BERITA
Mencoblos Kertas Pandemi
Published
5 years agoon
30 Mei 2020
Oleh: Rikson Karundeng
kelung.com – Langkah menuju pesta demokrasi tahun ini dipertegas. Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI), pemerintah, dan penyelenggara pemilihan umum (Pemilu) sepakat melaksanakan pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 9 Desember 2020.
Keputusan itu diambil dalam rapat kerja virtual antara perwakilan pemerintah, DPR RI, dan penyelenggara, Rabu (27/5). Dalam rapat tersebut disampaikan penjelasan Komisi Pemilihan Umum (KPU), langkah kebijakan dan situasi pengendalian oleh pemerintah, termasuk usulan dan dukungan dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 lewat surat Kepala Gugus Tugas Nomor:B-196/KA GUGUS/PD 01.02/05/2020 tertanggal 27 Mei 2020.
Dalam rapat ini, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menegaskan, pelaksanaan Pilkada 2020 tetap 9 Desember 2020, dengan penerapan protokol kesehatan pencegahan penyebaran Covid-19. Katanya, desakan pilkada ditunda hingga 2021 pun tak menjamin virus corona berakhir. Hal itu seperti ditulis republika.co.id, Rabu, 27 May 2020.
“Opsi diundur di 2021 Maret atau September, itu pun tidak menjamin. Dulu kita memang punya harapan pada waktu rapat yang pertama, harapan kita, mungkin situasi kita belum jelas saat itu seperti apa virus ini ending-nya. Kita waktu itu skenarionya adalah 2021 itu aman,” ujar Tito.
Ia mengungkapkan, berdasarkan paparan Kementerian Riset dan Teknologi dalam rapat terbatas bersama presiden dan jajaran menteri, kemungkinan kondisi 2021 masih sama dengan keadaan saat ini. Jika vaksin ditemukan tahun depan, perlu waktu lagi untuk pembuatan massal dan pendistribusiannya kepada masyarakat.
Tito menuturkan, rencana optimistis pandemi Covid-19 akan terkendali pada akhir 2021 atau 2022. Dengan demikian, Pilkada 2020 tetap diselenggarakan pada Desember tahun ini sebagaimana ketentuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pilkada.
Namun, dia melanjutkan, pelaksanaan pilkada di tengah pandemi Covid-19 harus dengan penerapan protokol kesehatan. Tahapan kampanye, misalnya, dapat dibatasi kegiatan di luar ruang dan dialihkan kampanye secara virtual.
Ia juga mencontohkan tahapan pemutakhiran data pemilih yang dilaksanakan secara sensus dapat tetap digelar saat pandemi. Ia melihat proses validasi data penerima bantuan sosial oleh Kementerian Desa dan Kementerian Sosial yang dilakukan secara langsung ke warga secara door to door dapat dilaksanakan.
“Kami kira pilkada 9 Desember ini kami sarankan tetap kita laksanakan. Namun, protokol kesehatan betul-betul kita komunikasikan dan koordinasikan,” kata Tito.
Kesimpulan rapat ini, Komisi II DPR RI bersama Mendagri dan KPU RI setuju pemungutan suara serentak dilaksanakan pada 9 Desember 2020 sesuai Perppu Nomor 2 Tahun 2020.
Dalam rapat tersebut, Komisi II DPR RI juga menyetujui usulan perubahan Rancangan Peraturan KPU RI tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota.
Diketahui, sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi telah menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2020. Lewat Perppu tersebut, Jokowi memutuskan pemungutan suara Pilkada 2020 digeser ke akhir tahun 2020.
Berdasarkan Pasal 201A ayat (2) Perppu tersebut, pemungutan suara serentak yang ditunda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada bulan Desember 2020.
Beresiko Bagi Keselamatan Masyarakat
Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR RI bersama Mendagri dan KPU, Rabu (27/5), yang menyepakati pemungutan suara serentak dilaksanakan pada 9 Desember 2020, dinilai sebagai keputusan spekulatif. Pendapat itu dilontarkan Ferry Daud Liando.
Peneliti isu-isu kepemiluan di Indonesia ini menilai, jika tidak dipertimbangkan maka akan beresiko pada aspek keselamatan masyarakat. “Hingga kini belum ada pengumuman resmi dari WHO (lembaga kesehatan dunia), pemerintah, maupun dari Gugus Tugas Covid-19, kapan pandemi ini akan berakhir. Saat ini kurva statistik pasien Covid-19 belum melandai, pergerakan kurva masih tetap naik,” nilai Liando.
Ia berpendapat, tidak mungkin pilkada dilaksanakan dalam kondisi mencekam seperti ini. Jika dilaksanakan maka akan berkonsekuensi pada beberapa hal.
“Pertama, berpotensi makin banyaknya penularan, baik dari masyarakat maupun dari petugas penyelenggara pemilu,” ujar Liando.
“Di awal tahapan akan ada interaksi antara masyarakat dan petugas, dalam hal penyusunan daftar pemilih, verifikasi dukungan calon perseorangan, sosialisasi, kemudian di pertengahan ada tahapan kampanye dan berakhir dengan pemungutan suara,” lanjut Liando.
Kedua, kualitas proses bisa tidak berjalan dengan baik karena tidak mungkin petugas akan bekerja profesional karena berhadapan dengan ancaman Covid-19.
“Sementara, pengawas tidak mungkin akan selalu berada di lapangan setiap saat. Jika demikan akan banyak pelanggaran berpotensi terjadi karena ketiadaan pengawas. Ketiga, money politik bisa dijadikan alasan pembenaran karena tekanan ekonomi masyarakat yang sulit,” terang Liando.
Ia juga menilai, tidak semua pemerintahan daerah siap dengan anggaran tambahan yang tertuang dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) Pilkada.
“Sebab anggaran pilkada perlu disesuaikan dengan pengadaan APD (alat pelindung diri), baik untuk petugas maupun masyarakat. Tidak semua daerah sanggup menambahkan anggaran, sebab banyak membiayai Covid-19,” sebut Liando.
Kemudia terakhir, jika kualitas proses buruk maka akan berdampak pada kualitas hasil. “Bisa jadi yang terpilih itu bukan pemimpin yang diharapkan. Karena prosedur tidak dilakukan secara ketat dan terbuka,” tandasnya.
Ia berharap, keputusan ini dapat ditinjau lagi. “Demokrasi penting untuk diselamatkan, namun konstitusi kita menyebut bahwa hukum tertinggi itu adalah keselamatan masyarakat,” tutup Liando.
Merugikan Sulawesi Utara
Keputusan pemerintah dan penyelenggara untuk tetap melaksanakan Pilkada Serentak 2020 pada 9 Desember nanti, sangat merugikan sejumlah daerah seperti Provinsi Sulawesi Utara (Sulut). Pendapat ini juga dilontarkan Ferry Daud Liando.
Ketua Minat Tata Kelola Pemilu Pasca Sarjana Universitas Sam Ratulangi (Unsrat ) ini menilai, keputusan itu sangat beresiko. “Sulut sendiri sangat dirugikan, karena bulan Desember biasanya banyak curah hujan yang lebat, dan di beberapa wilayah terjadi bencana alam,” ungkap Liando.
Ia berpendapat, kondisi itu akan berdampak pada partisipasi masyarakat. “Logistik bisa tidak tersalur dengan baik, dan masyarakat bisa saja enggan datang memilih karena cuaca. Juga partisipasi pemilih bisa rendah, apabila sibuk dengan perayaan Natal,” nilai Liando.
Diketahui, dalam Pasal 201A ayat (3) yang tertuang dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2020, mengatakan dalam hal pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat 2 (pemungutan suara digelar Desember 2020) tidak dapat dilaksanakan, pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana nonalam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122A.
Koalisi Masyarakat Buat Petisi
Permintaan publik ke KPU dan pemerintah agar tidak menggelar Pilkada 2020 pada tahun ini, mulai berdatangan. Sejumlah elemen masyarakat secara tegas menolak keputusan yang telah diambil pemerintah dan penyelenggara pemilu.
Paling menyita perhatian publik, kehadiran Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pilkada Sehat. Kelompok masyarakat ini membuat petisi agar KPU, pemerintah, dan DPR RI menetapkan pelaksanaan pilkada paling lambat September 2021.
“Kami Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pilkada Sehat mendorong KPU, DPR, dan pemerintah untuk menetapkan Pilkada Serentak 2020 dilaksanakan di 2021, paling lambat bulan September,” tutur Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini dalam keterangan tertulisnya, Senin (25/5).
Koalisi terdiri dari Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Network For Indonesia Demokratic (Netfid), Perludem, Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Rumah Kebangsaan, dan sejumlah lembaga lainnya. Petisi dibuat di situs change.org dengan judul “Keselamatan dan Kesehatan Publik Terancam, Tunda Pilkada ke 2021.”
Gelombang dukungan terus mengalir, tanda tangan masyarakat berhasil dikumpulkan untuk dukungan petisi. Seperti ditulis republika.co.id, Senin, 25 Mei 2020, Titi Anggraini menuturkan, Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pilkada tidak menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh penyelenggara pemilu. Pemungutan suara yang ditunda hingga Desember 2020 akibat pandemi Covid-19 membutuhkan pengaturan yang komprehensif.
Menurut dia, perppu tidak berangkat dari pemahaman jika pemungutan dan penghitungan suara dilaksanakan pada Desember 2020, maka tahapan pilkada lanjutan harus dimulai sejak awal Juni. Belum ada kepastian, Juni menjadi akhir dari penularan Covid-19.
“Belum ada prediksi yang bisa diandalkan mengenai akhir pandemi di Indonesia. Kurva penambahan kasus harian sampai saat ini masih mengalami peningkatan,” kata Titi.
Ia melanjutkan, penambahan kasus Covid-19 fluktuatif tetapi masih dalam jumlah peningkatan yang besar. Belum ada tanda-tanda, Indonesia sudah melewati puncak wabah, apalagi mendekati akhir pandemi Covid-19.
Akibatnya, pertama, tahapan pilkada serentak 2020 yang akan berjalan perlu diselenggarakan dengan protokol Covid-19. Hal itu memerlukan sejumlah perubahan dalam proses pelaksanaan pada setiap tahapannya.
Titi menuturkan, tanpa perubahan proses pelaksanaan, tahapan Pilkada jelas akan menciptakan pertemuan para pemangku kepentingan atau kerumunan. Terutama dalam proses pemutakhiran data pemilih, verifikasi dukungan dalam pencalonan, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, serta rekapitulasi dan penetapan hasil.
“Ada risiko terpaparnya banyak orang yang terlibat dalam penyelenggaraan pilkada dengan Covid-19,” lanjut Titi.
Kedua, menyelenggarakan pilkada dengan protokol Covid-19 berkonsekuensi pada anggaran dan perubahan tata cara penyelenggaraan tahapan-tahapan pilkada. Perppu tak mengubah pasal-pasal mengenai teknis kepemiluan yang diatur di dalam Undang-Undang Pilkada.
Dengan demikian, tahapan pilkada masih dijalankan dengan ketentuan di Undang-Undang Pilkada yang ada. Penyelenggaraan juga akan terhambat oleh ketersediaan anggaran, sedangkan anggaran tambahan dari pemerintah daerah tak memungkinkan.
Ketiga, lanjut Titi, ada pula resiko politisasi bantuan sosial, kontestasi yang tak setara bagi peserta pemilu pejawat, nonpejawat, dan turunnya partisipasi pemilih. Menurutnya, memaksakan penyelenggaraan pilkada di masa pandemi berpotensi menimbulkan lebih banyak mudarat daripada manfaatnya.
“Jika penyelenggaraan pilkada tidak dapat memastikan keselamatan penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan pemilih, bijaknya tahapan pilkada ditunda ke 2021. Seharusnya kita menyelenggarakan pilkada untuk kepentingan kemanusiaan, yang hak atas keselamatan dan kesehatannya terjamin, bukan sebaliknya,” tegas Titi.
Senada ditegaskan pendiri sekaligus peneliti Netgrit, Hadar Nafis Gumay. Ia mengungkapkan alasan perlu ditundanya pilkada serentak hingga 2021, karena pandemi Covid-19 masih dalam kondisi yang berbahaya dan mengancam kesehatan masyarakat.
“Jadi kalau kemudian ada upaya-upaya untuk menimbulkan bahwa ini sebetulnya sudah membaik dan sudah saatnya kita melakukan kegiatan kembali, sekalipun itu dengan protokol covid yang ketat, itu saya kira kesimpulan yang terlalu dini,” kata Hadar, seperti ditulis republika.co.id, Rabu, 27 Mei 2020.
Ia mengatakan, pelaksanaan pilkada bukan hanya pemungutan suara, melainkan ada tahapan-tahapan pilkada yang dalam prosesnya melibatkan komunikasi langsung dengan banyak orang. Hal tersebut berpotensi terjadi penyimpangan aturan pembatasan jarak.
Selain itu, mantan ketua KPU RI tersebut juga masih melihat ada banyak peraturan yang belum selesai. Banyak juga peraturan yang harus disesuaikan dengan kondisi pandemi saat ini untuk memastikan keselamatan dan kesehatan pihak yang terlibat dalam proses pilkada. Tidak hanya penyelenggara tapi juga masyarakat.
“Karena itu kami mengambil posisi yang sangat amat ingin mendesak janganlah kita teruskan untuk memaksakan penyelenggaraan ini di bulan Desember 2020,” tuturnya.
Hadar mengungkapkan, koalisi telah menyampaikan aspirasi serupa melalui berbagai forum, baik yang digelar pemerintah maupun DPR RI. Namun karena upaya tersebut dianggap tidak terlalu didengar, koalisi memutuskan untuk membuat petisi.
“Itulah sebenarnya maksud kita membuat petisi bersama ini. Mudah-mudahan ini terus bergulir dengan bantuan semua pihak dan ini bisa kemudian lebih diperhatikan sebagai satu aspirasi yang luas untuk kemudian mereka mengambil keputusan yang tepat terkait dengan lanjutan pemilihan dari pilkada ini,” tandasnya. (*)