Connect with us

CULTURAL

Melihat Gastronomi Tana’ Melalui Kacamata Biru

Published

on

Prev1 of 2
Use your ← → (arrow) keys to browse

7 Desember 2024


”Sama seperti di Eropa, koki-koki yang memasak dominannya laki-laki”


Penulis: Gerard Tiwow


SABTU, 7 Desember 2024, Wale Mapantik patut berbangga karena berbagi pengetahuan dan pengalaman, khususnya kuliner Minahasa, kepada rombongan koki-koki muda, berbakat, dan inovatif dari Italia. Adalah Giangregorio Bartolotta atau yang akrab disapa Greg, bersama pasangannya Ashley Widjaja. Mereka mendatangi markas penulis muda Minahasa ini bersama teman-temannya yang lain yakni Armando Prezioso, dan Filippo Schiavon.

Bertahun-tahun Greg dan Ashley berkecimpung dalam dunia kuliner khususnya kuliner Eropa. Dalam perjalanan karir mereka sebagai koki professional, sejumlah dapur di restoran-restoran Benua Biru khususnya di Perancis, Belgia, Italia, dan lain sebagainya telah mereka jajali. Restoran terakhir yang menjadi tempat mereka menunjukkan bakatnya adalah Mirazur. Perlu diketahui juga bahwa Mirazur bukanlah sembarang restoran. Restoran ini pada tahun 2019 berada di posisi pertama pada daftar Restaurant Top 50, dan meraup Tiga Bintang Michelin.

Rombongan ini menceritakan bahwa mereka melakukan roadtrip di sejumlah daerah di Indonesia untuk mempelajari kuliner lokal, khususnya bahan-bahan yang digunakan, serta teknik memasak. Beberapa waktu silam mereka menyusuri Sumatera dan Jawa, untuk bertemu langsung dengan warga lokal yang memiliki keterampilan mengolah bahan-bahan mentah untuk diolah menjadi hidangan khasnya. Di penghujung tahun 2024 ini pun, mereka menyusuri Sulawesi untuk mendapatkan pengetahuan tentang bahan-bahan bumbu-bumbu khas daerah-daerah di Sulawesi. Selain itu, kesempatan ini juga mereka manfaatkan untuk mempelajari teknik memasak kuliner khas, mengunjungi area pertanian atau perkebunan yang menerapkan sistem keberlanjutan atau sustainable, dan menjadi kesempatan unik bagi koki-koki Eropa untuk berinteraksi dengan masyarakat adat di Pulau Besi ini.

DA SUD A NORD

22 November 2024, mereka mengawali perjalanan mereka dari Makassar. Coto Makassar, Konro Bakar, Coto Gagak, dan Pisang Epe’ yang menjadi ciri khas Bumi Anging Mamiri, menjadi kuliner penyambut kedatangan mereka. Keesokan harinya, mereka mengunjungi Pasar Ikan Paotere yang menjadi tempat pelelangan ikan terbesar di Ujung Pandang. Di pasar itu, mereka menjajali kuliner khas yang terbuat dari bubur jagung dan terigu yang disebut Bassang. Selepas dahaga, Pasar Terong menjadi tujuan selanjutnya. Di salah satu pasar terbesar Sulawesi, yang juga menyuplai logistik negara Timor Leste ini, mereka mencari telur ikan torani yang digadang-gadang menjadi caviar nya orang Sulawesi. Melihat senja hampir menyingsing di kota dengan 99 Kubah Masjid ini, mereka menyempatkan diri untuk mengunjungi hidden gem bagi pecinta kopi yakni Kopi Ujung  dan toko Kue Mama.

Keesokan harinya, mereka bergerak ke arah utara menuju Kabupaten Maros. Di sana mereka mendapatkan pengalaman pengelolaan sustainable farming atau perkebunan/pertanian yang menerapkan sistem keberlanjutan. Di Maros, mereka juga mencoba kuliner khas seperti pacco udang, kapumara, pallu mara, dan yang paling terkenal, pallu basa.

Setelah tiga hari menapaki jantung Bumi Tu Mangkasara’, perjalanan dengan mobil hiace dilanjutkan ke Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), dengan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraeng menjadi tujuan. Di sana mereka mengambil kesempatan untuk menjelajahi hutan untuk melihat secara langsung tanaman-tanaman endemik yang dapat dimasak seperti umbi-umbian dan jamur hutan. Naluri koki mereka juga mereka salurkan dengan memasak bahan-bahan yang didapat. Selain itu, pengalaman melihat secara langsung proses pembuatan gula aren tidak mereka lewatkan.

Setelah rampung mendapatkan pengetahuan dan pengalaman terkait kuliner bersama warga suku Makassar, mereka bergerak ke utara menuju Toraja. Di perjalanan, mereka menyempatkan diri untuk bertemu dengan tokoh agama Tolotang yakni Bissu Nani. Dalam kepercayaan Tolotang, seorang Bissu mengambil peran gender laki-laki dan perempuan. Dari segi spiritual, seorang Bissu dilihat sebagai separuh manusia dan separuh dewa serta bertindak sebagai penghubung antara kedua alam manusia dan alam dewata.

Setelah perjumpaan itu, mereka pun mencoba kuliner khas suku Bugis untuk makan siang, seperti kue dange, barongko, nasu bembek. Selain itu mereka juga mencoba rasa dari bale masapi, atau hewan sejenis belut yang berukuran raksasa  dan memiliki telinga. Menurut masyarakat Bugis-Makassar, masapi dianggap sebagai ikan air tawar yang diistimewakan dan cukup disakralkan. Oleh karena itu masih banyak warga yang enggan memakan daging ikan tersebut, meski kandungan gizinya cukup tinggi.

Malam hari pun tiba, akhirnya terlihat Gapura Tedong yang menjadi pintu gerbang memasuki Kabupaten Tana Toraja. Mereka pun menyempatkan untuk makan malam, sembari mendiskusikan rencana penjelajahan kuliner mereka di Tondok Lepongan Bulan Tana Matari Allo ini.

Pesta Demokrasi Indonesia pada Pemilihan Kepala Daerah 2024 menjadi bumbu untuk cita rasa perjalanan mereka ini. Sekira lima hari lamanya mereka berada di Toraja, dan banyak cerita yang lahir dari perjalananan mereka.

Matahari pertama di Rantepao, mereka mengunjungi Pasar Tedong yang terletak di areal Pasar Bolu di ibukota Kabupaten Toraja Utara ini. Tedong atau kerbau yang dijual harganya pun fantastis, untuk satu ekor kerbau anakan mungkin dapat setara dengan membeli motor bebek secara tunai. Selepas melihat pasar yang menjual fauna sakral suku Toraja itu, mereka mengunjugi kubur batu Londa untuk melihat bagaimana cara suku Toraja memakamkan kerabatnya.

Sekira waktu makan siang, mereka mengunjungi Kete Kesu’, objek wisata terkenal Toraja yang memberikan pengunjung pengalaman melihat secara langsung rumah-rumah Tongkonan berusia ratusan tahun, dan sarkofagus yang terbuat dari kayu digantung di tebing-tebing batu yang menjulang hingga 30an meter. Mereka juga mengunjungi Tilang’nga, sebuah kolam yang memberikan daya tarik karena populasi belut nya yang sangat banyak. Selepasnya itu, mereka mengunjungi Kopi Kaa, rumah kopi yang terkenal karena proses roasting yang uniknya.

Selama dua hari kedepan, rombongan mereka akan mendapatkan kesempatan secara langsung untuk berinteraksi dengan warga lokal untuk mempelajari kuliner lokal khas Toraja. Sejumlah makanan khas mereka masak untuk dua hari itu, antara lain babi pa’piong dan pamarassan.

Greg mengakui bahwa mereka punya keluhan selama perjalanan mereka di Toraja. Mereka mengakui kesulitan mendapatkan daging babi di pasar dan tidak adanya restoran atau rumah makan yang dapat mereka kunjungi. Hal itu memang benar, karena kultur masyarakat Toraja hanya menyembelih babi ketika ada perayaan yang sedang berlangsung, dan tidak dikomersilkan secara masif laiknya di daerah lain. Ashley juga menyimpulkan bahwa, masyarakat Toraja cenderung untuk berhemat demi menyimpan sejumlah uang untuk perayaan Rambu Solo’ atau Ritual Kematian.

Merampungkan perjalanan lima hari mereka di Toraja, mereka mengambil kesempatan untuk memasak bersama Romo Sam, dan mengunjungi Patung Yesus Memberkati di Buntu Burakke, Tana Toraja.

Selanjutnya, minibus Hiace yang mereka tumpangi bergerak menuju Enrekang. Di bumi Massenrempulu ini, mereka mendapat kesempatan untuk memasak Dangke, sayur Burase, sokko pullu mandoti, dan sambal ki’di. Tidak hanya itu, mereka juga mendapatkan pengalaman untuk memancing belut masapi disana.

Besok harinya, mereka sudah meninggalkan Provinsi Sulawesi Selatan, dan memasuki Provinsi Sulawesi Barat. Mereka singgah di Polewali, untuk belajar tentang kuliner khas suku Mandar. Bau peapi dan belut masapi kembali menjadi olahan mereka. Selain itu, kuliner khas tanah Pitu Ba’ba’na Binanga seperti jepa, lokka sattai, dan penja juga mereka jajali.

Bulan sudah naik di langit dan mereka pun tiba di Sulawesi Tengah. Hanya satu hari mereka agendakan di Kota Palu untuk mencoba kuliner khas suku Kaili seperti Kaledo.

Selanjutnya, berbelok ke arah timur, mereka pun tiba di Provinsi Gorontalo. Di Bumi Hulonthalo ini, mereka berniat untuk melakukan snorkeling bersama hiu paus. Tujuan utama mereka pun tidak dilupakan, teknik memasak khas provinsi yang pernah menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Utara ini seperti memanggang engan kemiri serta cangkang buah pala juga mereka pelajari disini. Kuliner khas seperti sup binte, ayam iloni, dan illabulu juga mereka rasakan untuk mengisi perut menuju Sulawesi Utara.

MARCHÉ EXTRÉME DE TOMOHON

Setibanya di Sulawesi Utara, mereka mengunjungi Kota Tomohon. Ditemani bersama jurnalis yang juga juru masak dari Wale Mapantik, mereka pun pergi mengunjungi Pasar Beriman Tomohon yang sudah terkenal hingga ke mancanegara.

Pasar Beriman Beriman atau yang lebih dikenal luas dengan nama Pasar Ekstrim Tomohon, telah menarik perhatian turis mancanegara karena komoditas yang diperjualbelikan dinilai ekstrim atau menakutkan. Patola (Malayopython reticulatus), pérét (Maxomis hellwandii), pérét tumetewel / paniki (Pteropus sp.), rintek wuuk / RW (Canis familiaris), eveready / pus / meong (Felis domesticus), soa-soa / ta’talan (Varanus sp.), dan lain sebagainya. Memasuki area pasar yang padat, rombongan mengumpulkan bahan-bahan untuk memasak babi garo leilem, patola santang kering, dan sayor paku bunga popaya.

Memasuki area parkir pasar, Ashley bertanya seputar perdagangan anjing untuk di Konsumsi di Tomohon. Penulis pun menjelaskan bahwa konsumsi daging anjing bagi masyarakat Tomohon atau Minahasa pada umumnya adalah bagian dari budaya Minahasa itu sendiri. Salah satu praktek yang dilakukan adalah ritus zumaha’ pada rangkaian pembangunan rumah atau tomo’tol wale weru. Anjing akan disembelih dan darahnya akan dioleskan pada tiang-tiang raja di rumah dan dagingnya akan dikonsumsi.

Konstruksi pemikiran oksidental memang cenderung melihat konsumsi anjing atau kucing sebagai tindakan yang tidak dapat diterima, karena anjing dan kucing merupakan hewan peliharaan yang sejatinya bukan untuk konsumsi.

Satu hal yang sangat diapresiasi dan juga mungkin culture shock adalah penggunaan plastik untuk mengemas bahan makanan. Perjalanan kami di pasar, kami diminta untuk meminimalisir plastik dengan membawa tas belanja. Praktek ini sejalan dengan spirit Restoran Mirazur yang ramah lingkungan, sehingga berhasil mendapatkan sertifikasi bebas plastik seperti yang ditampilkan di laman instagram mereka @restaurantmirazur.

Menjelajah kawasan pasar, kami membeli sayur pakis (Diplazium esculentum) dan Ashley terlihat sangat riang membopong 3 ikat sayur itu. Sambil berjalan, Armando terlihat sangat tertarik dengan pisau-pisau dapur yang dijual. Ia pun awalnya kaget dengan harga yang sangat murah yakni Rp15.000 untuk dua pisau, namun ia hanya membeli 1 pisau saja.

Kami pun mendatangi lapak yang menjual daging ular patola. Harga yang ditawarkan pun cukup masuk akal yakni Rp60.000 untuk satu kilogram daging iblis itu. Mereka pun tertarik untuk melihat proses pemotongan dan pembakaran daging. Penulis pun menjelaskan bahwa tujuan kenapa daging tersebut dibakar untuk menghilangkan lendir, membuat kulit lebih empuk dan lebih mudah untuk dikupas bila mau. Disela-sela bercengkerama dengan penjual, mereka kaget karena menyadari tepat dibelakang mereka, terletak lapak yang menjual tikus dan kucing yang sudah dibakar.

Saat kami mengunjungi pasar, ada aktivitas renovasi penggantian atap, sehingga lapak-lapak penjual dipindahkan kejalan, hal ini mengakibatkan lalu lalang manusia, sepeda motor, dan gerobak sangat padat dan saling bertumpuk. Akan tetapi, Ashley mengomentari bahwa Pasar Tomohon cenderung lebih bersih ketimbang pasar-pasar lain yang mereka kunjungi selama perjalanan mereka.

Ada cerita lucu terkait perjalanan kami di pasar, salah satu penjual paniki yang akrab disapa Cibey, melempar kelakar bahwa kami seolah-olah mencari ayam, karena berbeda dengan ”turis” lain yang menempel bersama pemandu mereka, kami (penulis dan Etzar) sempat beberapa kali kebingungan mencari keberadaan mereka yang ”hilang” di pasar, sehingga kami harus berputar mencari mereka.

 

TUAMA SÉ LUMUTU

Setibanya di Wale Mapantik, kami pun langsung menyiapkan bumbu-bumbu untuk dimasak. Bersama Pemimpin Redaksi ManadoExpress.com, Hendra Mokorowu, dan Administrator Wale Mapantik, Hendro Karundeng, kami membagi tugas untuk mempercepat proses memasak ragey, babi garo leilem, patola santang kering, dan sayor paku bunga popaya. Hendra dijuluki firemaster (penguasa api) karena dia bertugas untuk memotong kayu dan membuat api, sekalipun tangannya harus cidera akibat memotong kayu untuk dipakai, ia tetap setia pada tugasnya.

Lungu atau kayu api yang kami gunakan adalah kayu manis, hal ini dimaksudkan untuk menambah aroma pada ragey itu sendiri. Untuk menyiapkan daun pakis, Hendro menunjukkan cara untuk memisahkan daun dari batangnya kepada Greg.  Setelah satu loyang  penuh daun pakis sudah siap, kami mengajak Greg dan Ashley untuk memetik bunga pepaya. Penulis menjelaskan bahwa bunga pepaya yang dikonsumsi hanya yang masih berbentuk kuntum, yang sudah mekar tidak dikonsumsi.

Menyiapkan bumbu, Greg dan Ashley menumbuk bawang dan cabai. Awalnya penulis sempat pesimis karena mungkin di Eropa tidak ada lisung dan dodutu untuk menumbuk bahan bahan, namun ternyata, Greg dan Ashley sangat terampil menggunakannya. Salah satu keterampilan profesional mereka terlihat ketika memotong daun bawang dan lainnya, terlihat memang mereka sangat lihai memainkan pisau, serta teknik-teknik memotong bahan-bahan.

Selain itu, kami juga memperkenalkan bumbu dan daun eksotis Minahasa seperti daun leilem (Clerodendrum minahassae) dan sarimbata’ popontolen / sarimbata’ rw (Cymbopogon nardus). Khusus untuk sarimbata’ jenis ini, terlihat Greg sangat kagum karena keharuman tanaman jenis rumput-rumputan ini, dan meminta tunas untuk ditanam di tempatnya nanti. Greg juga menambahkan bahwa untuk satu ons daun jeruk, dihargai sekitar 20-25 Euro atau sekitar 350 hingga 400 ribu rupiah. Harga fantastis ini timbul karena proses pengiriman yang rumit dari Indonesia ke Eropa. Kebutuhan daun jeruk untuk restoran-restoran di Eropa juga cukup tinggi, akibat tanaman ini tidak dapat tumbuh dengan baik dan subur di iklim Eropa yang fluktuatif.

Saat memasak pun tiba, silih berganti dengan Etzar, Greg pun menumis bumbu-bumbu awal untuk babi garo leilem. Aroma harum memenuhi dapur rumah tua itu, menggantikan perihnya mata akibat asap kayu manis di luar. Dengan terampil, tangan koki di dapur restoran nomor satu dunia itu memainkan wajan dan sutil.

Setelah nasi sudah siap, penulis pun menyiapkan empat lembar daun pisang yang akan digunakan sebagai alas untuk kami makan bersama. Bersamaan, nasi dan ragey sudah matang, keduanya pun langsung diletakkan diatas daun pisang yang sudah diambil.

Babi garo leilem pun selesai, dan kami langsung menyiapkan untuk hidangan kedua yakni patola santang kering. Sebelumnya, daging patola sudah direbus untuk membuat daging lebih empuk. Beragam dedaunan dan bumbu-bumbu lain sudah ditumis, daging patola juga sudah dimasukkan kedalamnya. Namun kami lupa bahwa kami belum menyiapkan santan. Greg dan Ashley pun bertugas untuk memeras santan dari dua kantong kelapa parut yang sudah kami beli.

Sambil menunggu santan mengering,  kami pun bercengkerama dengan mereka tentang perjalanan mereka. Greg menjelaskan bahwa mereka mempunyai rencana untuk membuka restoran sendiri, menggabungkan konsep fine dining ala barat, dengan teknik memasak, bumbu-bumbu, atau ramuan khas daerah-daerah di Indonesia.

Ashley menceritakan kekagumannya melihat perbedaan di Minahasa. Ia mengatakan bahwa di semua daerah yang mereka kunjungi, urusan masak-memasak dilakukan oleh perempuan, namun di Minahasa para pria yang melakukannya. Hendra pun mengatakan bahwa ada ungkapan ”kalu di sini, bukang laki-laki kalu nintau momasa” (kalau disini – Minahasa – bukan laki-laki kalau tidak tahu memasak). Hal itu pun diamini oleh Ashley, ia mengatakan bahwa di Eropa, urusan memasak juga didominasi oleh perempuan. Melalui unggahan story di Instagram-nya, Ashley mengatakan bahwa ia menemui hal ini (laki-laki yang memasak) layaknya dapur-dapur profesional di restoran Eropa.

Lebih dari 15 menit kami menunggu, dan akhirnya patola santang kering sudah selesai. Di atas daun pisang, nasi dan ragey yang sudah diletakkan sebelumnya, kini dilengkapi dengan babi garo leilem, patola santang kering, paku bunga popaya, dan babi kecap. Di ujung meja juga ada saguer untuk diminum setelah makan. Sebelum kami makan, kami melakukan maweteng dengan menyisihkan nasi, lauk pauk, dan saguer di piring terpisah, sebagai simbol syukur kepada Tuhan dan penghormatan kepada leluhur karena sudah memberikan berkat melalui makanan, minuman, serta pertemanan pada hari itu.

Selama kami makan, terlihat Ashley dan Greg sangat menyukai hidangan itu. Ada momen lucu ketika daging patola yang diambil Ashley tiba-tiba jatuh, penulis pun melempar kelakar dengan mengatakan bahwa patola itu masih hidup. Beberapa kali Ashley mengatakan bahwa babi garo leilem adalah makanan paling nikmat di meja itu.

Sekitar pukul 3 sore kami selesai makan, setelah mencuci tangan dan duduk bercengkerama singkat, kami menawarkan Greg dan Ashley untuk berfoto menggunakan pakaian kawasaran. Layaknya foto prewedding, mereka dengan antusias mengenakan pakaian tarian perang itu. Mereka mengagumi simbol-simbol adat di karay (baju) kawasaran, seperti kepala burung taon (Rhyticeros cassidix) dan tengkorak babirusa (Babyrousa celebensis). Penulis menjelaskan bahwa dalam hukum Indonesia, fauna tersebut dilindungi, sehingga saat ini pemakaian kepala burung taon dan tengkorak babi rusa berasal dari hewan yang sudah mati secara alamiah, dan tidak diburu.

COFFEE LABORATORY

Setelah merampungkan hari di Wale Mapantik, mereka berpindah menuju Kai Mea. Sebelumnya penulis menawarkan mereka untuk mengunjungi laboratorium kopi milik Almontana Paat, untuk melihat benih dan pohon kopi hasil persilangan sejumlah varietas yang di tanam di Tana’ To’ar Lumimu’ut ini.

Setibanya di Elmont’s Coffee and Roastery Kolongan, mereka langsung disambut oleh sang pemilik dan diantar ke kebun kecil di belakang kafe miliknya itu. Di kebun yang sekira memiliki luas 1000 meter bujursangkar itu, mereka melihat secara langsung varietas-varietas kopi mulai dari arabica, robusta, dan bahkan yang paling langka yakni liberica. 

Selain di situ, Monci – panggilan akrab Almontana – mengatakan bahwa ia juga mengelola perkebunan kopi di Kelurahan Rurukan dan Pangolombian. Sambil menyeruput kopi, Monci menawarkan produk-produk unggulan di kafenya salah satunya Elmont’s House Blend. Tidak hanya itu, ia berinovasi dengan melakukan proses roasting menggunakan energi panas bumi, yang menurutnya menambah cita rasa biji kopi miliknya.

Prev1 of 2
Use your ← → (arrow) keys to browse

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *