Connect with us

REVIEW

Membongkar Praktek Pencurian Air dan Kekejaman Privatisasi Air Bersih di Bandung

Published

on

10 Februari 2019


Oleh: Herry Sutresna
Musisi, Produser, Penulis Buku


“How can we trust the government who bow down to corporations and their nature of business”
–Immortal Technique

 

Judul             : Kehausan di Ladang Air: Pencurian Air di Kota Bandung dan
                         Hak Warga yang Terabaikan

Penulis          : Zaky Yamani

Penerbit        : Sva Tantra (dengan kerja sama berbagai pihak)

Tahun terbit : 2012

 

“Lalu bagaimana saya bisa menulis tiga bab tentang kesulitan air bersih yang dialami warga Kota Bandung jika pemerintah mengklaim seratus persen dari 2.374.198 jiwa penduduk kota ini telah mendapat akses air bersih? Hanya ada dua kemungkinan jawaban untuk pertanyaan itu. Apakah saya berbohong kepada Anda dengan mengarang cerita yang tidak pernah terjadi. Atau, Pemerintah Kota Bandung yang telah melakukan pembohongan publik dengan mengaburkan fakta sebenarnya.”

Hampir dua dekade lalu ada sebuah majalah bernama Pantau. Ia agak berbeda dengan majalah lain pada zamannya, karena isinya merupakan tulisan investigatif ala jurnalisme pada umumnya namun dipaparkan dalam gaya tutur yang menarik seperti novel.

Majalah itu tidak berumur lama, namun cukup membuat saya berkeyakinan bahwa di zaman huru-hara informasi seperti sekarang, usaha mewartakan itu harus menarik. Sejak itu saya selalu berandai-andai jika saja metode penulisan seperti itu populer di kalangan anak muda dan dipakai untuk membongkar ketidakadilan di sekeliling kita, akan menjadi senjata cukup ampuh untuk melawan kebanalan teks di tengah puting beliung informasi yang berseliweran mengalihkan perhatian kita.

Hingga tiba hari ini, sinyal menggembirakan datang seusai membaca buku “Kehausan di Ladang Air”. Sebuah buku yang mencoba membongkar praktek pencurian air dan politik privatisasi sumber-sumber air bersih di Bandung.

Membaca karya Zaky Yamani ini tidak terasa bahwa kita sedang membaca sebuah laporan investigasi penuh statistik dan peta yang rumit perihal politik sumber air bersih di kota yang notabene kaya akan sumber air. Berangkat dari pengamatan sekeliling dan keraguan terhadap klaim pemerintah kota Bandung yang menyatakan bahwa warga kota tidak memiliki masalah terhadap akses air bersih, Zaky memulai penelusurannya di tempat-tempat paling hardcore di Bandung. Di daerah beling di Jamika, di gang-gang sempit di belakang Braga hingga perkampungan miskin kota di daerah Rajawali.

Dua bab pertama Zaky habiskan untuk menjelaskan dengan detil bagaimana warga di Bandung berhadapan dengan lenyapnya hak asasi mereka atas air. Bagaimana sulitnya akses mereka terhadap air bersih membuat mereka terpaksa membelinya dengan harga mahal dan otomatis menambah beban hidup mereka yang sudah sangat berat sebagai warga miskin.

Lewat cara penulisannya yang mengalir bertutur, Zaky membongkar praktek pencurian air dan kejahatan privatisasi sumber air bersih di Bandung dengan lugas tanpa basa-basi tanpa harus membuat pembacanya tertidur bosan disuguhi angka-angka dan reportase dingin. Sebagai contohnya sedikit saya kutip bagaimana penulis melukiskan data betapa kayanya kita akan sumber air dan kenyataannya dilapangan;

“Bayangkan sebuah kolam air raksasa yang luasnya sama dengan lapangan sepakbola standar internasional yang paling luas, yaitu dengan panjang 110 meter dan lebar 75 meter. Bayangkan kedalaman kolam itu 20 meter atau setara dengan gedung setinggi delapan tingkat. Jika kita ukur, volume totalnya adalah 165.000 meter kubik. Kemudian bayangkan di seluruh Kota Bandung terdapat 181 kolam air raksasa seperti itu, yang jika ditotalkan, volumenya sebanyak 30 juta meter kubik. Dengan wilayah yang terdiri dari 30 kecamatan, maka setiap kecamatan bisa mendapat jatah enam kolam air raksasa itu. Atau, jika didistribusikan ke 151 kelurahan yang ada di Kota Bandung, maka setiap kelurahan bisa mendapat jatah antara satu sampai dua kolam air raksasa. Sungguh bayangan yang menakjubkan bukan?”

Dengan cara yang sama ia menjelaskan kondisi sulitnya akses air dengan sangat visual.

Selain melakukan kewajibannya memaparkan berapa warga penerima raskin di setiap RW, berapa harga yang harus dibayar sebuah keluarga untuk air bersih dan proses yang luar biasa sulit untuk mendapatkannya, Zaky tak lupa memotret bagaimana suasana di tempat-tempat itu dengan detail; seorang warga terlelap di kursi karena begadang menunggu air yang hanya mengalir lewat tengah malam, dua anak kembarnya yang melompat-lompat di kursi, tata letak ruangan di sebuah rumah sempit, kamar mandi tanpa bak ataupun selang air. Bau keringat manusia dan aroma masakan yang bercampur aduk kala terik datang di sebuah daerah kumuh dan jamban yang terlalu dekat sumur sehingga mencemarinya, disadari warga namun tetap dibiarkan demikian karena memang tak ada pilihan lain.

Dengan deskripsi seperti itu pembaca dibawa ikut menelusuri gang-gang kumuh mewawancarai para penduduk di wilayah-wilayah minus itu dengan satu muara; memotret warga miskin yang beban ekonominya bertambah berat karena mereka tidak memiliki akses terhadap air bersih. Untuk membuktikan hubungan akses air bersih dengan pemiskinan struktural itu bukan mitos atau sekedar cerita ketidakberuntungan di alam neoliberalisme seperti sekarang.

Dengan memasang satu dua wawancara warga yang kualitatif Zaky tidak pernah lupa menyisipkan selalu data-data kuantitatif pada setiap narasinya untuk menjelaskan betapa penguasaan sumber daya alam yang hak atas aksesnya seharusnya dilindungi oleh Undang-Undang Dasar begitu menyengsarakan warga miskin kota.

Pada bab kedua bahkan diceritakan bagaimana praktek-praktek privatisasi ini mengalienasi hubungan sosial, membuat warga saling curiga, saling menggunjingkan, bertengkar berebut air dan bahkan saling mengacungkan golok. Karena mereka buta peta politik air, konflik yang hadir bukan antara warga dengan segelintir orang yang menguasai akses tersebut, namun justru konflik horisontal antar warga lah yang terjadi.

Pada bab-bab selanjutnya investigasi memasuki wilayah krusial.

Membongkar pelaku-pelaku perdagangan air, dilemanya dengan PDAM hingga menusuk ke pusat kekuasaan; pemerintah kota dan kebijakan-kebijakannya yang terkait dengan akses air. Termasuk di dalamnya politik internal yang terjadi di tubuh PDAM Kota Bandung dimana terdapat jaringan mafia yang melestarikan ketidakadilan ini dengan terstruktur.

Bagian kisah ini sungguh menarik karena Zaky tidak kompromis dalam hal mewartakannya. Ia tidak menulis inisial atau menyamarkan nama-nama para pejabat yang terlibat, termasuk nama ormas (Angkatan Muda Siliwangi) yang secara langsung/tidak langsung terkait pun dipasang terang-terangan. Bahkan posisi keterlibatan walikota Dada Rosada dan wakilnya Ayi Vivanda dalam melestarikan mafia air di Bandung dipetakan dengan jelas.

Zaky melakukan riset menahun intens menulis dan sempat terpentok dana dalam aktualisasinya. Tak patah arang, ia mengikuti kompetisi Mochtar Lubis Fellowship, dan memenangkannya. Uangnya ia pakai untuk terjun langsung ke lapangan meliput dan menulis buku ini secara simultan selama setahun. Pada saat mencetaknya, konon tak satupun penerbit yang berani menerbitkannya sehingga ia merilis buku ini sendiri dalam jumlah terbatas dengan bantuan beberapa kawan di jejaring aktivisme.

Sekali lagi, usaha Zaky dalam menerbitkan buku ini sungguh tak mudah.

Bukan hanya karena faktor teknis dalam proses penulisan buku, namun terlebih perhitungan resiko yang akan penulis hadapi mengingat fakta-fakta yang ia lampirkan. Jadi bisa dibayangkan, jika yang ada hanya kepasifan massal seperti yang sudah-sudah, akan sangat percuma usaha Zaky dalam mengambil resiko membongkar ketidakadilan seperti ini.

Buku ini dijual bebas di beberapa toko buku independen di Bandung, dan mungkin di beberapa kota lain juga. Namun untuk mencegah kasus pemborongan buku seperti yang terjadi pada majalah Tempo, sebagian besar buku ini dibagikan gratis di titik-titik simpul pergerakan akar rumput.

Buku seperti ini penting bagi kita hari ini, bukan hanya karena ditulis dengan bagus, namun juga untuk lebih menyadari apa jadinya jika hak asasi atas akses terhadap air diprivatisasi dan dikuasai segelintir orang. Terlebih lagi juga untuk melihat langsung dampak neoliberalisme yang mempercayakan semua pilar kehidupan pada mekanisme pasar. Membiarkan mereka yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Bagaimana kemudian korporasi berlindung di balik regulasi-regulasi pemerintah yang tunduk pada mereka. Untuk tahu lalu apa yang harus diubah jika kita ingin perubahan.

Tak cukup mereformasi pemerintahan yang notabene mereka sendiri yang merilis Undang-Undang No.7/2004 tentang Sumber Daya Air, memberikan sektor swasta peluang untuk menguasai.

 


Editor: Andre Barahamin

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *