CULTURAL
Membaca Bencana: Relasi Manusia, Sang Khalik dan Alam Semesta dalam Kosmologi Minahasa
Published
1 year agoon
23 Oktober 2023
“Alam ini sangat penting, sebab alam itu tempat berpijak, manusia makan dari hasil tanah ini, dari alam ini. Karena itu penting sekali manusia harus menjaga sumber kehidupannya. Dengan tidak menjaga sumber kehidupan, manusia sendiri akan meracuni dirinya sendiri. Berarti ia mau membuat dirinya dan anak-cucunya turun-temurun mati perlahan-lahan.”
Penulis: Rikson Karundeng
HUBUNGAN antara manusia, Sang Khalik dan alam semesta tak bisa dipisahkan. Bagi tou (orang) Minahasa yang mendiami jazirah utara Selebes, memelihara keselarasan hubungan itu adalah bagian dari upaya menjaga kehidupan dan keberlangsungan hidup manusia, bahkan seluruh makhluk hidup yang ada di kayobaan (alam semesta). Sebaliknya, ketidakseimbangan hubungan akan memicu sebuah bencana.
Budayawan Minahasa, Rinto Taroreh, menjelaskan dalam tradisi mereka bicara alam dan lingkungan atau bagaimana orang Minahasa memahami tentang manusia, alam atau lingkungan, serta hubungannya dengan Sang Khalik, masuk dalam ranah kosmologi.
“Cara pandang orang Minahasa terhadap alam ini, dirinya, dan Sang Khalik, Sang Pengada Kehidupan, ada dalam ranah kosmologi. Jadi di tradisi kita, Sang Pengada Kehidupan ini biasa disebut Empung Wailan Wangko,” kata Rinto, Selasa, 3 Oktober 2023.
Hubungan manusia yang paling awal itu adalah hubungannya dengan Sang Pemberi Kehidupan, Empung Wailan Wangko. Kemudian dengan alam semesta yang biasa disebut kayobaan. Ketiga, baru hubungan dengan sesama manusia, tou.
“Di dalam pola pikir para tetua Minahasa dahulu, bicara leluhur yang pertama itu, Dialah Empung Wailan Wangko itu, leluhur yang paling tua. Kemudian alam ini, kemudian baru leluhur yang memang manusia, memang tou. Pemahaman itu dapat dilihat dari syair-syair tua. Dari kepercayaan tua kita, bisa dilihat bahwa leluhur-leluhur yang paling tua itu dipersonifikasikan sebagai alam ini. Di cerita-cerita para orang tua, paling jelas di cerita Toar-Lumimuut (leluhur awal orang Minahasa). Paling jelas di situ. Cerita-cerita perumpamaan tentang bagaimana alam hunian ini terbentuk, di situ kelihatan. Contoh cerita Toar-Lumimuut, di cerita ini Toar diibaratkan matahari, kemudian Lumimuut diibaratkan tanah, bumi tempat kita berpijak,” kata Rinto.
Leluhur pertama orang Minahasa itu dipercaya atau dipersonifikasikan seperti matahari dan tanah tempat berpijak. Syair yang menceritakan tentang itu bisa didapat dalam ritus Rumarages atau upacara kurban persembahan. Di situlah salah satu versi tentang leluhur awal orang Minahasa disimpan.
“Bicara hubungan dengan alam ini ada di dua leluhur pertama juga. Karema (walian atau imam pertama) dan Lumimuut. Keduanya dipersonifikasikan sebagai bumi, ibu bumi,” sebut Rinto.
Mempertegas soal seberapa penting sebenarnya manusia harus menjaga hubungan dengan alam semesta itu, sama dengan seberapa serius manusia harus menjaga kehidupan itu sendiri. Alam ini penting sekali, sebab alam itu tempat berpijak, manusia makan dari hasil tanah ini, dari alam ini. Karena itu penting sekali manusia harus menjaga sumber kehidupannya. Dengan tidak menjaga sumber kehidupan, manusia sendiri akan meracuni dirinya sendiri. Berarti ia mau membuat dirinya dan anak-cucunya turun-temurun mati perlahan-lahan.
“Contoh, di kampung-kampung itu biasa pantangan kalau menebang pohon, apalagi di mata air. Itu pantang sekali, foso. Kenapa? Karena dia saling ada keterhubungan. Mata air dia terhubung dengan pohon-pohon, air terhubung dengan manusia yang membutuhkan sumber kehidupan ini. Kalau pohon dipotong, sumber air berkurang atau mati, berdampak ke manusia. Jadi yang jadi susah sebentar manusia itu sendiri,” terangnya.
Seberapa penting hubungan manusia dengan Sang Khalik dan alam semesta juga dijelaskan Gravit Toalu. Sebagai seorang parapsikolog yang memberi diri “dipakai” oleh Sang Khalik dan para leluhur untuk membantu orang dalam berbagai aktivitas yang terkait dengan tradisi budaya Minahasa, ia memiliki banyak pengalaman yang berhubungan dengan pemahaman itu. Baik yang dipelajari secara langsung dari para orang tua, maupun melalui pengalaman pribadi secara langsung.
Menurut Gravit, untuk memahami hubungan dengan alam semesta, dengan Sang Khalik, maupun hubungan dengan para leluhur, sebenarnya harus dimulai dari pribadi sendiri. Akar utamanya adalah hati manusia itu sendiri, terus turun ke pribadi, kelakuan harus dibikin bagus, hati harus dibuat bagus lebih dahulu. Sangat tidak mungkin meminta petunjuk dari Sang Kuasa, kalau pikiran kacau, apalagi keinginan yang hendak disampaikan tidak baik.
“Jadi kunci utama, dari hati kita. Kalau kita sudah mampu belajar tentang hati kita, kita sudah mampu membuat sesuatu yang baik, pasti kita cepat sekali memahami bagaimana itu alam semesta, bagaimana kita berkomunikasi dengan leluhur, bagaimana cara meminta tanda yang boleh kita pakai untuk melihat sesuatu atau situasi yang akan terjadi, atau kita akan meminta restu seperti umur panjang, kesehatan,” jelasnya.
Gravit sering memimpin ritus dan setiap ritus yang akan ia gelar bersama komunitasnya akan didahului dengan membaca tanda-tanda alam. Diakui, sebenarnya dari alam itu manusia bisa belajar banyak hal.
“Kalau kita mau belajar, melatih kepekaan kita dengan alam, termasuk kepekaan dengan leluhur, kita akan mudah memahami restu dari Sang Kuasa. Jadi semuanya kembali ke diri masing-masing. Kalaupun kita berbuat baik, rendah hati, atau kita disiplin dengan ajaran dan aturan, pasti kita cepat sekali bisa dekat dengan alam semesta itu,” kata Gravit sembari menegaskan bahwa memahami diri sendiri, memahami hati, akan memudahkan juga untuk memahami tentang alam.
Sebenarnya tujuan utama manusia (hidup di kayombaan atau kayobaan) adalah bagaimana menjaga hubungan erat dengan alam semesta. Menjaga hubungan erat dengan alam semesta sama juga dengan menjaga hubungan erat dengan Sang Khalik.
“Di agama manapun kita diajarkan untuk menjaga alam semesta ini jangan sampai rusak. Itu penting, karena mau menjaga keseimbangan. Bagaimana jadinya masa depan anak-anak kita nanti kalau alam ini sudah rusak?” ujarnya.
Gravit menilai, kini manusia harus berhadapan dengan kendala serius. Perkembangan teknologi ikut memengaruhi orang, sehingga tidak lagi mau ambil pusing dengan alam sekitar. Dicontohkan, paling dekat dengan kehidupan sehari-hari adalah kebiasaan membuang sampah sembarangan hingga merusak ekosistem.
“Kalau sekarang kita susah air, itu karena perbuatan manusia sendiri juga. Makanya kembali lagi ke diri sendiri. Kalau kita taat aturan, kita disiplin, kita bikin sesuatu yang bagus, pasti alam semesta juga menjadi bagus,” tandasnya.
Budayawan Minahasa, Fredy Wowor, menjelaskan bagi tou Minahasa alam semesta ini diumpamakan sebagai “saudara tua” dan Sang Pencipta adalah orang tua dari manusia dan alam semesta itu. Dalam hubungan antara manusia, alam dan Tuhan inilah terjalin kelangsungan hidup itu sendiri.
“Jadi dalam hubungan kekeluargaan inilah sebenarnya kita selalu terikat dan dalam konteks seperti inilah orang Minahasa menyebut kayombaan atau alam semesta ini sebagai tou ure, saudara tua. Sang Pencipta dalam bahasa kami disebut Casuruan Wangko dan kita semenonou. Bersama kita itu ada hewan, tumbuhan dan seluruh kehidupan yang bisa saja kelihatan maupun yang tidak kelihatan,” jelas Fredy.
Manusia disebut tou karena mengandung dalam hakekatnya daya hidup. Dalam bahasa selanjutnya, daya hidup itu berhubungan sekali dengan keberadaan alam semesta. Fredy memberikan contoh, manusia bernafas, dalam bahasa ilmu pengetahuan hari ini menghirup oksigen, itu bersumber dari alam atau tumbuh-tumbuhan. Sebaliknya, apa yang dikeluarkan oleh manusia juga menjadi daya hidup bagi alam semesta, di dalamnya ada tumbuhan dan hewan.
“Sementara eksistensi kehidupan kita sebagai tou dan juga kayombaan itu sendiri, justru memperkuat korelasi kita dengan Sang Pencipta. Karena dengan kita mengolah daya hidup, jadi bukan pasif, sebab ada daya hidup di situ, kita itu mengungkapkan sebenarnya, mengekspresikan kehidupan kita sendiri ternyata ada sumber kehidupan yang abadi, yaitu Sang Pencipta,” terang Fredy.
Memelihara hubungan itu sebenarnya manusia terikat sebagai satu kesatuan. Sebagai manusia dan kemudian sebagai bagian dari alam, dan juga dalam hubungannya dengan orang tuanya yaitu Sang Pencipta. Jadi ikatan inilah yang dibayangkan sebagai sebuah ikatan kekeluargaan yang berhubungan dengan kelangsungan hidup.
“Ada ungkapan, ‘Tou tumoutou, wo tou mamuali tou’. Manusia, dengan bertumbuh dia belajar untuk mengenal dirinya agar dia memiliki pengetahuan dengan keberadaan kehidupan itu, sehingga lahirlah ungkapan ‘Jadi tahu diri’,” ujarnya.
Dengan manusia tahu diri, ia juga memahami ternyata ada yang menjadi sumber. Dalam hal inilah kuasa dari Sang Pencipta. Terjadilah kemudian upaya untuk apa, dari tahu diri, manusia jadi tahu Tuhan. Dalam konsep seperti inilah terjalin ikatan nilai-nilai sebenarnya di dalam diri manusia dengan alam semesta, dan dengan Tuhan.
“Inilah yang dalam ungkapan kita, ‘So ini depe tiga batu dodika’,” ucap Fredy.
Kelangsungan hidup itu sendiri tidak bisa pincang. Ketika manusia lupa akan keberadaan dirinya di alam semesta, dia ibarat akan menggali kuburannya sendiri. Karena apa? Kalau sikap hidupnya sendiri tidak bersinergi, tidak menyatu dengan alam, maka dengan sendirinya di masa depan ia boleh jadi korban atau kemudian generasi yang akan datang.
“Selanjutnya dalam hubungan seperti ini juga, orang kan kalau misalnya mengalami sesuatu, pertama-tama justru bukan merefleksikan keberadaan, mungkin saja salah dia. Tapi biasanya ‘Mungkin Tuhan so nda sayang pa torang’, padahal kita sebenarnya yang tidak sayang diri. Itu terlihat dari perilaku kita, dari hubungan kita dengan saudara kita alam semesta. Jadi dari sinilah sebenarnya ikatan-ikatan nilai itu dibangun,” jelasnya.
Foso Menjaga Keseimbangan Relasi
Di Minahasa hari ini, foso atau ritus-ritus itu sering diistilahkan dengan “ba ator”. Ba ator adalah proses untuk menggelar upacara atau ritus itu. Istilah ini sangat berkaitan dengan upaya untuk menjaga hubungan yang baik dengan Sang Khalik dan alam semesta.
“Upacara atau ritual-ritual ini, contoh kalau mo ba ator itu dibahasakan mahelur. Mahelur itu mau membujuk. Upaya manusia untuk berdamai dengan Sang Pengada Kehidupan dan dengan alam. Upaya-upaya membujuk ini semua demi keberlanjutan manusia, demi keberlanjutan alam,” kata Rinto Taroreh.
Masyarakat adat Minahasa mengenal banyak foso. Rata-rata ritus itu merupakan upaya untuk menjaga hubungan dengan Sang Khalik, memelihara hubungan dengan alam, dan makhluk hidup yang lain. Rinto memberikan contoh ritus yang biasa digelar di kampungnya, wanua (desa) Warembungan. Sebuah ritus yang mereka sebut “Ruma’mus Enggio’”.
“Prakteknya kita mendatangi mata air yang ada pancuran dari bambu, di situ kita membasuh wajah. Ini bukan hanya sekedar membasuh wajah, tapi lebih daripada itu. Ketika kita sampai di tempat itu, kita menjaga kebersihannya, di samping itu kita mengamati bagaimana pohon-pohon di sekitar situ supaya tetap terjaga sumber kehidupan ini,” jelasnya.
Fungsi dari upacara adat Ruma’mus Enggio, bagian dari menjaga alam, bagian dari menjaga sumber-sumber kehidupan. Selain itu, contoh ritus lain yang pernah digelar dan dipimpin oleh Tonaas Rinto Taroreh pada saat pandemi Covid-19 tengah berkecamuk adalah “I Tu’tul Suma’up”.
Dari ritus itu publik diedukasi. I Tu’tul Suma’up biasanya digelar untuk menolak bala, untuk menjauhkan semua bencana, semua sakit penyakit, semua gangguan yang mengancam kehidupan manusia, termasuk bencana alam.
“Ritus itu juga terkait dengan upaya kita menjaga alam ini. I Tu’tul Suma’up artinya menata kembali alam tempat berpijak, menata kembali alam dengan cara babuju (membujuk). Di saat kita datang ke tempat itu, kita menata ulang. Di situ juga kita menata cara pandang, bagaimana mau bersikap terhadap alam ini. Terutama kita semua yang ikut serta dalam upacara. Karena itu melibatkan banyak orang, jadi ada edukasi juga di situ. Di samping dia ritus, kita juga diajarkan bagaimana upaya-upaya, cara-cara untuk pelestarian alam,” papar Rinto.
Ingatan sejarah tou Minahasa merekam, upaya penghilangan ritus-ritus warisan leluhur terjadi secara sistematis sejak era kolonial. Fakta lain di kemudian hari, justru ada orang Minahasa yang mulai jauh dari tradisi dan meninggalkan ritus-ritus “penjaga kehidupan” itu. Kondisi ini dinilai memiliki korelasi dengan sikap manusia yang kemudian tidak menghargai lagi alam dan lingkungan.
“Kalau di Warembungan sini, contoh kalau kita berjalan ke kebun, jangankan pohon, rumput saja tidak bisa sembarang dipotong. Karena, bisa saja di situ ada sumber obat-obat makatana, apalagi pohon besar. Dengan ini berjarak, kita tidak tau lagi pengetahuan ini. Ada sesuatu yang menghidupkan kita di situ, tapi sudah berjarak karena pola pandang sudah berbeda,” tutur Rinto.
Kehilangan ritus-ritus berarti kehilangan pengetahuan terkait dengan ritus itu, juga kehilangan pengetahuan untuk menjaga keselarasan dengan alam. Itulah mengapa kehilangan nilai dari ritus itu menjadi ancaman serius bagi kehancuran alam di tanah Minahasa hari ini. Paling tidak ikut memberi kontribusi bagi kehancuran alam.
“Karena bilangan pengetahuan, kehilangan kesadaran akhirnya manusia di sekitar yang harus menjaga lingkungan itu justru berkontribusi bagi penghancuran situs-situs yang ada di tanah Minahasa. Termasuk penghancuran tanah, lingkungan, alam semesta yang ada di tanah Minahasa. Kalau kita kenal ritus kita, pengetahuan kita, setidaknya bisa terminimalisir upaya-upaya pengrusakan, tindakan mengeksploitasi itu,” terang Rinto.
Budayawan Minahasa, Gravit Toalu juga menegaskan tentang pentingnya ritus dalam kaitan dengan menjaga alam, lingkungan hidup. Sebab tradisi menjaga hubungan dengan Sang Khalik, termasuk dengan alam, atau nilai-nilai pengetahuan yang terkait dengan itu juga dipelajari dari ritus-ritus.
“Di kampung kami, Sonder, ada ritus pa’sil. Ritus ini biasa dilakukan pada tanggal 31 Januari, saat pergantian tahun. Jadi kita kembalikan syukur atas hasil yang telah kita terima di tahun yang akan lewat, kita kembalikan ke Sang Kuasa, kemudian kita meminta lagi sesuatu yang baru atau berkat-berkat yang baru untuk tahun yang akan datang. Ucapan syukur itu juga diwujudkan dengan beberapa simbol,” kata Gravit.
Di ritus pa’sil ada usaha yang dilakukan untuk memelihara hubungan yang baik dengan alam semesta. Tata cara dalam ritus itu secara tegas mau menggambarkan sekaligus menegaskan sebuah pesan tentang sebuah tanggung jawab penting untuk memelihara hubungan yang baik dengan Sang Khalik, dengan makhluk hidup yang terlihat maupun yang tidak terlihat, termasuk dengan alam semesta.
Dalam ritus ini ada maweteng, wujud pemberian segala hasil yang diterima seperti padi, umbi-umbian, yang merupakan sebuah simbol. Semua itu dikembalikan kepada Sang Kuasa lebih dahulu sebagai wujud syukur. Di situ ada juga ritus sumoring, memanggil burung untuk mendengarkan tanda, petunjuk dari Sang Khalik.
“Setelah atur semua, baru kita sumoring. Kita meminta tanda, apakah yang sudah kita lepas ini, kita persembahkan ini diterima atau tidak. Ketika proses sumoring, tandanya datang, baru kita tahu ternyata yang kita kasih ini berkenan di hadapan Sang Kuasa,” jelas Gravit.
Ekspresi syukur harus dilakukan pada bagian awal ritus pa’sil, baru kemudian meminta lagi agar di tahun yang baru boleh diberikan kesehatan, kekuatan, kemudian tidak mengalami kesulitan dalam hal usaha atau mata pencaharian.
“Itu budaya yang masih kita jaga di Sonder ini. Ada banyak ritus yang masih kita lakukan hari ini dalam rangka itu, sebagai wujud syukur dan ruang permohonan, tapi juga untuk memelihara hubungan yang baik dengan Sang Khalik, para leluhur, makhluk hidup yang lain, dan lingkungan di mana kita hidup,” terangnya.
Tata cara dalam ritus pa’sil harus dilaksanakan dan diikuti dengan baik, karena dalam pemahaman sebagai awal untuk melangkah di tahun yang baru. Kalau tidak ikut dengan baik tata cara pa’sil, hal itu bisa menjadi gambaran tentang hati mereka tidak sungguh-sungguh dalam menyampaikan syukur dan permohonan. Itu juga menggambarkan mereka tidak disiplin untuk menapaki tahun yang baru.
“Kalau kita tidak melakukan itu, berarti kita mengandalkan kekuatan diri sendiri. Tidak mengandalkan kekuatan dari Sang Kuasa,” kata Gravit.
Ritus, tata cara, disiplin, sangat berpengaruh bagi perilaku manusia terhadap alam. Tou Sumonder memahami, kalau tidak mengikuti tata cara, tidak disiplin dengan itu, maka mereka bisa saja nanti abai dan berlaku semena-mena terhadap alam semesta, lingkungan tempat mereka hidup, terhadap sesama, dan yang pasti perilaku itu bisa merusak relasi dengan alam, dengan sesama dan Sang Kuasa.
“Ritus-ritus yang kita gelar itu terkait dengan alam, termasuk sumoring, karena mau mendengar tanda-tanda alam. Ketika alam itu dirusak, maka terganggu juga ritus itu. Ketika ritus itu terganggu, maka terganggu juga proses pewarisan pengetahuan terhadap generasi yang lain,” jelas Gravit.
Alasan itulah sehingga mereka harus menggelar ritus itu, sebab dianggap sangat berpengaruh bagi kehidupan mereka. Ketika menapaki tahun yang baru, pasti ada banyak masalah yang akan dihadapi. Kalau tidak meminta tanda dari alam, sesuatu yang diberikan oleh Sang Kuasa, mereka meyakini akan berhadapan dengan berbagai masalah saat akan menggelar ritus yang lain, saat akan bekerja, melaksanakan segala aktivitas. Akan ada musibah atau kejadian alam yang akan terjadi kelak.
Menurut pengalaman masyarakat terkait dengan ritus sumoring, segala sesuatu yang terjadi di alam, seperti di tempat mereka tinggal, tanda itu sudah datang lebih dulu. Dia sudah memberi tahu lebih dulu apa yang akan terjadi.
“Alam pasti memberi tanda. Misalnya ada yang akan meninggal, alam akan memberi tanda jika di desa ini ada yang akan meninggal. Dari tanda itu kita sudah bisa mengetahui. Orang akan mengatakan dalam bahasa Tontemboan, ‘Awean kere’ ka’ay maya’. Berarti ‘So ada ka’ay tu mo ba jalang pulang’. Makanya kita sudah tidak akan kaget kalau dapat info ada yang meninggal,” terang Gravit.
Menurutnya, kalau alam terpelihara, mereka dengan mudah membaca tanda-tanda alam. Sebaliknya kalau alam itu sudah rusak, akan berpengaruh juga terhadap alam, lingkungan tempat mereka tinggal. Dari situ mereka sadar betapa penting menjaga kelestarian alam.
“Karena itu juga, kan waktu di zaman dulu, ketika zaman perang kita bisa membaca tanda alam kalau ada yang akan datang ingin merusak kampung kita. Ada yang akan menyerang kampung kita. Kalau kita tidak memelihara hubungan dengan alam, dengan Sang Kuasa, atau ritus itu tidak kita buat, pasti tanda itu tidak akan ada,” ucap Gravit dengan nada penuh keyakinan.
Bagi orang Minahasa, bagi tou Sumonder, sangat penting menjaga lingkungan, karena dia memiliki korelasi yang kuat sekali dengan ritus yang biasa digelar. Sementara ritus itu menjadi salah satu bagian penting dari usaha untuk menjaga hubungan dengan alam dan Sang Khalik. Kalau ritus itu tetap ada, maka pewarisan pengetahuan untuk menjaga keselarasan dengan alam akan terus ada.
Fredy Wowor menjelaskan, ritus dalam bahasa yang paling netral adalah tata cara hidup. Ada ungkapan Minahasa yang mengatakan, “Empung maherur kayombaan, tou timatar kayombaan”. Artinya, Sang Pencipta telah mewujudkan, telah membentuk, mendudukkan semua keberadaan alam semesta ini.
“Dalam bahasa yang sering dipahami, diciptakan oleh Sang Pencipta. Makanya Dia ada gelar sebagai Sang Pencipta. Lantas di mana peran kita sebagai ciptaan? Tugas kita adalah memelihara kedudukan ketetapan-ketetapan ini,” ujarnya.
Dari filosofi yang terungkap dalam syair, “bilangan tua”, orang Minahasa dapat menemukan apa yang dikenal sebagai peli’i, posan, maherur. Semua itu sebenarnya merupakan tata cara yang harus lahir karena manusia mau menjalin hubungan dengan Sang Pencipta. Karena manusia hanyalah sebatas ciptaan. Jadi upaya untuk menjalin hubungan dengan Sang Pencipta, dimediasi dengan adanya saudara tua, alam semesta.
Simbol-simbol yang bisa dilihat sebagai daya-daya kuasa dari Tuhan, yang pertama dapat dilihat dalam artian material secara faktual adalah tanda-tanda alam. Contoh, misalnya kuasa matahari yang memberikan daya hidup bagi tumbuhan-tumbuhan, sehingga dari dalam tanah dia boleh keluar, bertunas dan seterusnya. Hujan yang membawa kesegaran pada kehidupan itu sendiri, memberikan juga kelangsungan bagi manusia dalam kebutuhan-kebutuhan hidup.
“Kita juga berhubungan dengan angin yang mewujud sebagai simbol, katakanlah sumber dari pernafasan, dan lain-lain. Kita juga berhubungan dengan hutan, rimba, kilat, halilintar, gempa bumi. Tanda-tanda alam itu menunjukkan kepada kita ada daya-daya, ada kuasa-kuasa yang manyimbolisasikan kekuasaan Sang Pencipta,” tandas Fredy.
Dengan memperhatikan tanda-tanda di alam semesta ini, manusia boleh mengenal betapa besar kuasa Sang Pencipta. Dan untuk memuja kebesaran Sang Pencipta inilah, tata cara-tata cara hidup itu dilaksanakan, dalam bentuk yang dikenal dalam bahasa tana’ Minahasa dengan peli’i atau posan. Peli’i atau posan pada dasarnya artinya sama, tata cara hidup, tetapi dikenal dengan pemahaman “jangan sembarangan”.
“Jadi hidup ini tidak bisa sembarangan, maka lahirlah konsep-konsep yang hari ini kita kenal sebagai ‘Apa tata cara itu, itu yang kita upayakan sekuat mungkin, sepenuh hati kita lakukan’. Dari situlah lahirlah konsep modern, disiplin. Baru totalitas kita untuk melaksanakan itu kan membentuk keyakinan kita yang hari ini kita kenal sebagai tata cara beragama, dan lain-lain. Nilai-nilai religiusitas itu kan membentuk dalam laku,” terangnya.
Hal itulah yang kemudian menjadi latar belakang sampai kemudian manusia berinteraksi dengan alam semesta, karena mereka ingin memuja kebesaran Tuhan.
“Media yang kemudian kita kenal awalnya, kalau misalnya masuk secara lebih detail, dalam tata cara kita secara umum kita mengenal misalnya balepas atau rumeta’ atau maweteng. Itu kan kita mau sumiri’, memuja kepada Sang Pencipta. Dengan apa? Dengan menggunakan simbol seperti sirih, pinang, kapur, baru kemudian media-media yang lain, tergantung pada konteks mana kita mau melaksanakan tata cara-tata cara itu sebenarnya,” paparnya.
Fredy menjelaskan, tata cara dan simbol-simbol yang digunakan dalam ritus itu yang di luar, tapi yang di dalam, wujud yang lebih dalam sebenarnya, sesungguhnya adalah laku hidup sehari-hari sebagai ritual sehari-hari. Mulai dari bangun pagi, dari saat memulai aktivitas, setelah aktivitas itu selesai, saat hendak beristirahat, siklus kehidupan itu tidak lain dari mewujudkan apa yang diharapkan Sang Pencipta.
“Apa yang diharapkan dari kita, ‘Tou ya menou’. Manusia itu, makhluk hidup itu, tugasnya adalah bahidop. ‘Tou menou. Sa menou, ya matou’. Maksudnya, ‘Kalu ngana ada bahidop, ngana musti baprinsip’. ‘Sako matou, ya manonou ang kayombaan’. Maksudnya apa? Jadi pilar kehidupan. Di situlah terjalin ikatan di awal tadi, generasi hari ini tidak mungkin eksis tanpa generasi sebelumnya. Begitu juga generasi yang akan datang tidak mungkin akan menikmati apa yang dipercayakan leluhur kita kepada kita hari ini, kalau generasi kita hari ini egois,” ulas Fredy.
Egois, mementingkan diri sendiri, membuat manusia lupa bahwa ada generasinya, anak cucu mereka. Jadi mereka adalah “kita” atau “saya”, tidak ada beda, hanya mewujud dalam kehidupan di masa depan nanti. Dalam prinsip seperti itulah, dan itupun sudah disimbolisasikan ketika “saya” mewujud dalam figur hari ini.
Dijelaskan Fredy, manusia itu ada bagian mukanya atau wajahnya dan bagian belakang, dan tidak mungkin hanya muka yang kelihatan. Begitu juga tidak mungkin hanya belakang yang kelihatan. Ada muka, belakang, ada kirinya dan ada kanan, tetapi semua itu tidak bisa dilihat sepenggal-sepenggal. Harus utuh. Dalam keutuhan itulah manusia mau memuja kebesaran Tuhan.
“Dengan apa? Dengan melaksanakan tugas. Apa tugas kita? Hidup, hidup sepenuhnya. Dalam proses pencaharian itulah kita bergaul dengan alam semesta. Makanya dalam bahasa hari ini, alam semesta disebut lingkungan hidup. Tidak ada yang bilang lingkungan mati. Ini lingkungan kehidupan,” tandasnya.
Agar bisa hidup, manusia harus memelihara lingkungan kehidupannya. Fredy mencontohkan, kalau manusia mengambil sesuatu dari alam semesta, sederhana untuk makan tapi sudah tercemar, ia pasti sakit. Sebagaimana alam itu sakit, manusia akan sakit. Dan ketika sudah sakit karena makanan, ia juga sudah tidak sehat, akhirnya daya keselarasan tubuh itu memudar.
Bukan hilang, tapi memudar. Pikiran jadi tidak menentu, hati juga tidak tetap, fisik pun jadi pincang. Ketika semua ini terjadi, manusia mulai menggerutu dan mulai mencari siapa yang akan disalahkan. Kalau hanya dalam hubungan seperti ini, lebih cepat yang akan disalahkan adalah yang tidak bisa dilihat. Walaupun Dia dekat sekali dengan manusia, di hati.
“Kita mulai menyalakan Tuhan, dan itu yang terjadi. Menurut saya, dalam konsep seperti itulah sebenarnya impact–impact-nya. Dari bagaimana alam itu kalau kita jaga, apa impact-nya. Kalau kita biarkan, apa impact-nya?” kata Fredy.
Teknologi Modern dan Perilaku Manusia
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat memengaruhi generasi hari ini. Itu kemudian memengaruhi perilaku mereka terhadap alam. Termasuk sikap kepedulian mereka terhadap tradisi budaya.
Gravit Toalu berpendapat, ketika manusia hari ini telah hidup dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) modern, kadang muncul sikap “pandang enteng”, acuh tak acuh.
“Misalnya sekarang, pertambangan dengan peralatan besar, pengeboran panas bumi, limbah-limbah mereka disalurkan di tempat lain. Misalnya sungai. Air sungai sebenarnya masih dibutuhkan untuk digunakan, namun sudah jadi tempat pembuangan limbah,” kata Gravit.
Bicara alam, termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan. Kalau manusia peka dengan hewan, misalnya burung, kemudian burung itu akan mencari ikan di sungai, di alam sekitar lokasi pertambangan. Kalau sudah rusak, dia tidak bisa lagi mencari makan di situ. Sementara mereka salah satu penanda atau pemberi tanda bagi masyarakat Minahasa.
“Di sini kita bisa melihat bagaimana iptek merusak banyak hal, termasuk pribadi kita. Makanya saya katakan, semua harus dimulai dari pribadi masing-masing dulu. Kalau kita ikut aturan, sudah tahu mana yang bagus, kita akan tahu apa yang akan kita buat. Kasihan alam, jadi kita sudah tau harus buat seperti apa. Jadi kita sudah ada kesadaran diri sendiri sebenarnya kalau suka dekat dengan alam dan Sang Kuasa,” ujarnya.
Ditegaskan, teknologi pertambangan hari ini merupakan buah dari iptek. Sebab tambang kini dikerjakan dengan teknologi yang luar biasa, tapi dia merusak. “Tambang itu merusak lingkungan kita. Contoh burung, populasi di situ banyak namun karena alam sudah rusak jadi dia berpindah. Kalau sudah begitu, di mana lagi kita akan mencari penanda itu saat akan menggelar ritus?” ketusnya.
Kini, secara global dunia sedang mengalami kepunahan, bumi dirusak, perambahan hutan di mana-mana. Perambahan hutan di satu wilayah bisa mencapai ratusan hingga ribuan hektar, untuk kepentingan industri pertanian, untuk pertambangan atau wilayah eksploitasi pertambangan. Kondisi itu jelas sangat mengancam kehidupan nyata, termasuk kehidupan manusia di tanah Minahasa, Sulawesi Utara.
Belajar dan berefleksi dari pengalaman pengetahuan yang yang diwariskan para leluhur, menurut Gravit ada sejumlah hal penting yang perlu diingat tou Minahasa, bahkan manusia secara umum di dunia ini, dan secara khusus bagi generasi hari ini dan berikutnya. Upaya menjaga tradisi, otomatis memiliki korelasi dengan menjaga lingkungan tempat manusia hidup.
“Kalau saya secara pribadi rindu, di lingkungan tempat saya tinggal, teman kita atau komunitas kita boleh bersatu untuk mencegah (ancaman kepunahan) itu. Karena kalau hanya mau berdiri pada pemikiran sendiri atau kita hanya maju sendiri, tidak akan maju-maju,” tutur Gravit.
Menurutnya, penting juga berkumpul orang-orang yang berwawasan luas atau berkeinginan kuat untuk melindungi tanah Minahasa, supaya jangan sampai rusak. “Kan kasihan anak cucu kita nanti. Mereka kasihan harusnya mengecap apa yang ditinggalkan leluhur tapi sudah tidak ada,” kata Gravit dengan nada prihatin.
Penting bagi manusia di tanah Minahasa kini untuk sadar dan tidak egois dengan kehidupan sekarang, kemudian ikut berpikir untuk generasi berikutnya. “Seharusnya kita bersatu untuk menjaga tanah kita. Usahakan jangan ada pabrik-pabrik yang merusak alam sekitar. Bukan menolak teknologi dan pabrik-pabrik, tapi kerusakan yang akan ditimbulkan yang kita tolak. Harus dicarikan solusi. Misalnya kalau limbah, bisa didaur ulang agar tidak merusak lingkungan,” ungkapnya.
Bagi masyarakat adat Minahasa, ada tempat-tempat tertentu yang tidak bisa “disentuh”, tidak bisa dirusak. Ketika wilayah itu terancam, di situ tou Minahasa dari berbagai elemen harus berpikir bersama untuk mencari solusi.
“Misalnya, kalau proyek pemerintah, kita bisa geser sedikit dari tempat itu. Solusi harus dicari bersama agar tidak menciptakan konflik. Kita harus bisa bicara baik agar tidak merugikan kita, merugikan alam tempat kita tinggal, tapi tidak juga merugikan negara,” tegas Gravit, pendiri dan penggerak Kawasaran Sumonder.
Menjaga Pegetahuan Warisan Leluhur
Rinto Taroreh, sosok yang dikenal sebagai orang yang kukuh, penuh semangat untuk memperjuangkan agar tradisi budaya Minahasa tetap lestari, termasuk ritus-ritus untuk menjaga hubungan dengan Sang Khalik, alam semesta dan makhluk hidup yang lain. Berbagai upaya telah dilakukannya secara sadar untuk mengedukasi, membantu tou Minahasa yang lain agar sadar tentang pentingnya ritus, sadar tentang pentingnya tradisi pengetahuan warisan leluhur dalam kaitan dengan menjaga hubungan dengan alam semesta. Salah satunya diwujudkan melalui kegiatan sekolah adat yang biasa disebut “Papendangan”.
Di “Papendangan”, Rinto bersama para penggerak Sekolah Adat “Waraney Wuaya”, Sekolah Adat “Tou Mu’ung Wuaya”, Sekolah Adat “Kumatau”, dan sejumlah pegiat budaya Minahasa, melakukan edukasi tentang betapa pentingnya menjaga kelestarian alam.
Kedua, melakukan tindakan nyata dengan menjadi teladan dalam menjaga situs-situs warisan leluhur, tempat kaopoan (yang dipercaya sebagai tempat berdiam roh-roh suci) seperti kawasan hutan dan mata air.
“Kenapa itu penting? Salah satu contoh kasus ada di kampung Sea, yang berdekatan dengan Warembungan, yang masih masuk wilayah adat Warembungan, ada sumber air di situ. Di sumber air itu ada pohon-pohon besar. Wilayah dari hutan ini yang kemudian coba dirambah oleh kelompok tertentu. Hutan di situ sudah ratusan tahun tidak dirambah, kini dirusak. Imbas sekarang kan sumber-sumber air di situ semakin mengecil dan jelas berdampak bagi kehidupan manusia sangat membutuhkan air. Apalagi di musim kemarau seperti sekarang. Otomatis dampaknya sangat dirasakan masyarakat yang berada di sekitar hutan itu,” ungkapnya.
Rinto menjelaskan, “Papendangan” adalah sistem pendidikan khas orang Minahasa. Kegiatan ini tetap ia lakukan secara rutin dengan komunitasnya dan para penggerak sekolah adat, sebab di dalam “Papendangan” ada materi-materi untuk mengajarkan peserta agar mendapatkan pengetahuan bagaimana menjaga hubungan dengan Sang Khalik, dengan sesama makhluk hidup yang lain, termasuk dengan alam semesta.
Kegiatan seperti itu rutin dijalankan seiring dengan program dan kegiatan-kegiatan lain untuk mengedukasi publik, seperti pembersihan aliran-aliran air di wilayah matai air.
“Itu upaya-upaya nyata dari dari teman-teman. Jadi secara rutin kita melakukan pembersihan di sekitar sumber air, situs yang bagi orang Minahasa dianggap tempat berdiam roh-roh suci, karena itu penting untuk dijaga,” kata Rinto, sosok yang selama ini dikenal sebagai pejuang berbagai kepentingan masyarakat adat di Minahasa yang pernah diganjar pemerintah dengan penghargaan Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) sebagai pelestari seni tradisi Minahasa.
Refleksi Tou Minahasa
Lingkungan tempat manusia hidup kini sedang terancam. Alam semesta sedang tidak baik-baik saja, ia sedang sakit. Di mana-mana, bahkan di tanah Minahasa, perambahan hutan, perusakan lingkungan itu terjadi. Masyarakat bisa menyaksikan kehadiran industri-industri pertanian yang kemudian memakan tanah yang cukup luas hingga mencapai ratusan bahkan ribuan hektar, perusahaan-perusahaan tambang skala besar yang kemudian merusak lingkungan, merusak alam. Masyarakat kemudian melihat banyak data dan fakta hari ini bahwa penghancuran bumi terus terjadi karena tindakan dan ulah manusia.
Merespons ancaman kemusnahan bumi, ada pesan penting yang harus diingat oleh tou Minahasa, bahkan oleh segenap manusia yang mendiami bumi ini. Kata Rinto Taroreh, manusia tidak bisa berdiam. Ada sesuatu yang perlu diingat agar supaya bumi ini tetap lestari dan bisa tetap terus diwariskan kepada anak cucu, sebab apa yang orang perbuat hari ini menentukan yang akan datang.
“Kalau kita tidak menjaga tanah ini, yang memberikan kehidupan untuk kita, yang paling berdampak sabantar adalah pada kita. Tapi yang paling berdampak adalah kepada anak cucu kita. Sudah keterlaluan kita yang makan dari tanah ini, yang minum dari hasil tanah-tanah ini, kemudian tidak menjaga sumber kehidupan ini. Karena sumber kehidupan ini bukan hanya untuk kita hari ini, melainkan sampai kepada anak cucu kita ke depan,” tegasnya
Segenap tou Minahasa harus berjuang keras, bersatu untuk menjaga agar tanah sumber kehidupan tetap lestari dan memberikan kehidupan yang baik hari ini, dan bagi anak-cucu di kemudian hari.
“Mari kita sama-sama jaga dan lestarikan alam ini sebagai sumber kehidupan. Hal sederhana yang bisa kita lakukan di rumah, terutama sampah. Jangan sembarang membuang sampah. Kalau di kelompok, komunitas kita, upaya-upaya pelestarian ini dilakukan dengan menjaga sumber-sumber mata air, menjaga hutan. Itu penting menjadi kerja-kerja konkret kita,” pesan Rinto.
Fredy Wowor mengatakan, cara bagaimana menjaga hubungan dengan “saudara tua”, alam semesta, termasuk dengan Sang Khalik, dapat ditemukan dalam banyak ungkapan tou Minahasa. Contoh ungkapan para leluhur yang berhubungan dengan terminologi menyatu dengan semesta, “Maasar im banua, kumampet a si Casuruan, esa ka’ rondor, tou manonou kayombaan”.
“Dalam ‘Maasar im banua’, banua tidak hanya dalam pengertian kampung, tapi dalam pengertian alam semesta. Kumampet a si Casuruan, esa ka’ rondor, maksudnya berpegang. Itu kita sering mendengar kata ampet atau kampet, sebenarnya dalam konsep seperti itu. Kita baku kele (saling mengaitkan tangan), saling berpegangan tangan, jabat tangan dengan erat, bahkan sedekat mungkin. Kampet kan sama dengan menempel betul, pada Dia yang tulus hati. Dia kan tidak ada prasangka saat menciptakan kita. Disebutlah dia ‘Saka’ Rondor’. Tou manonou kayombaan’. Artinya sudah hidup, tidak asal hidup, tetapi untuk menjaga kelangsungan hidup,” terang Fredy.
Dalam menjaga kelangsungan hidup itulah manusia menjadi tonggak, menjadi pilar. Diumpamakan sebagai sesuatu yang pun dibakar, bukan mau jadi abu tapi justru akan bertransformasi melahirkan sesuatu yang baru dengan kondisi yang ada.
“Manonow kayombaan itu dari terminologi manono atau babakar. Jadi, dipanggang oleh susahnya hidup pun kita baru akan dibentuk. Dibayangkan ibarat kalau dibakar mengeluarkan bau yang harum dan masak, kematangan. Itulah sebenarnya tugas manusia untuk hidup, jadi tonggak, jadi pilar, jadi penjaga peradaban. Kan yang membedakan kita adalah kita punya visi mengadabkan,” ujarnya.
Mengadabkan bukan dalam artian ada yang tidak beradab, tapi terus menggali, terus berkreasi, terus mencipta untuk membangun hubungan dengan Sang Pencipta.
“Dalam upaya menjalin hubungan dengan Sang Pencipta ini, karya hidup itu tampil dalam wujud keindahan. Itulah sebenarnya yang jadi prinsip hidup kita sebenarnya,” kunci Fredy. (*)
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan