Connect with us

FEATURE

Mencabut Tiga Nyawa di Tahun Baru Cina

Published

on

 

5 Januari 2019


Oleh: Andre Barahamin


Dua puluh dua tahun lalu, ibunya tewas dalam perkelahian. Di malam Imlek, ia membalas dendam.

 

SELASA, 8 Januari 2019. Sebuah persidangan disiarkan langsung di televisi. Lokasi adegan adalah Pengadilan Menengah di kota Hanzhong, ibukota provinsi Shaanxi di bagian barat laut Cina. Banyak orang menonton dan menanti putusan yang akan diambil.

Di hadapan hakim, menunggu vonis, adalah Zhang Koukou. Pria berumur 36 tahun itu didakwa melakukan tiga pembunuhan berencana.

Tiga pembunuhan itu terjadi pada 15 Februari 2018, di malam hari menjelang Tahun Baru Imlek. Sixth Tone melaporkan bahwa tiga orang yang menjadi korban adalah tetangga Koukou bernama Wang Zhengjun, saudara laki-laki Zhengjun bernama Xiaojun dan ayah mereka berdua bernama Zixin. Peristiwa itu terjadi di desa Wangping, sebuah daerah di Distrik Nanzheng, Hanzhong.

 

Melepaskan Dendam

Zhang Koukou, dengan menggunakan topi dan masker untuk menutupi wajah, menunggu Wang Zhengjun dan Wang Xiaojun yang dalam perjalanan pulang kembali ke desa. Seperti dilansir dari Sixth Tone, kakak beradik ini baru selesai mempersembahkan korban kepada leluhur di gunung dekat Wangpin. Ia menyerang Wang bersaudara dengan pisau yang baru dibeli. Pertama, Koukou menyasar Zhengjun. Menikamnya beberapa kali, sebelum menyerang Xiaojun. Setelah kedua orang itu tumbang, Koukou yang saat itu berumur 35 tahun, bergegas pergi ke rumah ayah Zhengjun dan Xiaojun.

Zixin, berusia 71 tahun, sedang duduk di dekat pintu. Ia tak menyangka bahwa ajal akan menjemputnya sehari sebelum kalender bulan berganti. Koukou menikam Zixin beberapa kali, menyebabkan ia tewas di lokasi.

Belum puas, Koukou kemudian menghancurkan jendela mobil Wang Xiaojun, menuangkan bensin ke seluruh kursi belakang dan bagian belakang kendaraan, dan membakarnya sebelum melarikan diri dari tempat kejadian. Koukou kemudian menyerahkan diri kepada polisi, dua hari berselang.

Di saat tiga pembunuhan itu berlangsung, ayah Koukou, Zhang Furu juga sedang berada di area pegunungan untuk melakukan tradisi menghormati leluhur. Ia berada di sana dengan saudara-saudara dan keponakannya. Furu meninggalkan Koukou sendirian di rumah. Mereka tidak bertegur sapa hari itu. Menurut Furu, Koukou sedang mencuci jaket dan tampak tidak tertarik untuk ikut ke gunung.

Sebelum mereka selesai memberikan penghormatan, Zhang Furu menerima telepon. “Keponakan saya mengatakan bahwa saya harus bergegas kembali,” kata Furu kepada The Paper, majalah tandem Sixth One yang terbit dalam bahasa Mandarin. “Semakin cepat semakin baik.”

Ketika kemudian Furu mendengar bahwa putranya telah membunuh seseorang. Saat mendengar kabar itu, Furu merasa “seluruh tubuhnya lemas.”

Pembunuhan itu menghebohkan Shaanxi. Selama dua hari dalam pelarian, media-media lokal menggunakannya sebagai peluang untuk membentuk citra baru Zhang di hadapan publik: pembunuh berdarah dingin. Ia dianggap jadi ancaman bagi masyarakat. Zhang digambarkan sebagai pemuda tanpa belas kasihan yang akan menghabisi nyawa siapapun. Tak peduli apakah kau mengenal Zhang atau tidak.

Selama 50 jam sebelum menyerahkan diri ke polisi, bagi media-media lokal di Hanzhong, Zhang adalah lelaki yang akan membuntutimu dari belakang saat pulang kerja, dengan menggenggam pisau dan akan mencabut nyawamu. Ia menjadi psikopat demi hasrat media yang hanya terobsesi pada spektakularisasi berita dan mengacuhkan motif di balik pembunuhan tersebut. Zhang menjadi bulan-bulanan media yang memperkeruh situasi dengan menebarkan teror tentang pembunuh yang bergentayangan.

Zhang menyerahkan diri setelah Imlek lewat. Ia mengaku bahwa pemberitaan media telah membuat dirinya tertekan secara psikologis karena melihat kondisi ayahnya. Laki-laki itu paham bahwa berita-berita yang bertebaran tentang dirinya yang digambarkan sebagai monster telah membuat ayahnya menderita.

Sebagai anak, Koukou paham bahwa hal terakhir yang paling mungkin dilakukannya untuk menebus dosa kepada ayahnya adalah dengan berhenti menjadi asupan bagi media-media yang kalap dan mengeksploitasi dirinya.

 

Trauma Melahirkan Balas Dendam Berdarah

Saat diperiksa, motif utama yang mendorong Zhang Koukou melakukan pembunuhan akhirnya terungkap. Koukou mengatakan bahwa pemicu dari peristiwa berdarah tersebut adalah kejadian yang menimpa ibunya, dua dekade silam.

“Aku tidak akan membuat masalah tanpa alasan. Sebelum kejadian itu, saya merasa tertekan. Memori ibu saya selalu menghantui saya sepanjang hari. Lalu ketika saya melihat Wang Zhengjun bebas, saya hampir mengalami gangguan mental,” kata Koukou ketika berbicara di pengadilan.

Zhang Koukou mengatakan bahwa tindakannya adalah buah dari kemarahan selama bertahun-tahun terhadap tetangganya. Pembunuhan itu adalah muara dendam atas apa yang mereka lakukan pada ibunya.

Pada musim panas 1996, Zhang menyaksikan ibunya terlibat dalam pertengkaran dengan Wang Zhengju. Saat itu, Koukou masih berumur 13 tahun. Pertengkaran tersebut berakhir anti-klimaks bagi ibu Koukou. Ia dihantam Zhengju dengan tongkat kayu besar. Hantaman tersebut mengenai kepala dan mengakibatkan kematian ibu Zhang beberapa jam kemudian.

Saat peristiwa itu terjadi, Wang bahkan belum genap berusia 18 tahun.

Zhengjun memang ditangkap, menjalani persidangan dan dihukum atas perbuatannya. Namun karena ia masih di bawah umur, pengadilan lalu mengganjar hukuman yang dianggap Koukou tidak adil.

Pengadilan memvonis Zhengjun tujuh tahun penjara, tapi ia bebas tiga tahun lebih awal karena remisi. Pemotongan masa tahanan didasarkan pada pendapat yang menilai bahwa Zhengjun telah berkelakuan baik selama empat tahun berada di dalam penjara.

Setelah dinyatakan bebas, Zhengjun pindah ke Hanzhong, membeli rumah, mencari pekerjaan dan menetap di sana. Ia meninggakan masa lalunya yang kelam di Nanzheng. Namun, selayaknya orang Cina lain, Zhengjun akhirnya pulang ke kampung untuk merayakan Festival Musim Semi. Bersama Xiaoujun, mereka berdua kembali ke kampung halaman untuk menengok ayah mereka yang sedang menikmati masa tua.

Menurut pengacara Zhang Koukou, Deng Xueping, kliennya memiliki trauma yang diakibatkan peristiwa kematian ibunya. Ibu Koukou menjalani detik-detik hidupnya di pelukan anaknya. Darah menetes dari hidung dan sudut mulut ibu Koukou dan ia meregang nyawa di pinggir jalan, di hadapan banyak orang. Xueping mengatakan dalam pembelaannya bahwa apa yang menimpa kliennya di masa lalu benar-benar mempengaruhi kehidupan Koukou saat beranjak dewasa.

Deng Xueping terutama menyorot bagaimana proses otopsi ibu Zhang Koukou dua puluh tahun lampau. Otopsi tersebut dilakukan polisi di pinggir jalan, disaksikan oleh kliennya.

Koukou menggambarkan hidupnya selama beberapa tahun terakhir bagai neraka. Ia tumbuh dewasa sebagai anak piatu dengan terus-menerus menyembunyikan ide tentang balas dendam di benaknya.

“Sebelum tragedi, kami tidak memperhatikan keinginannya untuk membalas dendam,” kata Deng, saat memohon hukuman yang lebih ringan untuk kliennya.

Deng juga menyoroti bahwa setelah tragedi yang menimpa Zhang, tampak bahwa komunitas di sekitar justru mengabaikan kliennya. “Tidak ada konseling psikologis, tidak ada bantuan rehabilitasi, tidak ada perawatan. Kita membiarkan ia tumbuh sendiri dan tanpa sadar telah menjadi penyebab suburnya dendam di hati dan pikiran seorang remaja yang menyaksikan ibunya tewas terbunuh.”

 

Akar Masalah

Pemicu perselisihan antara dua keluarga tersebut lebih dari dua dekade lalu, kata Zhang Furu, sebenarnya bukan hal yang serius. Yaitu ketika keluarga Zhang dengan sengaja melewatkan keluarga Wang ketika memberikan semangka kepada tetangga. Ibu Zhang Koukou, Wang Xiuping – yang tidak memiliki hubungan keluarga dengan Wang – terlibat pertengkaran. Banyak orang, termasuk anggota keluarga Zhang, mengatakan kepada The Paper bahwa Wang Xiuping terkenal sangat berpikiran keras.

Ia dikenal sebagai orang yang cerewet dan senang mencecar orang. Xiuping semasa hidup berkali-kali cekcok dengan para tetangga di desa.

Perkelahian yang berujung kematian Xiuping tersebut dimulai pukul tujuh malam, 27 Agustus 1996. Dipicu ketika Wang Xiuping meludahi wajah Wang Fujun, kakak laki-laki Wang Zhengjun, saat ia sedang melewati rumah keluarga Wang. Begitu mengetahui saudaranya diludahi oleh Xiuping, Zhengjun datang dan mulai berdebat dan bertukar pukulan dengan ibu Koukou.

Tak terima, Xiuping kemudian mengambil sepotong besi dan melayangkannya ke Zhengjun. Tongkat besi tersebut mengenai sisi kiri wajah Zhengjun. Setelah itu, Zhengjun mengambil tongkat kayu dan menghantamkannya ke kepala Xiuping. Perempuan jatuh ke tanah karena hantaman tersebut. Pukul sepuluh malam, Xiuping meninggal karena luka-lukanya.

Selain memvonis Zhengjun tujuh tahun hukuman penjara, Wang Zixin, ayah Zhengjun juga didenda 8.140 Yuan (sekitar Rp. 16. 840.142). Denda tersebut digunakan untuk biaya pemakaman Xiuping dan sebagai upaya untuk berdamai.

Beberapa tahun setelah putusan dikeluarkan, Zhang Furu mengirim komplain resmi ke Pengadilan Rakyat Menengah Hanzhong. Dalam surat tertanggal 13 Juli 2001 itu, ia meminta agar Zhengjun, yang dianggapnya sebagai pembunuh istrinya menerima hukuman mati. Ia mengutip pepatah “mata ganti mata, dan gigi ganti gigi.” Furu juga menuntut ayah pria itu, Wang Zixin , yang “mengarahkan pembunuhan” dijatuhi hukuman penjara.

Dalam surat tersebut, Zhang Furu dengan jelas menyatakan keyakinannya bahwa Wang Zhengjun yang saat itu berusia 17 tahun adalah “seorang pembunuh yang mengambil nyawa manusia.” Namun setelah insiden malam tahun baru bulan, Zhang Furu dan putrinya sekarang mengklaim bahwa orang yang membunuh istri dan ibu mereka sebenarnya adalah saudara laki-laki Wang Zhengjun, Wang Fujun, dan bahwa Wang Zhengjun disalahkan hanya karena dia masih di bawah umur dan dengan demikian tidak dapat diberikan hukuman mati.

Adik perempuan Koukou, Zhang Libo, percaya bahwa kematian ibu mereka yang tiba-tiba memiliki dampak besar pada kakaknya.

“Sebelumnya, dia selalu penuh dengan kehidupan,” kata Libo. “Setelah kejadian itu, dia menjadi tertutup.”

Setelah lulus dari sekolah menengah, Koukou tak lagi melanjutkan pendidikannya dan mengikuti sepupunya merantau ke Daerah Otonomi Xinjiang, Uighur, yang berada di bagian barat laut Cina. Koukou bekerja di bidang konstruksi.

Pada Desember 2001, Zhang Koukou direkrut menjadi tentara, di mana ia menjadi anggota kepolisian paramiliter. Seorang warga desa Wangping bermarga Wang, yang mendaftar bersama Koukou dan bertugas di resimen yang sama, mengatakan bahwa selama latihan untuk rekrutan baru, Zhang Koukou sering berkata kepada orang-orang bahwa dia ingin melatih tubuhnya untuk membalas dendam.

“Hal tersebut sempat dilaporkan ke petugas senior,” kata Wang.

Furu mengatakan bahwa setelah Koukou berhenti dari pekerjaannya sebagai tentara pada akhir tahun 2003, ia bekerja di luar negeri. Dia mengirim uang ke rumah setiap bulan tetapi jarang pulang. Sampai akhirnya pulang pada Agustus 2017. Pulang kampung, Koukou menetap kembali bersama ayahnya, hingga insiden pembunuhan itu terjadi.

 

Vonis

Setelah proses peradilan yang berlangsung hampir satu tahun, Pengadilan Menengah Hanzhong kemudian hukuman mati kepada Zhang Koukou. Ia mengaku dan terbukti bersalah karena menghabisi nyawa tiga orang tetangganya.

Hukuman ini mengecewakan Deng Xueping yang mengatakan bahwa pengadilan telah dengan sengaja mengabaikan fakta-fakta yang memicu terjadinya pembunuhan tersebut. Xuepin juga menyoroti bahwa hukuman mati tersebut terlalu berlebihan dan mengingkari fakta bahwa Koukou telah kooperatif sepanjang proses pemeriksaan dan persidangan yang berlangsung selama hampir satu tahun. Xuepin juga kecewa dengan fakta bahwa hakim tidak mempertimbangkan bahwa Koukou adalah tersangka pembunuhan pertama di Shaanxi yang menyerahkan diri ke polisi kurang dari 36 jam.

Jaksa penuntut umum berpendapat bahwa balas dendam tidak dapat dibenarkan sebagai alasan untuk melakukan kejahatan. “Balas dendam atas kematian ibunya bukan alasan untuk melakukan pembunuhan secara brutal. Itu bukan cara yang tepat untuk melampiaskan rasa frustrasi dan kekecewaan,” kata jaksa penuntut. “Jika balas dendam bisa membuatnya berlabel pahlawan setelah membunuh tiga orang, itu akan membuat kebingungan di masyarakat mengenai gagasan dasar tentang mana yang benar dan mana yang salah.”

Sebelum pengadilan mengeluarkan putusannya, kepada media setempat, ayah Zhang mengatakan bahwa dia mengharapkan hasil terbaik untuk putranya. Ia berharap Zhang, yang merupakan anak tunggal akan menjadi orang yang dapat merawatnya di usia tua.

Zhang dan pengacaranya mengajukan banding atas keputusan tersebut. “Kami sedang menunggu persidangan kedua di pengadilan rakyat tinggi,” kata Deng kepada Sixth Tone.

 


Editor: Denni Pinontoan

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *