OPINI
Membela (pluralitas) Bumi
Published
5 years agoon
By
philipsmarx1 Oktober 2019
Oleh: Frans Ari Prasetyo
Pemerhati masalah urban
ARGUMENTASI KONSEP HAK, khususnya hak individual, pada hakikatnya merupakan konsepsi borjuis dan produk dari masyarakat borjuis-kapitalis dengan tujuan untuk mempertahankan dan memperkuat posisi kelas yang berkuasa. Hak asasai manusia tidak bisa dicabut, sehingga yang menindas tidak dapat seenaknya mengatakan bahwa warga mereka mengorbankan atau secara sukarela menyerahkan hak-haknya (Nickel 1993). Maka, pentingnya meletakan hak apapun dan pemerataan penguasaan alat-alat produksi secara kolektif, bisa saja diatur oleh negara yang tujuannya sama, agar tidak ada ketimpangan, diskriminasi dan eksploitasi. Tapi kadang-kadang bahkan sering negara termasuk aparatusnya malah terlibat dalam penguasaan akses dan alat produksi ini, termasuk pola perampasannya yang tidak kalah sistemik.
Negara, kemudian menjelma layaknya korporasi yang melakukan praktik-praktik penghisapan terhadap state-society dengan membangunkan lintasan conveyor bagi kapitalisme untuk melakukan praktik akumulasi dan rente. Hubungan imperialisme yang ditimbulkan ketika adanya stigma negara atau daerah yang diberi label kekurangan, berkembang untuk segera dipenuhi dengan teknologi dan keahlian profesional untuk membantunya dalam pembangunan. Diskursus pembangunan selanjutnya akhirnya tidak memberi legitimasi pada segala bentuk cara dan pengetahuan positivistik sehingga cara atau praktik-praktik lokal dan bersifat endogenous seperti pertanian tradisional digusur oleh teknik revolusi hijau sekaligus menghancurkan segala bentuk formasi sosial non kapitalistik. Secara ekologis, developmentalisme mempunyai implikasi terhadap penghancuran lingkungan secara cepat dan sistematis serta selalu bermuka dua.
Hal ini mengingatkan kita kepada bahaya kooptasi yang timbul karena istilah-istilah lingkungan dan kiasan-kiasan lingkungan yang diambil alih oleh pemerintah, kelompok elite dan badan-badan internasional atas nama kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat pelestari lingkungan, tidak saja berhasil meredam muatan politik dari protes dan perjuangan pelestarian lingkungan tapi juga berhasil menjadikan gerakan pelestarianlingkungan sebagai bagian dari proyek pembangunan yang juga sangat disukai oleh kapital dan teknokrat.
Maka, ketika realitas kontemporer terkuak dan kemudian muncul gambaran hukum rimba, dimana yang lemah berhadapan dengan yang kuat dalam berbagai sektor dan formasi masyarakat. Ini berarti masyarakat atau manusia sedang menghadapi problem kemanusiannya. Suatu pluralitas interferensial menjadi tatanan dasar dari realitas. Pluralisme fundamental dari masyarakat sipil dalam berbagai kode, model dan metode dipraktikan dalam keseharian organik bukan pada pelbagai karya yang bersebelahan dengan narasi harian, melainkan bekerja saling berkelindan secara interferensial.
Skema perjuangan masyarakat sipil dalam membela kemanusiaannya dan membela bumi adalah bagian dari perjuangan yang lebih luas untuk mencapai endogenitas didalam dunia yang terancam oleh moderenisasi dengan tuntutan homogenitas. Percepatan menuju moderinitas yang berorientasi ke masa depan, sehingga “masa depan” memiliki status sebagai model yang terkadang kontrafaktual dengan kondisi spasial, kearifan lokal dan masyarakatnya sendiri (Prasetyo 2014).
Runtuhnya narasi besar mengakibatkan timbulnya pluraritas permainan tata kehidupan, maka pengetahuan dalam kerangka kerja realis saat ini tidak hanya berorientasi lagi pada kesatuan, keseluruhan dan kontinuitas melainkan pada instabilitas, paralogi dan diskontinuitas dari perjuangan naluri impersonal. Transmisi pengetahuan masyarakat dalam konteks hubungan manusia dan lingkungan (alam), kekuatan supranatural dan formasi sakralitas serta pembentukan identitas kelompok yang diiring dengan produksi memori kolektif. Awalnya semua bertaut dalam kerangka ekologis dalam praktik relasi bumi dan manusia, proses yang sangat erat hubungannya satu sama lain lalu bagaimana dikemudian hari terjadi terpisah lantaran kelanjutan dan perkembangannya termasuk beragam intervensinya.
Produksi materi dan produksi intelektual tertera dalam penjelasan bagaimana pada suatu era ide-ide kekuasaan dan kekerasan meresap dalam aktivitas keseharian masyarakat hingga mendapatkan posisi bahwa ide tersebut menjadi wajar, legal dan alamiah dan tidak dapat dibantah menggunakan logika apapun. Hal ini sebenarnya merupakan hasil produksi dari kelas-kelas yang berkuasa untuk menjaga kepentingannya dan memperahankan sistem yang dianutnya. Gagasan ini timbul dalam penerapan sistem politik, pandangan hidup, ideologi dan pra-anggapan dasar mengenai inti kemanusiaan yang merujuk pada kesadaran, pengalaman individu bahkan kolektif yang menjalar hingga ranah ideologis dan pada titik agama.
Jika mengutip Cohen (2001) bahwa “agama adalah teriak dari kelas terdindih, yang berarti Marx dan Engels juga menyadari bahwa melalui agamalah orang terdindih dapat menyuarakan ketidakpuasan. Membela pluralitas bumi harusnya menjadi nilai yang sangat luas, bersifat holistik, elektik dan spesifik dengan mencakup beragam gejolak serta konflik, karena hanya dengan memasukan persepsi-persepsi yang berlainan itu, seperti perjuangan gender, ekologi, etnisitas, kelas dan hak asasi manusia yang terpisah-pisah kedalam konsepsi bersama tentang penataan atau mempertahankan ruang hidup, maka kehidupan bersama masih memiliki harapan.
Krises ekologis muncul akibat teknologi ditangan manusia yang mengintervensi berlebihan proses-proses alami kosmos sehingga memburuk. Gail Omvedt (1993) menunjukan bahwa meskipun kemorosotan lingkungan dialami pada tingkat konsumsi dan ditolelir karena orang-orang bernaluriuntuk menjaga keberlangsungan kehidupan ekonomis, kemerosotan lingkungan ini merusak kondisi-kondisi produksi petani, nelayan, pemburu dan peramu ; kemerosotan lingkungan itu berdampak buruk pada proses-proses produksi mereka sendiri, bukan semata-mata pada kualitas hidup mereka sehari-hari. Konsumsi orang-orang kaya menyebabkan masalah ingkungan orang miskin , apapun agamanya diantara mereka.
Corak produksi kapitalisme dalam dirinya mengandung masalah yang menyebabkan ketimpangan. Ini terjadi lewat hukum konsentrasi, sentralisasi, dan akumulasi dalam kapitalisme. Konsentrasi terjadi dalam bentuk konsentrasi spasial, dimana kapital secara spasial mengumpul dibanyak tempat di bumi ini dalam arena perdesaan maupun perkotaan dengan beragam varian, jenis, cara dan metode. Begitu pun praktik kolonialisasi diduplikasi ulang secara kontemporer. Sejarah kolonialisme memberikan pengalaman dalam proses pengambilan tanah-tanah terbaik adat untuk kepentingan pembangunan orang lain, seperti melalui dam-dam, tambang-tambang dan perkebunan komersial (Vellamkunel 1989). Proses –proses ini bekerja secara konsentrasi dan sentralisasi nyata, terbuka dan kadang naif terhadap sektor agraria.
Konsentrasi dan sentralisasi ini pada dasarnya menubuh dalam—memasilitasi dan difasilitasi oleh—akumulasi. Karena adanya konsentrasi spasial, maka harga tanah di berbagai tempat, terutama perkotaan atau area yang akan dijadikan project infrastruktur pemerintah semakin tinggi dalam fungsi waktu, dan ini membuat kapitalis properti melakukan akumulasi kapital yang lebih cepat dengan menggunakan modal dan memanfaatkan pemerintah. Sentralisasi sendiri berbentuk pemusatan nilai-guna di tangan para kapitalis. Misalnya, di satu sisi, angka statistik memperlihat kecenderungan meningkat petani tuna kisma (tanpa tanah) dari total rumah tangga petani dan penggusuran-penggusuran kaum miskin kota yang marak terjadi. Di sisi lain, kelompok delevoper justru hidup bergelimang tanah akibat agresi kapital dan kontribusi pemerintah sendiri.
Pluratitas bumi, kemudian diwujudkan sebagai pembelaan terhadap kemanusiaan dan sektor-sektor kehidupan rentan.
Pertama, membela bumi itu membela hutan, karena hutan ini penuh penafsir yang terlalu bersemangat. Dalam membela hutan ini, motifnya tidaklah ekologis, kepentingannya adalah kepentingan hidup. Hutan sebagai penyangga kehidupan: ekologis, ekonomi, dan sosial budaya dan manusia merupakan bagian dari ekosistem hutan yang ada di wilayahnya, tapi ada juga yang mengatakan sebaliknya. Maka Negara pun menisbikan mereka: pembatasan akses masyarakat lokal dan komunitas adat. Akibatnya, kemiskinan, kesenjangan sosial, dan konflik merebak di mana-mana. Hal ini ditunjukan di hampir semua wilayah di Indonesia yang ruang hidup area hutannya diamcam oleh pembalakan liar dan agresi masif perkebunan sawit di Sumatra, Kalimantan bahkan sekarang merambah ke Papua yang menyebabkan ecocide berkelanjutan.
Kedua, membela bumi itu melindungi laut. Melindungi laut dengan melindungi nelayan tradisional dari mekanisasi dan modernisasi cara penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan. Wajah reklamasi berkedok penyiapan lahan pemukiman hingga pariwisata yang terjadi di jakarta dan teluk benoa Bali, merupakan upaya yang nyata dalam perusakan laut dan relasi antara laut dan darat melalui peran nelayan. Nelayan pulau pari misalnya seolah diusir dari habitatnya dan ruang hidupnya hanya karena mereka bermata pencaharian nelayan dan sebagai warga warga dengan tingkat kehidupan ekomoni-politik yang lemah. Selain itu polemik penggunaan alat tangkap Cantrang di Indonesia kepada nelayan akibat peraturan dari pemerintah dengan dalih ekslopitasi dan merusak ekosistem. Nyatanya bukan nelayan (kecil) yang merusak tapi eksploitasi oleh kapal-kapal raksasa. Nelayan kecil dijadikan alasan untuk melindungi proses-proses ekspoitasi ini dikarenakan penggunaan alat produksi yang sama, seperti melakukan kriminalisasi kemanusiaan dalam pemenuhan kebutuhannya.
Ketiga, membela bumi itu dengan mengutuk dam-dam, sebuah Jenis proyek pembangunan yang telah menimbulkan gerakan rakyat adalah pembangunan dam-dam (Thukral 1989) tersebut dimanapun dilakukannya, termasuk di Indonesia. Pemerintah bermaksud membangun dam-dam untuk meningkatkan pengairan lahan tandus, dan menghasilkan energi dengan menggengangi lahan lembah yang biasanya merupakan lahan pertanian produktif, bukan lahan tandus serta pemindahan manusia. Manusia yang memitik manfaat dari rencana pembangunan irigasi baru dan energi yang dihasilkan oleh dam bukanlah manusia yang dipaksa pindah dari tempat itu. Selain itu, mereka yang terdampak kerap kali adalah masyarakat adat ; mencerabut mereka dari tanah berarti menghancurkan indentitas dan komunitas(masyarakat) (Kothari 1985) . Selain soal-soal ekologi, proyek dam-dam ini seperti proyek pembangunan yang serupa menyoroti masalah manusia, suku, adat, tanah dan cara hidup yang tidak dihormati oleh pemerintah apalagi oleh kapitalisme. dengan cara bersembungi dibawah ketiak tuan-tuan tanah, rente pembangunan, komprador dan penduduk kaya (perkotaan).
Pembelaan atas ketidakadilan yang dialami oleh warga Jatigede akibat pembangunan dam Jatigede-Jawabarat terus diupayakan. Lahan-lahan pertanian produktif yang diturunkan dari beberapa generasi dengan mudahnya dilenyapkan oleh kekekuasaan atas dorongan kapital untuk penyediaan energi bagi layanan industri. Warga Jatigede tercerabut dari ruang hidupnya dengan paksaan dan kekerasan dan dihilangkan memori kolektifnya dengan tanah dan sosial kolektifnya sebagai suatu masyarakat (adat). Mereka dengan mudah dikorbankan demi kepentingan “nasionalisme” yang berselimut dalam praktik kerja kapitalisme, neoliberalisme dan imperialisme.
Keempat, membela bumi itu membela petani. Membela petani itu sama dengan membela pangan, membela pertanian dan konsumsi makan umat. Pertanian sebagai bidang yang diliputi keprihatinan ekologis akibat jenis-jenis proyek pembangunan modern. Petani kecil, seperti semua golongan yang tersisa dari corak-corak produksi yang telah lalu, remuk redam tanpa harapan, maka (mereka) adalah ploretariat masa depan. Land grabbing, bioteknologi hingga kriminalisasi petani merupakan praktik-praktik kekerasan kemanusiann dan ekologis yang terjadi secara masif serta mengancam keseimbangan relasi manusia dengan alam.
Landgrabing sudah sangat jelas melakukan praktik konsentrasi tanah sebagai bagian dari praktik akumulasi kapital yang kadang dengan kekerasan. Bioteknologi pertanian, meskipun dapat meningkatkan produktivitas, mencampuri proses normal produksi pangan, mengacaukan keseimbangan gizi, juga secara tidak adil membatasi hak-hak petani (Shiva 1993). Petani bukannya tidak ada, tetapi sedang berada dalam kondisi kemunduran diseret ke wilayah paling belakang dalam ekonomi dan politik oleh kelas-kelas sosial baru yang belakangan muncul akibat gemerlap ekonomi semu dan praktik kelas yang kusut secara sosial dan spatial bahkan dalam formasi bernegara sekalipun. Pembelaaan dan solidaritas di tingkat lokal, nasional hingga internasional terhadap petani kulonprogo-Yogyakarta yang lahan hidupnya diserobot paksa oleh pemerintah atas dalih penyediaan fasilitas publik dan sarana umum berupa bandara NYIA (New Yogyakarta International Airport). Perkembangan airport city ini berimpikasi, bahwa semakin banyak penggusuran dan warga lokal (petani-kecil) yang terusir untuk kepentingan properti dan industri pemodal besar.
Kelima, membela bumi itu membela ruang hidup dari pencemaran lingkungan. Semakin disadari secara ekologis, bahwa pencemaran lingkungan diakibatka oleh industri besar dan kecil bahkan rumah tangga. Gerakan rakyat melawan pembangunan dan produksi oleh pabrik-pabrik termasuk yang memproduksi energi seperti PLTU yang sudahjelas-jelas mencemari lingkungan kemudian berkembang menjadi gerakan ekologis yang terkadang dipimpin oleh golongan menengah, teredukasi tetapi tetap sebagai bentuk protes rakyat secara bersama walau terkadang difokuskan sebagai protes kaum miskin/marjinal.
Pembelaan terhadap lingkungan yang juga termobilisasi tidak hanya diaras lokal tapi hingga ke internasional adalah permbelaan terhadap alam dan warga yang hidup berdampingan dengan ruang alam tersebut di area pembangunan PLTU-Indramayu Jawabarat dan pembanguan pabrik semen Kendeng-JawaTengah. Solidaritas pembelaaan ini mendapatkan sorotan dan dukungan besar didunia, karena dampaknya tidak hanya dirasakan oleh warga tempatan tapi oleh warga dunia.
Tantangan ketidakadilan (ruang) ini ada di mana-mana dan jalan keluarnya sangatlah jelas terutama terkait keperpihakan. Apakah kita perlu bersungguh-sungguh memiliki ambisi mewujudkan cita-cita Sila ke-5 dari Pancasila di negara Indonesia ini?. Pembelaan terhadap bumi itu sama terkait erat dengan pembelaan dan perjuangan terhadap agraria. Hak atas lahan atau hak atas agraria adalah Hak Asasi Manusia. Apa negara melalui tangan Komnas HAM tak perlu berbuat lebih banyak di bidang HAM lahan ini, selain mengurus hak minoritas. Membela (agama) bumi seperti membela kehidupan dimana bumi sebagai wahana diskursus dan dialektika bagi manusia untuk ditafsirkan. Sektor atau bidang yang sangat terkait dengan diskursus yang sangat terkait dengan bumi serta kemanusiaan kemudian muncul dalam formasi eksplorasi, eksploitasi hingga konflik (agraria).
Kekayaan alam dan sosial haruslah dimiliki bersama dan kepemimpinan tidak harus berasal dari golongan atau bani tertentu. Agama seyogyanya tidak hanya menjadi panduan ritual formal belaka, tetapi menjadi amunisi ideologis untuk melawan penindasan dibumi terutama kecenderungan terpilahnya masyarakat dalam kelas bermilik dan tidak bermilik selain juga memberikan formasi kerja untuk pemerataan. Bumi itu representasi tuhan yang tidak perlu dibela tapi dimuliakan dalam praktik (beragama) keseharian.(*)
Referensi
Cohen, G.A. 2001. If you Are An Egalitarian How Come You Are so Rich. Cambridge, Mass and London: Harvard University Press.
Kothari, Smith. 1985. “Ecologi vs Development : the Stuggle for survival.” Social Action 35:392-397.
Nickel, James W. 1993. Hak Asasi Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Omvedt, Gail. 1993. Reinventing Revolution. NY: ME Sharpe.
Prasetyo, Frans Ari. 2014. “Art, Activism and Autonomy in Endogenous (Rural) Development Strategies.” Equator Symposium, Yogyakarta.
Shiva, Vandana. 1993. “The Seed and the Earth Biotechnology and the Colonisation of Regeneration. .” Canadian Woman Studies 13 (3).
Thukral, Enaski Ganguly. 1989. “Dams : for whose Development.” In Development Displacement and Rehabilitation, edited by Walter Fernandes and E.G Thukral, 39-61. New Delhi Indian Social Institute.
Vellamkunel, Josepth. 1989. “The Jharkland Movement : a response to Tribal Oppression?” Vidyajyoti Journal of teological Reflection 53:299-311.
Editor: Daniel Kaligis