranya adalah jurnalis.

Buku Sejarah Kebangkitan Nasional Sulawesi Utara terbit tahun 1978 mengulas kehadiran mesin cetak, media dan jurnalis sejak awal abad 19 hingga masa revolusi. Disebutkan, percetakan yang pertama masuk adalah percetakan milik Zending Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG). Ia dibawa oleh Pendeta Adam Mattern pada tahun 1835. Mula-mula di Amurang, lalu pindah ke Tomohon untuk mencetak buku-buku agama Kristen dalam bahasa daerah Tomtemboan dan Tombulu.

Mesin yang masuk kedua tahun 1869. Ia ditempatkan di Tanawangko. Mula-mula dipimpin oleh N. Bettink kemudian oleh A. de Lange. Percetakan ini juga milik Zending untuk mencetak buku-buku bacaan sekolah dasar dalam bahasa Tomtemboan, buku-buku Agama. Majalah bulanan Tjahaja Sijang tahun 1868 – 1869 juga dicetak di sini.

Tahun 1880 percetakan ini pindah ke Manado. Di Manado, usaha percetakan ini dipimpin oleh C.van de Roest sampai tahun 1916. Percetakan ini kemudian dibeli oleh Liem Oei Tiong. Ia lalu menyempurnakannya dengan dengan snelpres pakai motor. Mesin cetak ini digunakan hingga hingga tahun 1944.

Tahun 1900, seorang Tionghoa di Manado, K.D. Que membeli sebuah mesin cetak dan mendirikan perusahaan percetakan bernama Manadosche Drukkerij. Mesin cetak ini sekitar tahun 1925 dibeli oleh Oei Pek Jong dan namanya dirobah menjadi Drukkerij Tionghoa. Kemudian pada tahun 1955 dibeli oleh PT. Crescendo (Wijdemuler).

Tahun 1923 berdirilah percetakan Liem di mana pada tahun 1956 dibeli oleh PT Djantra yang dipimpin oleh G.E. Dauhan yang merobah nama percetakan dengan nama Djantra NV Lie Boen Jat & Co mendatangkan sebuah mesin cetak tenaga listrik yang bekerja sampai tahun 1944. Pada tahun 1930 sebuah perusahaan bernama NV Fikiran.

Wijdemuler mendirikan usaha percetakan yang bekerja sampai saat pecahnya Perang Dunia Kedua. Untuk mencetak harian Matahari Terbit maka Jepang mendatangkan mesin cetak Rotarypers yang dihancurkan oleh pemboman Sekutu atas kota Manado.

Selesai perang Dunia kedua, Pemerintah Indonesia mendirikan Percetakan Negara dengan mesin lynotype dan lain-lain. Dalam tahun 1957 telah ada delapan buah mesin intertype, tetapi di waktu pergolakan Permesta, mesin-mesin ini turut diungsikan ke pedalaman Minahasa dan akhimya rusak semuanya.

“Dengan adanya mesin-mesin cetak yang masuk maka dapat dikatakan bahwa mulailah kegiatan cetak mencetak pada umumnya dan kegiatan pers pada khususnya di daerah Sulawesi Utara,” demikian dicatat pada buku Sejarah Kebangkitan Nasional Sulawesi Utara itu.

Pers di Masa Sulit
Surat kabar yang diterbitkan oleh zending adalah Tjahaja Sijang. Ini surat kabar pertama di Minahasa atau Sulawesi bagian utara. Nomor pertamanya terbit tahun Januari 1869. Nomor perkenalan diterbitkan pada bulan September 1868.

Mulanya Tjahaja Sijang terbit sebulan sekali. Namun sejak Februari 1869 terbit dua kali sebulan. Surat kabar ini mengalami perkembangan di dalam maupun di luar organisasi kepengurusannya. Ia terus mengalami meningkat dari tahun ke tahun mulai terbit 1869. Masa akhir terbitnya tahun 1927. Banyak orang Minahasa yang menjadi anggota redaksi di Tjahaja Sijang yang kemudian menjadi jurnalis, penulis dan intelektual revolusioner.

Setelah Tjahaja Sijang periode 1869, berturut-turut muncul dan terbit surat kabar dan majalah-majalah lain.

Buku Sejarah Kebangkitan Nasional Sulawesi Utara mencatat sekitar 60-an majalah dan surat kabar yang terbit sampai tahun 1950-an. Beberapa nama-nama pemimpin redaksi atau pengelolanya di kemudian hari dikenal sebagai tokok-tokoh pergerakan dan revolusioner, baik pemikirannya maupun dalam gerakan menentang kolonialisme.

A.L. Waworuntu seorang yang mendapat pendidikan Belanda, menjadi birokrat di zaman di Hindia Belanda mengelola Manado Courant (1909-1910). Seorang intelektual dan aktivis politik, A.A. Maramis mengelola Perwarta Manado yang terbit sejak tahun 1919. Maramis juga adalah jurnalis Tjahaja Sijang.

Tahun 1923-1935 berdiri Pangkal Setia di Tomohon yang dikelola oleh J.U. Mangowal, D. Lumunon, A. Pandelaki, K.E.P.C. Rumokoi. Pada tahun 1943, Mangowal bersama tokoh-tokoh pergerakan lainnya mendirikan organisasi olah raga yang berwawasan kebangsaan.

Oetoesan Minahasa diterbitkan pada tahun 1925 oleh AV Gobel. Surat kabar ini menyebut dirinya “Penjokong Gerakan Kaoem Menoejoe Keadilan, Kemederkaan dan Persamaan”.

Organisasi perempuan, Percintaan Ibu Kepada Anak Turun-temurunnya (PIKAT) mendirikan majalah Suara Pikat (tahun 1925-1942) yang dikelola oleh Ny. Loing Kalangi, Nn. Waworuntu, Ny. Pelengkahu, Ny. Wenas, Ny. Winter Denga, Nn. Sumolang, Ny. Moningka-Singal.

Bintang Minahasa terbit bulanan dari tahun 1928-1930 dikelola oleh H.M. Taulu, A.B. Najoan. Taulu adalah seorang penulis yang kelak di tahun 1946 menjadi pejuang dalam Peristiwa Merah-Putih. Ia juga menjadi mengelola Persatuan, majalah mingguan yang terbit tahun 1946 bersama C.F. Pua.

Mimbar Dunia terbit 1928, dikelola oleh G.E. Dauhan, Makmur Lubis, Ch. Sumesey. Dauhan adalah seorang yang berasal dari Sangihe. Ia aktivis politik yang datang mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) di Sulawesi Utara. Pada tahun 1929, bersama Max Linuh, Dauhan mengelola Suara Kaum. Tahun 1931 bersama mereka berdua juga mengelola Pembela Kaum.

Menurut J.V. Lisangan, juga seorang jurnalis di masa dalam bukunya, Perjuangan Pemuda Minahasa Indonesia, terbit 1995, Suara Kaum, terbit bersama dengan pendirian pendirian organisasi olah raga oleh O.H. Pantouw, B.W. Lapian, G.E. Dauhan, Frits W. Kumontoy, A.B.H. Waworuntu, J.U. Mangowal, Max B. Tumbel dan dr. Senduk.

Dauhan juga mengolah surat kabar mingguan Pertimbangan, terbit tahun 1930 sampai 1938 bersama Mr. Isqkak dan A. Durant. Mr. Iskqak adalah seorang Jawa yang datang ke Manado pada awal 1920-an. Profesinya mula-mula adalah advokat yang ditempatkan di Tonsea.

“Tidak lama kemudian ia berhasil mengajak sejumlah pemuda di Tonsea untuk menyebarluaskan wawasan kebangsaan itu,” tulis Leirissa pada bukunya, Minahasa di Awal Perang Kemerdekaan Indonesia: Peristiwa Merah Putih dan Sebab-musababnya, terbit tahun 1977.

Tahun 1941 sampai 1956 terbit Sinar Baru yang dikelola oleh Henk Lumanauw dan Jan Torar. Torar di saat terjadi peristiwa Merah Putih adalah seorang wartawan.

Para Jurnalis Revolusioner
Penjajahan sudah mencapai klimaksnya. Kesadaran baru muncul di mana-mana di kalangan intelektua; dan pemuda. Lahirlah ‘anak-anak zaman’. Banyak nama pengelola media atau jurnalis di masa tahun 1920-an sampai 1940-an tersebut adalah intelektual kritis dan aktivis-aktivis politik revolusioner.

Para intelektual yang berlatar belakang Kristen, tapi bukan pendeta atau aktivis gereja dalam arti rohani, seperti G.S.S.J. Ratulangi dan B.W. Lapian akhirnya sampai pada kesadaran untuk memahami secara baru kekristenan di Minahasa yang adalah hasil penginjilan zendeling Belanda. Dua tokoh ini berperan dalam perjuangan gereja otonom di Minahasa di masa negara kolonial. Gereja yang berdiri buah dari pemahaman baru itu adalah Kerapatan Gereja Protesten Minahasa (KGPM), berdiri tahun 1933. Ratulangi adalah seorang jurnalis, penulis dan Direktur redaksi majalah politik Nationale Commentaren (1938 — 1942).

Leirissa mengatakan, perkembangan dalam masyarakat Minahasa pada bagian pertama abad 20 menyangkut dua kategori sosial yang dominan, yaitu militer dan intelektual. Kedua hal inilah juga yang telah menjadi penggerak penting pada Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946.

Perkembangan intelektual tidak dapat dilepaskan dari pers melalui kemunculan para jurnalis dan penulis revolusioner. Menurut Lisangan, majalah dan surat kabar yang dikelola oleh jurnalis dan penulis tersebut banyak mempengaruhi pendapat-pendapat rakyat Minahasa.

Sikap kalangan intelektual terhadap Belanda memang tidak seragam. Umpanya, seperti kata Leirissa, pada tahun 1919 muncul tuntutan dari kalangan milter Minahasa agar status mereka disamakan dengan tentara Belanda. A.L. Waworuntu, sebagai ketua Perserikatan Minahasa menolak memberi dukungan terhadap tuntutan itu.

Pertimbangan Waworuntu, bahwa tuntutan itu bakal menghilangkan simpati Belanda terhadap Minahasa. Namun, wakil ketuanya, seorang wartawan, J.H. Pangemanan mendukung tuntutan tersebut.

Sikap Waworuntu dan Pangemanan ini menggambarkan sikap umum di kalangan intelektual Minahasa masa itu. Bersikap hati-hati atau taktis. Tapi pada kasus-kasus tertentu dapat bersikap radikal, seperti yang ditunjukkan oleh A.L. Waworuntu pada akhir abad 19 ketika menyampaikan protes atas sistem tanam paksa yang telah membuat rakyat Minahasa tersiksa. Demikian pula dengan gerakan Merah Putih 14 Februari. Atas nama menolak penjajahan, ketidakadilan, perlawanan dilakukan.

Pada tahun 1920-an berdiri sejumlah studieclub di Minahasa. Mula-mula, menurut Leirissa berdiri di Tonsea. Anggota intinya adalah G.E. Dauhan, Max Tumbel, Max Lindu, Many Lengkong dan Hein Lumenta. Di kemudian hari beberapa di antara mereka, utamanya Dauhan dan Tumbel menjadi pemimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) di daerah ini.

Para intelektual dan aktivis ini selain memimpin organisasi, juga mengelola terbitan. Cara ini dipakai untuk menyebarkan gagasan-gagasan mereka meski sebenarnya sulit dilakukan di tengah upaya kontrol dan pembatasan.

“Keadaan pergerakan di Minahasa sangat ketat diawasi oleh pihak pemerintah. Surat-surat kabar dan majalah-majalah yang beredar dan diterbitkan di Minahahasa tidak bebas memberitakan hal-hal yang berkaitan dengan dunia pergerakan,” tulis Leirissa.

Generasi baru, para pemuda atau intelektual muda, juga banyak di antara mereka adalah jurnalis dan penulis muncul dalam masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945. Pemuda-pemuda di masa ini, guru-gurunya, selain orang Jepang yang lain adalah para intelektual dari masa penjajahan Belanda. Tokoh-tokoh lain dari masa itu kemudian menjadi pemimpin ‘Komite Tenaga Rakyat’, suatu badan yang dipersiapkan untuk menyambut kemerdekaan seperti yang dijanjikan oleh Jepang pada bulan Agustus 1944.

Nama-nama pimpinan KTR seperti dicatat oleh Lisangan adalah B.W. Lapian, Frits Kumontoy, C.P. Hermases, Max Tumbel, dll.

Para aktivis juga jurnalis muncul di masa ini melanjutkan wawasan dan kesadaran yang sudah berkembang sebelumnya. Sama halnya di masa Belanda, di masa ini mereka juga berhadapan dengan pembatasan oleh Jepang. Sehingga relatif tidak banyak surat kabar dan majalah yang terbit. Malah, pemerintah Jepang sendiri menerbitkan harian untuk kepentingan mereka harian bernama Matahari Terbit, yang terbit tahun 1942 sampai 1943. Nanti setelah Jepang menyerah baru terbit lagi beberapa surat kabar dan majalah.

Kabar Proklamasi Kemerdekan Indonesia 17 Agustus 1945 yang sampai ke Sulawesi Utara sejenak memberi suasana baru pada masyarakat, para intelektual dan pemuda. Namun, suasana ini segera berubah ketika sekutu datang yang membawa serta NICA. Para intelektual yang kebanyakan mereka adalah jurnalis lebih berkosentrasi pada aksi-aksi perlawanan. Ada di antara mereka yang ditangkap, yang lainnya angkat senjata.

Beberapa di antara mereka, seperti H.M. Taulu, J.V. Lisangan, Jan Torar, J.U. Mangowal menjadi bagian dalam aksi 14 Februari 1946 bersama para tentara KNIL Minahasa.

Tiga orang di antaranya menjadi penulis setelah mereka dibebaskan dari tahanan. Mereka menulis pengalaman berjuang di masa itu. Tahun 1983 Taulu menulis novel berjudul Merah Putih. Jan Torar menulis Peranan Minahasa dalam Perang Kemerdekaan, Jakarta, terbit tahun 1885. Lisangan menulis Perjuangan Pemuda Minahasa Indonesia, terbit 1995. Pelaku sejarah lainnya, Ben Wowor menulis Sulawesi Utara Bergolak: Peristiwa Patriotik 14 Februari 1946, Dalam Rangka Revolusi Bangsa Indonesia, terbit tahun 1977.

Taulu adalah seorang jurnalis, intelektual dan aktivis kelahiran 19 Juli 1903 di Kawangkoan, Minahasa. Ia menulis banyak buku. Sebagai intelektual, ia juga adalah seorang guru. Seperti rekan-rekan seperjuangannya yang lain, semua itu menjadi kebanggaan bagi mereka.

“Selain pengarang, aku bekerja sebagai guru. Aku mengajar tunas-tunas bangsa. Aku senang dan bangga sekali bila ada muridku yang pandai,” kata Taulu dalam Merah Putih. (*)


Editor: Daniel Kaligis

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *