Connect with us

OPINI

Mendefinisikan Kemenangan

Published

on

11 Maret 2019


Oleh: M. Charlie Meidino Albajili
Pengacara Bantuan Hukum Publik, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta


 

 

 

 


 

“HIDUP YANG TAK diperjuangkan (dipertaruhkan), tak layak dimenangkan”, demikian kata Robert Schiller.

Kutipan penyair Jerman tersebut ikut mempengaruhi saya setelah lulus dari Fakultas Hukum Universitas Katolik (Unika) Parahyangan. Kutipan itu saya temukan di dalam Renungan dan Perjuangan-nya Sutan Sjahrir. Buku tersebut dan pemikiran Sjahrir secara umum menjadi bagian selama masa kuliah. Kutipan Schiller setidaknya membantu saya dalam menghadapi ‘masa galau’ setelah wisuda dan menghadapi pertanyaan: ingin digunakan untuk apa titel sarjana hukum yang saya dapatkan?

Keluarga dan pergaulan di kampus mendorong saya agar mengambil pekerjaan yang mapan semisal bergabung dengan firma hukum ternama, bekerja di perusahaan atau melamar sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Pilihan tersebut harusnya cukup mudah. Andai pada akhir tahun 2014, saya tidak berinteraksi dengan warga desa Cipaku, Sumedang. Saat itu, sedang berlangsung pembuatan video dokumenter oleh Sorge Magz. Ini adalah media yang dibentuk teman-teman kampus di Unika Parahyangan.

Saya tinggal beberapa hari di Cipaku.

Di tahun 2014, warga Desa Cipaku bersama 27 desa lainnya terancam digusur paksa. Mereka diharuskan minggat untuk memuluskan proyek bendungan raksasa Jatigede dengan ganti rugi sebesar 29-120 juta per Kepala Keluarga. Angka tersebut jauh dari kata layak. Pindah berarti meninggalkan semua struktur sosial, ekonomi dan pranata budaya yang sudah ada dan menjadi bagian harian tiap-tiap warga. Mereka harus membangun tempat tinggal baru, mencari pekerjaan baru, beradaptasi dengan lingkungan baru dan masih banyak kendala lain.

Tahun 2015, Jokowi menenggelamkan 28 desa tanpa menghiraukan protes warga mengenai ganti rugi yang tidak layak. Petani yang hidup di lumbung padi Jawa Barat digusur paksa, dengan ganti rugi yang tidak layak demi bendungan yang berpotensi merusak lingkungan.

Inilah awal perkenalan langsung saya dengan pemiskinan struktural.

Peristiwa tersebut ikut mendorong saya mendaftar menjadi peserta Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu) yang diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Konsep Bantuan Hukum Struktural masih samar-samar saya pahami. Sedikit banyaknya, pengalaman di kasus Jatigede dan interaksi dengan LBH Bandung jadi modal awal.

Saya memilih Jakarta dan bukan Bandung. Alasannya, agar bisa dekat dengan domisili orang tua.

 

Pelajaran Ketika Mengawali Pengabdian

Interaksi saya dengan Warga Jatigede sungguh mengubah perspektif saya. Sebelumnya, dengan masifnya penggusuran paksa di DKI Jakarta oleh Gubernur Ahok, saya melihat hal itu baik demi kepentingan umum mengatasi banjir yang menahun di Jakarta. Tanpa sadar, pandangan utilitarinisme bersemi dalam pikiran saya saat itu. Jatigede menyadarkan saya betapa tidak adilnya pemikiran tersebut. Kemudian, proses Kalabahu membantu saya membongkar seluk beluk teori sosial dan hukum yang menghinggapi realitas sosial kita belakangan. Hegemoni menjadi salah satu materi favorit saya ketika itu.

Kini, sudah tiga tahun saya menjadi Pengabdi Bantuan Hukum di LBH Jakarta. Setahun pertama menjadi Asisten Pengacara Publik dan dua tahun berikutnya menjadi Pengacara Publik.

Selama menjadi Asisten, saya berkesempatan untuk menangani berbagai jenis kasus mulai dari kasus buruh (PHK sepihak, Pemberangusan serikat); kasus kriminalisasi dan penyiksaan; pemecatan mahasiswa karena demonstrasi; hingga penggusuran paksa yang marak di DKI Jakarta. Secara bergantian saya pun mencicipi fokus kerja penanganan kasus, pengorganisiran hingga penelitian.

Adapun selama dua tahun menjadi Pengacara Publik, saya ditempatkan di bidang Perkotaan dan Masyarakat Urban, di mana saya cukup intens dalam kasus penggusuran paksa di perkotaan. Saya menangani langsung beberapa daerah di Jakarta yang terancam digusur paksa. Saya juga terlibat dalam upaya pendokumentasian kasus penggusuran paksa di DKI Jakarta sepanjang tahun. Tentu saja selain itu, saya juga terlibat dalam beberapa kasus seputar pelanggaran hak atas pendidikan; hak atas kesehatan (khususnya malpraktik) dan hak konsumen (khususnya Perumahan).

 

Membaca Problem Penggusuran Paksa di Jakarta

Dengan intensitas saya dengan isu ini dua tahun ke belakang, setidaknya saya dapat melihat terdapat tiga alasan utama penggusuran yang dilakukan di Jakarta. Pertama, untuk pembangunan infrastruktur oleh Pemerintah (pembangunan untuk kepentingan umum), kedua terkait Penegakan Tata ruang maupun Ketertiban Umum (mengacu pada RDTR/RTRW), dan yang terakhir menyangkut sengketa lahan antar lembaga privat.

Mayoritas penggusuran dilakukan tanpa musyawarah dengan penggunaan aparat tidak berwenang, intimidasi dan kekerasan, pembangkangan terhadap upaya hukum, hingga pelanggaran hak masyarakat untuk memperoleh hak atas tanah. Merujuk pada mekanisme yang diatur Komentar Umum No. 7 Kovenan Hak Ekonomi Sosial Budaya, tindakan tersebut merupakan penggusuran paksa yang mana telah dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM berat dalam Resolusi Komisi HAM PBB No. 77a Tahun 1993.

Kasus penggusuran paksa untuk proyek infrastruktur/kepentingan umum seringkali menjadi masalah ketika ditetapkan tanpa partisipasi masyarakat kecil. Proyek tersebut seringkali hanya ditujukan bagi kepentingan kelompok masyarakat tertentu atau bahkan didompleng kepentingan bisnis tertentu sehingga meminggirkan hak masyarakat lainnya.

Ada beberapa contoh kasus yang dapat dibeberkan sebagai contoh. Misalnya, kasus penggusuran di Petukangan untuk pembangunan jalan tol yang sebenarnya hanya untuk pengguna mobil, penggusuran Papanggo demi peruntukan pembangunan stadion bagi klub sepakbole Persija, hingga penggusuran untuk proyek Transit Oriented Development (TOD)-LRT di Kebun Sayur Ciracas dan Tambun Selatan yang langsung saya tangani.

Dalam kedua kasus TOD tersebut, pemerintah mencanangkan program pemenuhan hak atas perumahan dengan pembangunan rumah susun yang terintegrasi dengan stasiun LRT. Namun ironisnya, hal tersebut dilakukan dengan menggusur pemukiman informal warga karena dianggap ilegal (tak bersertifikat) meski sudah berpuluh tahun menetap di sana. Kini, warga Jakarta juga sedang di bawah ancaman pembangunan yang justru hanya merugikan warga yaitu Proyek 6 Ruas Jalan Tol Dalam Kota yang bahkan ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional oleh Jokowi dengan berbagai instrumen kemudahan dan percepatannya.

Dalam kasus penggusuran paksa untuk penegakan tata ruang, problemnya berangkat dari inkonsistensi Pemerintah dalam menegakan masterplan pembangunan kotanya sendiri.

Perubahan tata ruang dari zona kuning (perumahan) ke zona hijau misalnya seringkali disepakati dalam ruang tertutup. Zona hijau dapat berubah menjadi zona kuning (contohnya Kelapa Gading dan Pantai Indah Kapuk) dan sebaliknya. Sialnya yang dikorbankan rata-rata adalah wilayah kampung kota yang bahkan telah ada sejak zaman Kolonial Belanda. Ambil contoh penggusuran yang menimpa Kampung Pulo, Bukit Duri hingga Kalijodo.

Dalam berbagai kasus penggusuran atas dasar ketertiban umum, bahkan hunian digusur atas nama keindahan kota semata. Temuan itu dapat dilihat pada Laporan Penggusuran Paksa di DKI Jakarta oleh LBH Jakarta sejak 2015 hingga 2018.

Terakhir dalam kasus penggusuran paksa karena sengketa lahan, permasalahan terjadi ketika masyarakat yang telah mendiami suatu lahan dengan itikad baik lebih dari 20 tahun harus digusur paksa karena munculnya sertifikat hak atas tanah oleh pihak lainnya. Problemnya, baik aparat penegak hukum dan Pemerintah melihat persoalan ini sangat hitam putih, yaitu kepemilikan sertifikat.

Ancaman penggusuran paksa dalam kasus seperti ini hampir selalu dibarengi dengan kriminalisasi terhadap warga dengan Pasal penyerobotan lahan dengan Pasal 167 dan 385 KUHP.

Saya mendampingi tiga daerah terancam digusur yaitu Kebun Sayur, Gang Lengkong dan Kapuk Poglar yang ketiganya terdapat kriminalisasi. Pemerintah daerah pun dibekali instrumen UU yang melegitimasinya untuk melakukan penggusuran atas permohonan pihak yang memiliki sertifikat tanpa melalui peradilan (UU 51/PRP/1960 dan Pergub DKI 207/2016). Penggusuran dengan cara ini terjadi pada masyarakat Duri Kepa, Jakarta Barat pada 2016.

Terhadap problem sengketa lahan yang berujung pada penggusuran paksa ini, saya melihat terdapat beberapa persoalan struktural yang menjadi biang penyebabnya.

Pertama, masyarakat belum teredukasi mengenai tata cara mendaftarkan tanah dan pentingnya pendaftaran tanah. Selain itu, masyarakat juga tidak memiliki uang karena mahalnya proses pendaftaran tanah. Faktor kedua adalah sulitnya masyarakat mendapatkan informasi tentang pertanahan. Dalam kasus Duri Kepa, masyarakat bahkan tidak diperlihatkan sertifikat yang menjadi dasar penggusuran. Alasan pemerintah semata karena menilai warga tidak berhak memperoleh informasi tersebut. Landasannya adalah Peraturan Kepala (Perka) Badan Pertahanan Nasional (BPN) No. 6, Tahun 2013, yang menyatakan informasi pertanahan merupakan informasi yang dikecualikan.

Problem yang sama juga terjadi pada masyarakat yang terancam tergusur lainnya yang saya dampingi. Masih banyak ditemukan proses penerbitan sertifikat yang sarat kejanggalan. Hal ini umumnya dimulai dari ketidaktahuan warga yang menghuni lahan pada proses pengukuran tanah yang menjadi syarat penerbitan sertifikat. Dalam kasus Pulau Pari, Ombudsman telah menyatakan sertifikat dikeluarkan tanpa adanya proses pengukuran.

Penerbitan Sertifikat dari peralihan hak lama seperti girik sering salah lokasi dan merugikan warga. Ini terjadi di kasus Kapuk Poglar, di mana kemudian muncul pemilik girik lain yang mengakui kepemilikan lahan yang sama.

Alasan lain adalah perilaku koruptif dari Kelurahan hingga Kantor Pertanahan yang seringkali dipicu adanya oknum “mafia tanah” di suatu wilayah. Modusnya bisa jadi menipu daya masyarakat dengan manipulasi jual beli girik (seperti kasus di Pulau Pari) hingga penerbitan sertifikat bodong (seperti yang menimpa warga di Gang Lengkong, Poglar dan Rawa Pule).

Setidaknya dari berbagai pola-pola pelanggaran di atas, kami di LBH Jakarta lain memiliki beberapa usulan perubahan agar lingkaran kasus penggusuran paksa di Jakarta dapat diatasi.

Pertama, negara harus menjamin agar informasi pertanahan harus menjadi informasi yang terbuka. Publik berhak tahu informasi mengenai HGU, HGB dan HP yang telah habis masanya yang seharusnya dapat didistribusikan kepada mereka yang sangat membutuhkan lahan berdasarkan Undang-undang Pembaruan Agraria (UUPA). Masyarakat yang terancam tergusur karena klaim pihak lain pun berhak mengetahui informasi pertanahan yang menjadi dasar menggusur mereka. Tertutupnya informasi pertanahan justru menimbulkan banyak sekali masalah ketimpangan kepemilikan lahan dan penggusuran paksa.

Kedua, perlu ada instrumen yang menjamin partisipasi publik secara substansial dalam agenda perencanaan kota (dalam RTRW/RDTR). Musrenbang yang menjadi instrumen selama ini terjebak dalam partisipasi formal semata (partisipasi mainpulatif jika merujuk pada Teori Level Partisipasi Arnstein).

Ketiga, perlu ada instrumen hukum di level pemerintah pusat dan daerah untuk menerjemahkan prosedur pemukiman kembali sesuai standar HAM dalam Komentar Umum No. 7 Kovenan Ekosob. Tujuannya agar setiap tindakan penggusuran paksa dapat dinyatakan melanggar hukum. Upaya tersebut juga untuk mengedukasi perangkat penegakan Perda seperti Satpol PP agar tidak melakukan penggusuran paksa. Peraturan-peraturan yang memperbolehkan pemerintah menggusur tanpa peradilan juga perlu dihapuskan.

 

Penanganan Kasus Penggusuran Paksa

Bagi para aktivis dan relawan yang ikut berjuang menentang penggusuran paksa dan sepihak oleh negara, paradigma Hak Atas Kota seharusnya menjadi amunisi kita dalam menangani kasus-kasus di perkotaan.

Paradigma tersebut mengharuskan agar masyarakat miskin kota berhak berpartisipasi dalam menentukan arah pembangunan kota. Cara pandang seperti ini yang perlu terus didistribusi warga kampung di kota-kota seperti Jakarta dengan berbagai agenda pendidikan hukum. Lanjutannya adalah mendorong warga kota untuk melakukan aksi hukum seperti permohonan informasi publik secara mandiri

Karena kita mengetahui bahwa penggusuran paksa, hampir selalu bermula dari tindakan koruptif yang ditujukan untuk memenangkan kepentingan kelompok tertentu yang memiliki akses terhadap kekuasaan sebagaimana dijelaskan di atas.

Menurut pengalaman saya, setidaknya kita perlu mengidentifikasi dua jenis pelanggaran hak yang terjadi saat berlangsungnya penggusuran.

Pertama, yaitu hak atas tanah  yang dijamin dalam UUPA dan juga hak atas hunian yang layak seperti yang tercantum dalam UUD 1945, Kovenan Ekosob, Komentar Umum No. 4 dan 7. Tentu saja langkah tersebut harus selalu diikuti dengan investigasi dan dokumentasi untuk mengetahui detil kronologi dan melakukan analisa aktor, analisa sosial dan analisa hukum.

Sehingga rekomendasi upaya yang dapat dilakukan dengan juga melihat peluang kebijakan maupun realitas politik yang ada.

Berbagai kasus ancaman penggusuran paksa juga masih sering terkendala oleh upaya litigasi sebagai pilihan yang tidak strategis untuk diambil. Hal tersebut disebabkan karena lemahnya posisi warga dalam formalitas hukum di lembaga peradilan. Fokus utama untuk mengatasi hal ini biasanya dapat dilakukan dengan upaya pendidikan hukum bagi warga. Pendidikan hukum menjadi penting dan signifikan agar warga mampu memahami problem hukum yang menimpanya dan mampu memahami secara rasional pilihan-pilihan langkah yang akan diambil.

Setelah itu, upaya pembentukan organisasi minimal di level satu kelompok masyarakat menjadi upaya penting, diikuti dengan mendorong mereka untuk berjejaring dengan kelompok klien LBH lainnya serta melakukan langkah-langkah hukum non-litigasi.

Upaya penting lainnya yang kami upayakan juga adalah untuk membangun solusi alternatif tanpa penggusuran paksa. Upaya ini misalnya diujicobakan LBH Jakarta untuk kasus Kebun Sayur, Kapuk Poglar dan Gang Lengkong. Tentu upaya tersebut tidak dapat dilakukan sendiri. Pembelajarannya adalah keberhasilan kampung-kampung lain sebelumnya yang berhasil melakukan advokasi mencegah penggusuran paksa dengan bekerja sama dengan lembaga lain yang memiliki disiplin ilmu yang berbeda.

Sebab persatuan luas pada akhirnya, adalah solusi kita semua menghadapi ketimpangan relasi kuasa dan kapital yang menjadi wajah di balik ancaman penggusuran warga.

 


Editor: Andre Barahamin

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *