OPINI
Memindahkan Nafsu Kekuasaan: Dari Jakarta ke Borneo
Published
5 years agoon
By
philipsmarx10 November 2019
Oleh: Wahyu Eka Setyawan
Pegiat Aliansi Literasi Surabaya
Jakarta dan rasakan pedihnya hidup sendiri
Jakarta dan rasakan sakit ditinggal sendiri terjatuh
Jakarta penuh dengan benci, penuh dengan deritanya
Jakarta takkan pernah kembali
seperti dulu
– Thirteen, Jakarta Story
LIRIK LAGU TERSEBUT merupakan karya dari band beraliran screamo asal Jakarta ‘Thirteen,’ menceritakan tentang situasi terkini tentang kondisi ibu kota. Penuh dengan kompleksitasnya, kepedihan, kepenatan dan harapan. Thirteen menyajikannya dengan lirih khas genre screamo, distorsi gitar, beat kencang serta teriakan mencekam. Bagi penikmat musik ini akan terbawa ke alam yang ingin disajikan oleh Thirteen. Tentang Jakarta yang penuh harapan, gairah, namun cukup kontradiktif dengan kenyataan, kala imajinasi tersebut buyar saat Jakarta tak lebih dari monster. Manusia menghisap manusia, pemodal berkuasa penuh atas ruang hidup.
Mungkin hal itulah yang menjadikan dasar utama Jokowi bernafsu memindahkan ibu kota negara. Asumsi Jokowi bersandar pada prinsip ekonomi pembangunan, dengan menekankan pada pemerataan infrastruktur, hingga buih-buih memperlebar investasi untuk menghilangkan ketimpangan. Kala Jokowi menjadi Gubernur, ia berkelakar akan membereskan kerumitan Jakarta, seperti banjir, tata ruang hingga masalah kemacetan. Namun belum tuntas kerjanya sebagai Gubernur, ia bermanuver di gelaran pilpres. Satu pernyataan menarik dari Jokowi kala akan menuju tangga RI 1 yakni, segala urusan tentang Jakarta akan lebih mudah ketima ia menjadi Presiden.
Banyak pihak pun menanti gebrakan Jokowi, saat ia menjadi presiden RI. Bertumpu pada keyakinan itulah banyak yang berharap akan ada perubahan signifikan. Apalagi ia memiliki relasi yang intim dengan Ahok selaku Gubernur penggantinya. Tapi, lagi-lagi Jakarta terlampau banal untuk ditaklukan, aneka proyek tidak merakyat hinggap selama kepemimpinan Ahok. Terutama dengan adanya penggusuran masif di wilayah sepanjang sungai Ciliwung, Kampung Pulo yang telah eksis sejak lama tak luput menjadi korbannya.
Di satu sisi banyak bangunan megah yang tak tersentuh, ada ketidakberimbangan, ada inkonsistensi dan keberpihakan. Isu lingkungan pun jauh dari sentuhan keduanya, reklamasi Jakarta menjadi bukti konkret keberpihakan mereka. Aneka narasi yang penulis sampaikan, merupakan gambaran tentang paradigma pemegang kuasa. Yang mana, semua pendekatan untuk menyelesaikan masalah selalu diukur dengan investasi, pembangunan infrastruktur dan nir keterlibatan rakyat.
Dari Jakarta ke Borneo
Proses perpindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Borneo, merupakan bagian dari dinamika politik yang eksis akhir-akhir ini. Wacana pemindahan ibu kota sudah santer terdengar sejak era SBY berkuasa, ada beberapa wilayah yang menjadi target, yakni Palembang (Sumatera Selatan), Karawang (Jawa Barat), Sulawesi Selatan dan Palangkaraya (Kalimantan Tengah). Namun rencana ini urung terealisasi, karena beberapa pertimbangan.
Bahkan sayup-sayup pemindahan ibu kota sudah diwacanakan sejak era Sukarno, pada tahun 1957 saat kunjungan ke Palangkaraya. Ia melirik Palangkaraya sebagai Ibu Kota untuk menggantikan Jakarta, namun urung dilaksanakan karena beberapa faktor, salah satunya situasi politik dan kesiapan infrastruktur.
Memasuki tahun 1990an pun, kala rezim otoritarian Suharto berkuasa. Ia sempat merencanakan pemindahan Ibu Kota ke Jonggol, Bogor kala itu. Pertimbangan Suharto pun lebih didasarkan pada kedekatan wilayah dengan Jakarta, jarak antara keduanya hanya 50 km. Tetapi hingga Suharto mengundurkan diri, rencana tersebut benar-benar tidak pernah terjadi.
Jokowi kemudian dengan penuh percaya diri, di saat gelombang protes mewarnai pentas demokrasi Indonesia. Media ramai-ramai mewartakan pengesahan pemerintah terkait perpindahan Ibu Kota baru ke Kutai dan Penajam Paser Utara, pada 26 Agustus 2019. Isu pemindahan Ibu Kota ini pun ramai membanjiri lini masa media, seakan-akan menutup persoalan revisi UUK 2003, RUU Pertanahan, RUU Air, RUU Minerba, revisi UU KUHP, revisi UU KPK, kenaikan BPJS hingga persoalan Papua yang semakin memanas.
Perpindahan Ibu Kota memang menjadi isu yang ramai dikomentari, karena memiliki daya magis, khususnya berkaitan dengan politik pragmatis itu sendiri. Serta erat relasinya dengan konstruksi ekonomi politik terkait distribusi pembangunan, pemerataan ekonomi hingga diskursus kesejahteraan dan keadilan. Sehingga persoalan perpindahan Ibu Kota bukan hanya soal Jakarta yang tak layak, namun ada faktor ekonomi politik yang mengkonstruksinya. Kala kita melihatnya dengan kacamata utuh, mengenai urgensi perpindahan Ibu Kota dalam perspektif ekonomi politik. Misal dalam sudut pandang “redistributive combine” yang dijabarkan oleh John Rawls dalam karyanya yang berjudul Theory of Justice.
Kontradiksi Pokok Perpindahan Ibu Kota
Perpindahan Ibu Kota seyogyanya dipikirkan secara matang, serta tidak buru-buru. Karena sama saja kalau pindah Ibu Kota nanti pada akhirnya terjebak pada problem yang sama. Jakarta pesat dijadikan pusat ekonomi, selain pula sebagai pusat administratif. Sehingga pada merayap, penduduknya padat sekali. Sebagai kota besar dengan gemerlap, seolah-olah akan memberikan pundi-pundi rupiah. Ini juga bagian dari ekses kapitalisme, di mana memunculkan apa yang namanya ketimpangan. Absorsi tenaga kerja paling banyak ada di kota pusat ekonomi, khususnya sektor informal. Berkembangnya sektor informal juga turut dipengaruhi transisi agraria di kampung. Dari kawasan pertanian menjadi perkebunan hingga kawasan industri.
Di samping perpindahan Ibu Kota ini sangat relevan, akibat dalih ketidaklayakan Jakarta. Ahli ilmu geodesi dari ITB Heri Andreas mengatakan wilayah Jakarta Utara sekitar 95 persen akan tenggelam pada 2050. Ia juga mengatakan setiap tahun wilayah Jakarta mengalami penurunan tanah sekitar 1 sampai 25 cm, lebih khusus di Jakarta Utara ada penurunan sekitar 20-25 cm. Selain itu kualitas udara di Jakarta juga termasuk buruk, harian Kompas mencatatkan pada 15 September 2019, indeks kualitas udara Jakarta berada di angka 161 dengan parameter PM2.5 atau setara dengan 74.6 mikrogram per meter kubik. Selain itu ada soal ketersediaan air tanah yang semakin menipis, resiko terkena gempa bumi juga tinggi dan tentu kemacetan yang semakin membahana.
Tentu hal tersebut menjadi salah satu pertimbangan logis. Akan tetapi itu belum cukup sebagai narasi utuh untuk memboyong Ibu Kota ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Pertanyaannya, apakah pola Jakarta akan terulang di sana? Itu pun sangat mungkin, mengingat perpindahan Ibu Kota lagi-lagi soal ekonomi, khususnya pemerataan pembangunan. Menurut Greenpeace Indonesia, Kalimatan adalah salah satu wilayah dengan deforestasi tinggi, salah satu tempat yang senantiasa menyubangkan kabut asap. Di Kutai Kartanegara sendiri pada tahun 2015 ada sebanyak 3487 titik api, sementara di tahun ini ada 105 titik api. Jadi ancaman kabut asap cukup tinggi di bakal Ibu Kota baru ini.
Menurut Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), wilayah bakal calon Ibu Kota baru tersebut dikelilingi oleh konsesi tambang. Ada sekitar 13,83 juta hektar konsesi ekstraktif berupa tambang minerba, sawit, HPH, HTI dan Migas yang mengkapling wilayah daratan Kalimantan Timur, lalu sekitar 5,2 juta hektar dari keseluruhan konsesi berupa izi tambang batubara. Di sekitar bakal tapak Ibu Kota baru yakni kecamatan Samboja dikatakan juga memiliki sekitar 90 izin konsesi tambang.
Selain itu di wilayah Penajam Paser juga diketahui ada konsesi milik Hashim Djojohadikusumo melalui PT ITCI Hutani Manunggal IKU dan ITCI Kartika Utama (HPH), dengan luasan 173.395 hektare yang mencakup wilayah Penajam Utara, Kutai Kertanegara, dan Kutai Barat. Selain Hashim ada PT. Singlurus yang diketahui memiliki Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) seluas 24.760 hektar. Jadi, secara hitung-hitungan perbindahan Ibu Kota ini akan menguntungkan segelintir elite, dan memang ada dugaan “deal” politik selain juga dimunculkan untuk menutup aneka isu seperti RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU Air, Revisi UUK, Revisi UU KPK, RUU KUHP dan tentu pelanggaran HAM di Papua.
Ketakutan lain terkait pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan Timur yakni, akan ada dampak pada perubahan wilayah hutan. Tentu, pembangunan Ibu Kota baru ini akan memakan kawasan hutan hujan tropis. Selain mengusir aneka satwa, juga akan mengancam masyarakat adat seperti dayak paser. Mereka yang sudah dihajar aneka alih fungsi kawasan hutan sehingga kehidupan mereka dipinggirkan, kini harus menghadapi rencana ekspansi Ibu Kota baru.
Soal pemindahan Ibu Kota pun juga disinggung oleh akademisi Luca Tacconi dari Universitas Nasional Australia. Ia menyebutkan jika pemindahan Ibu Kota akan meningkatkan risiko kebakaran hutan dan tidak selesaikan masalah Jakarta. Bahkan Dwiyanti Kusumaningrum dari LIPI mengatakan perencaan Ibu Kota harus matang, harus memikirkan resiko serta konektivitasnya dan aneka sarana penunjang lainnya. Ia mengingatkan bahwa logika Ibu Kota tidak harus selalu di tengah, dan pemerintah harus belajar dari Brasil atau Myanmar.
Kesimpulan Sementara
Di tengah upaya Indonesia untuk menjaga kualitas lingkungannya tentu ini sebuah hal yang kontraproduktif. Memang kekacauan di Indonesia diakibatkan oleh paradigma politik yang terlalu developmentalis, sehingga mengabaikan hal-hal lain yang lebih penting. Selain itu ada juga masalah tata ruang dan tata wilayah yang hanya mengikuti syahwat modal, tidak melihat daya dukung lingkungan dan keberlanjutannya.
Masih ada alternatif lain yang bisa dikembangkan, selain buru-buru memindahkan Ibu Kota ke Kalimatan Timur, toh biayanya juga tinggi 466 Triliun, lalu sumbernya pun 19 persen dari APBN, selebihnya dari swasta atau bank pembangunan. Ini akan jadi boomerang, perpindahan Ibu Kota sarat dengan kepentingan pemodal, serta tak lebih dari prinsip ekonomistik daripada kepentingan efektifitas administrasi. Resiko ketimpangan pun juga semakin besar, akan memicu transisi agraria dan konversi pekerjaan besar, sehingga akan menambah prosentase kemiskinan sistemik.
Pemindahan Ibu Kota terindikasi hanya untuk memenuhi syahwat politik serta ekonomi. Walau diklaim akan menghilangkan jawa sentris, tetapi itu hanya pembenaran saja. Karena idenya lebih kepada pemerataan ekonomi yang ujung-ujungnya sebagai jalan membuka pintu gerbang investasi baru. Dampaknya pun multidimensional, akan ada yang dikorbankan, seperti hutan, masyarakat lokal dan anggaran yang besar. Di tengah kenaikan BPJS, pendidikan tinggi yang mahal, pengangguran banyak, problem ketenagakerjaan, reforma agraria masih stagnan, korupsi yang masif dan berbagai perampasan ruang hidup. Sebenarya lebih baik memikirkan aneka problem negara yang belum terselesaikan, dan fokus menjalankan rekognisi demokrasi rakyat, daripada genit memindahkan Ibu Kota baru. (*)
Editor: Gratia Karundeng