CULTURAL
Memamah Beras Shan
Published
6 years agoon
By
philipsmarx11 Januari 2019
Oleh: Andre Barahamin
Nga Htamin, kuliner asli Shan di tengah konflik militer tak berkesudahan.
DI ASIA TENGGARA, Vietnam dan Thailand dikenal sebagai eksportis beras. Tapi bagi orang Shan di Burma, padi yang mereka tanam dan panen adalah kualitas terbaik.
Orang-orang Shan memang memiliki nasionalisme sebagai bangsa yang mungkin hanya bisa dibandingkan dengan orang Papua di Indonesia. Seperti Papua, orang Shan di Burma juga memiliki sejarah panjang perjuangan untuk menegakkan hak ekonomi dan politik mereka. Termasuk ke dalam golongan etnis Tai di Asia Tenggara, sebagian besar mereka mendiami Burma yang kini dikenal dengan nama Myanmar di dunia internasional.
Mayoritas berada di negara bagian Shan sementara sebagian lain bermukim di negara bagian Kachin, negara bagian Kayin, Mandalay, Cina, Laos dan sebagian kecil berada di Thailand. Diperkirakan ada sekitar lima juta orang Shan di seantero Burma. Membuatnya sebagai satu dari empat etnis mayoritas di negeri tersebut selain etnis Bamar, Mon dan Rakhine.
Di Burma sendiri, ada tujuh negara bagian yang berbasiskan etnis.
Yaitu negara bagian Kachin di utara, kemudian negara bagian Chin yang sebelah baratnya berbatasan dengan Manipur dan Mizoram, dua provinsi India bagian timur laut. Masih ada lagi negara bagian Rakhine di sebelah selatan Chin yang menghadap ke laut Andamanm, negara bagian Kayah yang sebelah timur dan tenggara berbatasan dengan Chiang Mai, Thailand. Lalu negara bagian Karen yang terletak di bagian selatan Kayah dan juga berbatasan dengan wilayah Thailand utara, negara bagian Mon yang berada di tepi tanjung Martaban, serta negara bagian Shan yang berbatasan dengan Cina di bagian utara dan timur lautnya.
Cerita perjuangan orang-orang Shan membentang ratusan tahun ke belakang. Setua teknik penanaman dan pengolahan sawah mereka yang diwariskan bergenerasi hingga menghasilkan beras kualitas terbaik. Dimulai dari masa kejayaan Kerajaan Shan yang lalu jatuh ke dalam cengkeraman kolonialime Bayinnaung, seorang penakluk yang memimpin Kerajaan Bamar. Peristiwa ini terjadi di tahun 1555. Tahun ini mungkin dapat dianggap sebagai titik mula dari sentimen negatif yang berkembang antar dua etnis ini hingga hari ini.
Dalam “A Study on the Colonial Administration in Myanmar (1886-1945)” yang diterbitkan Hinthada University Research Journal, Vol. 5, No. 1, 2014, Toe Toe Kyaw menulis bahwa ketika Inggris berkuasa di tahun 1886, Kerajaan Shan mendapatkan privilese dengan ditempatkan langsung di bawah perintah dan kekuasaan langsung dari Gubernur India sebagai sebuah entitas kedaulatan yang terpisah dengan Kerajaan Bamar. Para pemimpin Shan mendapatkan kontrol penuh atas urusan internal kerajaan. Sehingga tidak mengherankan jika banyak orang Shan yang menganggap bahwa periode di bawah kontrol Inggris jauh lebih baik dibanding ketika mereka “tertipu” oleh janji kehidupan yang sejajar di dalam Federasi Burma.
Namun periode emas itu tidak berlangsung lama.
Di tahun 1921, Inggris menelurkan Burma Act yang mendegradasikan posisi negara Shan dari sebuah entitas politik yang berdikari menjadi sekedar penyetor pajak setara kabupaten. Oleh Inggris, Kerajaan Shan digabung dengan wilayah-wilayah lain di Burma dan mendelegasikan kekuasaan kepada Gubernur Burma. Inilah periode di mana pertanyaan mengenai seberapa jauh dan seberapa berdikari bangsa Shan mulai mengemuka di kalangan para pemimpin orang-orang Shan.
Kondisi politik di tingkat elit yang sedang gamang makin memburuk ketika Jepang memulai kampanye Perang Dunia II. Aung San dan kawan-kawan mereka yang mengikuti pelatihan militer dari Jepang di tahun 1941, kembali ke Burma di tahun berikutnya dan memulai kampanye militer mereka untuk pembebasan negeri dari cengkraman kolonialisme kulit pucat dari benua dingin. Operasi yang didanai Jepang tersebut sukses memukul mundur Inggris hingga ke India, sebelum akhirnya bersama kawan-kawannya Aung San mendirikan Liga Populer Kemerdekaan Anti-Fasis (Anti-Fascist People’s Freedom League/AFPFL).
Setelah Inggris mundur ke India, AFPFL kemudian mencanangkan pemogokan populer di berbagai tempat sebagai cara untuk mengikis habis sisa-sisa kekuatan pro-Inggris yang masih tersisa. Hal ini memaksa Inggris untuk menandatangani perjanjian di tahun 1947 dan menjanjikan terealisasinya kemerdekaan Burma dalam tempo waktu paling lambat satu tahun. Kemerdekaan Burma kemudian diterima dan dikenal di kemudian hari sebagai Perjanjian London yang ditandatangani Aung San sebagai perwakilan AFPFL.
Namun, kemerdekaan tersebut memberikan dampak politik yang cukup negatif bagi bangsa Shan. Status politik mereka semakin terjerembab jauh. Dari sebuah kabupaten, kemudian didemosi menjadi sekedar “daerah tribal di bawah pemerintahan langsung kelompok birokratik”. Kelompok birokratik yang dimaksud tentu saja adalah penguasa baru yang muncul mengatasnamakan bangsa-bangsa bekas jajahan Inggris yang terletak di bagian tenggara, berbatasan dengan wilayah Indo-Cina yang menjadi jajahan Prancis di bagian timur.
Hal inilah yang di kemudian hari, setelah Perang Dunia II berakhir, mendasari dimulainya inisiatif politik untuk mengurai benang kusut terkait martabat bangsa-bangsa non-Bamar yang wilayah dan penduduknya, dimasukkan ke dalam Federasi Burma. Inilah alasan kuat di balik manuver politik para pemimpin Shan bersama dengan etnis-etnis minoritas lain untuk melakukan negosiasi terkait masa depan mereka.
Pertemuan itu dikenal dengan nama Konferensi Panglong.
Temu politik ini dihelat pada 12 Februari 1947, mengambil tempat di kota Panglong yang berada di bagian selatan negara bagian Shan. Dalam konferensi ini, perwakilan etnis Shan, etnis Kachin dan minoritas Chin berdialog dengan Aung San, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Negara Interim Burma. Orang-orang Mon dan Arakan tidak mengirimkan wakil karena sudah termasuk di dalam Serikat Burma. Sementara orang-orang Karen hanya diwakilli oleh empat orang. Mereka tidak terlibat langsung dalam negosiasi namun mendapatkan kehormatan sebagai peninjau.
Total, ada 23 orang yang di akhir pertemuan menandatangani hasil kesepakatan.
Menurut Gustaaf Houtman dalam “Aung San’s lan-zin, the Blue Print and the Japanese Occupation” yang terbit sebagai sebagai salah satu bab dalam Reconsidering the Japanese Military Occupation, konferensi Panglong dapat dikatakan sebagai buah perkembangan positif dari inisiatif yang dimulai satu tahun sebelumnya. Yaitu saat Sao Shwe Thaike mulai menggagas Pertemuan Panglong saat menjabat Saopha atau penguasa tertinggi etnis Shan.
Pertemuan itu berhasil merumuskan secara bulat bahwa perjuangan merebut kemerdekaan dari tangan Inggris akan menjadi tanggung jawab dan agenda bersama. Para pemimpin etnis minoritas sepakat untuk bergabung dalam Perserikatan Burma di bawah komando Jendral Aung San. Kesepakatan itu mengintegrasikan semua perjuangan pembebasan diri dari cengkraman kolonialisme Inggris akan dilakukan di dalam satu barisan. Itu sebabnya hingga kini di Burma, 12 Februari selalu dikenang sebagai Hari Perserikatan, semenjak negara ini merengkuh kemerdekaannya pada 4 Januari 1948.
Poin lain yang penting dalam pertemuan Panglong tersebut, adalah jeda satu dekade yang akan diberikan kepada orang-orang Shan. Selama sepuluh tahun sejak deklarasi kemerdekaan Burma diresmikan, bangsa Shan diberikan waktu untuk memilih menentukan nasib sendiri. Apakah mereka ingin tetap bergabung dengan Perserikatan Burma sebagai negara bagian dengan otonomi khusus, atau memisahkan diri sebagai negara berdaulat.
Namun warisan Konferensi Panglong kini seakan lenyap.
Ketika junta militer membentuk Dewan Negara untuk Perdamaian dan Pembangunan (DNPP) di tahun 2010, harapan untuk merumuskan jalan keluar dari pusaran konflik justru tak jua tampak. Sikap DNPP untuk tidak melibatkan Liga Nasional untuk Demokrasi (LND) dan Organisasi Kemerdekaan Kachin (OKK), justru memperkeruh keadaan. Akibatnya, DNPP tak mendapatkan dukungan dari kelompok-kelompok perjuangan etnis seperti Serikat Nasional Karen (SNK) dan Tentara Pembebasan Shan – Wilayah Utara (TPS-Utara) serta kelompok militan lain.
DNPP sendiri tampak tidak serius dengan upaya memperbaiki kondisi konflik di Burma. Dalam “Ethnic Politics in Burma: The Time for Solutions” (terbit Februari 2011 sebagai bagian dari Burma Policy Briefing) yang dirilis oleh Transnational Institute dan Burma Centrum Netherlands, menilai bahwa dua strategi yang diambil oleh DNPP sejak awal pembentukannya terlihat sebagai upaya untuk menguatkan dominasi militer. Baik dengan peluncuran sistem politik baru yang hanya menguntungkan kelompok militer, atau melalui pembentukan milisi-milisi di tingkat lokal di wilayah-wilayah kelompok pemberontak yang disponsori oleh Tatmadaw. Akibat langsungnya adalah kegagalan untuk meredam agresivitas grup-grup pemberontak.
TPS-Utara sendiri adalah salah satu kelompok bersenjata yang cukup dominan dalam hikayat perjuangan kemerdekaan orang-orang Shan di tengah dominasi etnis Bamar dalam Federasi Burma. Kelompok bersenjata ini terbentuk pada 24 April 1964. Di awal tahun 2000-an, kekuatan mereka diperkirakan mencapai 50.000 orang. TPS-Utara lalu membangun sayap politik sebagai perwakilan untuk melakukan negosiasi dengan pemerintah. Badan politik ini dikenal dengan Partai untuk Kemajuan Negara Shan (PKNS) yang dideklarasikan tahun 1971.
Salah satu capaian penting adalah perundingan mengenai gencatan senjata di tahun 1989 antara PKNS dengan DNPP. Perjanjian ini mencakup pemberian otonomi untuk daerah-daerah di bawah kendali TPS-Utara dan PKNS.
Sayang perjanjian ini hanya di atas kertas. Di lapangan, Tatmadaw (sebutan tentara nasional Myanmar) terus menyerang pos-pos pertahanan TPS-Utara.
Di tahun 2014, sebuah bentrokan militer antara Tatmadaw dan TPS-Utara terjadi di daerah Kehsi Mansam, salah satu basis para pemberontak Shan. Serangan Tatmadaw dimulai pada 6 Oktober 2015 dengan mengerahkan 20 batalyon angkatan darat. Operasi militer ini menggunakan artileri berat dengan didukung jet dan helikopter tempur. Akibatnya, ribuan penduduk sipil harus mengungsi. Hingga kini, konflik militer masih terus terjadi meski frekuensinya menurun. Walau begitu, efek buruk pertikaian bersenjata ini sangat dirasakan masyarakat sipil, terutama petani. Karena perang, banyak petani mengungsi dan meninggalkan desa. Akibatnya, banyak lahan pertanian yang terlantar, termasuk sawah.
Padahal, beras yang dibudidayakan di wilayah ini merupakan salah satu yang terbaik.
Di dalam bahasa Bamar, nasi Shan dikenal dengan nama Nga Htamin yang secara harafiah dapat diartikan sebagai nasi ikan. Hidangan ini menggabungkan nasi melati yang dimasak dengan kunyit lalu ditaburi serpihan ikan air tawar rebus dan minyak bawang putih. Rasanya berminyak dan gurih, dengan harum bunga melati yang kental. Nga Htamin juga disajikan dengan rajahan bawang putih mentah, kulit babi yang digoreng dan potongan bawang daun. Untuk mereka yang gemar dengan rasa pedas, Nga Htamin bisa menikmatinya dengan dua cara: merebus cabe bersama campuran kunyit ketika menanak nasi, atau menyediakan sambal terpisah yang disantap ketika nasi telah siap saji.
Menyantap Nga Htamin saat masih hangat di daerah yang lebih populer sebagai segitiga emas dengan angin lembab menggetarkan tulang, dapat membantu kita mengerti mengapa orang-orang Shan begitu bangga dengan sejarah mereka dan tetap teguh menuntut: otonomi penuh.
Editor: Gratia Karundeng